webnovel

Chapter 42 - Kau di sini? (3)

Tapi nyatanya cahaya lagi-lagi muncul di lingkaran sihir di depan mereka.

Dan kali ini yang muncul adalah kelompok orang dengan jumlah yang sama. Namun dengan anggota yang berbeda.

Valias tidak menyangka akan melihat kehadiran orang-orang itu di waktu sekarang. Terutama salah satu yang ada di antara mereka.

"Kau di sini?" tanya Valias. Memasang senyum tanpa ekspresi di akhir.

Kei memandangi Valias datar sebagaimana dirinya biasanya. Laki-laki tinggi itu kemudian melirik ke arah lain. Bertemu tatap dengan Alister yang memandangnya datar di sisi belakang Valias.

Frey terdiam di tempatnya. Tidak menyangka akan mendapat tamu lain di jam malam itu.

"Tuan muda rambut merah. Kami sudah melakukan sesuai permintaanmu." Radja tersenyum lebar. Merentangkan kedua tangannya seolah siap untuk memeluk tubuh Valias dan meremasnya di antara kedua tangan berotot besarnya. Dia bersuara dengan penuh kebanggaan dan kepercayaan diri. Dari lengkungan bibir yang menampilkan dua barisan gigi itu siapapun bisa melihat bahwa dia sungguh-sungguh dengan ucapannya.

Valias tersenyum. "Terimakasih."

"...Kau tidak terlihat sehat."

Yang berucap tadi adalah Oza. Dia memiliki wajah sinis, tapi mengernyit melihat sosok Valias di depannya.

Valias terkekeh. "Kurasa aku memang sedang merasa tidak begitu baik."

Dia selalu ingin mengelak. Membantah fakta bahwa dirinya lelah. Masih tidak terima merasa letih hanya karena beberapa kunjungan tempat.

"Benar! Kau terlihat sangat tidak sehat! Kau harus istirahat," Radja ikut bicara. Siapapun bisa melihat bahwa sang pemuda berambut merah di dalam ruangan itu tidak baik-baik saja.

"Hm. Aku akan." Valias meyakinkan dirinya bahwa dia akan mengambil waktu istirahat sebentar. Dia takut sesuatu yang tidak diharapkan akan terjadi jika dia memaksakan diri terlalu jauh. Lagipula dia sedang menggunakan tubuh Valias Bardev. Bukan tubuhnya sendiri yang memiliki daya tahan tubuh yang bagus dan juga cukup berbobot.

Tubuh Valias Bardev sangatlah ringkih. Valias mulai khawatir akan sesuatu terjadi pada tubuh yang dia tempati itu.

"Zia. Kau bisa mengirimnya ke rumahnya?"

Oza bicara pada seorang anak yang tubuhnya terselubungi oleh jubah berwarna hitam. Anak itu berambut hitam juga dan juga bermata gelap sewarna gelap langit malam.

Valias menyadari tatapan datar anak itu padanya dan mulai memasang senyum. "Aku akan berterimakasih jika kau melakukannya."

Anak yang bernama Zia itu masih memandangi Valias sebelum kemudian menunduk. Menganggukkan kepala.

"Anak pintar." Radja tertawa dan menepuk kepalanya.

"Mari kita kembali, Tuan Muda. Anda harus beristirahat dengan baik." Alister tersenyum di sampingnya.

Valias mengangguk. Menyetujui hal itu.

Keduanya berdiri di atas lingkaran sihir. Anak yang bernama Zia mengaktifkan mantra dan kedua orang itu pun menghilang dari ruangan.

Frey menontoni kepergian kedua orang itu dan menghela nafas. Menyadari dirinya sekarang harus menghadapi Kei dan teman-temannya seorang diri. Harus dia akui dia merasa lebih aman dan nyaman ketika memiliki Valias di sisinya. Dia benar-benar merasa dia akan baik-baik saja selama dia memiliki pemuda berambut merah itu di dekatnya.

Tapi Valias sedang tidak sehat. Dia harus beristirahat. Sudah sewajarnya Frey menghadapi hal ini sendiri.

"Kei–"

"Baiklah. Ayo kita kembali."

"....???"

Frey melihat keempat orang di dalam ruangannya memberdirikan diri mereka di atas lantai sihir. Seolah mereka sudah bersiap pergi. Yang bersuara tadi adalah Radja.

"T- Tunggu. Kalian sudah akan pergi? Tidak ada hal yang ingin kalian bicarakan?"

"Ha? Bicarakan? Untuk apa? Orang yang ingin kami ajak bicara saja sudah tidak ada. Untuk apa kami berdiam diri di sini?" respon Oza acuh tak acuh. "Ayo Zia. Aku tidak suka berlama-lama di bangunan busuk ini."

Zia mengangguk. Lalu keempat orang itu menghilang dari ruangan Frey. Meninggalkan laki-laki itu sendirian di ruangannya.

"Kenapa semua orang hanya mencari Valias? Haruskah aku menunjuk Valias sebagai raja saja?" Frey mulai menggerutu.

Dia merasa harga dirinya sebagai seorang calon raja Hayden sudah tidak tersisa lagi.

***

Itu adalah siang hari. Ketika sang pemuda akhirnya membuka matanya.

Kepalanya tenggelam dalam kelembutan bantal. Dan seluruh tubuh kecuali kepalanya tertutupi oleh selimut tebal berkualitas tinggi. Valias ingat dirinya yang tidur setelah dibantu membersihkan diri dan mengganti pakaian oleh Alister. Dirinya hanya asal membaringkan tubuh dan memejamkan mata. Tampaknya Alister membenahi posisi tidurnya dan juga memakaikan selimut ke sekujur padanya. Membuatnya tenggelam dalam kenyamanan ranjang tidur yang begitu sejuk.

Valias mengeluarkan gumaman sembari membangunkan dirinya ke posisi duduk. Menggunakan waktu untuk memandangi pemandangan kamar Valias Bardev yang tersaji untuknya.

Tidak peduli berapa kali Valias melihatnya pun, dia tidak bisa tidak dibuat takjub oleh kuantitas kertas penuh tulisan berbercak darah yang ada di ruangan kamar tidur itu.

Valias Bardev sungguh-sungguh.

Apapun yang pemilik asli tubuh yang Valias tempati itu lakukan dengan kertas-kertas itu, dia memiliki sesuatu yang dia kejar dan ingin dia capai.

Tapi apa. Valias bertanya-tanya.

Valias mendapatkan dugaan bahwa tulisan-tulisan di kertas itu adalah sebuah tulisan dengan bahasa yang dibuat oleh Valias Bardev sendiri. Tidak akan ada siapapun yang bisa membacanya. Karena itu adalah bahasa yang diciptakan sendiri oleh penggunanya.

Mengingat ucapan yang keluar dari mulut Wistar ketika mereka berada di perbatasan, Valias rasa memang itulah yang terjadi.

Valias Bardev ingin tulisannya tidak bisa dibaca oleh siapapun. Karena dia memiliki hal yang ingin dia sembunyikan.

Tapi apa?

Dan apa isi dari kertas-kertas itu?

Itu masih menjadi misteri bagi Valias.

Valias Bardev. Adalah figur yang paling misterius di antara semuanya.

Valias tidak tahu apapun tentang remaja itu. Selain pengetahuan tentang dia yang merupakan kakak kandung dari Danial dan Dina. Putra sulung Hadden dan Carla. Lalu tentang dirinya yang tinggal dengan ibunya sebelum menemui Hadden dan mulai tinggal bersama ayahnya.

Valias tidak mengetahui apapun tentang Valias Bardev.

Bahkan tentang fakta Valias Bardev memiliki rambut berwarna merah, yang tidak dimiliki siapapun selain dirinya juga mengundang tanda tanya.

Abimala yang biasanya bukanlah orang yang akan mengusungkan batang hidungnya pada suatu permasalahan.

Tapi hanya untuk kali ini. Karena nyatanya dia memang berada di situasi yang membuatnya pantas untuk memiliki banyak pertanyaan itu. Dia bertanya-tanya tentang identitas Valias Bardev yang sebenarnya.

Tuk

Sebuah suara pintu yang diketuk sekali terdengar. Alister sudah di pintu dengan meja roda. Siap untuk memberikan makanan untuk Valias.

"Saya sudah bisa menduga Anda akan bangun di siang hari." Alister memiliki senyumnya.

Valias sedang tidak memiliki tenaga untuk merespon meski hanya dengan sekedar gumaman. Dia membiarkan Alister menyiapkan makanan untuknya. Bahkan membiarkan pelayan itu menyuapinya.

Sulit dimengerti. Tapi Valias tidak memiliki begitu banyak tenaga di tubuhnya. Apakah itu rasa malas? Dia rasa bukan. Dia tidak pernah malas. Dan dia tidak sedang malas. Dia hanya tidak punya tenaga untuk melakukan apapun.

Selelah apa aku sebenarnya?

Dia pikir dengan dirinya yang tidur hingga siang hari dia akan merasa lebih baik. Nyatanya tidak.

Alister memandangi Valias yang terlihat tidak bertenaga. Pandangan matanya kosong. Entah apa yang sedang tuan mudanya itu pikirkan di dalam kepalanya.

Di posisi lain, Alister sibuk dengan pikirannya sendiri.

Dia sudah melihat elf. Juga sebuah bunga yang bersinar yang sebelumnya belum pernah dia lihat seumur hidupnya. Tidak pernah dia sangka akan ada sebuah bunga yang bisa bersinar dan memiliki kemampuan mengobati hanya dengan diberikan mantra oleh seorang atau seekor elf.

Mereka benar-benar ada. Manusia dengan telinga runcing. Entah mahluk apa lagi yang sebenarnya ada—tapi hanya belum pernah mempertunjukkan diri. Hal yang dia saksikan malam tadi mulai membuatnya memiliki rasa penasaran yang tinggi terhadap lebih banyak hal.

Tapi seberapapun penasarannya aku, tidak akan ada apapun yang bisa mengalahkan keingintahuanku akan bocah ini.

Valias Bardev. Remaja pemilik rambut merah. Yang begitu misterius hingga Alister tidak bisa sedikitpun menebak apa yang sedang ada di dalam pikiran laki-laki remaja itu.

Alister hanya menunggu lebih banyak hal yang akan terkuak di depan matanya.

Sampai itu terjadi, aku tidak akan sekalipun membiarkannya luput dari mataku.

Sang pelayan memandangi tuannya yang masih bermata kosong.

"Tuah Muda. Jika Anda masih belum merasa baik, apakah Anda ingin menggunakan bunga dari nona elf itu lagi?"

Suara Alister menarik perhatiannya.

Valias menoleh.

Bunga?

Valias menggeleng.

Dia merasa cara kerja bunga itu adalah seperti narkoba. Dia tidak mau itu.

(a/n: narkoboy)

"Aku hanya perlu istirahat lebih lama lagi."

Valias merasa lelah. Dan untuk kali ini dia tidak akan memaksa tubuhnya lagi. Dia akan menerima fakta bahwa tubuhnya sekarang sudah bukan lagi tubuhnya yang dulu. Dia akan berlaku lebih hati-hati kepada tubuh barunya ini. Tubuh milik Valias Bardev. Sang pemuda ringkih dan misterius.

"Apa yang Anda rencanakan, tuan muda."

Alister bertanya. Valias selalu memiliki sesuatu yang ingin dia lakukan. Dia hanya ingin tahu. Setelah apa yang terjadi tadi malam, apa yang remaja berambut merah itu akan rencanakan.

Valias menoleh, sebelum mengalihkan pandangannya ke arah jendela besar yang mempertontonkan langit.

Aku berencana untuk mengunjungi Solossa.

Dan itulah yang akan dia lakukan.

04/06/2022

Measly033

[End of Book 1]