webnovel

Chapter 34 - Anak-anak Hayden

Di pagi hari Valias bisa melihat kumpulan prajurit serta mage melalui jendela kamarnya.

Sudah mulai?

Valias sudah selesai bersiap dan pintu terketuk. Kalim hadir di depan pintu dengan Kei di belakangnya. Kei memakai pakaian hitam, namun dengan lencana Hayden. Pedang bersarung coklat miliknya masih tergantung di sabuk di pinggangnya. Kali ini Kei terlihat lebih seperti komandan kerajaan dibandingkan pemimpin bandit dalam pelarian. Valias tidak menyembunyikan senyumnya.

"Selamat pagi." Valias berujar. Kei memberi tatapan matanya sebelum memalingkan wajah.

Kalim membawa mereka ke tempat di mana para prajurit dan mage itu berkumpul.

"Adikku."

Frey memakai pakaian mewah berwarna merah dengan lencana dan banyak insignia di luaran bajunya. Mata emasnya tampak cerah dan rambut peraknya berkilau di bawah matahari pagi. Dia tampak seperti calon raja sejati.

Valias memberi senyum kecil. "Kakak."

Kei dibuat bingung dengan panggilan kedua orang itu tapi tidak mengatakan apa-apa.

"Kau beristirahat dengan baik?" Frey membiarkan semua orang di sana melihat keakrabannya dengan si remaja berambut merah

"Tentu, kakak. Kau melakukan pekerjaan bagus menyiapkan individu-individu bertalenta ini."

Frey dikejutkan oleh ucapan Valias tapi kembali memamerkan seringainya.

"Semuanya. Aku, Frey Nardeen akan memberi tahu kalian hal apa yang akan kita lakukan di hari ini. Anak-anak kerajaan kita, mengalami ketidakadilan dan penderitaan di dalam wilayah kita. Kalian akan bergerak di bawah perintah adikku, Valias Bardev. Kita akan membersihkan penyelewengan yang ada di Hayden.

"Ayahku, mendiang Chalis Nardeen sudah tidak ada, dan aku, calon raja selanjutnya akan memulai pemerintahannya yang baru. Mulai hari ini, aku akan memulai langkahku menjadi pemimpin kerajaan Hayden. Mari kita tunjukkan pada semua orang bahwa pasukan ksatria dan mage istana akan memburu mereka yang melakukan tindakan tidak adil di tanah Hayden."

Para ksatria dan mage sebelumnya tidak tahu kenapa mereka diminta berkumpul di depan istana.

Namun, kini, di depan barisan yang terbentuk oleh mereka, sang putra mahkota memberikan pidatonya. Menunjuk seorang putra Count yang namanya menjadi perbincangan hangat di istana belakangan minggu ini sebagai pemberi komando untuk mereka.

Seorang remaja berumur 18 tahun. Dengan rambut merah dan tubuh ringkih.

Namun ucapan Frey sudah memberi semangat kepada mereka. Selama ini, mereka hanya berdiam di istana tanpa melakukan apapun. Tapi akhirnya, hari ini sang calon raja memanggil mereka ke hadapannya dalam rangka menyingkirkan penyelewengan yang ada di Hayden.

Mereka belum tahu pasti penyelewengan apa yang dimaksud pria yang berdiri di hadapan mereka itu. Tapi yang pasti, ketika pria tersebut memberitahu mereka untuk menyingkirkan ketidakadilan, maka yang akan ada di hati dan benak mereka hanyalah semangat untuk mewujudkan hal itu.

"Siap!!" Para ksatria berseru tanpa komando dan para mage memberikan bungkukkan mereka. Vetra, berdiri di barisan paling depan, bisa melihat sosok Valias lagi. Dirinya sudah memikirkan tentang bagaimana perang akan terjadi di Hayden. Setelah sibuk dengan pikirannya selama satu setengah hari penuh, akhirnya dirinya dan teman-teman sesama magenya dipanggil menghadap Frey.

Ketidakadilan?

Vetra sudah mellihat begitu banyak ketidakadilan di kota mage tempatnya berasal. Karena itulah dia memutuskan untuk pergi. Jika Valias Bardev, yang ditunjuk oleh Frey akan mengajaknya memberantas ketidakadilan di Hayden, maka Vetra akan dengan senang hati bergerak di bawah komandonya.

Bahkan, dengan menjadi mage pribadi sementara Valias, dirinya dibawa melihat keberadaan makhluk yang selama ini dia pikir hanya ada di buku karangan penulis gila khayal.

Vetra merasa tidak sabar menyaksikan hal lain apa yang akan dia saksikan dengan bekerja bersama remaja berambut merah itu.

Valias di sisi lain, dikejutkan dengan ucapan tiba-tiba pemuda yang menyuruhnya untuk memanggilnya kakak itu.

Apa? Aku? Apa aku salah dengar?

Kenapa tiba-tiba Frey menunjuknya? Rencananya dia hanya akan ikut pergi untuk memantau pergerakan Kei. Karena Valias khawatir Kei akan membuat keributan yang tidak perlu dengan betapa semrawutnya gaya pikir pemuda itu.

Tapi sekarang Frey menunjukku untuk memberi perintah pada orang-orang ini?

Valias tidak bisa percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Tapi, ucapan sudah terlontar. Dan tidak baik seorang tokoh besar menarik ucapannya. Jika Valias ingin Frey menjadi sosok yang dihormati dan dipatuhi semua orang, maka Valias harus setidaknya bertindak sesuai ucapan orang berambut perak itu. Lagipula hanya untuk hari ini. Tidak ada salahnya menjadi ketua sebuah kelompok seperti ketika dirinya kuliah.

Valias melihat Frey yang berdiri tinggi di sampingnya memberi seringai ke arahnya. Valias merasa dirinya baru saja ditipu oleh orang yang lebih muda dua tahun darinya itu.

"Mage, kalian akan membawa prajurit beserta adikku Valias dan temannya ke wilayah Arlern di perbatasan Kerajaan Solossa. Mulai dari situ kalian harus mengikuti apapun perintah orang di samping kananku ini."

Valias menetapkan wajah tanpa ekspresinya. Kei menonton pidato saudara tirinya dari samping dengan Kalim di sampingnya.

"Kami mengerti." Vetra sebagai pemimpin mage di istana menjawab tegas.

Vetra bersama teman-temannya mulai bergerak membentuk lingkaran di sekitar barisan ksatria.

"Tuan muda Valias." Vetra memberi senyum ramah pada remaja yang berpisah dengannya dua hari lalu.

Frey mengangguk dan meletakkan tangannya di bahu Valias. "Cepatlah kembali."

Valias memberi senyum kecil. "Tentu. Kei."

Kei mendengar Valias memanggilnya dan tanpa suara meninggalkan Kalim di tempatnya. Kei mengikuti Valias berdiri di hadapan para ksatria yang berdiri tegak dan lingkaran cahaya yang begitu besar menyinari area depan istana. Frey menonton bagaimana kumpulan besar orang di depannya menghilang dari hadapannya.

"KAKAK!!!"

Wistar, dari kejauhan berlari dengan pakaian yang serupa dengan Frey ke arahnya.

"KAKAK! DI MANA MEREKA?!"

Wistar bertanya dengan keringat di dahi serta ekspresi tidak percaya. Frey membalasnya dengan tatapan jijik.

"Kau. Aku sudah tau kau akan memaksa ikut."

"JADI ITU ALASAN KENAPA PELAYAN BILANG KAKAK MENYURUHKU BERDANDAN??!!!"

Wistar dikhianati oleh kakaknya. Dia mendengar kabar dari pelayan kalau kakaknya akan mengirim Valias dan kakak tirinya ke sebuah tempat bersama prajurit dan para mage. Wistar ingin memberi kejutan pada Valias tapi dia dengar dari pelayan kalau kakaknya menyuruhnya berdandan.

Dia dengan bersemangat memakai baju pangeran kebanggaannya dan menghampiri Valias, hanya untuk menemukan temannya dan semua orang sudah dikirim pergi.

"KAKAK!!!" Wistar merengek. Frey meletakkan tangannya di wajah merengek Wistar.

"Diamlah, Wissy. Keberadaanmu sebagai pangeran hanya akan memancing perhatian tidak perlu dari orang-orang di sana. Valias dan saudara kita serta prajurit dan mage istana sudah cukup. Aku bahkan berharap semoga orang-orang itu tidak menyadari keberadaan Valias dan Kei."

Bangsawan-bangsawan wilayah di Hayden sudah terlalu lama bertindak di luar kendalinya. Dia akan menunjukkan pemerintahannya sebagai raja Hayden yang baru dari tindakan hari ini.

"...Begitukah?"

Wistar dengan cepat mendapatkan ketenangan dirinya. Kata-kata kakaknya masuk akal. Kalau memang benar itu alasannya maka Wistar tidak akan protes lagi.

"Wistar, kau benar-benar.." Frey masih tidak percaya dengan kepribadian adiknya yang begitu mudah diganti suasana hatinya.

Frey menghela nafas. "Mari berdoa semoga temanmu dan adikku bisa menyelesaikan urusan di sana dengan lancar."

***

Ketika Valias membuka matanya dirinya beserta semua orang sudah berada di sebuah pemukiman dengan barisan bangunan rumah memanjang di sisi kiri dan kanan. Di sisi kirinya sebuah dinding tinggi menutupi pemandangan wilayah di baliknya. Perbatasan kerajaan Solossa berada di sisi Selatan. Valias bertanya-tanya apakah setiap perbatasan Hayden dibatasi oleh dinding tinggi seperti yang ada di visinya sekarang.

"Tuan muda. Apakah benar ini tempatnya?" Vetra menghampirinya.

Valias mengangguk. "Sudah benar, nona. Kau dan teman-temanmu melakukan pekerjaan bagus."

"Tuan muda, nama saya Javas, mendiang yang mulia Chalis menunjuk saya sebagai komandan prajurit istana." Seorang pria bertubuh kekar berambut cokelat gelap dengan lencana emas Hayden di pelindung tubuhnya membungkuk ke arah Valias.

Valias memandang pria yang membungkuk itu sebentar sebelum berbicara. "Salam kenal, tuan Javas. Aku harap kau bisa membantuku memimpin para ksatria ini dalam urusan hari ini."

Javas mengangguk seraya membungkuk. "Saya mengerti, tuan muda. Tolong beritahu saja apa yang harus saya lakukan."

Kei mengamati bagaimana Javas membungkuk pada Valias. Tangannya menyentuh gagang pedangnya seperti setiap kali dia merasa tidak nyaman.

Kelompok Valias bisa melihat bagaimana orang-orang di sekeliling mereka mengamati mereka dari tempat mereka berdiri. Terkejut dengan kemunculan tiba-tiba sekelompok besar orang di tempat tinggal mereka.

Valias membawa kakinya berjalan di tengah jalan sampai akhirnya seorang pria berlari tergopoh gopoh menghampirinya.

"T-Tuan muda. Anda terlihat seperti bangsawan. Apa tujuan Anda kemari?"

Pria itu dengan gugup bertanya pada remaja kurus berambut merah di depannya. Kegugupannya bertambah setelah melihat pasukan ksatria dengan armor perak dan tombak di tangan mereka juga sekumpulan orang dengan pakaian mage yang berdiri di belakang remaja itu.

"Siapa namamu, tuan?" Valias bertanya ramah.

"S-Saya? N, nama saya Lout, tuan muda. Apa ada yang bisa saya bantu?"

"Ada. Komandan Javas."

"Ya, tuan muda."

Valias tidak memindahkan pandangannya dari pria yang mengaku bernama Lout itu. "Pinta ksatria dan mage untuk memeriksa ruangan bawah tanah setiap rumah di sini."

"Baik." Valias bisa mendengar Javas memberi perintah pada semua orang dan langkah kaki para prajurit yang mulai bergerak.

"T-Tuan muda?" Lout tidak pernah menyangka hari ini akan datang. Selama ini istana tidak pernah menunjukkan kepemimpinan mereka. Bahkan setelah kabar meninggalnya raja Chalis Nardeen terdengar, Lout tidak mendengar adanya pergerakan dari istana. Viscount Arlern selama ini juga sudah menjaga rahasia adanya bisnis ilegal ini. Jika Viscount tidak melaporkan pada istana, lalu tidak pernah ada inspeksi yang dilakukan disini, kenapa hari ini tiba-tiba pasukan kerajaan kesini?

Dan dengan jumlah mereka, serta para mage itu, mereka terlihat seperti seseorang telah meyakini adanya bisnis ilegal ini dan akhirnya memutuskan untuk mengambil tindakan ultimatum hari ini juga.

Javas melihat bagaimana pasukan dengan zirah perak membagi diri mereka menjadi beberapa kelompok dengan satu mage di setiap kelompok itu. Mereka semua mendobrak pintu rumah yang terkunci.

"Komandan! Ada anak-anak di bawah sini!"

"Di sini juga!"

"Di sini juga!"

Javas akhirnya mengetahui ketidakadilan apa yang dimaksud oleh Frey di pidatonya tadi. Dengan suara lantang Javas berseru. "Periksa setiap bangunan di sini! Bawa anak-anak itu keluar!"

Lout melihat bagaimana pasukan istana itu memasuki setiap rumah dan semua anak yang selama ini tersembunyi di bawah sana berjalan keluar dengan langkah lemah dan wajah lesu. Lout rasanya ingin menangis saat itu juga. Namun kemudian dia menyadari seorang laki-laki tinggi, dengan rambut hitam menghampirinya dengan aura menyeramkan.

Valias melihat bagaimana pria yang setinggi dirinya itu bergidik dengan ekspresi ngeri diwajahnya. Ketika dirinya hendak menoleh, Kei sudah berada di sampingnya, dengan tangan hendak menarik pedang dari sarungnya.

"Kei?"

"Kau.. Kau pantas mati."

Valias tercengang. "Kei. Tidak perlu menggunakan pedangmu."

"Minggir."

Astaga.

Valias langsung berdiri menghadap Kei dengan satu tangan di depan tubuh Lout.

"Kei. Kita masih membutuhkannya."

"Kau ingin bekerja dengannya?"

Valias hampir gemas dengan bagaimana pikiran Kei berjalan. "Kei. Beberapa anak sudah dijual. Kamu tidak mau mengetahui kemana mereka dikirim?"

Dengan perkataan Valias barulah Kei berhenti menarik pedang yang sudah menunjukkan setengah bilah mengkilapnya itu.

Merasa Kei mengerti ucapannya, Valias berbalik. "Tuan Lout. Anda tadi bertanya padaku apakah ada yang bisa Anda bantu." Ucapnya. "Berikan aku laporan anak-anak yang sudah Anda kirim dan darimana anak-anak ini berasal."

Valias yakin sebagian ada yang diculik, yatim piatu, atau merupakan anak-anak dari orang-orang yang tinggal di sini.

"Y-Ya?"

"Kau akan ditahan tapi jika kau memberikan apa yang kuminta, kami akan menjamin hidupmu. Bagaimana?" Valias tidak kesulitan merubah gaya bicaranya. Lout masih bergidik setelah sadar bahwa dirinya baru saja berada di satu langkah menuju kematian.

"Saya akan menyiapkannya! Saya akan melakukan semua perintah Anda! Tolong jangan hukum saya!" Mohonnya.

Valias menghela nafas. Di satu sisi merasa kasihan para pria di depannya karena dia terlahir sebagai penjahat yang dibuat oleh penulis. Tapi setelah melihat kondisi anak-anak yang dibawa keluar oleh ksatria yang diperintah Javas, Valias lebih memilih untuk mengasihani anak-anak itu daripada orang yang kini sedang mengemis di depannya. Bagaimanapun anak-anak itu pantas menerima keadilan. Bagaimana bisa pria ini tidak dihukum?

"Cepatlah. Kei. Apa kamu bisa mengawasinya?"

Valias tidak mau mengambil resiko pria bernama Lout itu kabur. Dia orang penting yang Valias butuhkan untuk mendapatkan informasi. Dan Valias cukup yakin Kei mengerti maksudnya. Membuatnya tidak akan membunuh Lout dalam waktu dekat.

Kei melirik Valias sekilas sebelum memasukkan kembali pedangnya dan menyuruh Lout untuk mulai bergerak dengan suara dingin. Lout bergidik tapi tetap menuruti omongan orang yang barusan hendak memotong tubuhnya dengan pedang.

"T-Tuan muda, anak-anak ini.." Vetra menghampiri Valias dengan wajah ingin menangis.

"Tuan muda. Bagaimana yang mulia Frey tahu tentang perdagangan budak ini? Salah satu anak memberi tahu saya." Javas ikut berbicara.

"Ini salah satu penyelewengan kekuasaan di Hayden." Valias menjeda. "Mulai sekarang yang mulia Frey akan mencari dan mengambil tindakan atas orang-orang yang ada di balik penyelewengan itu." Valias memberikan jawabannya. "Kita akan mengembalikan anak-anak ini ke tempat tinggal mereka, jika memang ada, dan membawa yang lain untuk tinggal di tempat yang sudah yang mulia Frey sediakan. Temanku akan membawakan catatan tentang anak-anak ini. Kita mungkin juga harus ke Solossa untuk membawa anak-anak yang sudah dikirim kembali."

Javas membulatkan matanya. Tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. "Solossa? Anak-anak ini dikirim ke Solossa?"

"Anak-anak dari Hayden?" Vetra tidak menduga ini.

Mereka berdua akhirnya mengerti maksud di balik pidato Frey. Anak-anak Hayden, mereka adalah anak-anak di sini. Dan juga mereka yang sudah dikirim ke kerajaan luar.

Vetra menggenggam tongkat sihirnya kuat-kuat. "Aku akan menyelamatkan mereka! Kita harus menyelamatkan mereka!"

Membayangkan dirinya dijadikan budak sejak kecil dan dikirim ke kerajaan luar ketika dirinya masih tidak tahu apa-apa membuat Vetra marah. Dia tidak menyukai ketidakadilan di kota tempat asalnya, dan tindakan ilegal ini membuatnya ingin menghancurkan semua yang ada di balik hal ini.

Valias mengangguk puas dengan tekad Vetra. "Kamu benar. Kalian harus menyelamatkan mereka." Dia tersenyum. "Tunggu sampai seorang pria bernama Lout kembali dengan laporannya."

"Lout? Dia yang ada di balik semua ini?"

Geram Vetra.

Vetra belum tau bahwa Lout hanya salah satu dari penyebab perdagangan budak ini ada. Valias mengangguk asal. "Begitulah."

Dia membawa matanya mengamati kumpulan besar anak-anak dengan pakaian kumuh dan wajah lesu. Dia meringis di dalam hati. Dia belum pernah melihat anak kecil dalam keadaan semenyedihkan mereka. Yang Valias ingin lakukan hanyalah membawa mereka ke tempat mereka bisa mandi, memakai baju yang lebih layak, dan makan makanan yang banyak dan enak.

Anak-anak ini. Sudah berapa lama mereka disembunyikan di bawah sana?

Valias tidak tau karena di cerita tidak dijelaskan. Tapi hanya anak-anak itu, bagaimana mereka tidak mati sudah merupakan hal yang pantas dikagumi.

Beberapa ksatria dan mage mengajak bicara anak-anak. Vetra dan Javas pun sudah meninggalkan Valias menghampiri anak-anak itu. Sedangkan Vallias berdiri di tempat menunggu kembalinya Kei bersama Lout.

Lima belas menit berlalu dan akhirnya kedua orang itu muncul dari balik sebuah tikungan. Lout membawa tumpukan buku dan kertas di tangannya.

"T-Tuan muda. Semuanya ada di sini."

"Bawa kedalam sana." Valias menyuruh pria dewasa itu untuk masuk ke dalam salah satu bangunan dan meletakkan tumpukan kertas itu di atas sebuah meja. Valias ikut masuk dan mulai meneliti kelengkapan dokumen itu.

Ada daftar nama, umur, jenis kelamin, dan tinggi serta berat badan. Lalu tanda bukti pembayaran. Dan daftar nama anak yang dikirim ke berbagai tempat. Nama tempat disebutkan namun pembelinya tidak ditulis.

"Baiklah. Kei. Kamu sudah melihatnya mengambil semua dokumen yang ada?"

Kei diam tidak menjawab dengan aura mengintimidasinya sebelum memutuskan untuk menjawab pertanyaan Valias. "Sudah."

Valias mengangguk puas. Memanggil Vetra untuk menyimpan tumpukan dokumen itu untuknya. Vetra mengambil sebuah kantung serut sebesar sebuah telapak tangan dari saku bajunya dan secara ajaib semua dokumen itu bisa muat di dalam sana.

"Ini kantung yang sudah kuberi sihir ruang spasial, tuan muda." Vetra tersenyum padanya.

"Ah.." Valias melupakan fakta bahwa dirinya berada di dunia sihir.

Mereka kembali keluar dari bangunan. Lout dengan ragu-ragu mengikuti kemana Valias pergi. Aneh, tapi dirinya merasa bahwa dia akan aman selama dia berada di dekat remaja berambut merah itu.

Valias berdiri di sisi jalan dengan semua orang di sana mengambil pandangan ke arahnya.

"Kita akan pergi. Bawa semua anak ini bersama kita. Tuan Lout. Anda bisa diam di sini. Pastikan hal seperti ini tidak pernah terjadi lagi."

"Tuan muda, kita tidak membawanya ke istana?" Vetra hendak protes.

Valias menggeleng. "Berikan sihir pengintai padanya. Buat supaya kita bisa mengetahui keberadaan tuan ini kapanpun."

Lout bergidik. Tapi itu masih lebih baik daripada mati.

Vetra dengan ekspresi jijik memberi mantra pada tengkuk pria itu sebelum kemudian mengambil sebuah peta di dalam kantung serutnya. ¹Mana hijau menyambung antara tengkuk Lout dengan peta di tangan Vetra.

"Tuan muda. Dengan ini Anda bisa mendatangi orang ini kapanpun Anda mau. Anda bisa meminta ku atau siapapun mage yang ada. Mereka pasti mengerti sihir ini." Ungkap Vetra.

Valias mengangguk mengerti. Mengambil peta yang memiliki titik berwarna hijau di salah satu bagiannya dari uluran tangan Vetra. "Kerja bagus. Terimakasih." Ucapnya dengan senyum kecil.

Vetra memberi senyum puas. "Terimakasih kembali."

Kelompok Valias kembali berkumpul dengan anak-anak di tengah mereka. Para mage membentuk lingkaran, dan mereka meninggalkan Lout bersama warga lain yang menonton mereka menghilang dengan tatapan kosong.

"Selesai sudah."

Lout bergumam lemah di tempatnya.

04/06/2022

Measly033