webnovel

Chapter 3 - Kecurigaan (2)

"Selamat pagi, tuan muda."

Valias terkejut dan belum sempat menguasai ekspresi wajahnya. Tidak terbiasa melihat wajah seseorang tepat ketika dirinya terbangun.

"Saya membawakan teh." Alister tersenyum hingga matanya menyipit.

Valias langsung membangunkan tubuhnya dan meraih cangkir hangat dari Alister.

??

Valias reflek mengerutkan kening. Teh nya tidak manis maupun tawar melainkan asam dan pahit.

Mungkin Alister menyadari ketidaknyamanan Valias dan mulai bicara. "Bagaimana tuan muda."

Valias berpikir sebentar. "Tidak buruk."

"Oh?"

Valias penasaran dengan ekspresi yang dimiliki Alister dan menolehkan wajahnya ke arah pelayan aneh itu.

"Apakah selera tuan muda sudah berubah?"

Alister tersenyum ramah namun Valias tahu Alister sedang mencoba mengujinya.

Mungkin karena dia sudah bekerja lama? Sepertinya Alister adalah orang yang paling tua di bangunan itu. Dirinya menebak beberapa hal sejak dia menjadi Valias.

Jika dibandingkan dengan keempat pelayan muda kemarin, Alister memang lebih tenang dan berani menghadapi dirinya.

Bahkan dibandingkan dengan keluarga Valias yang asli sendiri, Alister lebih tenang dalam berinteraksi dengannya.

Senyum ramah itu menunjukkan kalau Alister tidak gugup sama sekali menghadapi Valias sebagaimana pelayan lain. Mungkin pelayan tua itu tidak akan takut untuk menguji Valias sedikit.

Dosen Valias sebelumnya senang sekali mempermainkan orang. Membuat anak-anak didiknya percaya bahwa mereka akan mendapat nilai bagus, sebelum kemudian menampar wajah anak-anak arogan itu dengan nilai jelek.

Paman kasar Valias dengan ahli memerankan perannya sebagai adik dan paman yang baik sebelum akhirnya mengeluarkan taring dan memamerkan sifat aslinya.

Melihat tingkah laku Alister itu, Valias sudah menduga beberapa hal yang mungkin akan dilakukan pelayan tua itu padanya.

Kemarin ketika Valias ingin ke kamar, ia khawatir Alister akan mempermainkannya. Membawanya ke ruangan yang salah lalu menginterogasi dirinya, misalnya?

Dengan adanya pelayan muda bernama Ren itu yang memandu jalan, kemungkinan Alister menjebaknya akan berkurang.

Mulai sekarang Valias sudah tau letak kamarnya sendiri dan tidak akan membiarkan Alister mengujinya lagi.

Tapi saat ini,

"Aku memutuskan untuk berubah. Tidak perlu banyak bertanya."

Alister tidak terlihat terkejut. Mungkin sudah menduuga jawaban itu.

Bocah ini mengatakan untuk tidak banyak bertanya.

Dengan begini Alister memutuskan untuk berhenti menguji tuan muda di hadapannya.

Yah, aku tidak peduli apa yang membuat tikus ini berubah. Tapi seekor tikus, akan tetap menjadi tikus.

Alister tersenyum.

Jika dia ingin berubah, maka aku juga akan berubah.

"Saya mengerti."

Valias merasa puas dan kembali berpikir sembari menghabiskan teh panas itu sedikit demi sedkit.

Untuk sekarang aku akan jalan-jalan.

Menghabiskan seruput terakhir Valias mengembalikan cangkir pada Alister dan membawa kedua kaki kurusnya turun ke lantai.

Udaranya terasa dingin tapi lantainya tertutup karpet jadi tidak terlalu buruk. "Alister."

"Ya, tuan muda."

Valias tersenyum kecil.

Alister sudah mempermainkanya.

Dia ingin mempermainkannya balik.

"Siapkan air."

Seorang pelayan sudah mempermainkan tuannya. Sekarang sang tuan muda akan membuat pelayannya bekerja.

"Saya sudah menyiapkannya, tuan muda."

Valias berniat untuk memerintah pelayan tua itu. Siapa sangka sang pelayan sudah membaca langkah Valias lebih dulu.

Valias menolak untuk melihat senyum ramah palsu itu dan langsung membawa langkahnya ke dalam kamar mandi.

***

Menginjakkan kaki keluar dari ruangan lembab dan hangat dengan aroma bunga mawar itu dengan mengenakan jubah handuk. Dan mempertemukan matanya dengan mata Alister yang tersenyum ramah seperti sebelumnya.

Di sampingnya sudah ada sebuah meja beroda dengan sepasang pakaian, sepatu, juga handuk dan sisir.

Valias meraih pakaian putih di sana dan mulai membuka kancingnya satu persatu.

"Biar saya, tuan muda."

Valias menaikkan alis tapi langsung menyerahkan pakaian yang kancingnya sudah terbuka seperempat itu. Membiarkan Alister membantunya berpakaian serta merapihkan rambutnya. Valias tidak biasa memilliki seseorang membantunya. Tapi juga tidak merasa keberatan jadi dia membiarkan Alister melakukan pekerjaannya.

Valias duduk di sebuah kursi berkusion hijau. Alister berdiri di belakangnya mengeringkan rambut Valias yang lembab sehabis mandi. Menyisir surai merah panjang itu.

"Ini pertama kalinya Anda membiarkan saya menyentuh Anda, tuan muda."

Valias tidak peduli apakah Alister sedang mencoba mengujinya lagi atau tidak.

Ada keheningan selama beberapa detik.

"Alister."

"Iya."

"Bicaralah."

Valias merasakan Alister tidak berhenti mengeringkan rambutnya walau pelayan itu belum mengeluarkan suara.

Valias menolehkan wajahnya sedikit untuk memamerkan senyum miring pada Alister.

"Beritahu aku pandanganmu tentang aku."

Alister memandang Valias datar. Valias masih menoleh padanya dengan senyum yang belum pernah Alister lihat di wajah tirus dan pucat itu.

Alister sudah bekerja di mansion itu sejak mansion pertama mulai ditinggali oleh Count Hadden Bardev seorang diri. Alister berumur 42 saat itu. Lalu Count Hadden menikahi Ruri Osmond dan membawa Danial Bardev serta Dina Bardev tinggal sebagai keluarga Count Bardev.

Setahun setelahnya, Valias Bardev bergabung.

Alister mengingat waktu itu.

"Valias, pilih salah satu dari mereka untuk menjadi pelayan pribadimu. Kau juga bisa memilih lebih."

Hadden Bardev tersenyum hangat. Alister melirik tuan muda baru berambut merah yang memasang ekspresi datar serta mengeluarkan aura yang mengusir semua orang di sekelilingnya itu.

"Orang ini."

Valias memandang Alister tepat di mata. Sebelum berbalik dan meninggalkan ruangan tanpa mengucapkan apa-apa.

Alister menjadi pelayan pribadinya sejak saat itu. Valias tidak banyak menganggapnya dan lebih sering menghabiskan waktu seorang diri tanpa didampingi siapapun.

Alister tidak tahu kenapa Valias memilihnya yang merupakan pelayan paling tua daripada pelayan-pelayan lain baik wanita atau pria yang lebih muda dan terlihat lebih dekat dengan usia remaja di hadapannya itu.

Lalu tiba-tiba tikus ini mulai mengeluarkan suara, memamerkan cicitannya, dan mulai keluar dari sarangnya.

Valias merasa pelayan di belakangnya itu akan segera bicara dan menolehkan kembali wajahnya ke depan. Memilih untuk mengamati beberapa tumpukan buku yang berserakan di depannya. "Tuan muda Valias Bardev adalah seorang penyendiri."

"Bagaimana tanggapan orang-orang di sini tentang aku?"

Ada keheningan sejenak. Alister belum berhenti mengeringkan rambutnya. Tapi Valias tahu Alister akan membuka mulutnya cepat atau lambat. "Para pelayan di kediaman ini menganggap tuan muda Valias sebagai tuan muda yang sulit untuk dihadapi. Tuan Count Hadden Bardev berusaha untuk membuat tuan muda Valias berubah menjadi anak yang bertingkah seperti anak-anak lain seusianya. Nyonya Count Ruri menganggap tuan muda Valias sebagai anaknya sendiri seperti tuan muda Danial dan nona muda Dina."

Valias diam-diam menghafal nama-nama yang tadi disebutkan Alister. Alister menyisir rambutnya sedikit lalu mengikatkan sebuah pita berwarna hitam di sebagian surai merah itu.

"Sudah selesai, tuan muda."

Valias bangun dan membawa langkahnya ke cermin beroda yang sudah Alister siapkan.

Penampilannya tidak banyak berubah dari yang kemarin. Kecuali desain kemejanya yang sama-sama berwarna putih namun kini ada sedikit kain berlubang-yang Valias tidak tahu istilahnya apa-di bagian dada. Juga corak tangkai bunga di bahu. "Alister. Apa jadwalmu hari ini?"

"Saya membantu pelayan lain mengurus kediaman seperti biasa, tuan muda."

Alister menonton Valias Bardev yang mengamati dirinya sendiri di depan cermin. Menebak-nebak apa yang akan tuan muda di hadapannya itu katakan. "Baiklah. Lakukan pekerjaanmu seperti biasa."

Alister menonton tuan muda tikusnya berjalan tegap dan percaya diri dengan sedikit buru-buru melewatinya menuju pintu. Tuan mudanya bergumam pelan tapi Alister yang berpendengaran tajam bisa mendengarnya.

"Sekarang waktunya jalan-jalan."

Pintu terbuka kemudian tertutup. Kini Alister seorang diri di dalam ruangan berantakan penuh kertas dan buku itu.

Alister melirik ranjang yang tercerai berai dan memejamkan mata dengan senyum miring.

***

Valias menyusuri lorong. Berbelok kemanapun yang dia mau. Sembari menghafal struktur bangunan.

Dia memiliki perasaan akan arah yang cukup bagus. Jadi seharusnya dia tidak akan tersesat. Jika ada apa-apa dia hanya harus menyusuri kembali jalur yang tadi dia lewati dan kembali ke ruangannya.

Valias membawa langkahnya ke arah jendela besar. Yang menampilkan pemandangan sebuah taman yang berbeda dari taman dimana Valias pertama muncul kemarin.

Menetapkan tujuan, dia melanjutkan langkah, berpapasan dengan beberapa pelayan wanita dan pria yang sempat bertatapan mata dengannya sebelum mereka yang selalu memutuskan pandangan terlebih dahulu. Menunduk, dan mempercapat langkah. Entah karena merasa tidak nyaman dengan kehadiran Valias, atau justru mereka berpikir Valias merasa tidak nyaman dengan kehadiran mereka.

Valias tiba di sebuah tangga menuju lantai bawah. Menuruni tangga itu Valias tiba di ruangan besar kemarin.

Itu ruang makan kemarin, dan itu jalan yang aku lewati bersama Alister.

Valias memandangi pintu tertutup dan lorong itu sebentar lalu kembali melangkah mengabaikan pelayan-pelayan lain yang gugup dan akhirnya menemukan jalan menuju taman yang tadi dia lihat.

Valias bukan penggemar taman. Dia tidak memiliki kesenangan tertentu terhadap apapun kecuali hasil masakannya sendiri.

Valias mengamati taman, membiarkan langkahnya membawanya memasuki kawasan taman itu. Dia berjalan tanpa memikirkan banyak hal, tidak peduli dengan tatapan beberapa pelayan yang menontonnya dari jauh.

"K-Kakak?"

Valias menoleh dan menyadari keberadaan anak perempuan kecil berambut coklat dengan pakaian biru dan celana coklat gelap.

"Dina."

Dina mendongak memandang Valias dengan tatapan gugup tapi juga kagum.

Dina mengingat malam kemarin dimana kakaknya untuk pertama kalinya makan bersama dengannya.

Dan aku yang duduk paling dekat dengan kakak.

Dina menunduk menyembunyikan rona pipinya. Valias tidak menyadari ini.

Dia masih takut denganku?

"Apa aku mengganggumu?"

Valias memutuskan untuk menetapkan ekspresi datarnya. Dia berujar pelan.

"T-Tidak!"

Dina langsung mengangkat wajahnya. Memandang wajah itu secara jelas untuk pertama kalinya.

Dina sudah lama mengamati kakaknya. Sejak dia tahu bahwa lelaki remaja berambut merah bagai langit sore itu adalah kakak kandungnya. Dina selalu ingin dekat dengan Valias. Valias memiliki tubuh yang ringkih, kurus, dan pucat. Tampak seperti orang penyakitan. Hal itu selalu membuat Dina ingin berada terus di dekatnya, dan menanyai apakah Valias baik-baik saja.

Tapi Valias selalu mengabaikannya. Tidak menanggapi kehadiran dan perkataan Dina yang diutarakan padanya. Dina selalu gugup ketika berada di dekat Valias, dan dia jarang mampu menyusun keberanian untuk menatap wajah kakaknya. Dia hanya berani mengajak kakaknya itu bicara sambil menontoni sepatu dan pose kaki yang digunakan Valias, kemudian menonton kaki itu melangkah melewatinya begitu saja.

Tapi sekarang..

Valias bicara padanya. Valias menatapnya tepat di mata. Dan Dina juga bisa memandang kakaknya.

Kakak memang tampan.

Sangat tampan hingga hampir menjurus cantik. Dina dengar wajah Valias mirip dengan mendiang ibu mereka.

Alisnya tajam. Matanya sayu tapi memancarkan kepercayadirian. Hidung lancip, dan bibir tipis.

Lalu rambut merah sebahu itu.

Dina jarang keluar rumah. Segala keperluannya disediakan di mansion. Wajah yang pernah Dina lihat hanyalah para pelayan, ayahnya, ibunya, dan Danial.

Keluarganya memiliki rambut berwarna cokelat karamel, kecuali ibunya yang berambut hitam. Sedangkan para pelayan didominasi oleh yang berambut hitam dan coklat. Dina dengar masyarakat di Hayden rata-rata berambut hitam dan coklat. Begitupun bangsawan dan rakyat lain.

Hanya Valias satu satunya yang berambut merah.

Valias diam memandangi Dina yang menatapnya dengan wajah gugup tapi berbinar.

Dia pasti senang kakaknya bicara padanya.

Tapi sayangnya, Valias yang ada di hadapan Dina sekarang bukanlah kakaknya.

"Apa yang sedang kau lakukan, Dina."

"A- Aku? A, Aku sedang membuat pedang."

Pedang?

Valias mengamati semak-semak di sisi kiri Dina. Ada lubang di sana. Dan di dalam semak besar itu, ada ruang yang bisa menyembunyikan satu Dina, diisi oleh beberapa macam pisau dan kayu yang memiliki pegangan.

"Kau membuat pedang kayu?"

"Uh? Iya.."

Dina sangat senang saat ini. Dia hampir tidak bisa menahan diri untuk menyerukan kakaknya dan memeluk lelaki pucat itu. Tapi, Dina khawatir kakaknya tidak suka, dan akan kembali seperti sebelumnya. Membayangkan itu Dina menunduk lagi dan berusaha menahan air mata yang Dina rasa akan mengalir jika dia tidak mengontrolnya.

"Kenapa tidak meminta orang untuk membuatkannya untukmu?"

"Ayah dan ibu belum tau. Mungkin hanya Danial yang tau."

Mungkin aku bisa memberi tahu kakak?

Dina ingin memberi tahunya.

Dina mencoba mengamati kakaknya. Mencari petunjuk apakah dia bisa memberi tahu kakaknya atau tidak.

"Hm.."

Valias meletakkan kedua tangannya di pinggang dan mendongak memandang langit yang dikelilingi oleh atap mansion.

Dina diam-diam menontoni kakaknya lagi.

Surai merah itu bergoyang sedikit karena pergerakan kepalanya. Dari bawah, Dina bisa melihat bulu mata kakaknya yang lentik dan tampak lembut seperti bulu pena yang ayahnya hadiahkan pada dirinya.

Dina juga meminta Hadden untuk memberikannya satu yang berwarna merah. Karena Dina merasa pena mungil dan lembut itu mengingatkannya pada kakaknya yang dingin padanya, tapi sangat Dina kagumi.

Kakak juga menggunakan pena bulu seperti ini.

Itulah yang Dina pikirkan saat itu.

Valias menimbang-nimbang.

"Kau mau aku membantumu?"

"E- Eh?"

Dina merasa ragu dengan pendengarannya.

Dia merasa bahwa kakaknya baru saja menawarkan bantuan. Tapi Dina takut dia hanya salah dengar. Di saat yang bersamaan dia juga takut kalau dia lama menjawab, kakaknya akan kesal dan pergi.

"M, Mau."

Valias mengamati Dina yang gugup tapi memilih untuk tetap berpegang pada janjinya. Jika sudah menawarkan bantuan, maka kau harus membantu orang itu sepenuhnya.

Valias menghampiri kayu di dalam semak itu dan mendudukkan diri di atas rumput. Melihat Dina yang diam membatu di tempat, Valias memasang senyum kecil dan mengayunkan tangannya, menyuruh Dina untuk mendekat.

Sedangkan Dina, yang terpana dengan senyum kecil yang Valias berikan padanya, merasa pikirannya terbagi dua. Terpana dengan senyum kakaknya dan keinginan untuk berjalan kearah kakaknya. Tapi pikiran yang terbagi dua itu membuatnya gagal mengendalikan gerak kakinya dan membuatnya tersandung kakinya sendiri.

"Ah!"

Dina sudah bersiap merasakan tubuhnya memukul tanah, tapi ternyata sepasang tangan ringkih menangkap tubuhnya.

"Haha. Kemari. Duduk di depanku."

Dina merasakan tubuhnya dibimbing untuk duduk di atas rumput.

Dina tidak bisa mengalihkan pandangannya dari sepasang tangan yang baru saja menahan tubuhnya.

Dina mengangkat kepalanya dan melihat kakaknya yang masih memiliki senyum kecil dan memfokuskan matanya pada kayu yang belum selesai Dina pahat.

"...Terimakasih."

"Sama-sama." Valias menjawab tanpa melihat Dina. Dia mengamati sudah sejauh mana Dina memahat kayu di genggamannya itu.

"Kau memahat ini sendiri? Kau pintar." Barulah Valias mengangkat wajahnya untuk menatap Dina.

Tes.

Air mata keluar dari sebelah mata Dina.

"...Dina?"

"K- Kakak.."

Valias dibuat terkejut dengan keadaan anak itu.

Kenapa dengannya?

"Hiks."

Luka?

"D-"

"Dina!"

Suara seorang wanita dewasa muncul dari belakang Valias. Ketika Valias menoleh ke belakang, Ruri Bardev berdiri di lorong bersama seorang pelayan dan kini mulai melangkahkan sepatu hak nya kearah Valias dan Dina.

Ruri berjongkok di dekat Dina. Menyentuh bahu anak itu. Dia mencoba melirik Valias kaku.

"Selamat pagi, Nyonya Osmond." Valias memasang senyum kecil dan menbungkukan sedikit tubuh atasnya.

"P, Pagi, Valias."

Ruri merasa bingung akan apa yang harus dia lakukan terhadap situasi saat itu. Kenapa Dina menangis? Kenapa Valias yang tidak pernah melirik taman itu sekarang ada di di sana? Juga kayu serta pisau-pisau itu.

Ruri merasa jantungnya berdetak kencang. Tapi sebagai seorang ibu dan istri Count, dia harus bisa mengatasi segala macam situasi.

Bahkan masalah keluargaku sendiri.

"Ibu?"

"Iya, Dina."

"Kakak.." Beberapa skenario muncul di benak Ruri.

"Kakak bicara padaku.."

Ruri berpikir mungkin Valias baru saja mengatakan hal buruk pada Dina. "Iya. Apa yang kakakmu katakan?"

Ruri menonton Dina yang berusaha menghapus air matanya dan mengusahakan senyum. Sedangkan di sudut matanya, Ruri melihat Valias memandangi dirinya dan Dina dengan ekspresi datar.

"Kakak akhirnya membalas kata kataku. Aku senang, ibu. Aku selalu ingin kakak membalas ucapanku. L-Lalu, tadi.."

Air mata yang tadi sudah terhapus sekarang digantikan oleh air mata baru.

Ketegangan yang Ruri rasakan menghilang dan digantikan oleh perasaan lega. Sangat lega, dan hangat. Ruri melirik Valias dan menerima senyum kecil dari remaja itu.

Semalam, setelah Valias meninggalkan ruangan, keluarga beranggotakan empat orang itu terdiam sejenak tanpa siapapun yang mampu mengeluarkan suara.

Tapi keempatnya sama-sama memikirkan satu hal.

Valias sudah membuka hatinya untuk kami.

Sejenak keempatnya sibuk dengan pikiran masing-masing sebelum akhirnya Danial membuka mulut dan menyadarkan ketiga orang lainnya.

"Menurut ayah, kakak akan makan bersama kita lagi besok?"

Danial melihat ayahnya yang menghela nafas pelan dan menggaruk-garuk taplak meja di bawah jari telunjuknya.

Ayah juga tegang.

"Ayah tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Tapi.."

Hadden menimbang-nimbang akan apa yang harus dia katakan selanjutnya.

"Mari kita biarkan Valias melakukan apa yang dia mau. Valias tidak pernah mengganggu dan menyakiti kalian, bukan?"

Danial mengangguk dengan wajah datar, sedangkan Dina menggelengkan kepalanya pelan.

"Mari kita lihat apa yang akan Valias lakukan besok. Kalian hadapi saja, oke? Jika Valias mengganggu kalian, temui ayah dan ayah akan mencoba berbicara padanya."

Kesepakatan tak terucap pun terbentuk.

Ruri mencoba untuk melonggarkan ketegangan dengan menanyakan kegiatan apa yang Danial dan Dina lakukan di hari itu. Tapi sepertinya bahkan kedua anaknya itu terlalu syok dan kehilangan semangat untuk menceritakan apapun. Setelah itu Hadden mempersilahkan mereka untuk pergi ke kamar dan beristirahat.

Ruri memasang senyum menonton kedua anaknya mengucapkan selamat malam kemudian mengenggam tangan suaminya yang masih berada di atas meja, mencoba menenangkan.

"Kita bisa."

Hadden tersenyum dan membawa punggung tangan Ruri ke arah bibirnya.

"Terima kasih Ruri. Kamu benar. Kita pasti bisa. Beri tahu aku jika kamu menemui kesulitan, oke?"

Ruri tersenyum dan mengangguk.

Ruri mengembalikan pikirannya pada saat ini.

Jika Valias benar-benar berubah, dan sudah membuka hatinya untuk kami..

Ruri merasakan kehangatan dan kebahagiaan menyerbu hatinya. Membayangkan bagaimana bahagianya Dina karena kakaknya mengajaknya bicara, Ruri seolah bisa merasakan perasaan apa yang sedang Dina rasakan saat ini dan merasa ingin menangis juga.

Tapi tentu sebagai seorang wanita dewasa Ruri sudah lebih pandai dalam mengendalikan perasaan dan ekspresinya. Dia menaruh perhatiannya pada Dina.

"Baiklah, Dina. Jangan menangis. Kakakmu sedang ada di dekatmu. Kamu tidak ingin membuat kakakmu merasa tidak nyaman, kan?"

"Aku tau! Tapi.."

Dina menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Ruri mengeluarkan tawa kecil sebelum memandang Valias.

"Terima kasih sudah membuka hatimu untuk Dina. Aku sangat berterima kasih."

Valias memejamkan matanya dan memutuskan untuk membuka mulutnya.

"Tentu, ibu."

Akhirnya, kantung air rapuh yang sudah Ruri jaga dengan penuh hati-hati, pecah. Sedikit air mata membuat kedua matanya berkaca kaca. Kehangatan dan kelegaan menyerbu hatinya, membuatnya hampir tidak mampu mengontrol apapun lagi.

Tapi, tidak. Ruri tidak mau membuat Valias semakin tidak nyaman. Dia memasang senyum keibuannya dan berujar sebelum bangkit setelah menepuk-nepuk pundak Dina.

"Aku tinggalkan Dina denganmu. Apa ada sesuatu yang kamu mau?"

"Terimakasih, tapi belum ada yang aku mau."

"Baiklah. Aku pergi duluan."

Valias hanya mengangguk. Melihat itu Ruri akhirnya pergi dengan hati lega.

"Sekarang, bisa kita mulai?"

"I- Iya. Maaf, kakak."

"Tidak masalah, Dina. Aku pandai membuat ukiran. Ada model khusus yang kamu mau?"

04/06/2022

Measly033