webnovel

Chapter 26 - Ke Perbatasan (3)

"Persilahkan dia masuk." Valias dan Dylan melihat Frey bersuara seraya mengembalikan penampilan rajanya.

"Yang Mulia."

Seorang wanita dengan pakaian seperti Mareen membuat pose merendah. "Terimakasih sudah datang. Aku memanggilmu kemari karena ada hal yang harus dilakukan dengan bantuanmu." Frey berucap.

"Saya? Ah, maksud saya, saya akan senang membantu, yang mulia. Apa yang harus saya lakukan?"

Frey menunjuk Valias dengan tangan kanannya. "Jadilah mage pribadi orang ini untuk sementara."

Dia menoleh pada Valias. "Kapan kau akan pergi?"

"Sekarang, Yang Mulia."

"Begitukah?" Mengembalikan pandangannya pada sang mage. "Nona Vetra."

"Saya mengerti, Yang Mulia. Saya akan melakukan perintah Anda."

"...Valias."

Dylan menyebut namanya ketika Valias hendak berdiri. "Ya?"

Valias melihat Dylan yang tampak memalingkan kepala dengan wajah cemberut dan tangan mengepal.

"Apa aku bisa ikut?"

Dylan akhirnya kembali memandang Valias dengan wajah datarnya. Valias tersenyum kecil. "Tidak masalah. Apakah tidak masalah denganmu, nona?"

"Y- Ya? Ya. Tidak sama sekali, tuan." respon Vetra memberi jawaban. Cukup terkejut dengan dirinya yang dipanggil tiba-tiba.

"Baiklah. Kau tidak perlu memberi tahu ayahmu?"

Dylan mengangkat bahu. "Tidak perlu repot-repot."

Valias terkekeh.

Dasar anak ini.

Dia mengarahkan tubuhnya pada sang putra mahkota. "Apakah Anda bisa memberitahu Duke Adelard, yang mulia."

Frey mendengus di dalam hati. Kau pikir aku siapa?

Frey memberi senyum ramah. "Tidak masalah. Nikmati perjalananmu, Valias Bardev."

Dylan tidak tahu impresi apa lagi yang akan dia miliki tentang kakak dari orang yang biasa membuatnya jengkel itu.

"Bisa bawa kami keluar?" tanya Valias.

"Ya? Ya. Tentu." Vetra menggerakkan tongkat pendeknya dan cahaya mengelilingi mereka bertiga. Membuat Frey kembali sendirian di ruangannya.

Membawa kedua tangannya memegang pinggangnya sendiri. "Ha.. Apakah orang seperti Valias itu wajar untuk ada?"

BRAAK!!

"Kakak! Kakak memanggil mage itu?–"

Wistar menyadari kondisi ruangan yang baru dia masuki.

"Di mana Valias dan Dylan?! Kemana mereka pergi tanpaku?!"

Frey melihat sang adik langsung memasang wajah mencemooh. "Wissy.. Teman-temanmu membencimu. Mereka pergi."

"APA?!" Wistar berseru tidak terima. "Dylan membenciku tapi Valias tidak mungkin! Kemana mereka pergi?!"

Frey mendengus. "Benar. Pergilah. Kau benar-benar tidak memiliki pekerjaan dan hanya bermain. Ikutlah dengan Valias. Dia meminta Vetra untuk membawanya keluar istana. Lihat apakah kau bisa menyusul mereka."

"Kakak! Kakak yang terbaik!" Wistar langsung berlari keluar dengan kecepatan terbaiknya. Orang-orang dan para pelayan dibuat bertanya-tanya kenapa sang pangeran berlari di dalam istana. "KALIAN!! TUNGGU!!!"

Wistar melihat mereka bertiga. Anak berambut hitam, anak berambut merah, dan perempuan dengan rambut hitam seperti warga Hayden pada umumnya. Mereka bertiga membalikkan tubuh mereka ke arahnya. Wistar melihat wajah terkejut mage itu tapi dia tidak peduli.

Memanjat jendela yang terbuka dan terbang melompat ke bawah. Dia yang sudah biasa bermain dan memiliki fisik yang bagus tidak kesulitan mendarat di atas rumput dari lantai dua setelah berputar sedikit dan kembali melompat bangun sebelum kembali berlari.

"Kalian..ha..berdua..ha..kenapa.." Wistar kesulitan berbicara setelah semua aksi buru-burunya.

"Menyedihkan."

"Y- Yang Mulia??"

"Wissy? Ada yang ingin kau katakan?"

Wistar langsung meraih kedua bahu Valias dengan tangan berdebunya. "Kau..ha..kau seharusnya..beristirahat.. kau..ha..tidak boleh mati..ha.."

Vetra terkejut dengan ucapan Wistar terhadap orang yang diminta Frey Nardeen untuk dia layani itu.

...Orang ini..akan mati??

Vetra merasakan hatinya mendingin. Valias sudah merasa cukup dengan segala kesalahpahaman yang ada. "Wissy. Aku tidak akan mati. Yang Mulia Frey hanya salah paham. Aku akan berumur panjang."

Dia tidak tahu apakah perkataannya akan menjadi nyata atau tidak. Tapi sejauh ini dia merasa cukup baik-baik saja—meski sudah mimisan dua kali dan kehilangan kesadaran tiga kali. Kalau tubuh Valias itu benar-benar memiliki penyakit parah, maka tidak ada hal lain yang bisa Valias lakukan. Tapi untuk saat itu, untuk orang-orang salah paham tentang kondisi tubuhnya, Valias merasa tidak nyaman juga.

"Kau.. janji..?" Wistar sudah mulai mendapatkan kembali keteraturan nafasnya.

"Ya, Yang Mulia."

Valias tetap akan berjanji meski dia tidak tahu masa depan. Lagipula dia memang tidak ada rencana untuk bunuh diri. Selama rencananya berjalan sesuai harapan, dirinya yakin semua orang termasuk dirinya sendiri akan baik-baik saja.

Wistar mengamati kedua mata Valias sebentar sebelum melepaskan kedua tangannya. "Baik. Kau sudah berjanji. Lagipula aku yakin kakakku tidak akan membiarkan tubuhmu mati dengan mudah. Dia akan menyiapkan ramuan dan obat-obatan terbaik di Hayden untukmu. Aku juga tidak akan membiarkanmu terluka lagi. Kemana kita akan pergi?"

"'Kita'? Kau mau ikut?" Dylan mencemooh.

"Kau benar! Valias! Aku sibuk meminta pelayan untuk menyiapkan kamar terbaik untukmu tapi kau malah pergi meninggalkanku?!"

Valias terdiam. "Aku lupa. Maaf. Aku terlalu buru-buru."

Senyum Valias canggung. Wistar menggerutu. "Baik. Tidak apa-apa. Aku terima maafmu. Jadi? Kemana kita akan pergi?"

"Kau akan berkeliaran dengan penampilan menyedihkan itu?" tanya Dylan sinis.

"Kita akan menemui elf, Wissy."

"????!!!"

Bahkan Vetra yang sejak tadi diam pun tidak bisa tidak membulatkan matanya.

"Valias... Kau serius?"

Valias tidak peduli kalau semua orang tidak percaya padanya. Dia mengangguk. "Bisa kita pergi sekarang?" tanyanya pada Vetra.

"Kemana kau pikir kita harus pergi?" tanya Dylan. Menyimpan rasa penasaran di balik ekspresi datarnya. Valias memasang seringai. Menepuk jurnal di tangannya pelan.

"Perbatasan tempat Nona Vetra ditemukan."

Sekali lagi Wistar dan Vetra dibuat terkejut.

"Kau pikir elf akan ada di sana?" Dylan menaikkan sebelah alisnya.

Vetra yang menjadi inti perkataan barusan tidak bisa tidak bersuara. "....Tapi.. di sana tidak ada apa-apa? Kalaupun tuan ingin mencari, elf, bukankah lebih wajar untuk mencarinya di hutan yang tidak pernah didatangi orang? Mereka mungkin hidup dan sembunyi di sana.."

Berujar seperti itu saja sudah terasa aneh bagi Vetra. Merasa dirinya sedang memainkan naskah pentas untuk anak-anak.

Tapi setidaknya Vetra menyatakan hal yang masuk akal. Karena perbatasan yang pria berambut merah—yang belum pernah Vetra lihat itu sebelumnya—itu maksud adalah sebuah daerah yang diisi oleh pilar-pilar batu. Yang tidak memiliki tempat yang memungkinkan makhluk hidup untuk tinggal dalam waktu yang lama. Apalagi bersembunyi.

Valias mengangguk. Mengerti alasan Vetra mencoba memberi usul lain. Tapi

"Kita akan tetap ke sana. Bisakah kita pergi?"

Vetra mengerutkan dahinya gugup tapi tetap menuruti ucapan Valias. Cahaya mengelilingi keempat orang di depan istana dan detik selanjutnya mereka sudah berada di daerah yang merupakan daerah perbatasan kekuasaan Hayden. Jauh ke utara, mereka akan melihat kota menara. Dimana para mage berkumpul dan membentuk kota mereka sendiri. Tempat Vetra berasal.

Vetra melihat Valias berjalan meninggalkan dirinya juga pangeran Wistar serta seseorang yang dirinya tidak kenal.

Tuan muda berambut merah yang Vetra ketahui bernama Valias itu berjalan pelan sambil menyentuh pilar-pilar batu di dekatnya.

Tuan muda itu membuka buku yang sejak tadi dia bawa dan mengambil sebuah batu dari sana.

"..Valias? Itu..?"

Wistar tercengang melihat sebuah batu yang berada di dalam sebuah buku. Lembaran tebal buku itu seolah memiliki ruang dalam yang bisa menyimpan batu itu secara rangkap.

Ketiga orang itu melihat Valias menempelkan batu di tangannya pada pilar yang memiliki ruang dinding tanpa muatan. Valias menarik kembali tangannya. Dan setelahnya tanah di sekitar mereka bergetar. Dylan dan Wistar dengan cukup mudah mengendalikan keseimbangan tubuh mereka. Tapi Vetra dan Valias—yang secara tidak mengejutkannya tidak memiliki sedikitpun keatletikan di kakinya—hampir kehilangan keseimbangan.

"Nona." Wistar meraih tangan kanan Vetra sedangkan Dylan meraih bahu Valias yang terlihat paling ringkih dibandingkan ketiga dari mereka.

"Terimakasih." Senyum kecil Valias. Mendapati dirinya dibantu oleh seorang anak yang berumur enam tahun lebih muda darinya. Dylan hanya memandang Valias datar.

Pilar itu terlihat terbagi menjadi dua dan bergeser menjauhi satu sama lain. Menampilkan lubang di permukaan tanah yang tampak seperti sarang binatang gali.

"I- Ini.." Vetra tidak tahu harus berekspresi apa.

"....Valias.. kau-benar-benar mencari keberadaan elf itu..? Selama ini..? Inikah alasan kau hilang dari Wilayah Bardev sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali?"

Wistar menyuarakan segala asumsi yang dia buat sendiri. "Kau.. sudah mendatangi tempat ini sebelumnya? Sendirian? Tapi.. tidak mungkin.. inikah kenapa tubuhmu seperti ini? Kau berjalan begitu jauh.."

Wistar tahu jelas di mana mereka tengah berada dan seberapa jauhnya lokasi itu dari Wilayah Bardev. Akan cukup masuk akal jika Valias memiliki seorang mage bersamanya. Tapi jumlah mage di Hayden sangatlah sedikit. Wistar tidak pernah mendengar ada mage di Hayden yang tidak memilih untuk tinggal di istana.

Lalu, lokasi perbatasan itu adalah lokasi yang hampir tidak pernah dijamah siapapun. Sebuah kebetulan ksatria Hayden sedang melakukan inspeksi mereka dan menemukan Vetra yang sedang beristirahat setelah menggunakan sihir berpindah beberapa kali.

"....Sekarang apa yang akan kita lakukan?" Dylan yang masih memegang bahu Valias ikut bertanya.

Hal itu benar-benar baru baginya. Pilar batu yang terbelah dua? Hanya setelah seseorang menempelkan batu pada pilar itu? Itu terlalu tidak masuk akal bagi Dylan.

"..Kita akan masuk?" tanya Wistar.

"Tidak. Kita tunggu mereka muncul."

Valias menepuk pelan tangan Dylan di bahunya dan duduk bersandar di salah satu pilar dengan jurnal di atas pahanya.

"....Kita benar-benar hanya menunggu?"

Wistar bertanya tidak percaya. Valias mengangguk. "Kau mau masuk ke dalam sana? Ke tempat yang kita tidak tahu sama sekali? Lebih baik menunggu dan lihat apa yang akan terjadi."

Wistar, Dylan dan Vetra menyetujui apa yang dikatakan Valias. Dylan lah yang menghampiri Valias terlebih dahulu sebelum disusul oleh Wistar dan sang mage.

Vetra hanya berdiri diam di sebelah Wistar sebelum disuruh duduk oleh sang pangeran berambut perak dan mata emas itu. "Nona. Tidak perlu berdiri begitu. Duduk saja di sini. Kau sudah menggunakan cukup banyak tenagamu untuk membawa kita berempat kesini."

Wistar memberikan senyum jenaka. Vetra ragu sejenak sebelum akhirnya memutuskan untuk mengikuti perkataan sang pangeran Hayden. Merasa dirinya memang cukup lelah setelah menggunakan cukup banyak mana miliknya.

Keheningan canggung mengelilingi mereka berempat.

"Dylan. Ini pertama kalinya juga untukmu, kan? Kira-kira apa yang harus kita lakukan jika elf—yang dikatakan seperti kita tapi dengan telinga runcing—itu benar-benar muncul?"

Wistar mengajak bicara Dylan yang dibatasi oleh Valias seolah dirinya sengaja menjauhi adik dari putra mahkota Hayden itu. "Tutup mulutmu. Kau akan mengganggu elf itu."

Ucapan dingin Dylan mengunci rapat mulut Wistar. Yang dikatakan Dylan ada benarnya. Mereka tidak tahu apa-apa tentang elf itu. Bahkan selama ini mereka hanya menganggap elf itu sebagai makhluk khayalan yang dibuat seorang penulis sebelum mengundang ide-ide baru kepada penulis buku lain.

Tapi di sinilah mereka sekarang. Mengikuti Valias. Yang mengatakan kalau dirinya akan menemui elf.

Benar. Mungkin bukan mereka tidak tahu sama sekali. Setidaknya, Valias—yang menjadi akar dari perjalanan ini—mungkin cukup tahu tentang mereka.

Wistar, Dylan dan Vetra bahkan menduga Valias pernah ke sana dan melakukan hal yang sama lalu bertemu dengan elf itu hanya saja pura-pura tidak tahu.

Sruk...

Mereka berempat mendengar suara tanah yang longsor.

Mereka datang.

Itulah yang ada di pikiran mereka semua.

"Kalian. Apa yang kalian lakukan di sini?"

04/06/2022

Measly033