webnovel

Chapter 21 - Keluar (2)

"...Apa?" Sekali lagi Frey tidak yakin dengan apa yang dia dengar. Mereka berdua berdiri di sana. Dengan pria berambut perak mendengarkan hal-hal yang tidak bisa dipercaya dari pria berambut merah.

"Dia seumuran dengan Anda. Ayah Anda bertemu dengan seorang pelayan detik-detik beliau akan menikahi yang mulia ratu. Saudara Anda lahir dari pelayan itu."

"O- Oh.." Frey tidak bisa berkata-kata.

"...Apakah aku punya saudara lain selain dia?"

"Iya, tapi adik anda sudah meninggal."

Frey begitu bingung dan terkejut hingga dia tidak bisa mengeluarkan suara lagi.

"Saudara anda membenci ayahnya yang membuat hidupnya kacau dan caranya memimpin kerajaan Hayden." Valias membiarkan Frey beristirahat sejenak. Sebelum melontarkan kejutan lagi.

"Penyerangan malam itu,"

Frey tidak membiarkan Valias melanjutkan. "Dia yang melakukannya?"

Valias memasang senyum kecil. "Benar."

"...Kenapa kau bisa tau semua ini?"

Valias mengangkat bahu.

Apa yang harus dia katakan? Dia tau karena membaca cerita yang direkomendasikan temannya?

"Itu tidak penting. Dia akan menyusup ke istana malam ini, yang mulia."

"Apa?!" Seruan Frey begitu mengejutkan pelayan dan ksatria yang berada jauh di belakang mereka tapi tidak mengejutkan Valias yang berada di dekatnya.

Begitulah bagaimana ceritanya.

Seminggu setelah kematian Raja Chalis dan putra mahkota Frey Nardeen, seorang pria dan kawanannya melumpuhkan para ksatria dan menginvasi istana.

"Anda akan membiarkan istana kosong tanpa ksatria dan pelayan. Dan Anda akan menemui saudara Anda sendirian."

Sendirian?

Frey tidak mampu meluruskan pikirannya. Pria di hadapannya itu menjatuhkan batu besar kepadanya, dan dia kesulitan menggerakkan tubuhnya.

"Anda harus membuat orang itu mendengarkan Anda. Saudara anda tidak akan membunuh anda secepat itu."

Valias agak ragu, tapi orang yang merupakah tokoh utama di cerita itu tidak menyakiti keluarga kerajaan sama sekali.

"Buktikan padanya kalau anda berbeda dari yang mulia raja. Dan anda benar-benar berdedikasi untuk menciptakan kedamaian Hayden. Ajak dia bekerjasama."

Frey mendengarkan semuanya. Frey mendengarkan semua yang diucapkan oleh Valias Bardev. Pria itu. Dengan rambut merah dan ekspresi datar, mengucapkan semua itu dengan begitu acuh.

Ini terlalu tiba-tiba baginya. Ayahnya sudah meninggal. Dan dalam waktu seminggu ini dia sudah melakukan pekerjaan sebagai seorang raja. Dirinya juga sudah hampir mati di pesta ulang tahun ke 22 nya. Lalu, pria yang merupakan anak rahasia pertama keluarga Count itu, memberi tahunya untuk menghadapi resiko kematian lagi?

Orang yang Valias sebut sebagai saudara tirinya berniat mencelakainya. Dia menggunakan panah yang diberi racun dan menembakan panah itu ke arahnya.

Saudaranya itu ingin membunuhnya, dan Valias Bardev, menyuruhnya untuk berbicara dan meyakinkan orang itu?

Frey hendak membuka mulutnya.

"Aku akan membantumu."

Frey kembali mendengar orang itu bersuara.

Orang itu lebih pendek dan lebih muda empat tahun darinya. Tapi matanya memancarkan keyakinan. Orang itu akan memegang kata-katanya. Dan Frey bisa mempercayai semua yang pria berambut merah dan berkulit pucat itu katakan.

"Aku akan menemui orang itu bersamamu. Kita akan bicara dengannya bersama."

Valias, menatap pria yang lebih tinggi itu di mata, memberikan janjinya.

Dia lebih muda 2 tahun dariku. Tidak seharusnya dia menghadapi orang itu sendirian.

Valias membiarkan Frey menenangkan dirinya. Dia tahu apa yang dia katakan pasti memberikan dampak besar pada pria 22 tahun itu.

Frey terus mengamati Valias dengan mulut dan mata terbukanya.

"..Kau akan membantuku?"

Orang di depannya itu mengangguk. Kemudian senyum kecil kembali muncul.

"Semua orang butuh bantuan. Dan aku tidak punya alasan untuk tidak membantumu. Yang mulia bisa tenang. Kita pasti bisa melakukannya."

Bahkan Valias pun harus mempersiapkan dirinya untuk berhadapan dengan orang berdarah dingin dan sudah terlalu kehilangan alasan untuk hidup itu.

"Ah."

"..Ada apa lagi?"

"Ya? Oh. Bukan apa-apa."

Valias hanya teringat jika dia memang akan ikut menemui tokoh utama di cerita itu, berarti dia harus mengabari Hadden.

"Saya harus memberi tahu tuan Count kalau saya tidak akan kembali hari ini."

Frey kembali mengamati Valias yang tampak begitu tenang setelah menjatuhkan batu-batu besar padanya.

"Ha.. caramu bolak-balik menggunakan saya dan aku itu membuatku gila. Mage yang kuberikan pada kediaman Bardev masih ada di sana. Kau bisa meminta mage istana untuk mengirim pesan pada mage itu.

"Oh.. Oke."

Frey menunjukkan kerutan keningnya. Dia menghela nafas lagi.

"Kata-katamu sudah membuatku lelah. Ikut aku. Kita masuk saja."

Valias mengerjapkan matanya lalu mengikuti Frey.

Valias mengikuti sang putra mahkota memasuki sebuah pintu di salah satu sisi bangunan. Setiap orang yang berpapasan dengan mereka akan membungkukkan tubuh sebelum kembali melakukan aktifitas mereka. Valias mengamati Frey yang berdiri di sampingnya berjalan dengan begitu bermartabat tanpa sekalipun merendahkan kepalanya. Gerakan tubuhnya juga terlihat begitu teratur.

Valias pikir, mungkin seperti inilah cara belaku orang-orang yang memiliki kedudukan.

"Kakak. Ah! Ada Valias juga! Kenapa kakak tidak memberi tahuku? Kakak ingin bermain dengan Valias sendirian? Aku juga mau! Valias! Ayo kita temui kakakku. Dia pasti senang bertemu denganmu."

Wistar muncul dari balik tikungan lorong. Tangannya bergerak seolah hendak menarik tangan Valias.

"Wistar. Ada yang harus kita bicarakan."

Wistar merasakan aura familiar dari kakaknya dan langsung merubah ekspresinya.

"Baiklah. Apakah Valias akan ikut?" Frey mengangguk. Melihat itu Wistar bergabung dan berjalan di samping Valias.

"Sejak kapan kau kesini?" Wistar kembali memberikan senyum ceria.

"Belum lama." Jawab Valias.

"Hm.. Begitukah?"

Mereka terus berjalan sampai akhirnya memasuki ruangan luas dengan meja dan sofa. Frey menyuruh Valias duduk sebelum ikut duduk di sisi yang berbeda. Kali ini Wistar duduk bersama Valias.

"Jadi, ada apa?"

Frey memberi Valias sinyal tapi Valias mengangkat bahu. Frey mengerutkan keningnya tapi akhirnya menyerah.

"Malam ini. Pergilah dengan semua orang."

Wistar ikut mengerutkan kening. "Maksud kakak?"

"Identitas orang yang menyerangku sudah ketemu."

"Siapa?"

Frey menghela nafas lelah. "Orang itu akan datang kemari malam ini. Aku akan menemuinya. Kau, Azna dan ibu pergilah. Siapkan kereta. Pergilah ke wilayah barat. Tunggu kabar dariku."

"Saya merekomendasikan sihir berpindah tempat, yang mulia." Valias ikut bicara.

"Apa. Ada kemungkinan mereka mengawasi kita?" Frey mengerutkan kening terganggu.

Valias mengangkat bahunya lagi. Di cerita tidak dijelaskan bagaimana orang-orang itu memulai invasi mereka. Bagaimana mereka bersiap, penulis tidak menjelaskan apapun.

Tapi, hal yang tidak diceritakan tetap berjalan secara alamiah seperti keluarga Bardev. Dan pertemuan dengan Duke Vidor juga anaknya, Dylan.

Valias tidak tahu apakah mereka akan muncul begitu saja di depan istana atau bagaimana. Tapi Valias memilih untuk berhati-hati.

"Ha.. sebenarnya sejauh mana kau tau?"

"Apa. Valias, kau tau sesuatu? Apa dewa memberitahumu sesuatu lagi?"

Valias mulai merasa bersalah sudah membohongi Wistar dan keluarganya.

"Ha. Aku tidak tahu bagaimana kau bisa tau semua itu. Tapi untuk sekarang aku akan mempercayai ucapanmu. Mengerti, Wistar? Jaga kakak dan ibumu."

"Kakak akan menemuinya sendirian? Aku tidak perlu bersama kakak?" Wistar bertanya.

"Tidak perlu. Kau bersama Azna dan ibu saja. Dia." Frey menyeringai ke arah Valias. "Dia akan bersamaku."

"Valias?" Wistar mengerjap

"Dia yang memberi tahu informasi ini. Jadi dia akan menghadapi orang itu bersamaku. Bukan begitu? Valias Bardev." Tantang Frey.

Valias mengangguk khusyuk. Wistar menonton interaksi antara kakaknya dengan anak seumuran yang duduk di sampingnya.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan menyampaikan ini pada ibu dan kakak. Apakah aku perlu memberitahu kepala pelayan dan komandan untuk membubarkan semua orang?"

Frey tersenyum puas dengan ketajaman dan ketanggapan adiknya. "Ya. Lakukan itu. Kita akan meminimalisir jumlah orang di istana."

"Aku mengerti. Baiklah, Valias. Sepertnya aku belum bisa bermain denganmu hari ini. Sampai jumpa. Lain kali aku akan mengajak Dylan menemuimu." Valias hanya tersenyum kecil dan Wistar membalasnya dengan senyum lebar. Pelayan Frey membukakan pintu.

"Berapa jumlah orang yang akan datang?"

"Mungkin belasan."

"Sebanyak itu?"

Valias hanya mengangguk.

Frey menghela nafas malas. Ksatria yang sejak tadi mengekori mereka, akhirnya membuka suara.

"Apakah saya perlu mendampingi Anda, yang mulia?"

Frey mengangkat bahunya kearah Valias.

"Bagaimana menurutmu?"

"Akan lebih baik jika menunjukan kalau kita tidak bersenjata, yang mulia. Negosiasi akan menjadi lebih mudah."

"Kau mendengarnya."

Ksatria itu ingin menyatakan pendapatnya. Tapi kemudian memutuskan untuk diam. "Saya mengerti."

Tuannya itu menunjukkan ketertarikannya dengan tuan muda bernama Valias Bardev belakangan hari ini. Lalu, hari ini akhirnya tuannya itu memanggil Valias Bardev menemuinya. Ini pertama kalinya dia melihat pria yang menjadi topik basa basi tuannya dengannya.

Di hari penyerangan itu, Frey mendorongnya mengambil cuti, dan akhirnya dia tidak menyaksikan momen itu dengan mata kepalaya sendiri.

Lalu sekarang, tuannya ingin menemui dalang di balik penyerangan itu tanpa dirinya, dan hanya bertemankan dengan anak seumuran yang mulia pangeran Wistar yang terlihat begitu kurus dan ringkih.

Ksatria itu, Uvan, merasa cemas. Tapi jika tuannya yang sudah dia layani sejak dirinya berumur 15 tahun itu sudah memutuskan, Uvan tidak akan menggugat keputusan itu.

Dan begitulah, pelayan Frey membawakan mage ke ruangan tempat mereka untuk Valias mengirim pesan kepada Hadden, kemudian membawa Valias ke kamar tempat dia tidur selama seminggu tidak sadarkan diri. Frey memberi tahunya kalau dirinya akan mengurus segalanya. Dan Valias hanya perlu menunggu waktu malam di mana orang itu dan kawanannya datang.

Valias menghabiskan waktunya membaca buku tentang politik kerajaan yang dibawakan pelayan Frey dan memikirkan berbagai hal.

Malam akhirnya tiba. Valias merasakan kekosongan dan keheningan istana. Dia berpikir kalau Wistar dan yang lain sudah pergi ke tempat yang Frey sebutkan. Beberapa menit kemudian pelayan Frey datang mengantarnya kembali ke ruangan sang calon raja.

Frey tampak sudah mempersiapkan diri dan mengenakan setelan yang lebih sederhana. Tanpa lencana dan aksesoris emasnya.

Frey mendapati Valias yang sudah tiba di hadapannya dan memejamkan mata pelan. "Kalim, Uvan, kalian bisa pergi."

Sang pelayan dan ksatria terlonjak. Ada keraguan di wajah mereka. Tapi akhirnya mereka membungkuk pergi.

"Sekarang. Hanya kau dan aku. Apakah kau merasa terhormat? Raja Hayden sudah memberi kepercayaannya dan menjadikanmu temannya." Frey menyeringai.

"Tentu, yang mulia."

"Bohong." Dia kemudian mendengus. Orang di depannya ini hanya anak seumuran adiknya. Tapi tingkahnya begitu aneh.

"Kapan mereka akan ke sini?"

"Tidak lama." Respon Valias.

"Ck. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri kalau aku tidak akan bertanya dari mana kau tau semua itu."

Frey membawa pandangannya ke jendela yang menunjukan langit malam. "..Kau tidak takut?"

Jujur saja Valias cukup khawatir. Dan Valias yakin Frey merasakan hal yang sama. Atau mungkin lebih parah. Valias tidak boleh membiarkan Frey merasakan kekhawatiran itu.

"Tidak, yang mulia."

"..Kau hebat." Frey berucap pelan. Valias merasa cangggung tapi tidak menunjukkannya.

"..Kalau aku mati, apakah kau cocok untuk menjadi penggantiku?" Sang putra mahkota berujar dengan suara pelan.

Sejujurnya Frey memiliki keraguan ini dalam dirinya. Dia bertekad untuk menjadi raja yang berbeda dari ayahnya dan menjadi raja yang baik untuk kerajaan Hayden. Tapi, jika memang ada kandidat yang lebih cocok darinya, Frey rasa dia tidak akan begitu sedih kehilangan posisinya.

"Anda tidak akan mati, yang mulia. Saya tidak akan membiarkan itu." Ucap Valias yakin.

Di masa depan yang Valias mau, Frey Nardeen akan hidup menjadi raja Hayden. Valias sudah membiarkan dirinya terluka menyelamatkan pria itu. Valias tidak akan membiarkan luka itu menjadi sia-sia.

Frey mendengar itu memasang senyum sarkas. "Kau benar. Orang sepertimu yang bolak-balik menggunakan aku dan saya tidak cocok menjadi raja." Frey mendengus.

Tak lama kemudian dia merasakan sekawanan orang mendekat. "Mereka datang."

Valias tidak merasakan apa-apa tapi dia membawa langkahnya mendekati Frey.

Pintu terdobrak. Dan seorang pria tinggi berambut hitam masuk dengan sekumpulan orang di belakangnya. Pria itu memegang sebuah pedang dan berjalan mendekati mereka berdua.

"Kalian." Pria itu mengangkat pedangnya kearah mereka. "Aku akan membunuh kalian di sini."

04/06/2022

Measly033