webnovel

Be My Umbrella

Setiap orang di dunia ini pasti mempunyai hal yang disukai maupun hal yang tidak disukai. Ada kalanya hal itu sangat berbeda dengan sebagian orang lainnya. Sesuatu yang kita sukai itu akan membuat kita nyaman dan bahagia saat menjalaninya. Sedangkan hal yang tidak kita sukai hanya akan membuat kita merasa risih dan tertekan, terkadang itu juga bisa membuat kita merasa tidak nyaman. Begitu juga denganku. Ada satu hal yang tidak aku sukai di dunia ini. Aku tidak suka dengan apapun yang berkaitan dengan hujan. Aku yang berusaha dengan keras ini tiba-tiba saja merasa putus asa jika teringat dengan hal yang bernama 'hujan'. Bukankah seharusnya aneh jika ada yang membenci hujan seperti diriku ini? Disaat yang lain sangat mengharapkan turunnya hujan bagi kesuburan tanah mereka, ada juga yang berharap cuaca yang panas menjadi lebih sejuk setelah turunnya hujan. Ada yang menantikan sumur mereka terisi dengan air dari tetesan air hujan dan lain sebagainya. Aku hanya ingin hujan ini berhenti, sekali saja, cukup sekali ini saja. Aku seperti ingin menghentikan waktu. Jika saja hujan ini berhenti saat itu, mungkin aku tidak akan terlalu membencinya. Jika memang kejadian yang aku lalui ini tidak begitu berat, mungkin saat ini aku bisa tersenyum sambil berlari di bawah hujan lebat. Tapi, siapa sangka ternyata kejadian pilu malah terjadi dalam hidupku. Kejadian yang tidak pernah ku bayangkan sebelumnya. Kejadian yang akan meniggalkan luka untukku. Kala itu hujan tidak akan pernah berhenti membasahi diriku. Di saat aku berjalan, berlari dan terjatuh sekalipun yang aku lihat hanyalah air yang jatuh membasahi setiap benda yang ia lalui. Suram! Begitu suram hingga membuatku muak. Aku ingin berlari, aku ingin bebas dari genangan air yang seolah perlahan-lahan menyeretku ke dalam. Begitu dalamnya air hingga air itu seakan membuatku tenggelam. Tidak ada yang berusaha menolongku, aku begitu kesulitan untuk sekedar bernapas. Hingga kau datang kepadaku. Akankah orang sepertimu bisa membuatku bangkit dari genangan air kotor yang menenggelamkan tubuhku? Akankah kau mampu mengubahku secara perlahan? Jika memang kau adalah orang yang aku cari selama ini, maka datanglah. Tapi, apabila tujuanmu hanya untuk bermain, silahkan pergi. Aku bukanlah sebagai alat tempat bermainmu. Karena orang yang rapuh sepertiku bukanlah tempat yang cocok bagimu. Tinggallah jika memang kau adalah orang yang tepat. Jangan pergi jika kau merasa aku adalah rumahmu. Tetaplah tinggal hingga nanti istilah kau dan aku menjadi kata 'kita'. Hingga nantinya kita bisa menemukan kebahagiaan bersama saat hujan tiba. Menghapus luka yang begitu dalam tergores dalam hatiku.

Ryuumi · LGBT+
Peringkat tidak cukup
277 Chs

BMU 12

Keheningan seketika pecah saat suara Ayah Felix terdengar dengan kerasnya. Baru kali ini ia terlihat semarah ini pada anaknya. Bagaimana tidak? Ia sangat ingin melihat anak satu-satunya itu mendapatkan masa depan yang lebih cerah dari dirinya.

Ia ingin anaknya untuk terjun juga di bidang properti seperti dirinya. Setidaknya pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan, begitu pikirnya.

Sebelumnya mereka sudah pernah membahas tentang masalah ini, namun Felix masih belum menentukannya. Ia masih mempertimbangkan saran Ayahnya dulu, tapi saat ini ia merubah pertimbangannya itu tanpa memberitahu Ayahnya.

Inilah yang membuat Ayahnya tampak begitu marah padanya. Keputusan besar seperti ini seharusnya Felix bicarakan dulu dengan Ayahnya, bagaimanapun juga ia merupakan Ayahnya.

---

Ayah dan anak ini masih memperdebatkan permasalahan mengenai jurusan kuliah yang akan diambil oleh Felix. Mereka tampak saling membenarkan pilihan masing-masing.

"Felix!"

"Ayah sudah pernah bertanya padamu mengenai ini sebelumnya. Kau bilang akan mempertimbangkan saran Ayah, tapi apa bukti dari perkataanmu itu? Ayah tidak mengerti jalan pikiranmu! Apa bagusnya jurusan memasak? Kau laki-laki, carilah jurusan yang setidaknya bisa menopang keluargamu nanti sebagai laki-laki. Jurusan memasak biasanya untuk perempuan!!" Tegas Ayah Felix yang kemudian disangkal oleh anaknya.

Felix yang mendengar ucapan Ayahnya, lalu mengernyitkan dahi karena tidak mengerti maksud dari ucapan Ayahnya. Ia pun membalas perkataannya dengan lantang.

"Ayah, zaman sekarang sudah tidak ada lagi pekerjaan yang semata-mata dipandang melalui jenis kelamin. Setiap orang bisa memilih bagaiman dan di posisi apa yang mereka inginkan sesuai dengan kemampuan keinginan mereka. Jurusan Tata Boga tidak hanya untuk perempuan saja yang bisa memilihnya. Banyak laki-laki juga ikut terjun di sana. Jangan sama ratakan suatu jurusan hanya dari sudut pandang Ayah. Jaman sudah berubah, Yah." Pungkas Felix yang berani menjawab perkataan Ayahnya.

Ia bukannya tidak sopan karena berani menjawab perkataan Ayahnya. Ia hanya membela diri dengan pilihan hidupnya. Ia sangat tidak ingin dikekang jika berkaitan dengan hidupnya. Seharusnya ia bisa memilih untuk hidup seperti apa. Seharusnya orang lain bisa mengerti tentang itu.

"Sudah, Ayah tidak mau lagi mendengar alasan demi alasan keluar dari bibirmu itu. Apa yang Ayah katakan ini juga demi kebaikanmu, Felix. Lihat Ayah, lihat Ayah Leo, kami sukses karena kami masuk jurusan Manajemen Ekonomi dan lihatlah rumah ini. Rumah ini tidak akan bisa Ayah beli tanpa usaha dan kerja keras Ayah selama ini. Seharusnya kamu mengerti akan hal itu!" Ayahnya mulai membandingkan dirinya dengan Anaknya.

"Ayah, Felix mengerti. Felix sangat mengerti jika bukan tanpa Ayah, Felix tidak akan bisa memiliki ini semua. Tapi Ayah, ini hidup Felix jadi hanya Felix lah yang bisa menentukan apa yang terbaik untuk Felix. Jika bukan di jurusan ini, lebih baik Felix tidak kuliah saja!" Tegas Felix pada Ayahnya.

"Apa? Tidak kuliah kau bilang? Jangan bercanda, Felix. Kau--"

Ring~

Ring~

Suara panggilan telepon berbunyi dari saku celana Pria yang belum menyelesaikan kalimatnya itu. Ia tidak punya pilihan selain mengangkat teleponnya sembari memberikan isyarat pada anaknya untuk tetap diam di sana karena pembicaraan mereka masih belum selesai.

"Halo, selamat pagi? Maaf Tuan Bennedict, rapat akan dimajukan 20 menit dari jadwal yang seharusnya. Saya menginformasikan pada Anda lebih awal sehingga anda bisa mempersiapkan file-file rapat dengan tepat waktu pada dewan direksi nanti.

Semua dewan direksi mengharapkan kesuksesan dari proyek ini. Saya berharap banyak pada Anda, Tuan Bennedict."

Telepon itu terdengar begitu penting bagi anak yang belum tahu dunia kerja seperti Felix. Ia hanya mendengarkan pembicaraan telepon Ayahnya yang berada disampingnya itu.

"Baik, Pak Direktur. Saya akan berangkat lebih awal dan menyiapkan file-file nya di meja rapat sekitar 30 menit dari sekarang. Baik, saya mengerti. Terima kasih, Pak." Ayah Felix menjawabnya dengan sangat sopan dan berwibawa, jelas terlihat ia merupakan orang yang sangat penting di dalam perusahaan.

"Felix, Ayah harus berangkat sekarang. Kita lanjutkan pembicaraan ini nanti saat Ayah pulang dari pekerjaan Ayah. Jangan lupa kalau pilihan Ayah tetap sama! Kamu tidak boleh mengambil jurusan itu, pokoknya tidak boleh!"

Pria itu bergegas meninggalkan rumah setelah mengucapkan kalimatnya pada Felix. Felix pun hanya menganggukkan kepalanya.

Tidak beberapa lama kemudian, Ayahnya sudah benar-benar berangkat dari rumahnya. Meninggalkan Felix sendirian dengan penuh kebimbangan tentang masa depannya. Ia kembali duduk di Sofa, sesekali ia juga berbaring di sana sambil memikirkan perkataan Ayahnya.

Ia berpikir, tidak mungkin baginya untuk melawan Ayahnya. Tapi, tidak mungkin juga ia mengambil jurusan manajemen yang tidak ia sukai. Ia hanya akan tertekan dengan mata kuliah yang tidak ia minati.

Sudah banyak pengalaman dari orang lain di luar sana. Jika anak memilih kuliah sesuai dengan pilihan orang tuanya, yang tidak digemari oleh anak itu, ia hanya akan stress sendiri. Karena yang menjalani itu semua tentu adalah dirinya sendiri. Orang tuanya tentu tidak tahu akan hal itu.

Felix sangat mengerti dengan resiko yang akan ia jalani jika memilih jurusan yang tidak ia gemari.

---

Keheningan rumah itu pun kembali, saat tidak ada satupun suara yang terdengar. Felix pun tidak melakukan apa-apa, ia hanya berbaring sambil masih memikirkan masa depannya.

"Hah, lebih baik ku pergi saja mencari udara segar. Daripada disini, rumah tapi tidak seperti rumah. Hanya membuatku stress saja." Felix yang sedari tadi tidak melakukan apapun, mulai beranjak dari sofa lalu menuju kamarnya.

Ia hendak mengganti pakaiannya dan pergi keluar rumah untuk menenangkan pikirannya sementara waktu. Setidaknya sampai malam hari saat Ayahnya pulang dari pekerjaannya.

Ia berjalan keluar rumah, langkah demi langkah ia lalui tanpa tujuan yang pasti. Entah kemana langkah kaki akan membawanya yang ia tahu, ia hanya ingin menghilangkan beban pikirannya untuk sementara.

Beberapa saat kemudian, tibalah ia di taman yang berada tidak jauh dari rumahnya. Taman itu sangat unik karena terdapat berbagai tanaman kaktus mulai dari ukuran kecil hingga ukuran besar.

Ada beberapa yang sudah berbunga. Ia melihat sekeliling lagi, ada satu bunga kaktus yang menyita perhatiannya. Bunganya berwarna merah dengan kelopak bunga besar di ujungnya. Ia melihat itu seakan beban pikirannya hilang seketika.

Tidak tahu kenapa, bunga kaktus itu bisa menenangkan baginya.

Tidak banyak orang disini karena saat ini masih terbilang cukup pagi bagi orang-orang untuk pergi ke taman seperti dirinya.

Ia kemudian melanjutkan perjalanan tanpa arahnya menuju jalan setapak di samping taman itu. Terdapat toko buku yang sebelumnya ingin ia kunjungi. Ia lalu memasuki toko itu tanpa keraguan.

Terdapat banyak rak buku yang tersusun rapi dari kiri ke kanan yang menghiasi toko ini. Ia menuju rak buku masakan yang sebelumnya ingin ia datangi. Ia masih memilih buku yang ingin ia beli.

Sesekali ia membaca ringkasan beberapa buku sebelum membelinya agar ia tidak kecewa dengan isinya.

Di toko ini juga disediakan tempat membaca gratis bagi pembeli yang ingin menambah ilmunya. Di lantai dua toko ini terdapat buku-buku yang bisa dibaca oleh siapapun.

Felix pun tertarik untuk membaca buku lain selain buku resep masakan yang ia beli.

Ia duduk di kursinya dengan damai setelah memilih buku yang berkaitan dengan perkebunan. Setelah melihat bunga kaktus tadi, ia rupanya tertarik untuk membaca buku itu.

"Oh, Felix? Kau kah itu?" Suara berat seorang pria terdengar memanggil namanya. Felix pun menoleh ke arah suara itu.

Ia tidak menyangka akan bertemu dengan orang itu disini, di tempat yang tidak diduga-duga seperti saat ini.