webnovel

Bayi di Depan Rumahku

Blurb Kehidupan rumah tangga, tak lengkap jika sang malaikat kecil belum hadir. Lima tahun sudah kami mengarungi bahtera rumah tangga. Namun, tanda-tanda malaikat kecil belum hadir juga di rahimku. Segala cara sudah kami coba. Namun, tak ada satupun yang berhasil. Hingga suatu hari, seorang bayi perempuan ditinggalkan seseorang di depan rumah kami. Awalnya kami akan melaporkannya pada ketua RT. Namun, sebuah ide gila hadir di otakku. Dan suami menyetujuinya. Kami mengadopsi bayi itu dan memberikan nama keluarga suami padanya. Entah apa yang terjadi tanpa sepengetahuanku. Segala kejanggalan terjadi semenjak bayi itu datang. Mulai dari liontinku yang hilang ada pada bayi itu, sampai sikap suamiku yang tiba-tiba berubah. Bayi itu seakan menjadi pusat utama dunianya. Bukan karena aku cemburu, tetapi sikapnya sangat berlebihan. Semuanya menjadi aneh, terlebih banyak hal-hal yang disembunyikan dariku. Suamiku, Papa dan Mama mertua, dan yang lebih mengherankan pembantu di rumahku. Akankah semuanya akan terbongkar? Dan dapatkah aku bisa menghadapi semuanya?

E_Rinrien · perkotaan
Peringkat tidak cukup
348 Chs

10. Kapan hamil??

"Kapan hamilnya? Kok diam-diam aja? Nggak syukuran empat atau tujuh bulan?"

"Iya, apa jangan-jangan anak rahasia?"

"Oh, bisa jadi bu ibu mungkin itu anak adopsi."

Mereka berkata seenaknya saja tanpa memikirkan perasaanku. Walau hati sangat panas dan sakit, tapi tidak ada gunanya melawan. Karena jika melawan mereka, sama saja memperpanjang masalah yang ada.

"Maaf ya Ibu-ibu, saya sudah terlambat untuk bekerja. Jadi tolong minggir, halaman rumah saya adalah hak saya. Tolong, berikan saya ruang untuk keluar," ucapku lalu berbalik meninggalkan mereka dan masuk ke dalam mobil.

Sesak, hampir saja air mataku jatuh karena tidak tahan dengan ucapan mereka. Tapi aku tidak boleh lemah, apalagi di depan mereka yang julid. Kulihat dari spion, mereka masih menatap ke arah rumah dengan tatapan sinis. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak peduli sama sekali.

Biiip!

Sengaja ku tekan dengan kencang klakson mobil supaya mereka minggir. Ternyata, mereka masih ingin hidup sehingga berani menyingkir dan tidak menghalangi jalanku untuk keluar.

Sebetulnya aku ingin pindah dari sini, tapi mau bagaimana lagi. Mas Denis, baru bisa memberiku tempat tinggal di sini. Ya memang jarang ada tetangga di kiri kanan rumah setiap harinya. Tapi sekalinya berkumpul, selalu kudengar mereka membicarakan hal yang tidak penting.

***

Sesampainya di kantor, kedatanganku disambut dengan segudang berkas yang menumpuk di meja. Karena hati yang sedang sangat lelah, belum duduk di sana saja rasanya sudah berat. Sesaat, kutatap tumpukan berkas tersebut, memejamkan mata dan menghela napas panjang.

"Dinda, kamu harus profesional. Ayo!" Ku bisikkan semangat dari dalam diri.

Berharap melalui hari ini dengan mudah tanpa halangan berarti. Setelah cukup puas menenangkan diri, aku langsung mengambil satu persatu berkas dan memeriksanya. Yah beginilah kehidupan orang dewasa, mau tidak mau memang harus pasrah pada keadaan dan bersikap bijak.

"Capek ya?" Suara seorang gadis dari samping mejaku mengalihkan pandangan.

"Iya," jawabku singkat seraya menyunggingkan senyum lebar.

"Namaku Casey, Mbak. Nama Mbak Dinda, kan?" Gadis bernama Casey itu memperkenalkan dirinya.

Aku cukup terkejut kenapa dia tahu namaku. "Iya, aku Dinda."

"Jangan irit-irit jawabnya ngapa Mbak! Aku jadi bingung mau jawab apa!" seru Casey memonyongkan bibirnya.

"Sorry, aku lagi gak enak badan," jawabku beralasan, sebetulnya aku menahan tawa melihat mimik muka Casey yang menggerakkan.

"Oh begitu, ya udah deh kita fokus kerja dulu. Nanti makan siang bareng ya," kata Casey.

"Makan siang bareng, di kantin?" tanyaku.

"Yes! Di kantin kantor, aku yang traktir deh," jawabnya.

"Oke, thanks sebelumnya," ucapku.

"Oke sama-sama Mbak, kerja dulu yuk. Nanti kalau ketahuan gosip sama bos, kita bisa di skorsing," bisik Casey.

"Hah? Masa?" Mataku mendadak berpendar ke sekitar.

"Iya Mbak, denger-denger sih bos baru rada killer. Jadi kita harus patuh banget, enakan dulu waktu Bu Dishan yang mimpin. Aman damai sentosa," jawab Casey.

Bu Dhisan? Siapakah dia? Kenapa aku mendadak penasaran. Mengingat besarnya perusahaan ini, rasanya tidak mungkin pernah di pimpin oleh seorang wanita. Aku dan Casey melanjutkan pekerjaan, setelah mendengar derap irama sepatu yang khas kami kenal milik Pak Anton. Kami langsung diam tak bersuara, tidak lama kemudian pria itu memang melewati meja kerja kami.

Banyaknya pekerjaan hari ini membuatku lupa akan waktu. Kulihat sudah pukul setengah dua belas siang. Itu artinya sebentar lagi jam makan siang telah tiba. Rasa lelah yang mulai mendengar, segera kutepis dan semangat untuk bekerja kembali. Jangan sampai diriku merasakan yang namanya lembur.

Sebab, jika aku kerja lembur. Kiara sudah pasti tidur bersama Nita. Sejak tadi, aku menunggu pesan dari Nita. Tapi gadis itu tidak memberikan laporan apapun tentang Kiara. Aku bersyukur, mungkin saja Kiara aman bersama Nita dan tidak menangis seperti tadi.

"Astaghfirullahalazim, kenapa aku kepikiran lagi omongan Nita?" gumam ku seraya mengusap wajah dengan kasar. Tidak ku pungkiri sejak tadi, ada bisikan setan yang mengatakan hal buruk soal Mas Denis.

***

"Lain kali kita makan bareng lagi ya Mbak, thanks udah nemenin aku makan," ucap Casey sebelum kami berpisah di lobi kantor.

"Makasih ya udah traktir," balasku pada Casey.

"Oke Mbak, hati-hati di jalan. Aku duluan ya." Casey melambaikan tangannya dan berlalu meninggalkan loby.

Kulihat jam di tangan menunjukkan waktu pukul 17.30, perjalanan sore menuju malam lumayan macet. Mungkin saja sampai rumah bisa nanti saat adzan isya. Beruntung, semua pekerjaanku selesai tepat waktu, jadi tidak harus lembur seperti yang dibayangkan tadi.

Sesampainya di rumah, kulihat ada sepeda motor milik Sonia. Dahiku mengernyit kuat, karena anak itu tidak memberitahuku apapun tentang kedatangannya. Saat masuk ke dalam dan membuka pintu, terdengar suara televisi yang bergemuruh menggema hingga ruang depan. Disusul suara gelak tawa Sonia yang melengking.

Astaga! Apalagi ini Ya Tuhan.

"Assalamualaikum," ucapku saat masuk rumah dan menutup pintu. Tidak ada satu orang pun yang menjawab, mungkin karena suara televisi yang sangat keras.

Karena penasaran, aku langsung menghampiri Sonia. Anak bungsu dari keluarga suamiku itu sedang duduk santai, kakinya diangkat ke atas sofa. Ditangannya Sonia menggenggam cemilan, seperti biasa tontonannya adalah drama korea favoritnya.

"Assalamu'alaikum!" Aku menyapanya, tapi Sonia masih tidak menoleh.

"Sonia!" Kesal karena tidak direspon, aku menyentuh bahunya.

"Astaga!" Sonia terperanjat hingga makanan yang sedang dipegangnya tumpah. Gadis itu menatapku tajam, wajahnya terlihat sangat kesal.

"Mbak ngapain sih ngagetin aku!" serunya sambil mengibaskan baju yang terkena makanan.

"Sonia, Mbak tadi nyapa kamu dengan salam. Tapi kamu nggak dengar," jawabku.

"Ya tapi nggak harus ngagetin juga kali! Bikin orang jantung aja sih!" Gadis itu terus menggerutu.

Aku menghela napas dalam-dalam. Rasa lelah yang mendera semakin terasa. "Kamu kapan datang? Kok, nggak kasih kabar dulu sama Mbak?" tanyaku.

"Emang kenapa? Aku nggak boleh datang?" sengitnya.

"Bukan begitu sayang, tapi Mbak bisa persiapan untuk nyambut kamu."

"Nggak perlu, ada pembantu juga lagian."

Dinda, kamu harus sabar ya. Maklum, dia masih bocah batinku berbisik meminta untuk bersabar.

"Ya sudah, kamu mau nginap?" tanyaku.

"Iya, aku baru lulus kuliah Mbak. Mau cari kerjaan daerah sini," jawabnya.

"Kerja di sini? Apa sudah masukin lamaran?"

"Ya udah, Mbak, masa aku kerja nggak lamar dulu. Uang kost dari Mama sama Papa pake buat makan aja."

"Oh yaudah kalau mau kamu begitu. Mbak masuk kamar dulu, capek."

Sonia tidak merespon lagi, gadis itu kemudian duduk di sofa seperti semula. Belum selesai masalah dengan Mas Denis, sekarang datang lagi masalah baru. Kuharap Sonia segera mendapat pekerjaan.