Aku tergeletak di lantai, terlentang menatap langit-langit kelas sambil mengatur napasku. Bagus melakukan hal yang sama di sampingku. Kami nyaris kehabisan napas setelah pertarungan sengit yang cukup melelahkan.
Serius, apa dia benar anak SMA? Kenapa sulit sekali untuk menaklukan pria itu.
"Bams," panggil Bagus dengan napas yang masih tersengal-sengal.
"Hum?"
"Kenapa lo lakuin ini? Apa tujuan lo?" tanya Bagus sambil menoleh ke arahku.
Aku tersenyum tipis. Pertanyaan seperti itu, haruskah kujawab?
"Kenapa lo berusaha buat naklukin gue? Setahu gue, lo paling anti sama sesuatu yang seperti ini. Kenapa tiba-tiba lo pengen jadi jagoan?" Bagus menatapku sinis.
Aku tertawa dengan sisa napas yang kupunya. Jagoan? Kenapa aku harus menginginkan sesuatu yang konyol seperti itu?
Jagoan? Sedangkal itukah pemikiran Bagus? Jadi selama ini, dia melakukan semua pertarungan itu untuk menjadi jagoan? Gila!
"Gue mau bunuh orang!" Aku menoleh ke arah Bagus dan menatap tajam mata pria itu.
Akan tetapi, Bagus seolah tidak terpengaruh sama sekali mendengar jawabanku. Ah, itu sangat mengecewakan. Aku berharap dia sedikit terkejut atau terserahlah, apa pun itu selain menatapku dengan datar.
"Lo, bokap lo, Sayuti, apa hobi kalian memang membunuh orang?" ketus Bagus.
What? Tunggu!
"Apa maksud lo?" tanyaku bingung.
Bagus mendengkus kesal, ia lalu tersenyum sinis.
"Lupakan! Satu yang gue bingung dari jawaban lo, apa hubungannya naklukin gue sama bunuh orang?"
Pertanyaan yang bagus, dari Bagus!
"Bukan cuman lo, gue udah taklukin leader dari kelompok lainnya juga. Gue pikir, kalau gue bisa taklukin kalian, skill menonjok muka orang sampai bonyok, udah gue kuasai. Jadi, gue udah satu langkah mendekati keberhasilan untuk menghabisi orang itu!"
Bagus tersenyum sinis, ia lalu mengalihkan pandangannya ke arah langit-langit kelas.
"Dengan kemampuan bertarung seperti itu, siapa sekiranya yang jadi target lo? Anak sekolah mana?"
"Salah satu anggota dari kelompok mafia yang sangat di takuti di Asia!" gumamku pelan.
Bagus cukup terkejut mendengar jawabanku, ia langsung menoleh ke arahku dan menatapku tajam.
"Elang Harpy?"
"Tahu dari mana, lo?" pekikku kaget.
Bagus menggeleng pelan.
"Lo nggak perlu tahu, yang perlu lo inget adalah, lo bukan tandingan mereka, bego!"
Ya, aku tahu. Aku masih terlalu lemah untuk bertarung dengan pria kucing itu. Karena itulah, aku mempersiapkan diri semampuku hingga aku siap untuk menghabisinya.
"Kenapa lo nggak minta Sayuti aja buat nembak kepala itu orang?" imbuh Bagus.
"Gue udah bersumpah untuk menghabisi dia dengan tangan gue sendiri!"
"Ngalahin gue aja belum becus lo, sok-sokan mau habisi anggota Elang Harpy!" cibir Bagus.
"Gue emang belum menang, tapi gue juga belum kalah, brengsek!"
Bagus tersenyum sinis. Ia lalu menegakkan tubuhnya, dan berdiri.
"Gue menantikan pertarungan kita selanjutnya!" ucap Bagus sambil melangkah melewatiku.
Bagus pun meninggalkan kelas yang sudah luar biasa kacau karena pertarungan kami tadi.
Ya, aku juga menantikan pertarungan itu. Kupastikan di pertarungan nanti, akulah yang akan berdiri sebagai pemenang.
Aku memejamkan mata dan mencoba untuk bangkit. Seperti ada yang salah dengan kakiku, karena terasa sakit saat digerakkan. Namun, sesakit apa pun itu, aku mencoba menahannya dan memaksanya untuk berjalan menuju parkiran.
Motorku adalah satu-satunya kendaraan yang tersisa di parkiran, dengan kata lain, aku sendirian sekarang.
Sekolahku terlihat seperti sekolah yang ada di film-film horor yang ada di bioskop. Benar-benar berantakkan, lembab, dan gelap.
Kulajukan motorku secepat mungkin keluar dari area sekolah.
Saat sampai di apartment, aku dikejutkan dengan kehadiran Bang Sayuti di dalam. Entah dari mana dia mendapatkan kuncinya.
"Lo ngapain, Bang?" tanyaku malas.
Setelah bertanya, kuseret kakiku masuk ke dalam kamar, dan langsung merebahkan diriku di dalam sana. Bang Sayuti sendiri langsung mengikutiku masuk ke dalam kamar.
"Gue mau ajak lo ngecek pasokan ganja di gudang baru!"
"Kenapa emang sama gudang lama?"
"Udah kecium polisi! Mereka sekarang lumayan ngerepotin juga! Sebel gue!" gerutu Sayuti.
"Ya udah, lima menit lagi deh."
"Sekarang aja kenapa sih?!" potes Bang Sayuti.
"Biarin gue merem lima menit, Bang! Ini antara gue ngantuk apa gue capek. Yang jelas, keluar dulu sana! Lima menit, jangan ganggu gue!"
Bang Sayuti mengela napas berat melihat luka yang ada di wajah, dan sekujur tubuhku. Semoga dia tidak mengomel sekarang.
"Gimana? Udah bisa naklukin Bagus?" tanya Bang Sayuti iseng.
"Gila itu orang, susah banget dikalahin! Dia itu kayak udah terlatih gitu loh, Bang!"
"Masa?" Bang Sayuti menaikkan sebelah alisnya.
"Dan waktu gue bilang gue mau bunuh orang, dia itu sama sekali enggak kaget! Dia juga mengetahui sesuatu tentang bokap, lo, dan Elang Hitam! Oh, sampai lupa. Dia juga mengetahui Elang Harpy. Aneh gak tuh?"
Bang Sayuti langsung mendekat ke arahku dan menatapku penuh selidik.
"Di tahu soal bokap lo, gue, dan kelompok Elang?" Bang Sayuti memastikan.
"Ya!"
"Harusnya gak sembarangan orang tahu soal kelompok Elang. Akan gue selidiki siapa dia sebenernya."
"Terserah, yang penting, jangan apa-apain orangnya, gue harus taklukin dia tanpa campur tangan orang lain!"
Bang Sayuti mengangguk pelan.
"Bang, kalau ke gudangnya ntaran aja gimana? Tiba-tiba gue laper!"
"Sebenernya sih kita harus ke sana secepetnya, tapi kalau alasannya makan, ya udah, its okay! Gak masalah kita telat! Mau makan apa lo? Gue traktir!"
Aku tersenyum lebar mendengar kata traktiran. Di otakku langsung berputar-putar gambaran ayam geprek, bakso, mie ayam, nasi padang, dan makanan enak lainnya.
"Lama lo! Buruan, mau makan apa? Kita delivery aja!"
"Ayam geprek, sambel terong, sambel goreng ati, sama es jeruk, jangan lupa pilihin level maksimal!" seruku dengan penuh semangat.
"Oke!" sahut Bang Sayuti sambil beranjak pergi meninggalkan kamarku.
Sial! Tubuhku terasa remuk, ingin rasanya aku berendam di air hangat dan mengusir rasa lelah dan sakit ini. Tapi tugas menanti.
Aku harus menguasai semua secepat mungkin agar bisa masuk ke dalam dunia mafia, dan menemukan pria kuching itu.
"Mbang, sambel terongnya abis, mau sambel pete aja nggak?"
Bang Sayuti tiba-tiba muncul di pintu dan membuatku tersentak kaget.
"Gila lo, Bang! Jantung gue!"
"Kenapa jantung lo?" tanyanya bingung.
Aku menggeleng lemah.
"Sambel goreng atinya aja, banyakin jantungnya!" ucapku setengah kesal.
"Oh, lo suka jantung? Ngomong dong!" seru Bang Sayuti, lalu beranjak meninggalkanku.
Aku pun membersihkan diriku di kamar mandi, lalu memakai kaos oblong dan celana boxer selutut.
"Emangnya, sekuat apa si Bagus sampai lo belum bisa ngalahin dia?" tanya Bang Sayuti saat aku duduk di sofa tak jauh darinya.
"Dia cepet, tenaganya bukan main, dan gak pernah asal kalau mukul! Pukulannya selalu terarah gitu loh, Bang!"
"Gue mencurigai sesuatu!" Bang Sayuti menatapku lurus-lurus.
"Apa?"