Aku baru saja memejamkan mataku saat sebuah suara piring pecah terdengar begitu keras dari luar.
Aku melompat turun dari kasur dan keluar secepat mungkin dari kamar untuk melihat apa yang terjadi di luar sana.
Lampu menyala dengan begitu terangnya di luar, bahkan dapur yang sangat jarang kunyalakan lampunya pun nampak begitu terang.
Aku berjalan dengan enggan menuju dapur dan menyandarkan tubuhku di ambang pintu, saat melihat Bang Sayuti yang tengah sempoyongan memegangi penggorengan dan telur mentah. Ah, jangan lupakan gelas dan piring pecah yang berserakan di lantai.
"Bang," panggilku pelan.
Masih dengan sempoyongan, Bang Sayuti berbalik dan melihat ke arahku.
"Halo, Bambang! Lo mau telur goreng nggak?" sahutnya dengan suara keras.
Beruntung apartment di sini kedap suara, jadi aku tidak perlu memusingkan para tetangga yang mungkin saja akan terbangun dengan kaget mendengar suara Bang Sayuti yang begitu keras.
Aku berjalan pelan menghampiri Bang Sayuti dan memaksa pria itu untuk duduk sementara aku menggorengkan telur untuknya.
"Kapan ya, gue bisa hidup tenang?" racau Bang Sayuti sambil meletakkan kepalanya di meja makan.
"Besok, kalau lo keluar dari Elang Hitam!" sahutku asal.
Bang Sayuti tertawa sangat keras. Tidak ada yang lucu dengan ucapanku, bukan? Entah apa arti dari tawanya tersebut.
"Lo tahu?! Kalau lo mau keluar dari Elang Hitam, lo harus bisa keluar dari Black Room hidup-hidup!" seru Bang Sayuti sambil meringis.
"Apa itu, Black Room?"
"Ruang penyiksaan! Hanya para tetua yang tahu! Tapi, setahu gue sampai sekarang cuman ada satu orang yang berhasil keluar dari sana hidup-hidup! Tapi, dia cacat, Mbang! Cacat! Lo bayangin deh!"
Aku menghela napas panjang, lalu mematikan kompor. Kuletakkan telur ceplok yang kubuat di sebuah piring dan memberikannya pada Bang Sayuti.
"Besok kalo gue jadi ketua, yang mau keluar, gue kasih pesangon yang banyak! Biar pada tobat!" ucapku asal.
Bang Sayuti terkikik geli. Ia menggeleng lemah.
"Hancur sudah!" teriaknya lalu tertawa.
Sial! Tercium bau alkohol yang sangat menyengat saat Bang Sayuti tertawa. Dan itu menyebalkan.
"Makan! Gue mau tidur!"
"Jangan tidur dulu, gue ada informasi soal temen lo si bagas itu!"
"Bagus!" ralatku.
Bang Sayuti kembali tertawa renyah. Ia mencoba menegakkan badannya dan mendongak menatapku.
Aku menarik kursi dan duduk sedikit menjauh dari Bang Say. Serius, baunya benar-benar tidak enak.
"Jadi, Bagus itu ternyata adalah adik dari salah seorang anggota Elang Hitam kepercayaan bokap lo!"
"Terus?"
"Abangnya si Bagus ini meninggal waktu menjalankan misi dari bokap lo!"
Aku mengangguk pelan. Mungkin karena itulah Bagus membenci Elang Hitam. Abangnya meninggal karena misi dari ayah.
"Bukan cuman itu aja, ada rumor yang mengatakan, dia itu, di bunuh oleh salah satu rekan di timnya. Gue rasa, cuman bokap lo yang tahu kejadian yang sebenernya." Bang Sayuti menatapku dengan begitu tajam.
Ah, jadi karena itulah Bagus ingin masuk ke Elang Hitam. Dia ingin menyelidiki apa sebenarnya yang terjadi pada abangnya.
Oke, itu cukup masuk akal. Dan bukan hal yang buruk juga jika dia bergabung di Elang Hitam.
Aku tahu benar bagaimana sakitnya kehilangan seseorang yang kita kasihi dengan kematian yang tidak wajar. Bagus dan juga aku, berhak tahu siapa, dan kenapa kami harus kehilangan orang yang kami kasihi.
"Lo yakin mau masukin dia ke Elang Hitam?" tanya Bang Sayuti dengan raut wajah yang serius.
"Makan tuh telurnya, kalau dingin nanti gak enak! Gue mau tidur! Jangan ganggu!"
Setelah mengatakan itu, aku langsung beranjak pergi meninggalkan Bang Sayuti.
Aku kembali masuk ke dalam kamarku, melempar tubuhku ke kasur, dan memejamkan mata ini erat-erat. Hidup ini berat! Jadi, beristirahatlah sejenak, siapa tahu ada penjual cilok di alam mimpi.
***
"Gimana?" tanya Bagus yang baru saja duduk di bangku depanku.
Aku menutup buku komikku, dan mendongak menatap pria itu enggan.
"Tujuan lo gabung itu, mau nyelidikin kematian abang lo, 'kan? Terus, kalau lo udah tahu, lo mau apa?"
Bagus terdiam dengan rahang yang terkatup rapat. Tatapan matanya menusuk mataku dalam.
"Nyawa dibalas dengan nyawa!" ucap Bagus datar.
"Jangan kotorin tangan lo! Jadi pembunuh itu, bukan hal yang bijak buat dilakuin!"
Aku pasti sudah gila karena mengatakan ini. Tapi biarlah. Menjadi pembunuh itu, sangat mengerikan. Sangat disayangkan jika seseorang yang cukup berbakat seperti Bagus melakukan hal itu.
"Gue belum tahu apa yang sebenernya terjadi. Dan terlalu dini untuk mengibarkan bendera perang. Bisa jadi itu emang kelalaian abang gue, jadi gak ada alasan bagi gue untuk membunuh siapa pun!" Bagus berujar pelan.
Aku mengangguk pelan. Bang Sayuti juga bilang, ada terlalu banyak rumor yang beredar mengenai kematian abangnya Bagus, jadi memang belum bisa dipastikan bahwa ia dibunuh. Bukannya gagal dalam misi yang ayah beri.
"Tapi, gimana kalau dia bener dibunuh? Lo akan kibarkan bendera perang?" Aku sungguh penasaran dengan pria di hadapanku ini.
Bagus menghela napas berat, tatapan tajamnya tak pernah teralih dariku.
"Tergantung," ucap Bagus pelan.
"Dari?"
"Kenapa dia bunuh abang gue!"
"Kebanyakan mikir lo, Gus! Apa pun alasannya, bunuh orang itu salah!" cibirku.
"Lo sendiri, gimana? Kalau orang yang deket sama lo dibunuh, trus siapa yang bakalan lo bunuh? Si pembunuh, atau orang yang memerintahkan dia?"
Aku tersenyum tipis. Untuk sesuatu yang seperti ini, tidak membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk berpikir, karena...
"Gue bunuh keduanya!"
Bagus tidak bereaksi apa pun dengan jawabanku. Sungguh, aku akan membayar berapa pun untuk mengetahui apa yang Bagus pikirkan.
"Kapan gue bisa gabung sama Elang Hitam?"
Sial! Bukannya merespon jawabanku, Bagus malah mengalihkan pembicaraan.
"Lo bisa mulai hari ini. Kita pergi setelah pulang sekolah!"
"Persetan sama sekolah! Kita pergi sekarang!" seru Bagus sambil beranjak meninggalkan bangkuku.
Wah, aku suka semangatnya.
Aku pun menarik tas punggungku dan mengikuti langkah Bagus.
Dapat kulihat semua anak langsung menepi saat ia lewat. Setakut itukah mereka pada Bagus?
Aku meraih ponselku dan mengirim sebuah pesan pada Bang Sayuti untuk menyiapkan tes penerimaan anggota baru.
Aku cukup penasaran, sejauh mana kemampuan bertarung Bagus. Yah, anggap saja ini latihan yang kuberikan padanya sebelum ia bertemu dengan seseorang yang harus ia bayar, kelak.
Aku tersenyum tipis melihat kepalan tangan di kedua sisi tubuh Bagus saat ia berjalan. Setidaknya ia sudah selangkah lebih dekat dengan tujuannya.
Bagaimana denganku? Aku masih harus melewati Elang Hitam, untuk bisa mendekati Elang Harpy. Perjalananku masih panjang rupanya.
Dan apa yang kulakukan sekarang? Aku masih belum mampu untuk mendekati Elang Harpy.
Ya, aku memang selemah itu.