webnovel

RAHASIA YANG TERBUKA

"Mihran bermesraan di rumah sakit?" batin Amaliya.

Amaliya yang marah mendengar dari Papanya jika Mihran sedang bersama Eliza pun langsung bangkit dan hendak melihatnya sendiri di rumah sakit.

"Amaliya, Amaliya ...." panggil Ibu Arumi dan Oma Siska. Keduanya khawatir jika Amaliya semakin terpuruk.

"Amaliya, dengarkan Mama. Tolong, jangan pergi. Itu hanya akan menambah kamu sakit hati, Amaliya ...." ucap Ibu Arumi memohon agar anaknya mau mendengar.

"Biarkan aku pergi, Ma. Aku harus menyelesaikan masalah rumah tanggaku dengan Mihran!" tegas Amaliya.

Amaliya pun bergegas masuk ke dalam mobilnya. Ia membawa dengan cepat kendaraannya itu menuju rumah sakit langganan Papanya.

"Amaliya, Oma tahu bagaimana perasaan kamu. Sakit sekali hati ini melihat hubungan Amaliya dan Mihran ...."

------

Mobil yang dikendarai Amaliya akhirnya terparkir di pelataran rumah sakit. Ia bergegas mencari keberadaan Mihran dan Eliza.

Eliza pun terbangun. Dari atas ranjangnya ia melihat Mihran tertidur di sofa.

"Kasihan Mihran. Tidak seharusnya dia sampai begini," batin Eliza.

"Mihran, Mihran, bangun," kata Eliza menggoyangkan tubuh Mihran agar terbangun.

Mihran pun terbangun dan kaget. Ia mengira jika Eliza kembali merasakan sakit atau membutuhkan sesuatu. Namun, Eliza meminta Mihran pulang.

"Aku enggak apa-apa, Mihran. Sebaiknya kamu pulang. Kamu tidak perlu menunggui aku," ujar Eliza.

"Enggaklah. Aku tidak mungkin meninggalkan kamu sendirian di sini. Kalau kamu kenapa-kenapa gimana?" jawab Mihran.

"Perasaanku enggak enak. Kalau mertua kamu nanti bilang ke Amaliya dan dia ke sini, aku nggak mau kamu tambah masalah lagi dengan keluarganya Amaliya," ujar Eliza yang cemas.

Amaliya berjalan. Mengelilingi rumah sakit. Berjalan dari lorong satu ke lorong lainnya mencari keberadaan Eliza.

"Untuk apa Mihran minta maaf ke aku kalau dia masih bermesraan dengan Eliza. Jika benar dia sedang bersama Eliza, aku mau Mihran memilih. Aku atau Eliza," gumamnya dalam hati. Amaliya pun terus berjalan. Melihat dari satu ruangan ke ruangan lainnya.

Hingga akhirnya ....

"Permisi, Sus. Kamar pasien atas nama Eliza di mana ya?" tanya Amaliya di bagian informasi.

Di dalam kamar perawatan, Mihran tetap meyakinkan Eliza jika ia akan tetap berada di sini menemaninya.

"Aku akan tetap di sini dan memastikan anakku baik-baik saja," tegas Mihran.

"Mihran, please, aku mohon. Sebelum terjadi kekacauan sebaiknya kamu pulang," pinta Eliza. Perasaannya mulai cemas dan takut terjadi sesuatu.

"Terserah kamu mau bilang apa, Eliza. Kamu nggak mau dijaga juga nggak apa-apa. Tadi kandungan kamu bermasalah loh," sahut Mihran.

"Kenapa sih kamu keras kepala banget?!" pekik Eliza kesal.

Di balik pintu yang terbuka sedikit, Amaliya berdiri dan mendengarkan semua percakapan kedua sahabat baiknya itu.

"Untuk apa kamu menginginkan anak ini? Lebih baik kamu pulang dan urus anak kamu. Biar aku yang urus anak ini," bentak Eliza.

"Aku ini sayang banget sama Alia. Tapi, Alia itu bukan anak kandung aku," ujar Mihran membuat Eliza kaget. Begitupun dengan Amaliya yang berada di balik pintu.

Amaliya seketika langsung mendobrak pintu dan meminta penjelasan dari Mihran. Mihran dan Eliza pun kaget melihat kedatangan Amaliya.

"Apa maksud kamu yang bilang kalau Alia itu bukan anak kandung kamu?" tanya Amaliya menahan tangisnya.

"Jawab!" bentak Amaliya mendorong dan memukuli tubuh Mihran.

"Gimana Alia bukan anak kandung kamu. Kenapa kamu diam aja? Kenapa kamu diam," pekik Amaliya yang mendorong Mihran hingga terdorong ke sofa.

"Gimana kamu bilang Alia bukan anak kandung kamu. Dia anak kita. Aku yang mengandung dia," jerit Amaliya histeris.

"Aku minta maaf, Amaliya. Tapi, kenyataannya begitu. Karena anak kandung kita meninggal saat dilahirkan," terang Mihran. Amaliya pun tertunduk lemas. Tangisnya pun pecah.

Eliza hanya diam. Ia tidak ingin terlibat pertikaian kedua sahabatnya itu. Amaliya yang kesal pun kembali mendorong Mihran agar menjauh darinya.

"Amaliya, aku minta maaf. Tapi, ini kenyataannya. Aku minta maaf sudah terlalu lama menyembunyikan ini dari kamu, Amaliya. Aku melakukan semua ini demi kamu, Amaliya. Aku takut. Aku takut kamu nggak siap kehilangan anak," seru Mihran terisak.

Tiba-tiba tubuh Amaliya nyaris pingsan, dengan sigap Mihran membantunya berdiri dan Amaliya yang sudah diliputi amarah pun mendorong Mihran.

"Jahat kamu, Mihran. Tega kamu sama aku, tega kamu, Mihran ...." pekik Amaliya. Amaliya pun langsung pergi meninggalkan ruang perawatan Eliza itu menangis.

"Amaliya, Amaliya ...."

Amaliya terus berlari. Ia tidak lagi memperdulikan panggilan Mihran. Langkahnya terhenti di parkiran rumah sakit. Deras hujan malam itu tidak lagi ia pedulikan. Tangisnya pun pecah mengingat pengakuan Mihran yang menyesakkan dadanya.

"Anakku meninggal dan aku tidak tahu apa-apa ...." lirih Amaliya.

Tubuhnya yang sudah basah dengan air hujan pun tidak lagi ia pedulikan. Ia kini terduduk lemas di tanah yang tersiram air hujan yang begitu lebat.

"Ternyata setelah semua yang kulakukan sama Alia, dia bukan anak kandung aku ...." lirih Amaliya.

Angin dan petir semakin kencang terdengar. Tiba-tiba Mihran datang memeluknya dari belakang, tapi Amaliya menepisnya.

"Maafkan aku, Amaliya. Karena sudah terlalu lama menyimpan ini dari kamu," sergah Mihran.

Amaliya pun berdiri, begitupun dengan Mihran.

"Bagaimana bisa, kamu menyembunyikan rahasia sebesar ini dari aku selama ini. Setelah kamu menyakiti aku dengan perselingkuhan kamu hingga membuat Eliza hamil. Sekarang Alia. Aku sampai tidak tahu lagi siapa kamu sebenarnya," pekik Amaliya.

"Apalagi yang kamu tutupi dari aku?" tekan Amaliya. Mihran hanya tertunduk.

"Jawab!" bentak Amaliya.

"Aku melakukan semua ini demi kamu, Amaliya. Karena aku tahu, kamu tidak akan sanggup kehilangan anak yang sangat kamu impikan," dalih Mihran.

"Aku lebih nggak kuat dan muak dengan semua kebohongan kamu," pekik Amaliya.

"Amaliya, A-aku ...."

"Aku tidak butuh kata apapun yang keluar dari mulut kamu. Karena semua yang keluar dari mulut kamu hanyalah kebohongan dan kebohongan," tegas Amaliya.

"Mulai detik ini, jangan pernah kamu temui Alia lagi. Tapi, dia akan selamanya jadi anak aku!" ucap Amaliya lantang. Ia pun pergi meninggalkan Mihran dengan penyesalannya.

------

Saat Alia dan Oma Siska sedang bermain di rumah tamu, tiba-tiba Amaliya pulang dengan tubuh yang basah dan mata yang sembab.

"Bunda, Bunda kenapa?" tanya Alia.

"Amaliya, kamu kenapa. Kok kamu basah-basahan begini?" tanya Oma Siska cemas.

Amaliya berlutut dihadapan Alia. Gadis kecil yang selamanya akan menjadi anaknya.

"Alia mau nggak janji sesuatu sama Bunda?" tanya Amaliya.

"Janji apa, Bunda?" sahut Alia.

"Alia jangan pernah tinggalkan Bunda selamanya ya," ucap Amaliya.

Oma Siska pun terenyuh. Dalam hatinya ia bertanya, apa yang sebenarnya terjadi pada cucu kesayangannya itu.

"Alia nggak akan tinggalkan Bunda selamanya. Karena Alia juga nggak bisa tanpa ada Bunda," jawab Alia.

"Alia sayang banget sama Bunda. Bunda itu orang pertama yang Alia sayang dan nomor keduanya itu Ayah. Nomor ketiganya Oma," ucap Alia. Amaliya pun terenyuh dan memeluk erat gadis kecil yang selamanya akan menjadi anaknya.

Setelah cukup tenang, Oma Siska pun membantu Amaliya mengeringkan rambutnya yang basah dan mulai mencari tahu penyebab sang cucu menangis lagi.

"Amaliya, cerita sama Oma apa yang terjadi. Katakan, Nak. Oma akan jaga rahasia kamu," bujuk Oma Siska.

Amaliya tidak berbicara. Hanya diam dan menangis. Membuat Oma Siska semakin cemas.

"Kamu kan tahu, Oma selalu mendukung kamu. Jadi kalau ada apa-apa kamu cerita ya,Sayang," ungkap Oma mengusap kepala cucu kesayangannya itu.

Berat buat Amaliya menceritakan semuanya. Mulutnya seolah terkunci. Tapi, akhirnya Amaliya memberanikan bercerita tentang luka hatinya.

"Ternyata apa yang aku alami lebih berat daripada apa yang Oma alami dengan Opa," seru Amaliya.

"Mak-sud kamu?" tanya Oma Siska.

Oma Siska pun kembali meradang. Pikirannya kacau dan berpikir telah terjadi sesuatu yang buruk.

"Apalagi yang dilakukan perempuan itu? Setelah merebut suami kamu, dia berbuat apalagi sama kamu? Oma nggak bisa tinggal diam. Oma harus berbuat sesuatu," tekan Oma Siska.

Saat Oma Siska hendak pergi, Amaliya pun menarik tangannya agar tidak berbuat apapun.

"Bukan dia, Oma. Tapi Mihran," ungkap Amaliya menangis. Oma Siska pun terperanjat.

"Mihran?"

"Dia sudah bohong sama aku, Oma," ujar Amaliya.

"Bohong apalagi dia? Dia selalu menyakiti kamu," pekik Oma Siska kesal.

Amaliya pun beranjak dari tepi ranjang. Berjalan mendekati jendela kamarnya.

"Pantas saja Mihran bersikeras untuk bertanggungjawab atas kehamilan Eliza. Ternyata karena aku tidak bisa memberikan keturunan padanya. Sedangkan Eliza, dia sedang mengandung anak kandung Mihran," batin Amaliya.

"Kalau kamu belum siap cerita, Oma akan cari tahu sendiri," batin Oma Siska.

"Mihran, apalagi yang kamu lakukan pada cucu kesayanganku," geram Oma Siska. Oma Siska akhirnya memilih meninggalkan kamar Amaliya dan memberinya waktu menenangkan dirinya.

---------

Tidak semua hal bisa diungkapkan pada manusia. Amaliya pun memilih mengambil wudhu dan mencurahkan semua kegelisahan hatinya pada Rabb Yang Maha Tinggi. Hanya Dia penolong setiap kesusahan umatnya.

Amaliya pun menunaikan salat. Bersujud memohon ampunan. Menangis di setiap sudutnya. Ia pun menengadahkan kedua tangannya dan merintih pada Sang Pencipta.

"Ya Allah, setelah hamba tahu kenyataan kalau Alia bukanlah darah dagingku, hamba tetap mencintainya ya Allah."

"Hamba tetap menganggapnya sebagai anak hamba dan mencintainya dengan sepenuh hati. Yang hamba sesali hanyalah hamba tidak mengetahui jika anak kandung hamba sudah meninggal."

"Ya Allah, terimalah anak hamba ditempat yang terindah. Sampaikanlah ya Allah rindu hamba pada-Nya."

"Betapa hamba ingin memandang wajahnya. Hamba ingin memeluknya. Ya Allah, ijinkanlah hamba bertemu dengannya walau dalam mimpi. Ijinkanlah aku ya Allah. Aamiin ...."

-------

Kantor Mihran

Meeting pun berjalan. Kali ini, Mihran mencoba profesional dan menjalankan fungsinya dengan baik.

"Sesuai hasil evaluasi, tahun ini bagian marketing harus lebih giat lagi. Pokoknya jualan terus, lebih ...."

Saat Mihran sedang meeting, tiba-tiba sekretarisnya pun membuka pintu dan mengantar Oma Siska masuk ke dalam ruangan.

"Mihran!" panggil Oma Siska.

"Oke, kita break dulu ya. Nanti kita lanjut," pinta Mihran pada stafnya hingga akhirnya mereka meninggalkan ruang meeting.

"Duduk, Oma."

"Kamu bikin apalagi sama Amaliya. Dia pulang hujan-hujanan sambil nangis. Jawab!" gertak Oma Siska.

Mihran terdiam sesaat

"Kalau Oma tanya begini, artinya Oma belum tahu soal Alia dari Amaliya. Sebaiknya aku tidak perlu kasih tahu dulu," pikir Mihran.

"Kenapa kamu nggak mau jawab? Jangan buat Oma bingung!" tegas Oma Siska.

"Selama ini Oma sudah memberi kesempatan kamu dengan baik. Tapi, kamu tetap menyakiti Amaliya," tekan Oma Siska.

"Dengan memanfaatkan dia. Ayo, jawab!" bentak Oma Siska yang kesal karena Mihran tetap saja membisu.

"Aku minta maaf, Oma ...." jawab Mihran tertunduk.

Oma Siska yang meradang pun langsung bangkit dari tempat duduknya. Ia memilih pergi sambil menggerutu.

"Percuma kamu minta maaf kalau kamu lakukan lagi. Selalu saja begitu," gerutu Oma Siska.

"Oma, tunggu!" cegah Mihran.

"Oma, aku nggak bermaksud seperti itu," ucap Mihran.

"Kalau kamu mencintai Amaliya, bukan ini yang kamu lakukan, Mihran ...." tegas Oma Siska.

"Kalau kamu melakukan ini, sama saja kamu membunuh Amaliya secara perlahan-lahan dan Oma tidak akan diam saja kamu membunuh cucu kesayangan Oma. Ingat itu baik-baik, Mihran!" ancam Oma Siska.

-----

Amaliya kembali ke butiknya. Ia berusaha menyibukkan dirinya dan melupakan sejenak semua permasalahan rumah tangganya. Amaliya pun mencoba kembali untuk membuat desain rancangan baju-bajunya di butiknya.

Namun, bayangan Mihran dan permasalahannya tidak juga bisa dienyahkan dari pikirannya. Tanpa sepengetahuan Amaliya, Eliza pun berjalan perlahan memasuki ruangannya.

Ketika menyadari kedatangan Eliza, dengan wajah ketus Amaliya pun menghampiri sahabat yang telah mengkhianatinya itu. Dengan tatapan tajam penuh amarah dan kebencian.

"Aku tahu, aku sudah menyakiti kamu teramat sakit, Amaliya ...." ujar Eliza memulai pembicaraan.

"Untuk apalagi kamu datang ke sini?" ketus Amaliya.

"Sebaiknya kamu segera pergi dari sini karena aku sudah nggak mau ketemu kamu lagi dan aku nggak mau lagi berurusan dengan kalian lagi," pekik Amaliya sambil berjalan kembali ke meja kerjanya.

Amaliya pun mencoba kembali mendesain rancangan terbarunya dan mengacuhkan Eliza yang berjalan mendekatinya.

"Aku tahu, sejuta kali pun aku minta maaf sama kamu, itupun akan percuma. Karena hati kamu sudah sangat tersakiti. Beribu kata maaf pun tidak akan pernah cukup. Aku datang ke sini mau berjanji sama kamu. Aku tidak akan pernah merebut Mihran lagi. Karena apa yang terjadi di antara aku dan Mihran hanyalah sebuah kesalahan yang tidak akan pernah ku ulangi lagi," seru Eliza.

Amaliya tetap sibuk dengan desainnya. Berusaha tidak mendengar, walau hatinya sakit.

Eliza yang merasa diacuhkan pun akhirnya memilih pergi. Langkahnya pun ia percepat, karena tangisnya pun nyaris tak bisa ia sembunyikan lagi.

-----

Amaliya pun mendatangi kamar Alia ketika sudah membasuh tubuhnya sepulangnya dari butik. Ia melihat putri kesayangannya itu sudah terlelap.

"Andai anakku masih hidup, dia pasti sudah sebesar Alia. Seperti apa wajah anakku saat sebesar Alia," batin Amaliya.

Dering ponsel Alia membuat Amaliya terkejut. Di layar ponsel tertera nama Mihran yang memanggil. Karena tidak ingin menganggu Alia yang sedang terlelap tidur, Amaliya pun mengangkat panggilan Mihran itu dari luar kamar sang putri.

[Hallo, Sayang. Maaf ya, Ayah baru bisa telepon kamu sekarang. Ayah lagi sibuk banget di kantor ngurus kerjaan. Kesayangan Ayah lagi apa?]

Bukan Alia, tapi caci maki Amaliya yang menyambut kata manis Mihran untuk sang putri.

[Aku sudah bilang sama kamu, Mihran. Jangan pernah ganggu Alia lagi. Karena dia milikku.Bukan milik kamu!]

[Tapi, Amaliya ....]

Amaliya tidak perduli. Ia langsung mematikan panggilan Mihran di ponsel Alia dan memblokir nomor Mihran. Hatinya sudah begitu sakit dan tidak ingin Alia juga disakiti.

"Amaliya ...."

Mihran yang berusaha menghubungi nomor Alia agar bisa bicara kembali dengan istrinya itupun menyadari jika nomornya telah diblok.

"Nomorku diblok ya sama Amaliya?" gerutu Mihran. Ia pun pasrah. Menyadari jika ia terlalu menyakiti istrinya itu.

"Tidak sampai 9 bulan lagi, kamu akan memiliki anak kamu sendiri. Anak yang selama ini kamu inginkan. Jadi jangan pernah kamu ganggu Alia lagi. Karena dia milik aku ...." lirih Amaliya.

Di kantornya, Mihran mengambil bingkai foto dirinya bersama Amaliya dan Alia yang masih terpajang di meja kantornya.

"Aku akan memperjuangkan cinta kalian berdua sampai titik darah penghabisan ...."

bersambung .....