webnovel

KECURIGAAN MALIK

"Apa jadinya jika sahabat yang kita anggap saudara dan suami yang dianggap setia justru berkhianat. Sanggupkah memberi kata maaf?"

Amaliya yang sadar akan amplop milik Eliza itu jatuh langsung bergegas memanggilnya dan mengambil amplop itu.

"Eliza ...."

"Ini apa?"

"Hasil lab Papa aku."

Eliza pun langsung merampas amplop itu dari tangan Amaliya. Ia pun berjalan cepat menuju kamar sang Papa.

Rumah Amaliya

Amaliya dan Eliza sampai di rumah. Mereka memutuskan pulang bersama dari rumah sakit.

"Kita berdoa sama-sama ya buat kesembuhan Papa kamu," tutur Amaliya merangkul sahabatnya itu.

Eliza pun tersenyum

"Liya, besok aku pulang ya," ujar Eliza.

Eliza tidak mungkin terus tinggal bersama Mihran. Terlebih kini ia sedang mengandung anak Mihran. Berat rasanya harus tinggal bersama dengan suami sahabatnya sendiri yang sangat ia cintai.

"Tapi kenapa,El?Nanti di sana kamu kesepian lagi.Setidaknya kalau kamu di sini ada aku, ada Mihran Ada Alia yang bisa menemani kamu," ujar Amaliya.

"Justru karena Mihran, aku harus pergi dari sini."

"Aku harus mengurus rumah Papa. Aku rasa ini adalah waktu yang tepat." Eliza terus berusaha agar Amaliya mengerti keadaannya. Walau itu sebuah kebohongan.

Amaliya pun hanya diam dan pasrah dengan keputusan Eliza yang mendadak seperti ini.

"Maafin Mama ya,Nak, kamu lahir nanti kamu hanya punya Mama. Kamu nggak akan punya Papa. Karena kita nggak punya hak apa-apa atas Papa kamu. Papa kamu itu milik wanita lain," ucap Eliza sambil mengelus perutnya yang mulai terlihat membesar.

****

Di dalam kamarnya Amaliya memikirkan bagaimana kondisi Eliza yang harus banyak menanggung beban. Gagal menikah. Diteror calon suami yang kasar dan sekarang harus merawat Papanya yang sedang koma sendirian.

"Kasihan Eliza,dia harus menghadapi Papanya yang sakit sendirian," gumam Amaliya.

Terdengar dari luar, Eliza kembali mual.

Eliza yang mual pun bergegas menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamarnya.

"Eliza sakit?"

Amaliya pun menghampiri Eliza di dalam kamar mandi. Ia pun masuk ke dalam kamar Eliza dan tanpa sengaja, Amaliya melihat amplop yang tadi terjatuh di rumah sakit yang katanya punya Papanya.

"Ini hasil lab atas nama Eliza?"

Amaliya pun membuka amplop itu karena penasaran.

"Kenapa Eliza bohong. Apa yang disembunyikan?"

Amaliya pun akhirnya membaca hasil lab itu. Amaliya pun terperanjat membaca hasilnya. Amaliya pun bergega ke luar kamar sebelum Eliza melihatnya membuka amplop hasil lab miliknya.

****

Eliza pun akhirnya pergi meninggalkan rumah Amaliya dan Mihran. Dengan langkah gontai, ia menyeret koper berisi beberapa pakaiannya hingg ke pintu gerbang sambil menunggu taksi online yang sudah dipesannya.

Dari belakang, Amaliya pun memperhatikan kepergian sahabatnya itu. Jalannya terlihat berat. Mungkin karena banyaknya beban yang harus dipikulnya.

"Apa kepergian kamu ada hubungannya dengan kehamilan kamu,Eliza? Tapi aku nggak mungkin tanya. Kamu sepertinya belum siap karena jelas-jelas di rumah sakit tadi kamu berbohong. Eliza, aku pasti akan membantu kamu melewati masa-masa sulit ini. Walau kamu nggak minta. Karena kamu bukan sekadar sahabat, tetapi saudara aku. Tapi siapa ya, bapak dari anaknya Eliza?"

Amaliya pun masuk kembali ke dalam rumahnya. Di dalam kamar, Mihran sudah tertidur sangat pulas. Sepertinya ia sedang kelelahan.

"Eliza nggak bisa kuajak bicara dari hati ke hati."

"Mihran juga nggak bisa kuajak curhat."

"Duh, siapa ya kira-kira bapak dari anaknya Eliza?" gumam Amaliya yang masih duduk di sofa kamarnya.

"Malik?Malik?Mereka kan lagi dekat. Apa jangan-jangan .Malik bapak dari anak yang dikandung Eliza?" pikir Amaliya.

****

Keesokan harinya Amaliya pun pagi sekali sudah datang menemui Malik di kediaman orang tuanya. Ia ingin menanyakan soal kehamilan Eliza.

"Kak, kok datang sendirian sih? Eliza mana?" tanya Malik saat melihat kedatangan sang kakak seorang diri.

"Malik, kamu tuh keterlaluan ya. Baru beberapa kali ngedate, udah berani macam-macam ya," pekik Amaliya.

"Maksud kakak apa sih?"

"Eliza hamil."

"Hamil Kak?"

"Kalau bukan kamu, siapa lagi?"

"Demi Allah, Kak, aku nggak pernah ngapa-ngapain Eliza. Aku kalau pacaran pun selalu jaga jarak sama dia, Kak," terang Malik membela diri.

"Terus siapa kalau bukan kamu?" tanya Amaliya dengan nada keras.Sesaat kemudian, Malik kembali teringat saat melihat Mihran dan Eliza duduk berdua di taman belakang kantor Mihran.

"Kak, jangan-jangan Mas Mihran?" ujar Malik.

Seketika Amaliya pun berbalik arah mengahadap adiknya dengan sorot matanya yang tajam.Amaliya benar-benar marah mendengar tuduhan Malik pada suaminya.

""Sudah beberapa kali aku melihat mereka selalu bareng dan pegangan tangan kak," jelas Malik yang cemburu pada kakak iparnya sendiri.

Netra Amaliya pun semakin tajam melihat Malik

Amaliya pun beranjak pergi. Sejenak ia berhenti saat mengingat kejadian beberapa waktu lalu saat ia melihat beberapa kali Mihran dan Eliza berduaan.

"Kamu jangan bicara macam-macam ya tentang suami aku. Mihran itu suamiku dan Eliza itu sahabatku jadi nggak mungkin mereka mengkhianati aku."

"Tapi, Kak ...."

"Pokoknya aku nggak mau ya sampai Papa dan Oma ikut campur masalah ini. Dan kamu jangan ikut campur lagi. Mihran suami aku dan Eliza aahabat aku dan aku percaya sepenuhnya sama mereka!" hardik Amaliya.

Amaliya pun bergegas pergi meninggalkan Malik yang terdiam saat melihat sang kakak yang berapi-api."

"Kak ...."

------

"Saat cintaku tidak cukup membuatmu bertahan dengan satu wanita, cari dan pergilah, jika itu membuatmu bahagia. Aku iklas asal kamu bahagia ...."

Siang ini Amaliya memutuskan ingin menceritakan soal kehamilan Eliza. Ia pun pergi ke kantor Mihran selepas meeting dengan klien.

"Sayang ...." sapa Amaliya saat masuk ke dalam ruangan Mihran.

"Hey ...."

"Sayang, aku tuh sebenarnya mau cerita sama kamu dari semalam tapi kamunya udah tidur. Tadi pagi kamu juga buru-buru mau berangkat. Makanya aku ke sini deh," ujar Amaliya berapi-api.

"Ada apa sih?" tanya Mihran.

"Eliza hamil ...." tutur Amaliya.

Seketika wajah Mihran berubah pucat. Semua berkas yang dipegangnya pun berserakan ke lantai.

"Kamu kenapa,Sayang?" tanya Amaliya saat melihat Mihran yang berubah sikap.

"E-eh nggak apa-apa. Aku cuma kaget aja." Mihran pun berusaha menutupi kepanikannya.

"Kamu tahu dari siapa?" selidik Mihran.

"Aku tuh lihat dari hasil testpack ya Eliza.Dan disitu keterangannya Eliza positif hamil," terang Amaliya.

Mihran pun semakin panik saat mengetahui jika kehamilan Eliza kini sebuah kenyataan yang harus diterimanya.

"Tapi siapa ya bapaknya? Aku tanya sama Malik, dia bilang bukan dia. Terus siapa dong?" gerutu Amaliya.

"Tapi nggak mungkin kan aku tanya ke Eliza. Dia aja menyembunyikan semua ini dari aku. Dia tuh nggak mau kalau aku tahu soal kehamilan dia," kata Amaliya.

"Menurut kamu, kira-kira siapa ya bapaknya?" cecar Amaliya.

Netra Mihran semakin tajam

"Aku bingung deh, Eliza tuh ada nggak sih cerita sama kamu tentang dia dekat sama cowok lain? Ya aku tahu sih, akhir-akhir ini aku sibuk banget dan jarang banget ngobrol sama dia. Ya mungkin aja kan dia curhat sama kamu?" ujar Amaliya ya penasaran akan kehamilan sang sahabat.

Mihran hanya terdiam. Ia kembali mengingat pembicaraan nya dengan Eliza terakhir kali.

"Sayang, masa sih, dia nggak cerita apa-apa sama kamu? Kan aku pernah lihat kalian ngobrol dibelakang. Itu ngomongin apaan?" tanya Amaliya yang terus mencecar Mihran.

"Y-ya nggak ngobrolin apa-apa. Biasa aja. Soal kerjaan dia. Soal kerjaan aku."

"Mihran terlihat lelah. Wajahnya pucat. Matanya pun sayu, membuat Amaliya berubah kasihan karena Mihran sudah capek kerja keras.

"Kamu tuh stress banget ya sama kerjaan?Kasihan suami aku. Udah capek kerja keras, sayang sama keluarga eh masih aja difitnah,"ujar Amaliya yang bergelayut manja dipundak Mihran.

"Fitnah? Maksud kamu apa Sayang?"

"Malik tuh bilang kalau anak yang dikandung Eliza itu anak kamu. Kelewatan banget kan si Arman," gerutu Amaliya. Mihran pun seketika panik.

"Bingung deh.Kenapa sih akhir-akhir ini banyak yang halu sama hubungan kamu dan Eliza. Kamu yang sabar ya," ujar Amaliya menyemangati sang suami.

"Semakin banyak yang fitnah kamu,maka semakin besar pahala yang kamu dapat," ujar Amaliya.

Mihran pun kini berpamitan.

"Sayang, aku ada meeting penting banget.dan ini nggak bisa ditinggal. Aku pergi dulu ya. Nanti aku balik lagi ya." Seketika setengah berlari Mihran meninggalkan ruangannya.

"I love you ...." teiak Amaliya

"I love you, too ...." balas Mihran.

****

Suara petir mengelegar. Seperti gemuruh hatinya. Derasnya hujan pun mengiringi kepergian Mihran menemui Eliza di rumah papanya.

Mihran pun sudah berada di depan pintu rumah Eliza.

"Eliza, buka pintunya. Kita harus bicara."

"Eliza, buka pintunya."

"El."

"Eliza, kita harus bicara. Kita cari solusinya sama-sama."

"Eliza, buka pintunya!"

Ketukan yang sangat keras, suara panggilan Mihran, membuat pembantu rumah tangga Eliza pun keluar.

"Eliza mana?" tanya Mihran pada ART di rumah Eliza itu.

"Bu Eliza nggak ada di rumah, Pak," jawab Ijah, si ART itu meyakinkan Mihran.

Mihran tak percaya

"Sebaiknya Mas pulang aja. Karena saya juga nggak tahu kapan Mbak El pulang,Mas," tutur Ijah agar Mihran segera pergi.

Mihran tak perduli. Ia pun memaksa masuk ke dalam rumah Eliza itu.

"Mas, jangan,Mas," kata Ijah sambil mendorong Mihran agar segera keluar.

"Mas, Mbak Eliza benar-benar nggak ada di rumah. Mas kenapa jadi nyelonong begini sih?!" kata Ijah ketus.

Dorongan Ijah pun tidak membuat Mihran menyerah. Ia terus memaksa masuk.

"Eliza, aku tahu kamu ada di rumah," teriak Mihran dengan keras.

"Eliza, kamu nggak bisa terus menghindar dari aku!" pekik Mihran.

Di saat Mihran sedang berusaha diusir paksa Ijah, Udin, satpam di rumah Eliza itupun datang.

"Ada apa sih?" tanya Udin.

"Kamu gimana sih?Bisa lolos gini?!" gerutu Ijah yang menyalahkan Udin.

"Eliza ...."

"Mas, silakan keluar ya,Mas," ujar Udin sambil mendorong Mihran agar mau keluar rumah Eliza.

"Eliza ...."

"Mas, ayo keluar,Mas," bentak Udin yang terus berusaha memaksa Mihran keluar. Dibantu Ijah, Udin pun berhasil memaksa Mihran keluar.

"Ayo,Mas, cepat pergi dari sini!" kata Udin yang mendorong Mihran kasar.

Mihran kini berbalik mendorong Udin hingga lelaki bertubuh bongsor itu berhasil dibuat tersungkur oleh Mihran.

"Saya cuma mau ketemu Eliza," bentak Mihran.

"Duh, susah banget sih diaksih tahu," gerutu Udin yang kesal dengan Mihran.

"Eliza ...."

"Aku tahu kamu ada di dalam."

"Aku akan terus berdiri di sini sampai kamu mau ketemu dan bicara sama aku," teriak Mihran.

Mihran ingin, Eliza tidak menanggung semuanya sendiri. Ini juga kesalahannya.

Derasnya hujan dan petir yang mengelegar tidak menghalangi Mihran menunggu Eliza keluar dari rumah mewah papanya.

"Nggak ada yang bisa kamu lakukan Mihran, selain meninggalkan aku dan bayi ini," lirih Eliza dalam tangisnya.

"Wah, Mas, cari gara-gara ya?Ayo, pergi,Mas!" Udin pun terus berusaha mengusir Mihran yang masih saja berdiri di depan pintu pagar rumah Eliza.

Mihran yang kesal pun terus mendorong Udin hingga dia jatuh kembali.

"Eliza, sampai kapan kamu sembunyi begini kayak anak kecil? Kita ini bisa menyelesaikan semua ini secara dewasa. Aku yakin ini semua ada jalan keluarnya asal kita bicara baik-baik," cecar Mihran agar sahabatnya itu mau keluar dan bicara padanya.

"Aku akan tetap di sini sampai kapanpun!"

"Aku nggak akan pernah pergi sampai kamu mau bicara sama aku!"

Suara petir yang sangat keras, membuat sebuah pohon pun tumbang hingga menimpa Mihran. Mihran pun ditolong Udin yang takut jika lelaki itu mati di depannya.

Udin yang terus meminta Mihran pulang pun terus dorong mendorong dengan Mihran.

"Eliza, aku mohon. Beri aku kesempatan," teriak Mihran yang terus meminta Eliza keluar dari persembunyiannya.

Eliza pun menyerah. Dengan membawa payung besar, Eliza pun menemui Mihran di luar. Udin pun menepi dan meninggalkan keduanya.

"Sebaiknya kamu pergi dari sini atau aku kasih tahu Amaliya soal ini," pinta Eliza.

"Apa benar kamu hamil?" tanya Mihran tanpa berbasa-basi lagi.

"Tahu dari mana kamu?"

"Jadi benar?Amaliya melihat hasil lab kamu. Apa benar, ini anak aku?" tanya Mihran memastikan.

Eliza seketika mengamuk. Ia merasa direndahkan seolah ia pernah tidur dengan beberapa pria selainnya.

"Kamu pikir aku ini apa?Apa kamu pikir aku tidur dengan beberapa pria?Jahat kamu,Mihran!Tega kamu bicara seperti ini sama aku?!" pekik Eliza yang memukuli tubuh Mihran sambil terisak.

" Nggak,El. Aku akan tanggung jawab. Aku tidak akan lari. Tapi tolong, jangan sakiti Amaliya. Dia nggak salah apapun. Ini murni kesalahan aku."

"Hukum aku. Hukum aku seberat yang kamu mau."

"Sebenci-bencinya aku sama kamu, aku sadar, aku yang salah. Aku yang dari awal salah. Aku yang memaksa kamu melakukan ini. Semua cinta dan kesetiaan kamu hanya untuk Amaliya."

"Aku, aku yang dari awal nggak bisa melupakan kamu.Aku yang nggak pernah bisa berhenti mencintai kamu.Aku minta sekarang kamu pergi dan jangan pernah kamu temui aku lagi!"

Ditengah derasnya hujan. Saat kedua tubuh mereka sudah basah dengan air hujan, Eliza pun membuat sebuah keputusan.

"Biarkan aku tanggung semuanya sendiri."

"Hanya ada aku dan bayi ini."

Eliza pun masuk dan membanting pintu rumah dengan keras.

"Pergilah, Mihran."

"Biarkan bara api cinta ini membakarku sendirian. Biarkan ini membakarku hingga menjadi debu. Kamu nggak usah ikutan terbakar. Karena dari awal kamu nggak pernah mencintai aku sebesar kamu mencintai Amaliya."

Mihran pun akhirnya meninggalkan rumah Eliza.

"Amaliya, maafkan aku. Aku sudah jahat sama kamu. Padahal kamu selama ini sudah menyayangi aku seperti adik kamu sendiri."

Rumah Amaliya

Amaliya sudah berganti baju tidur. Ia masih menunggu Mihran yang belum juga pulang hingga selarut ini. Hal yang tak pernah dilakukan Mihran.

Mihran pun masuk ke dalam kamarnya.

"Sayang,kamu dari mana sih basah kuyup begini?Kamu mandi ya, aku siapin makanan hangat dan minuman hangat ya biar kamu nggak masuk angin," tutur Amaliya.

Mihran hanya diam seribu bahasa.

"Kasihan suamiku, dia pasti stress banget sama pekerjaannya," gumam Amaliya.

Di dalam bath up, Mihran merendamkan tubuhnya, menangisi dosa yang telah dilakukannya.

"Kamu ini istri yang sempurna. Sedangkan aku, aku suami yang penuh dengan dosa.Maafin aku, Amaliya. Aku sangat mencintai kamu. Tapi, apa yang kamu lakukan kepada aku justru membuktikan kalau aku tidak bisa mencintai kamu sebesar kamu mencintai aku.Aku minta maaf. Aku minta maaf karena udah gagal menjaga komitmen kita."

Tangis Mihran pun pecah ....

bersambung ....