BAB 5
Perlahan-lahan Angela membuka kedua matanya. Dia sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Tampak tatapan cemas pada bola mata ayah ibunya dan mata Cindy Victoria.
"Akhirnya siuman juga dia, Bu Erica…" kata Cindy Victoria merasa lega.
"Kau sudah siuman, Angela," kata Bu Erica meletakkan tangannya ke pelipis si anak perempuan.
"Ini teh manis hangat. Minumlah selagi hangat…" kata Pak Riansin menyerahkan segelas teh manis hangat ke anak perempuannya.
Angela hanya diam dan patuh terhadap perkataan ayahnya. Dia meneguk setengah dari teh manis hangat tersebut.
"Bagaimana kondisimu? Tadi Cindy dan temanmu yang satu lagi itu yang mengantarmu pulang," ujar si ayah.
Angela dan Cindy Victoria bertukaran pandang sejenak. Cindy Victoria memberinya semacam isyarat mata. Kau bisa cerita-cerita ke aku soal malaikat birumu itu ketika ayah ibumu sudah keluar dari kamar ini, Gel. Tolong tolong mulutmu jangan bocor ya… Nanti pingsan pula Pak Riansin dan Bu Erica ini mendengar ceritamu…
Angela paham betul dengan isyarat mata temannya. Oleh sebab itulah kepada ayahnya dia hanya menjawab, "Sekarang sudah baikan, Yah, Bu. Mungkin tekanan darah rendah sehingga agak lemas badanku tadi sore."
"Oke deh… Yang penting tidak kenapa-kenapa. Ibumu cemas sekali tadi," kata Pak Riansin menunjuk ke istrinya. Sejurus kemudian, dia pun keluar dari kamar anak perempuannya.
"Harus jaga kesehatan baik-baik, Gel. Tidak boleh terlalu lelah… Besok diperiksakan ke dokter saja. Mau Ibu temani?" tanya Bu Erica masih merasakan sayup-sayup kekhawatirannya.
"Aku periksakan sendiri saja, Bu. Lagian ada temanku itu. Dia punya mobil, jadi bisa antar aku ke dokter dengan lebih cepat," kata Angela langsung terpikir ke sosok malaikat tampan berbaju biru.
Cindy mendehem sejenak. Senyuman lebar Bu Erica mulai merekah di sudut bibirnya.
"Siapa itu, Gel? Kok selama ini kau tidak pernah perkenalkan ke Ayah dan Ibu?" tanya si ibu merasa penasaran.
"Kami hanya teman kok, Bu…" Angela tersipu-sipu malu.
"Aduh, Gel… Ibu lihat tadi temanmu itu oke sekali. Jangan terlalu pemilih deh, Gel. Ya Ibu takkan turut campur ke dalam masalah percintaanmu. Ibu yakin kau bisa memilih sendiri dan mendapatkan laki-laki yang cocok untukmu. Jika memang tidak ada aral melintang, temanmu yang satu itu boleh juga sih, Gel," kata Bu Erica dengan sebersit senyuman penuh arti. "Jangan sampai dia berpaling pula ke Cindy, bisa menyesal kau, Gel."
Bu Erica meledak dalam tawa renyahnya.
"Aku tidak makan teman sendiri kok, Bu Erica," ujar Cindy Victoria setengah cengengesan. "Oke deh… Kau sudah tidak apa-apa, aku mau pulang saja. Sudah jam sepuluh malam ini. Ceritamu soal pangeran berbaju birumu itu besok pagi di kuliah saja."
"Terima kasih ya, Cin…" kata Angela mengantar kepergian Cindy Victoria dengan sebersit senyuman hangat.
"Istirahat ya, Gel… Jangan kerjakan apa-apa lagi. Kau tidak boleh terlalu lelah," kata Bu Erica dan ia juga keluar kamar. Mungkin ia mau mengantar Cindy Victoria turun ke lantai bawah dan membukakan pintu untuknya.
Sepeninggal ibu dan temannya, Angela turun dari tempat tidur lagi. Ia segera masuk ke kamar mandi, menghidupkan kran air panas dan sejurus kemudian, dalam kamar mandi sudah terdengar guyuran air yang mengalir ke dalam selokan. Lima belas menit kemudian, Angela keluar dari kamar mandi. Ia sudah mengenakan pakaian tidurnya sekarang. Ia keluar sambil membawa sebuah ember yang berisikan pakaian seragamnya yang sekalian ia cuci waktu ia mandi barusan.
Angela naik ke lantai atas untuk menjemur pakaiannya.
"Menjemur pakaian di malam-malam begini? Apa bisa kering itu?" terdengar suara malaikat berbaju biru. Serta-merta Angela terhenyak kaget dan ia berpaling.
"Astaga! Kau mengagetkan aku, Baju Biru!"
"Sebenarnya aku sudah mau pergi. Tapi malam-malam begini melihatmu masih bisa mandi air panas dan cuci pakaian seragam, aku rasa kesadaranmu masih aktif dan kau bisa menemaniku ngobrol-ngobrol di sini sebelum aku kembali ke markasku."
Angela segera menyingkirkan ember itu ke tempat lain. Dia sadar betul di dalam ember itu terdapat pakaian dalamnya juga. Bagaimanapun juga, malaikat berbaju biru ini adalah laki-laki.
"Aku biasa mencuci pakaian seragam malam-malam begini karena besok pagi aku tidak punya waktu untuk mengerjakannya. Aku sudah harus mengejar kereta api pagi-pagi."
"Kalau tengah malam hujan?"
"Aku kan menjemurnya di bagian yang tidak terkena hujan," kata Angela menunjuk ke tempat jemuran baju yang ditutupi oleh lapisan seng yang cukup panjang.
Si baju biru tersenyum hangat dan kemudian ia tampak membuang pandangannya ke arah lain.
"Kukira kau sudah balik. Rupanya kau masih di sini. Kau mau minum apa?"
Dengan sekali menjentikkan jari, dua gelas minuman kaleng rasa blueberry muncul di tangan sang malaikat berbaju biru. "Tidak usah repot-repot, Gel. Untuk minuman kaleng ini, aku yang traktir saja."
"Hebat sekali kekuatanmu. Kau bisa menghilang, muncul, menghilang dan muncul lagi dengan cepat. Kau juga bisa menghilangkan dan memunculkan barang-barang dengan cepat."
"Siapa yang bilang aku menghilang? Sejak mengantarmu pulang ke sini, aku terus berada dalam rumah ini. Kau bisa melihatku sekarang karena aku mengizinkanmu melihatku. Ketika kau tidak bisa melihatku, itu adalah saat ketika aku tidak mengizinkannya."
Angela langsung terkesiap di tempatnya. Hah? Berarti dia tadi mendengar apa yang Ibu bilang soal dia dong di dalam kamar!
Seolah bisa membaca jalan pemikiran Angela, sang malaikat berbaju biru meledak dalam tawa renyahnya.
"Ibumu terlalu banyak berpikir. Jangan masukkan ke dalam hati apa yang ia bicarakan tadi. Aku takkan memaksa seseorang itu melakukan apa yang tidak ia sukai."
Angela menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak terasa gatal.
"Iya… Iya… Ibu kan tidak tahu jati dirimu yang sebenarnya…" kata Angela berusaha tertawa renyah dan menetralisir keadaan.
Mendadak si malaikat berbaju biru mendekatinya. "Apa yang sedang kaupikirkan?"
"Aku tidak memikirkan apa-apa…" kata Angela sedikit berteriak sekarang. Oh, Buddha… Dia tahu pula jalan pikiranku. Memang dirinya yang begitu tampan dan hampir sempurna ini berkali-kali membuatku merasa panas dingin. Tapi, apa aku bisa menikah dengannya? Bagaimana perbedaan dengan alam kami? Apakah dua insan yang hidup di dua alam berbeda bisa bersatu dalam pernikahan? Apakah kami bisa punya anak? Jika aku memiliki anak darinya, apakah anakku itu lebih mirip manusia atau lebih mirip malaikat?
"Menurutmu, malaikat dan manusia itu tidak bisa bersama? Kau sedang mengkhawatirkan perbedaan alam kita atau kau… sedang mengkhawatirkan dan meragukan kemampuanku?" tanya si malaikat baju biru dengan sorot mata sedikit menantang dan wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti dari wajah Angela.
"Tidak, Baju Biru… Aku tidak meragukan kemampuanmu. Maafkan aku, Baju Biru… Maafkan aku…" kini Angela terdengar sedikit berteriak. Gugup dan tegang sudah mencapai ubun-ubun di kepala.
Si baju biru meledak dalam tawa renyahnya. "Maafkan daku juga… Aku hanya bercanda. Soalnya kau gampang dicandain."
Angela menepuk lengan sang malaikat berbaju biru dengan gemas.
"Kau sudah tidak kenapa-kenapa lagi kan? Arwah itu mencekikmu dengan cukup kuat juga. Aku benar-benar terlambat datang tadi. Maafkan aku…" celetuk si baju biru dengan sedikit raut sesal.
Angela menggeleng cepat, "Tidak… Aku justru harus berterima kasih padamu, Baju Biru. Kau telah menyelamatkanku. Aku tidak sangka-sangka begitu keluar dari tubuhnya yang sudah mati, dia akan langsung menerjang ke arahku dan menyerangku."
"Dia memang memiliki energi dendam dan kebencian yang teramat kuat, Gel."
"Dia menganggapku sebagai perebut kekasihnya. Apa tidak salah itu? Aku bahkan tidak mengenal gadis itu! Bagaimana mungkin aku bisa merebut kekasihnya?"
"Jangan khawatir. Aku akan selidiki dan memastikan kebenarannya nanti. Bagaimanapun juga, dia tetap harus diantar ke kehidupannya yang selanjutnya dengan kereta api pengantar. Kasihan kan dia menjadi arwah petualang di sini dan entah kapan baru bisa reinkarnasi."
"Kalau begitu, aku akan menyelidikinya sama-sama denganmu, Baju Biru. Sepertinya gadis itu telah menyerahkan dirinya seutuhnya kepada laki-laki yang sangat ia cintai, tapi laki-laki itu mengkhianatinya dan mencampakkannya dengan kejam. Kalau gadis itu bisa sampai menuduhku telah merebut kekasihnya, bisa jadi laki-laki itu ada dalam ruang lingkup pergaulanku dan bisa jadi pula aku mengenalnya. Iya kan?"
"Kau yakin?" si baju biru menaikkan alisnya beberapa senti.
"Yakin dong… Secara tidak langsung aku terlibat. Mau tidak mau aku sudah terseret ke dalam kasus yang satu ini, Baju Biru. Bayangkan saja… Seorang gadis yang tidak kukenal mati bunuh diri, dan arwahnya bisa menyerangku secara tiba-tiba dan mengatakan aku ini adalah perebut kekasihnya."
"Kau tidak takut kau akan mengalami kengerian yang serupa, seperti yang kaualami tadi?"
Angela menggeleng lembut. "Tidak…"
"Kenapa?" si baju biru sedikit mengerutkan dahi.
"Karena aku yakin kau pasti akan datang menolongku."
Kontan si baju biru tertegun. Namun, detik-detik berikutnya, senyum sudah kembali merekah pada wajahnya. Dia membelai-belai kepala Angela dengan gemas.
Menit demi menit berlalu. Si baju biru mengantar Angela kembali ke kamar dan mengucapkan selamat malam di pintu kamar sebelum akhirnya Angela menutupnya. Si baju biru naik kembali ke lantai atas dan dia melihat kedua rekannya sudah berdiri di sana – menunggunya untuk sama-sama balik ke markas.
"Kami pikir kau bakalan bermalam di rumah Angela malam ini," kata si baju hijau setengah cengar-cengir.
"Kalau kau berniat bermalam, sorry deh… Kami tidak berniat mengganggu," kata si baju merah dengan sebersit senyuman santainya.
"Tidak sehebat kau deh sudah bisa membawa Carvany naik ke kereta api kita," kata si baju biru dengan nada gurauan dan sedikit menyindir si baju merah.
"Yah, namanya aku ingin menghabiskan waktu lebih lama dengannya," tukas si baju merah dengan kedua belahan pipinya yang tak kalah merahnya.
"Aku ingin ikut ke kereta api kalian," mendadak terdengar suara Angela di belakang mereka. Serta-merta si baju biru terhenyak kaget dan menoleh ke belakang dengan cepat.
"Angela! Aku pikir kau sudah tidur dan…"
"Aku ingin ikut ke kereta apimu. Boleh kan, Baju Biru? Aku juga ingin melihat dan merasakan bagaimana kau menjalani keseharianmu."
Si baju hijau meledak dalam tawa terbahak-bahak. Si baju merah hanya melemparkan sebersit senyuman santai.
"Kau juga sama hebatnya denganku kalau begitu," kata si baju merah juga dengan nada gurauan dan sedikit menyindir si baju biru.
"Berjuang ya, Kawan… Kami balik dulu. Angela… Kami titip dia ya… Dijaga baik-baik…" tukas si baju hijau.
"Pasti…" jawab Angela mantap.
Si baju hijau meledak dalam tawanya lagi. Kedua malaikat itu langsung berubah menjadi sinar masing-masing dan menghilang dari tempat itu. Tinggal si baju biru yang kini agak tersipu malu dan tidak tahu apa yang mesti dikatakannya. Lama berselang, akhirnya ia mampu membuka mulutnya dan berucap,
"Kau mau bermalam di tempatku, Angela?"
"Jika kau tidak keberatan…" kata Angela terus menatap lurus-lurus ke mata sang malaikat dan berjalan mendekatinya.
"Oke deh… Kalau begitu, mohon maaf sebelumnya… Kau adalah manusia. Kau tidak bisa langsung menghilang begitu saja. Untuk bisa ke markasku, kau harus… harus… memelukku…" tukas si baju biru dengan merah merona yang mulai timbul pada kedua belahan pipinya.
Angela memeluk sang malaikat dengan erat. Sang malaikat kemudian membawanya terbang tinggi ke angkasa malam, menyusuri bintang-bintang dan bermandikan cahaya rembulan di malam yang cerah. Astaga! Inikah yang namanya kebahagiaan dalam cinta? Sepertinya… Sepertinya aku sudah pernah merasakan dan mengalami kebahagiaan seperti ini sebelumnya, tapi aku sudah lupa kapan dan di mana itu. Meski terasa sudah lama sekali, sekarang aku tetap masih bisa merasakan riak-riak kebahagiaan itu. Oh, Buddha… Aku ingin saat-saat ini jangan berlalu begitu cepat. Jika memungkinkan, aku ingin seperti ini terus… Selamanya…
Bisa ditebak… Malam tersebut menjadi malam yang paling membahagiakan bagi Angela. Riak-riak kebahagiaan terus menyelisir di tepian pantai pikiran Angela Thema.
***
Medan, 18 Mei 2018
Jumat yang tenang… Beberapa hari berlalu sudah… Pagi ini Carvany tetap menjalani aktivitas hariannya – sarapan semangkuk mi pansit dulu sebelum ia berangkat kerja di sekolah Oliver Plus. Tampak Pak Kenric Chen dan Ibu Nickesia Chowin Chen juga menyantap sarapan mi pansit mereka sebelum berangkat ke tempat kerja dan tempat mengajar masing-masing.
"Bu… Apa Ibu tahu tempat tinggal keluarga Bibi Hartati?" tanya Carvany tiba-tiba.
"Kenapa mendadak bertanya tentang itu? Dia ya tinggalnya di Binjai," tukas Bu Nickesia sembari mengerutkan dahinya.
"Maksudku tempat tinggal anaknya yang bungsu itu, si Delvin Lowin. Dia sudah menikah dan tinggal di Medan bukan?"
"Ya, di Jati Junction sana… Kenapa? Tumben kau tiba-tiba ingin contact dengan saudara sepupumu yang satu itu. Percaya pada Ibu deh, Carvany. Dia adalah sepupu terakhir yang bisa kaumintai bantuan."
Carvany menaikkan alisnya beberapa senti.
"Sama seperti ibunya – egois, sedikit manipulatif, dan hanya bersikap manis pada seseorang apabila ia membutuhkan bantuan orang tersebut. Sesudah itu, habis manis sepah dibuang. Terlebih lagi, Ibu dengar si Delvin Lowin ini ada melakukan praktik kotor dengan apoteknya itu. Entah apa praktik kotornya itu. Yang jelas bisa merugikan dirimu jika kau berkomunikasi terlalu sering dengannya. Berhati-hatilah…" Bu Nickesia menepuk-nepuk ringan bahu anak perempuannya sebelum akhirnya ia berdiri dan membawa piring kotornya ke tempat pencucian piring di dapur.
Carvany diam-diam saja. Tentu dia tidak berencana menceritakan apa-apa mengenai praktik kotor yang dilakukan oleh Delvin Lowin.
"Untuk apa kau memikirkan keluarga yang sejak dulu jarang ada contact dengan kita, Carvany?" terdengar suara Pak Kenric yang berat dan tegas.
"Seperti yang Ibu ceritakan tadi, Yah. Waktu memberikan penghormatan terakhir kepada Bibi Hartati, aku juga ada dengar sedikit selentingan mengenai praktik kotor apotek keluarga mereka. Aku hanya merasa penasaran, Yah…" tampak sedikit senyuman kecut di bibir Carvany.
"Jangan urus hal yang bukan masalahmu, Carvany. Nanti jika ternyata praktik kotor mereka itu ketahuan polisi, kau secara tidak langsung bisa ikut terseret ke dalamnya. Bisa rusak reputasi keluarga kita jika kita sempat berurusan dengan polisi."
"Iya, Ayah…" jawab Carvany patuh dan tidak punya banyak bantahan. Ayahnya merupakan seseorang yang memegang teguh reputasi dan nama baiknya sebagai seorang dekan. Dia takkan memaafkan siapa pun yang merusak nama baiknya, termasuk itu adalah anak kandungnya sendiri. Dalam hati, sebenarnya Carvany merasa sedikit keberatan dengan karakter dan pandangan ayahnya itu. Namun, sebagai anak perempuan dia tidak bisa banyak menuntut di rumah ini.
"Carvany… Ada temanmu yang datang menjemput tuh…" teriak Bu Nickesia sedikit kegirangan. Dia berlari-lari kecil masuk kembali ke ruang makan. "Kok kau tidak pernah cerita pada Ibu kau ada satu teman laki-laki yang tajir begini?"
"Siapa sih, Bu? Aku tak ada janjian dengan orang mau berangkat kerja sama-sama loh…" kata Carvany seraya mengerutkan dahi.
Pak Kenric juga tidak bisa membendung rasa penasarannya. Dia meletakkan korannya di atas meja makan dan segera berjalan ke ruang depan. Rupanya pembantu sudah membukakan pintu dan tampaklah sosok malaikat berbaju merah berdiri di depan pintu masuk. Kali ini dia mengenakan jas dan celana panjang warna hitam. Hanya saja, tampak dasi dan kemejanya yang berwarna merah cabai. Sontak kedua suami istri Chen saling bertukar pandang sesaat.
"Pagi, Pak, Bu… Aku ingin mencari Carvany… Ingin menjemputnya dan pergi kerja sama-sama…" tampak sebersit senyuman santai nan lemah lembut menghiasi wajah sang malaikat yang tampan rupawan.
Astaga! Kenapa si baju merah bisa muncul di sini? Katanya ingin menjemputku pergi kerja segala. Apa yang harus kujelaskan kepada Ayah dan Ibu nih? Aduh…! Panik mulai menggelimuni pesisir pikiran Carvany.
"Oh… Kau sudah datang? Sebentar ya, Red…" panggil Carvany dengan istilah bahasa Inggris. Bagaimanapun juga, istilah bahasa Inggris lebih menyerupai nama seseorang yang berasal dari golongan menengah ke atas.
Carvany segera berlari masuk ke bagian dalam rumah. Dia mengenakan blazer dan sepatunya.
"Tidak mau duduk dulu, Nak Red?" tanya Bu Nickesia berusaha menampilkan senyum keramahannya yang maksimal.
"Ibu sama sekali tidak berubah ya… Masih penuh dengan berbagai kejutan dan rahasia…" celetuk si baju merah secara tiba-tiba, masih dengan senyuman santai nan lemah lembut yang sama, namun dengan tekanan suaranya yang teramat lembut, hampir tidak terdengar di telinga suami istri Chen.
"Hah?" Bu Nickesia mengangkat kedua alisnya beberapa senti karena sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan oleh si malaikat berbaju merah.
"Oke, Yah, Bu… Kami berangkat kerja dulu ya… Sudah hampir terlambat kami…" kata Carvany dan ia buru-buru menarik tangan si baju merah keluar dari rumahnya.
"Mmm… Belum memperkenalkan diri, belum sempat duduk dan mengobrol, sudah keburu pergi. Memang si Carvany ini takut sekali kita akan menginterogasi pacarnya itu, Ric," kata Bu Nickesia dengan sedikit wajah merengut.
"Kau pikir mereka itu berpacaran?" tanya Pak Kenric agak sangsi.
"Kalau tidak berpacaran, tidak mungkin dong Carvany bisa menarik tangan laki-laki itu dengan mesra. Jelas sekali mereka sudah sangat dekat dan sudah mengenal satu sama lain dengan baik. Awas si Carvany ketika ia pulang kerja siang nanti. Akan kuinterogasi dia habis-habisan…" kata Bu Nickesia meninju telapak tangan kirinya sendiri sembari kembali ke bagian dalam rumah.
Tinggal Pak Kenric seorang diri yang masih berdiri di ruang tamu. Seribu tanda tanya dan tanda seru mulai menggeligit kuncup batin Pak Kenric.
"Kenapa kau mendadak bisa muncul di rumah dan menjemputku pergi kerja segala sih, Baju Merah? Bagaimana aku menjelaskan jati dirimu kepada Ayah dan Ibu? Pakai datang tiba-tiba dan tanpa bilang-bilang lagi…" kata Carvany dengan wajah yang sedikit bersungut-sungut ketika mobil sudah masuk ke Jalan Pancing menuju ke arah Kompleks Perumahan Cemara Asri.
"Kejutan dong…" kata si baju merah, lagi-lagi dengan sebersit senyuman santai nan lemah lembutnya.
"Aku pasti diinterogasi habis-habisan oleh Ibu ketika aku pulang kerja siang nanti. Apa yang harus aku bilang? Aku sudah bertemu dengan malaikat pelindungku, Bu. Sejak kecil aku selalu bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata. Ada beberapa di antara mereka yang berbahaya dan akan menyerangku. Namun, karena pertolongan dari malaikat pelindungku inilah, sampai sekarang aku tetap bisa selamat dan sehat walafiat. Aduh! Jelas itu tidak mungkin! Ibu takkan percaya dengan hal-hal mistis dan supranatural seperti itu, terlebih lagi Ayah…"
"Tapi aku pikir cepat atau lambat aku harus muncul di depan ayah ibumu dan di depan teman-temanmu. Cepat atau lambat mereka harus tahu tentang keberadaanku…"
"Iya juga sih… Hanya saja, aku tak sangka-sangka secepat ini kau akan memunculkan diri," kata Carvany masih dengan wajah yang setengah cemberut.
Hanya tampak sebersit senyuman santai nan lemah lembut dari sang malaikat.
"Eh…! Boleh aku tahu namamu sebenarnya siapa sih, Baju Merah? Jelas tidak mungkin kau hanya dipanggil dengan sebutan 'Baju Merah' selama ini. Pasti kau memiliki nama juga," kata Carvany tidak bisa membendung rasa penasarannya lagi.
"Sudah merupakan peraturan di markas kami aku tidak boleh membocorkan rahasia identitasku sendiri, Carvany. Mohon maaf…" tukas si baju merah lemah lembut, masih dengan senyuman santainya.
"Kenapa memangnya?"
"Itu termasuk ke dalam salah satu pelanggaran besar. Tentu saja ada hukumannya. Hukuman itu akan mempengaruhi jalur hidupku ke depannya…"
"Oh, oke deh… Anggap saja aku tidak pernah menanyakan hal itu padamu, Baju Merah…" tukas Carvany kali ini dengan sebersit senyuman kecut menghiasi wajahnya.
"Mohon maaf, Carvany… Ada beberapa hal yang tidak bisa kukatakan padamu. Kau harus cari tahu sendiri."
"Oke deh… Setelah aku cari tahu, aku tinggal tanyakan padamu dan kau akan menjawab ya atau tidak. Begitu kan?"
Sang malaikat mengangguk mengiyakan. Carvany juga tersenyum kecut. Kemudian ia meraih tangan sang malaikat dan merebahkan kepalanya ke bahunya. Sisa perjalanan ditempuh dengan diam dan bisu, namun sarat akan kasih dan cinta.
Lima menit kemudian, sopir si malaikat berbaju merah akhirnya membawa Carvany sampai di depan sekolah Oliver Plus. Carvany turun dari mobil setelah ia mengucapkan salam perpisahan pada sang malaikat pujaan hati. Dengan langkah-langkah ringan, ia berjalan masuk ke dalam sekolah.
Sang malaikat berbaju merah mengantar masuknya Carvany ke dalam gedung sekolah dengan sebersit senyuman santai nan lemah lembut. Senang dan bahagia perlahan meringkai muara hatinya.
***
"Kali ini kita akan lihat Qomar ada mengejar-ngejar si Angela lagi atau tidak, Calista," kata Irene Ivy dengan raut wajahnya yang sinis dan bola matanya yang mengerling-ngerling penuh arti.
Calista Permata Halim dan Irene Ivy Juswan sedang duduk di kantin kampus. Dari kejauhan, mereka memperhatikan Angela yang pas saat itu sedang meneguk segelas blueberry frappe sendirian sembari menyelesaikan tugas akuntansinya sendirian.
Masuklah Qomar Shia Putra ke dalam kantin. Pandangan matanya langsung tertuju pada Angela Thema yang pas pada saat itu sedang sendirian. Sontak pandangan mata Calista Permata dan Irene Ivy langsung tertuju pada apa yang akan dilakukan oleh Qomar pada Angela.
Jelas laki-laki itu langsung duduk di hadapan Angela. Angela sedikit terperanjat kaget karena kedatangan tamu yang sungguh tidak disangka-sangka sebelumnya.
"Kelihatannya lagi banyak tugas…" kata Qomar.
"Nggak banyak juga. Sudah siap kok…" kata Angela cepat-cepat menghabiskan blueberry frappe-nya dan segera beranjak dari tempat duduknya.
Qomar mencegat tangan Angela ketika dirasakannya gadis itu akan segera berlalu dari hadapannya.
"Kenapa kau selalu menghindariku, Gel? Ya, oke jika kau tidak mau menjadi pacarku. Aku oke-oke saja jika kau tidak mau kita dekat. Tapi setidaknya biarkan kita menjadi teman dong. Setidaknya jangan menghindariku terus seperti ini."
"Apakah teman ada yang pegang-pegang tangan seperti ini?" balas Angela dingin menatap lekat-lekat ke mata lawan bicaranya.
Qomar segera melepaskan tangan Angela. Dia kemudian mengangkat kedua tangannya ke udara.
"Oke… Aku takkan memegang tanganmu. Oke… Oke… Sekarang aku lapar dan aku ingin makan. Sebagai seorang teman, tidak bisakah kau menemaniku makan sebentar?"
Angela sedikit menampilkan senyuman sinisnya, "Itu tuh ada sang primadona di sana, sang juara satu kontes kecantikan tiap tahun di kampus ini. Dia siap menemanimu makan tiga kali sehari, asalkan kau bersedia buka mulut mengajaknya. Kenapa sasaranmu harus selalu aku, Qomar? Tidak bisakah kau membiarkanku hidup tenang di sini?"
Qomar Shia Putra berpaling ke belakang dan ia melihat sang primadona juara satu kontes kecantikan tiap tahun dan sahabatnya tengah melihatnya dengan sepasang mata yang mendelik tajam nan melotot.
Angela langsung berjalan ke belakang, hendak melewati meja tempat Calista Permata dan Irene Ivy duduk. Qomar hendak mencegat tangan Angela lagi ketika sekonyong-konyong dirasakannya ada tangan lain yang tidak terlihat menepuk tangannya dengan kasar. Ia terhenyak kaget dan tangannya jadi tidak bisa meraih tangan Angela yang sudah lebih dulu berjalan ke arah belakang kantin.
Calista Permata menjulurkan kaki kirinya keluar ketika dirasakannya Angela sudah berjalan sampai di samping meja tempat ia duduk. Tak ayal lagi, Angela tersandung kakinya dan tubuh Angela langsung jatuh terjengkang ke depan. Terdengar Angela memekik nyaring.
Namun, dari balik pintu belakang kantin, mendadak muncul lagi kejutan yang kedua. Sosok malaikat berbaju biru, dalam balutan celana jeans biru, kaus biru langit, dan jaket biru Bromo, mendadak menampakkan diri dan meraih Angela ke dalam pelukan. Angela tidak jadi jatuh terjengkang ke depan. Qomar Shia Putra, Calista Permata Halim, dan Irene Ivy Juswan menyaksikan kejadian itu dengan sepasang mata mereka yang membelalak lebar, dan dengan segala macam perasaan yang menyelisir di tudung sanubari hati.
"Kau tidak apa-apa?" tanya si baju biru berusaha memberdirikan sang kekasih pujaan hati.
Angela menggeleng lirih. "Terima kasih, Baju Biru… Terima kasih sekali… Kau menyelamatkan aku lagi."
Si baju biru memandang tajam ke Calista Permata dan Irene Ivy. Dengan hanya sekali mengedipkan mata, kaki kedua kursi yang diduduki kedua gadis itu patah seketika. Terdengar pekikan halus ketika kedua gadis primadona jatuh terjerembab ke lantai.
"Hati-hati, Baju Biru… Jangan membalasnya terlalu parah. Nanti jati dirimu bisa ketahuan…" bisik Angela dengan sorot mata yang sedikit melebar.
"Hei kau! Jadi orang agak-agak kau! Dia ini gadisku! Apa hakmu mengganggu gadisku dan menyentuh-nyentuh dia pula!" teriak Qomar dengan nada mengancam.
Qomar Shia Putra hendak mendaratkan satu kepalan tinju ke wajah sang malaikat biru. Dengan sigap, sang malaikat biru menangkap kepalan tinju Qomar dan mendorongnya mundur dengan kasar. Tubuh Qomar segera menimpa meja kursi yang ada di belakangnya. Qomar jatuh sempoyongan ke belakang. Calista Permata dan Irene Ivy segera menghampiri sang pangeran tampan yang hari ini harus kehilangan harga dirinya di depan si malaikat tampan.
"Bicara itu harus disaring dengan otak besar dan otak kecil, Bro! Sejak kapan Angela menjadi milikmu! Dia bukan bisa sembarangan dioper ke sana ke sini ya! Dia bukan benda mati ya! Asal kau tahu saja, aku lebih dulu mengenalnya, jauh sebelum dia masuk kuliah di kampus ini. Mulai hari ini, waktu bertemu dengan Angela, anggap saja kau tidak mengenalnya. Sempat saja kau mengulangi perbuatanmu padanya tadi, aku akan membuatmu berakhir dengan jauh lebih memalukan daripada ini! Camkan itu!"
Tampak sepasang mata si baju biru yang mendelik tajam. Entah kenapa Qomar menjadi sedikit keder memandangi sorot mata itu lama-lama – menjadi sedikit takut, sedikit bergelugut. Sorot mata tersebut begitu tajam, begitu menakutkan, dan begitu mengancam.
"Ayo kita segera pergi dari sini, Baju Biru!" tukas Angela menggandeng tangan sang malaikat biru dan keduanya segera berlalu dari tempat itu.
"Kau tidak apa-apa, Qomar?" tanya Calista Permata berusaha memberdirikan sang pangeran pujaan hati. Akan tetapi, begitu Qomar berdiri, ia langsung menepis tangan kedua gadis yang membantunya berdiri tadi.
"Sudah! Sudah! Aku tidak apa-apa! Lain kali awas kalau kau cari gara-gara dengan Angela lagi! Aku takkan memaafkanmu! Akan kubeberkan fakta kau menang kontes kecantikan tiap tahun itu karena menggunakan pengaruh saham ayahmu di kampus ini!"
Qomar Shia Putra langsung beranjak pergi, meninggalkan Calista Permata dengan raut wajahnya yang merengut dan sama sekali tidak sedap dipandang mata.
"Oke… Ayo kita pulang dan makan saja di kafe yuk, Calista. Biarkan saja si Qomar itu! Cepat atau lambat, dia akan sadar si Angela itu sama sekali tidak ada apa-apanya!" kata Irene Ivy menuntun sang sahabat keluar dari kantin.
"Aku begitu mencintai Qomar sejak kami masih SMA. Sampai kuliah sekarang pun, aku masih memiliki perasaan yang sama terhadapnya. Kenapa ia tidak bisa berpaling kepadaku walau hanya sedetik? Kenapa ia tidak bisa memiliki perasaan yang sama terhadapku walau hanya sehari?"
"Sudah… Sudah… Sudah kubilang, Calista… Kau itu cantik, pintar bicara, pintar berteman, dan tiap tahun selalu menjadi juara satu kontes kecantikan di kampus ini. Tanpa Qomar, masih ada banyak segudang laki-laki lain yang antri ingin menjadi pacarmu. Be happy saja… Ngapain kau capek-capek bersedih hati memikirkan laki-laki yang sama sekali tidak mempedulikanmu?"
Irene Ivy menuntun Calista Permata berjalan keluar dari kantin, sekaligus berjalan keluar dari gedung kampus.
"Pantasan si Angela bisa menolak Qomar mentah-mentah. Dia sudah punya pacar rupanya… Astaga! Laki-laki yang ganteng nan sempurna seperti itu bisa tertarik dan jatuh hati pada perempuan yang biasa-biasa saja seperti si Angela! Apaan sih yang dilihatnya dalam diri si Angela yang begitu biasa itu?"
"Sudah deh, Irene! Jangan bicarakan soal perempuan munafik itu lagi! Aku tak mau dengar! Aku muak!"
Teriakan Calista Permata mengantarnya keluar dari gedung kampus. Irene Ivy berlari-lari kecil sembari mengekorinya dari belakang.
Sementara itu dengan Angela dan sang malaikat birunya… Dengan kereta api magisnya, si baju biru mengantarnya sampai ke suatu pusat pembelanjaan dekat gedung kampusnya. Rencananya mereka akan makan siang dulu sebelum Angela berangkat kerja di PT. Keramik Rusli. Kini tampak kedua sejoli tengah berkeliling di pusat pembelanjaan tersebut guna mencari suatu kafe yang cocok.
"Aku kira kau benar-benar akan mendorongnya hingga menempel ke dinding kantin, seperti apa yang kaulakukan pada arwah gadis bunuh diri yang mencekikku itu, Baju Biru. Takut sekali aku orang-orang di sekeliling akan segera menyadari kau… kau… kau tidaklah sama dengan manusia pada umumnya."
"Alias bukan manusia…" tukas si baju biru mendengus ringan dan juga menampilkan sebersit senyuman kecutnya. "Aku masih bisa membedakan mana arwah orang mati dan tubuh manusia yang masih hidup. Hanya saja, emosiku langsung naik begitu melihat tingkahnya yang sok dan belagu itu! Seenaknya saja dia mengklaim kau adalah miliknya. Baru memiliki kekayaan yang tidak seberapa saja lagaknya sudah tidak kepalang tanggung. Memang aku harus memberinya sedikit pelajaran."
"Ayahnya seorang pengusaha tekstil di Jakarta. Dia mengurus cabang yang ada di Medan. Begini-begini dia itu kaya juga loh, Baju Biru," kata Angela setengah cengengesan.
Si baju biru membesarkan matanya dan menatap Angela lekat-lekat.
"Ya tentu saja tidak bisa dibandingkan dengan kemewahan yang ada dalam kereta api magismu itu sih…" tukas Angela dengan gaya setengah cengengesan.
Si baju biru tampak tersenyum lebar sekarang.
"Jangan marah lagi dong… Semua sudah berlalu. Oke kan? Kau sudah memberi pelajaran pada orang-orang yang menindasku tadi. Aku berterima kasih sekali memiliki seorang malaikat pelindung sepertimu," ujar Angela sembari bergelayut manja pada lengan kiri sang malaikat biru.
"Hanya berterima kasih?" si baju biru pura-pura mengerutkan dahinya dengan gaya bercanda.
"Aku bahagia loh…" kata Angela tertawa renyah sebentar dan kemudian ia mulai memasuki fase serius. "Aku bahagia karena kita berdua berjodoh. Aku tidak tahu sampai kapan jodoh kita akan bertahan, tapi aku akan terus menghargai detik-detik kebersamaan kita. Kau juga begitu kan?"
Angela kembali bergelayut manja di lengan kiri sang malaikat biru. Kedua sejoli masih mengitari pusat pembelanjaan tersebut dan masih belum menemukan suatu kafe yang cocok.
Si baju biru menganggukkan kepalanya dengan mantap. Kemudian, dia berucap lagi,
"Mulai hari ini sampai seterusnya, jangan berkomunikasi dengan si Qomar Shia Putra itu lagi ya… Kau dan dia beda kelas dan juga tidak ada dalam satu organisasi mahasiswa yang sama, jadi kau sama sekali tidak punya keperluan apa-apa dengannya," kata si baju biru dengan raut wajah yang sedikit bersungut-sungut.
Tampak Angela menampilkan senyuman cerahnya, "Apakah ini yang disebut sebagai kecemburuan?"
Si baju biru membuang pandangannya ke arah lain, "Pokoknya aku tidak suka kau dekat-dekat dengannya. Dia bukan orang yang baik – dulu bukan, sekarang juga bukan. Sama sekali tidak berubah…"
"Iya, Baju Biru… Iya… Sebisa mungkin aku akan menghindarinya dan jika memang sudah bertemu secara tidak sengaja, aku takkan bicara banyak padanya. Jangan marah lagi ya, Baju Biru… Tenangkan emosimu... Kau sering mengomel tiada henti, sering ceplas-ceplos panjang lebar tanpa titik koma ketika emosimu sudah naik. Dulu iya, sekarang kelihatannya tambah sering," Angela meledak dalam tawa renyahnya.
Si baju biru tersenyum kecut. Sedikit banyak Angela tahu siapa aku. Sedikit banyak Angela tahu aku adalah Kenny Herry Yanto Wangdinata. Namun, aku tidak boleh membocorkan rahasia identitasku sendiri. Jika aku melanggar kesepakatan itu, aku akan kehilangan seluruh kesempatanku.
Angela kembali bergelayut manja di lengan sang kekasih. Suatu saat nanti aku akan membuktikan kau adalah Kenny Herry Yanto Wangdinata, Kenny yang aku cari-cari selama ini, Kenny yang aku rindukan selama ini, Kenny yang pernah berjanji sehidup semati denganku dan akan selalu ada untukku ketika aku merindukan dan membutuhkannya.
Langkah-langkah Angela kontan terhenti. Kembali sosok gadis yang mati bunuh diri itu menampakkan dirinya. Tampak wajahnya yang rata, dengan darah yang bercucuran dari kepala, mata, hidung, telinga dan mulut. Darah menetes-netes dan bercucuran sampai ke bagian lehernya yang sudah patah. Kontan Angela langsung bersembunyi di balik punggung sang malaikat birunya.
"Apa yang kauinginkan? Bukannya naik ke kereta api pengantar menuju ke kehidupanmu yang selanjutnya, malahan masih berkeliaran di dimensi manusia memikirkan dendam," tukas Kenny Herry menatap tajam dan dingin ke arwah si gadis yang mati bunuh diri.
"Aku takkan meninggalkan kehidupan sekarang jika aku belum membalaskan dendamku. Meski aku tidak bisa membalaskan dendam ini, setidaknya aku ingin menuntut suatu keadilan, Pak Malaikat. Suatu keadilan…"
Arwah gadis itu perlahan-lahan memudar dan secarik kertas yang ia pegang terjatuh ke lantai. Kenny Herry memungut kertas tersebut. Tertera sebuah alamat pada kertas tersebut.
"Jalan Kapten Sumarsono… Jauh itu, Baju Biru… Mungkin untuk satu dan lain alasan, dia ingin kita ke alamat itu…" celetuk Angela.
"Iya… Kita akan mengurusnya nanti. Sekarang harus makan dulu. Asyik keliling-keliling dari tadi, tidak ada tempat makan yang cocok buatku nih… Kita makan di dalam kereta api saja. Aku bisa pilih dengan bebas menu-menu yang aku suka."
"Terserah kau deh, Baju Biru… Aku ikut saja…" kata Angela dengan sebersit senyuman kecutnya, tapi wajahnya memancarkan semangat dan antusiasme yang tinggi.
Kenny Herry menjentikkan jarinya. Kereta api magis warna hitam total berhenti tepat di hadapan mereka. Keduanya naik ke dalam kereta api. Kereta api berangkat dan keduanya menghilang dari tempat tersebut. Orang-orang yang ada di sekitar tempat tersebut sungguh terperanjat kaget karena dua orang yang sebelumnya ada di sana, kini lenyap tak berbekas bagai asap.