webnovel

Prahara Awal & Akhir

BAB 24

Tanah Deli, awal Maret 1934

Dedrick de Groot dan Rio Augusto tampak berdiri di satu sisi gedung 3P. Mereka tampak memperhatikan gedung klub 3P dengan saksama.

"Di sekeliling bangunan itu terdapat jendela. Kita tinggal hanya memecahkan kaca jendelanya dan melemparkan granat ke dalamnya." Rio Augusto memberikan semacam petunjuk bagaimana mereka bisa memulai penyerangan mereka.

"Tunggu sampai ada yang berdiri di dekat jendela, baru lempar granatnya. Granatnya mahal, jadi jangan sampai habis percuma. Aku sudah menyuruh seluruh anak buah kita berpakaian seperti orang biasa dan berjaga-jaga di samping jendela-jendela yang ada. Begitu terasa ada yang berdiri atau bergerak mendekati jendela, kaca jendela langsung dipecahkan dan granat dilemparkan ke dalam."

Rio Augusto dan Dedrick de Groot tertawa berbarengan.

Di sisi lain gedung klub 3P, tampak Terry Liandy berdiri dan juga memperhatikan gedung 3P itu. Sontak pandangan matanya tertumbuk pada sosok wanita yang begitu diharapkan dan dicintainya selama ini. Hah? Apa yang dilakukan Valencia di klub 3P pada tengah hari begini? Apakah perhitunganku salah…? Oh, tidak! Tidak! Tidak! Seharusnya hari ini dan jam-jam begini, istri-istri mereka berada di rumah menjaga anak-anak mereka. Kok bisa Valencia meninggalkan anaknya sendiri di rumah dan datang ke sini?

"Apa yang sedang kaucari?" terdengar suara Ivana di depan meja kerja Jacky Fernandi. Jacky Fernandi terperanjat kaget sejenak mendapati kehadiran istrinya di hadapannya dalam dandanan yang agak tidak biasa.

"Kenapa…? Kenapa? Kenapa kau bisa ke sini pada jam-jam begini, Ivana? Siapa yang menjaga Xavion di rumah?" Jacky Fernandi masih menetralkan jiwanya yang sedikit bergejolak.

"Xavion ada Ibu yang menjaganya di rumah. Aku ke sini karena aku memiliki semacam firasat buruk. Rencana perlindungan apa yang kalian bahas di sini?" tanya Ivana menatap lekat-lekat ke Jacky Fernandi dan Boy Eddy.

Kedua lelaki itu mati kutu. Ivana memberondong ke depan dan membuka laci kerja sang suami secara paksa. Tampak di dalam laci terdapat beberapa flash cards yang biasa digunakan sang suami dalam mengajarkan huruf-huruf abjad dan tanda-tanda baca kepada murid-muridnya. Namun, di bawah flash cards tersebut, Ivana bisa melihat ada banyak sekali senapan dan pistol yang bertumpuk. Kedua mata Ivana langsung membelalak lebar.

"Kalian ingin berperang dengan orang-orang Belanda itu?" Ivana menaikkan suaranya beberapa oktaf.

Anak-anak buah Boy Eddy dan Jacky Fernandi yang menyadari apa yang tengah terjadi, mulai mendekati Boy Eddy dan Jacky Fernandi. Tampak kedua lelaki itu masih mati kutu dan tidak bisa membuka mulut mereka untuk sebuah penjelasan.

"Orang-orang Dedrick de Groot dan keluarga Jenderal Ambrose Vanderbilt sudah tahu yang membunuh Jenderal Ambrose Vanderbilt adalah The Amazing Boys kita, Bu Ivana," kata salah seorang anak buah mereka.

Ivana terhenyak kaget. Dia merasa terperengah.

"Bagaimana mereka bisa tahu? Bukankah waktu itu kau bilang semua anak buah Jenderal Ambrose Vanderbilt tewas di tempat?" pertanyaan ini ditujukan kepada sang suami.

Mau tidak mau Jacky Fernandi mengangkat matanya dan berkata, "Perkiraan kami salah, Ivana. Ada satu anak buahnya yang terjatuh dari mobil. Kepalanya membentur pagar jalan. Kami kira dia sudah tewas di tempat. Ternyata ia masih hidup dan beberapa minggu lalu ia melaporkan apa yang dilihatnya kepada pihak keluarga si jenderal itu, Ivana. Sekarang Dedrick de Groot dan pihak keluarga Jenderal Ambrose Vanderbilt menuntut balas."

"Mau tidak mau… Mau tidak mau… Kami harus menyerang balik bukan?" sahut Boy Eddy sedikit merasa lirih.

"Apakah kau sudah menceritakan hal ini kepada Valencia, Boy?" tanya Ivana dengan sedikit sorot mata nanar.

Boy Eddy hanya terdiam. Jacky Fernandi memberi isyarat kepada beberapa anak buahnya untuk mundur terlebih dahulu.

"Dan kau, Jack… Jika aku tidak datang ke sini hari ini, selamanya aku takkan tahu tentang hal ini. Bagaimana kalau kau tidak kembali? Bagaimana kalau kau tidak pernah pulang ke rumah? Kau mau meninggalkan aku seorang diri? Kau mau meninggalkan aku dan tidak memberikanku setitik kesempatan untuk bertemu denganmu lagi?" Air mata kembali menganak sungai di pelupuk mata Ivana.

Boy Eddy hanya mundur perlahan-lahan. Dia tahu dia harus memberikan sedikit jarak dan keleluasaan kepada Jacky Fernandi dan Ivana.

Jacky Fernandi spontan merengkuh Ivana ke dalam pelukannya.

"Maafkan aku, Sayang… Maafkan aku… Aku tidak ingin kau terlibat ke dalam keganasan konflik sosial ini. Aku tidak ingin menyeretmu ke dalam bahaya. Aku tidak ingin sesuatu yang mengerikan terjadi padamu, Ivana. Xavion kita masih membutuhkanmu…" kata Jacky Fernandi.

"Tidak bisakah kita lari saja dari sini, Jack? Tidak bisakah kita lari saja?" Air mata terus berjatuhan butir demi butir.

"Sebelum mereka mengonfrontasikan saksi dan bukti ke sini, seluruh gedung ini sudah diawasi dan dikepung dari kejauhan, Ivana… Tidak bisa lari lagi. Ada beberapa anak buah kami yang hendak melarikan diri dari sini, tapi di perjalanan mereka tewas dibombardir dengan banyak peluru. Mereka memang menginginkan kematian kami bertiga, Ivana… Kau harus cepat pergi dari sini, Ivana… Sebentar lagi gedung ini akan penuh dengan darah dan peluru. Aku tidak ingin kau berada di sini terus."

Jacky Fernandi mendorong tubuh Ivana mundur. Jacky Fernandi bergerak ke jendela. Dia ingin membuka lemari kabinet yang terletak di samping jendela. Seingatnya, di dalam lemari kabinet masih ada sedikit uangnya. Dia ingin memberikan uang itu kepada si istri.

Mendadak saja, kaca jendela dipecahkan dari luar. Jacky Fernandi merunduk sebentar. Ivana membelalakkan kedua matanya. Dia segera tahu akan terjadi sesuatu pada sang suami. Dia tidak berpikir banyak pada saat itu. Yang dia tahu masih ada sesuatu yang bisa ia lakukan untuk sang suami. Ia segera menerjang ke depan dan menarik tangan sang suami. Jacky Fernandi mendadak terdorong maju ke depan secara terhuyung-huyung. Jadinya Ivana yang kini berdiri di dekat jendela. Sejurus kemudian, granat dilemparkan ke samping Ivana melalui jendela.

"Ivana…!" jeritan Jacky Fernandi melengking tinggi hingga mencapai delapan oktaf. Namun, semuanya sudah terlambat.

Granat meledak dan tubuh Ivana terhempas jauh ke depan. Jacky Fernandi hanya bisa merundukkan badannya ketika terjadinya ledakan. Masing-masing kaca jendela dipecahkan dari luar dan anak-anak buah musuh masuk ke dalam bangunan klub 3P. Adegan tembak-menembak sungguh tidak terhindarkan lagi. Dalam sekejap, seisi bangunan klub 3P berubah menjadi kapal pecah. Semua barang, perabotan, dan peralatan yang ada hancur tanpa sisa.

Dengan tangisan yang terisak-isak, Jacky Fernandi mendekati tubuh istrinya.

"Kenapa kaulakukan ini, Sayang…? Kenapa kaulakukan ini? Kau tidak boleh berkorban terlalu banyak untukku, Sayang… Aku takkan bisa menebusnya… Aku takkan bisa menebusnya…" terdengar lolongan Jacky Fernandi. Air mata Jacky Fernandi juga tampak menganak sungai. Dengan tangan gemetaran, dia membelai-belai wajah sang istri yang kini berlumuran darah.

"Maafkan aku, Jack… Jack… Jack… Aku hanya bisa menemanimu sampai di sini. Di kehidupan berikutnya, aku akan selalu menunggumu. Jangan lupa… Jangan lupa… Jangan lupa untuk mencariku ya…" Darah segera muncrat dari mulut Ivana. Tampak napasnya mulai tersengal-sengal.

"Jacky! Jacky! Jacky! Relakanlah Ivana!" teriak Boy Eddy. "Musuh sudah datang! Kau harus menghadapi musuh! Kau harus mengangkat senjatamu! Kalau tidak, kita semua di sini bakalan habis!"

Sejurus kemudian, tampak kedua mata Ivana Pangdani sudah dalam keadaan setengah terbuka dan setengah tertutup. Tubuh Ivana Pangdani sama sekali tidak bergerak lagi. Jacky Fernandi melolong keras dan berteriak di puncak kemarahan dan kebenciannya.

Rio Augusto muncul di belakang Jacky Fernandi. Langkah-langkah dan gerakan-gerakannya kontan terhenti melihat kondisi Ivana Pangdani yang sudah berubah menjadi sesosok mayat yang mengonggok di lantai.

"Ivana! Ivana! Oh, Tuhan! Ivana! Kenapa kau bisa ada di sini, Ivana! Ivana!" jeritan dan lolongan Rio Augusto juga melengking tinggi, penuh dengan penyesalan dan ketidakberdayaan.

"Biarkan saja dia, Rio! Kau tidak bisa menghidupkan kembali orang yang sudah mati! Kau harus berhasil menyelesaikan penyerangan ini! Dengan demikian, itu akan menjadi prestasi yang bisa kaubanggakan di depan pihak keluarga Jenderal Ambrose Vanderbilt nanti," kata Dedrick de Groot berusaha mengembalikan konsentrasi Rio Augusto ke jalur yang seharusnya.

Kemarahan dan kebencian segera mengerabik di semenanjung pikiran Jacky Fernandi. Tangan menyambar sebuah senapan laras panjang, milik salah seorang anak buah Dedrick de Groot yang sudah tewas di lantai.

"Kau telah membunuh Ivana, Rio Augusto! Kau binatang jalang! Kau tidak bisa dimaafkan! Aku akan mengirimmu ke neraka sekarang juga! Enyahlah kau ke neraka!" teriak Jacky Fernandi sembari membombardir Rio Augusto Wiranata dan beberapa anak buahnya dengan membabi buta.

Tampak satu per satu si anak buah Rio Augusto dan Rio Augusto sendiri berjatuhan ke lantai. Darah mulai menggenang dan membanjiri lantai. Jacky Fernandi berdiri dengan sepasang matanya yang hampa.

"Jacky! Jacky!" terdengar teriakan Kenny Herry yang akhirnya bisa menerobos masuk ke dalam bangunan klub 3P dan berjumpa dengan kedua sahabatnya.

"Berkonsentrasilah, Jacky! Jangan biarkan kematian Ivana mengganggu konsentrasimu! Masih banyak musuh yang berkeliaran di sekitar sini dan di dalam gedung ini!" teriakan Kenny Herry masih terus berlanjut.

Sesekali Kenny Herry harus menghindari peluru-peluru yang ditujukan ke dirinya. Boy Eddy juga harus menghindari peluru-peluru yang mengarah ke dirinya. Mereka harus bersembunyi di balik lemari-lemari, kursi-kursi dan bahkan meja-meja yang terdapat mesin-mesin tik di atasnya. Meja dan kursi dan segala perabotan lainnya hancur berantakan dengan segala isinya yang bertebaran di lantai.

"Jacky! Jacky! Ambil senjatamu dan basmi mereka semua!" teriak Boy Eddy lagi.

Ada satu peluru yang sekonyong-konyong mengarah ke bahu Jacky Fernandi. Jacky Fernandi masih sempat menghindarinya dengan bersembunyi di balik meja kerjanya. Dedrick de Groot dan beberapa anak buahnya terus memberondong meja kerja itu dengan peluru-peluru mereka.

"Dasar pemberontak rendahan! Kau telah membunuh Jenderal Ambrose! Kau telah membunuh jenderal tertinggi kami di Tanah Deli sini! Enyahlah kau dari sini, Binatang! Rasakan ini! Rasakan ini!" teriakan Dedrick de Groot terus berkumandang di balik meja kerja Jacky Fernandi.

Jacky Fernandi mengeluarkan flash cards-nya. Kartu-kartu tersebut ditebarkan ke udara dan jatuh berhamburan kembali ke lantai, dan menghalangi pandangan Dedrick de Groot dan beberapa anak buahnya. Saat mereka lengah, kembali Jacky Fernandi melepaskan tembakan beruntunnya. Jatuhlah pertahanan beberapa anak buah Dedrick de Groot. Dedrick de Groot sendiri terkena beberapa peluru. Akan tetapi, ia masih sempat menghindar ke balik salah satu meja kerja yang ada.

Jacky Fernandi ingin memberondong meja kerja tersebut dengan peluru-pelurunya lagi ketika mendadak ada salah seorang anak buah musuh yang menyelinap masuk melalui kaca jendela yang ada di belakangnya. Jacky Fernandi tidak menyadari hal itu. Si anak buah melepaskan beberapa tembakan beruntun ke punggung Jacky Fernandi. Jacky Fernandi terpaksa harus menyerah. Akhirnya ia bisa ditaklukkan, tetapi melalui suatu cara yang sedemikian pengecut dan sedemikian keji.

Perlahan-lahan, tubuh Jacky Fernandi roboh ke lantai. Tampak ia terbujur kaku dalam posisi telungkup di atas kartu-kartu flash cards- nya. Darah mulai membanjiri semua flash cards tersebut. Semuanya sudah berakhir… Kenapa aku tidak merasa sakit sedikit pun…? Apakah badanku menjadi mati rasa ataukah aku tahu sebentar lagi aku akan segera bergabung dengan Ivana? Xavion… Xavion… Aku tahu akan ada hari-hari di masa mendatang nanti ketika aku dan ibumu tak ada di sampingmu. Namun, aku tahu di hari-hari di masa mendatang itu, kau akan hidup dengan baik-baik saja. Kau bahkan akan hidup dengan lebih baik dibandingkan dengan hidupku kini… Maafkan aku, Xavion… Maafkan ibumu juga… Maafkan… Maaf…

Sinar kehidupan akhirnya meredup. Tubuh Ivana Pangdani dan Jacky Fernandi Yiandra tidak bergerak-gerak lagi. Dia tenggelam ke dalam kegelapan pekat nan tak berujung.

"Jacky! Jacky! Jacky!" terdengar teriakan Boy Eddy yang berkumandang sampai ke seisi gedung klub 3P.

"Jacky! Jacky! Jacky!" terdengar juga lolongan Kenny Herry yang mengalahkan semua suara tembakan dan ledakan yang ada dalam gedung klub 3P tersebut.

Dedrick de Groot berdiri dan keluar dari tempat persembunyiannya. "Sekarang saatnya pembalasan dendam! Terimalah ini, Binatang!"

Dedrick de Groot sudah hendak melepaskan satu tembakan ke arah Jacky Fernandi yang sudah terbujur kaku, ketika dari belakang Kenny Herry yang berdiri dengan jarak yang paling dekat dengannya juga melepaskan beberapa tembakan ke punggungnya.

"Cara keji dan cara licik juga dibalas dengan cara keji dan cara licik yang sama, Dedrick de Groot!"

Tampak tubuh Dedrick de Groot mulai oleng. Akhirnya tubuh Dedrick de Groot ambruk ke lantai. Beberapa anak buah Dedrick de Groot melihat apa yang diperbuat oleh Kenny Herry terhadap bos mereka. Mereka segera menerjang ke arah Kenny Herry.

"Ken! Awas!" teriak Belinda saat dia masuk dan berdiri di pintu masuk.

Namun sudah terlambat juga… Kenny Herry menyusul nasib sahabatnya yang pertama kali berpulang tadi. Beberapa anak buah Dedrick de Groot juga membombardirnya dengan beberapa peluru mereka. Kali ini, terpaksa Kenny Herry juga harus menyerah. Tampak tubuhnya roboh ke atas meja kerjanya, dan kemudian roboh ke lantai. Tampak swipoa kunonya yang terletak di atas meja, juga jatuh ke lantai. Manik-manik swipoa kuno tersebut lepas berhamburan ke segala arah.

"Ken! Ken!" teriakan Belinda membabi buta dan ia segera menerjang ke arah sang suami yang kini sudah terbaring tidak berdaya di lantai.

"Ken! Ken! Ken! Bertahanlah, Ken! Aku akan memanggil ambulans ke sini… Ambulans akan membawamu ke rumah sakit… Bertahanlah, Ken!" Air mata mulai menganak sungai dengan sepasang bahu Belinda yang bergelugut.

Kenny Herry menahan tangan istrinya. "Jangan… Jangan… Takkan sempat lagi… Aku rasa aku takkan bertahan lama lagi, Bel… Temani aku saja di sini… Aku ingin kau menemaniku, dan aku ingin mati dalam pelukanmu. Bisakah…? Bisakah…?"

Darah terus muncrat dari mulut Kenny Herry. Beberapa kali Belinda memekik ngeri melihat ada begitu banyak darah yang keluar dari mulut sang suami.

"Ada… Ada di mana Xalvador, Bel?" tanya sang suami dengan suara yang semakin dan semakin melemah.

"Ada di rumah… Ayah dan Ibu datang setelah kau berangkat tadi. Karena Ayah dan Ibu ada, aku keluar sebentar. Aku membelikanmu cake blueberry kesukaanmu dan akan kuberikan padamu. Makanya aku bawa cake ini ke sini, Ken… Tidak kusangka… Tidak kusangka…" Kembali air mata menganak sungai di wajah sang istri. Dengan tangan gemetaran, dia meletakkan sekantong plastik berisi cake blueberry di samping sang suami.

"Terima kasih, Sayang… Terima kasih… Kau adalah segalanya bagiku… Di kehidupan mendatang, aku akan kembali mencarimu. Kau tak bisa menjadi istri orang lain. Kau hanya bisa menjadi istriku seorang. Tunggu aku… Tunggu aku di kehidupan mendatang, Bel…"

"Jangan tinggalkan aku, Ken… Jangan tinggalkan aku…" Belinda mendaratkan satu kecupan mesra ke bibir sang suami yang kini berlumuran darah.

"Maafkan aku, Belinda Sayang… Maafkan aku… Cinta ini akan kuteruskan dan kutebus di kehidupan mendatang, Belinda… Juga sampaikan permintaan maafku pada Xalvador ya, Bel… Aku tidak bisa menemaninya sampai dia besar nanti. Namun, aku akan selalu hadir dalam hatinya kapan pun dia membutuhkanku. Aku akan… akan… selalu di sana…" Sang suami tampak mulai memejamkan kedua matanya.

Kini mata itu hanya bisa setengah tertutup dan terbuka. Setelah itu, tubuh Kenny Herry tidak bergeming lagi.

"Kenny! Kenny! Kenny!" teriakan Belinda Yapardi membahana memecah seisi ruangan yang kini sudah porak-poranda tersebut.

Belinda Yapardi menyambar senapan sang suami dan membombardir beberapa anak buah Dedrick de Groot yang telah menewaskan suaminya. Tampak tubuh-tubuh anak buah Dedrick de Groot berjatuhan satu demi satu ke lantai. Namun, ada sisa satu anak buah yang terakhir… Meski tubuhnya terkena beberapa peluru, ia masih memiliki kekuatan yang cukup untuk berbalik dan melepaskan beberapa tembakan ke arah Belinda.

Tubuh Belinda tampak bergetar hebat karena dibombardir oleh beberapa peluru. Perlahan-lahan, senapan terlepas dari genggaman tangan dan terjatuh ke lantai. Tubuh Belinda juga perlahan-lahan ambruk ke lantai.

Inikah akhir dari semuanya? Apakah aku sudah mencapai tanda titik dalam hidupku? Iya… Aku rasa juga begitu…

Perlahan-lahan, Belinda merangkak di lantai, berusaha mencapai tempat sang suami terbujur kaku. Dengan segenap upayanya yang terakhir, Belinda berusaha mencapai tempat sang suami menemui ajalnya tadi. Namun, sampai di tengah-tengah, napas Belinda sudah berhenti. Jantung juga berhenti berdetak. Denyut nadi juga sudah berhenti. Dan akhirnya Belinda tidak pernah sampai pada tempat di mana suaminya menemui ajalnya tadi.

Aku tidak cukup kuat menggapaimu, Ken… Aku tidak sanggup lagi… Kau harus mencariku ya… Di kehidupan mendatang, aku akan menunggumu. Jika kau belum datang, aku takkan bergerak maju. Aku akan tetap berdiam di tempat sampai kau menemukanku… Kau mengerti kan?

Xalvador… Xalvador… Kau harus menurut pada Kakek dan Nenek ya… Kau harus tumbuh menjadi anak yang sepintar dan sehebat ayahmu, Nak… Kau harus bisa membahagiakan Kakek dan Nenek ya… Jangan nakal… Ke depannya, jika ada kesusahan hidup, jangan takut ya… Panggil nama Ayah dan Ibu. Kami akan hadir ke dalam hatimu. Kami akan mengusir segala iblis yang merisak dan menyusahkan hidupmu. Maafkan ayahmu, Nak… Maafkan aku juga… Maafkan kami… Jika ada jodoh, kita 'kan bertemu lagi di kehidupan mendatang.

Tubuh Belinda Yapardi dan Kenny Herry Yanto Wangdinata sama sekali tidak bergerak lagi.

Pengejaran terhadap Boy Eddy Wangsa sampai ke lantai tiga bangunan klub 3P masih terus berlanjut. Terry Liandy takkan berhenti sebelum ia benar-benar melenyapkan Boy Eddy Wangsa dari dunia ini.

Beberapa tembakan kembali dilepaskan. Boy Eddy berhasil menghindar beberapa kali. Namun, ada beberapa peluru yang hinggap pada bahu dan punggung bagian atas. Dia mengerahkan segenap kekuatannya untuk berlari dan berlari. Dia tahu anggotanya sudah tidak bersisa sama sekali. Ada yang sudah melarikan diri di saat tidak melihat adanya harapan lagi. Ada yang telah meregang nyawa dan telah mengorbankan hidup mereka, seperti kedua sahabatnya yang telah berpulang.

Satu tembakan dilepaskan lagi. Kali ini peluru berhasil hinggap pada lutut kiri. Boy Eddy jatuh terjerembab ke depan.

Terry Liandy berjalan dengan terpincang-pincang menuju ke tempat kini Boy Eddy terbaring dengan tidak berdaya. Dia mengarahkan senapannya ke wajah Boy Eddy.

"Ayo! Ayo! Minta maaf padaku, Boy Eddy! Minta maaf dan mungkin saja aku akan mengampuni nyawamu! Nyawamu ada di tanganku sekarang! Hidup atau matimu tergantung pada keputusanku apakah aku akan menarik pelatuk senapan ini atau tidak!" tampak sebersit senyuman sinis yang mengerikan terpancar dari wajah Terry Liandy.

"Minta maaf buat apa? Karena Valencia jauh lebih mencintaiku daripada kau? Karena Valencia akhirnya memilihku dan tidak memilihmu?"

Terry Liandy menggebuk wajah Boy Eddy dengan senapannya. Tampak darah bermunculan dari bibir dan pipi Boy Eddy yang terluka.

"Valencia sungguh bodoh karena dia memilih menikah denganmu daripada aku!"

Terry Liandy menginjak lutut Boy Eddy yang terluka. Terdengar Boy Eddy menjerit keras.

"Namun, tenang saja… Aku takkan terburu-buru seperti itu. Setelah kau mati, Valencia dengan cepat akan menyadari kesalahannya. Dia akan berpaling padaku, dan aku akan menerimanya dengan tangan terbuka. Dia akan menikah denganku. Tentu saja, itu terjadi setelah aku menyingkirkan anakmu itu ke panti asuhan!" Kali ini, terdengar tawa Terry Liandy yang keras nan mengerikan.

Terry Liandy terus menginjak-injak lutut Boy Eddy yang sudah dihinggapi peluru. Terdengar terus jeritan dan lolongan Boy Eddy yang tidak berdaya.

"Bunuh saja aku! Bunuh saja aku!"

"Kau akan mengemis alias memohon padaku untuk mengampuni nyawamu atau membunuhmu saja! Kau akan merangkak minta ampun di hadapanku, Boy Eddy! Kau tahu Valencia adalah gadis yang begitu kuharap-harapkan sejak kami masih kecil. Kami adalah teman masa kecil. Sejak kami kecil, aku sudah berharap ketika kami dewasa nanti, dia akan menjadi istriku. Namun, kau tetap tidak mau melepaskannya. Kau rebut dia dari sisiku… Kau ambil dia… Kau telah merusak dan menghancurkan sendi-sendi kebahagiaanku, Boy Eddy… Hari ini, aku akan membuatmu membayarnya sepuluh kali lipat…"

Saat Terry Liandy hendak menarik pelatuk senapannya, kaki Boy yang satu lagi, yang tidak dihinggapi peluru, berhasil mendaratkan satu tendangan ke bagian vitalnya. Tampak Terry Liandy mundur sempoyongan ke belakang dan senapannya terlepas dari genggaman tangannya. Boy berhasil merebut senapan Terry Liandy dan membombardir semua anak buahnya yang sempat lengah karena pertahanan bos mereka sempat dijatuhkan oleh pihak lawan. Tampak anak-anak buah Terry Liandy berjatuhan satu demi satu ke lantai.

"Memang binatang kau! Kau ingin ke neraka sekarang kan? Oke! Aku akan mengabulkan permintaanmu!" Terry Liandy menyambar satu senapan dari satu anak buahnya yang sudah terbujur kaku di lantai. Senapan tersebut diarahkannya ke Boy Eddy.

Mendadak entah dari mana datangnya, muncullah Valencia di sana. Dia terlambat sampai ke bangunan 3P karena di jalan dia melihat suatu kecelakaan yang telah menewaskan kedua orang tuanya. Sesampainya dia di bangunan 3P, seisi bangunan sudah porak-poranda bak kapal pecah. Dia melihat jenazah keempat temannya di lantai bawah. Dia tidak menemukan jenazah suaminya. Dia menduga Boy pasti masih hidup dan setelah naik sampai ke lantai tiga, ia melihat apa yang hendak dilakukan oleh Terry Liandy kepada suaminya. Valencia segera menerjang ke depan.

Terry Liandy melepaskan beberapa tembakannya. Dua pelurunya berhasil hinggap pada dada kiri Boy Eddy. Sisa pelurunya hinggap pada badan Valencia yang berdiri di depan suaminya dan menangkis semua peluru tersebut.

Kedua bola mata Boy Eddy dan Terry Liandy membelalak pada saat yang bersamaan. Boy Eddy menarik pelatuk senapannya dengan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir dan menembakkannya ke Terry Liandy. Satu peluru berhasil hinggap pada dahi Terry Liandy. Terlihat Terry Liandy perlahan-lahan ambruk ke lantai dengan sepasang matanya yang membelalak hampa.

Tampak tubuh Valencia yang juga mulai kehilangan keseimbangannya dan jatuh tepat ke dalam pelukan suaminya.

Air mata mulai menganak sungai.

"Semuanya sudah berakhir, Boy… Jangan khawatir… Takkan ada lagi rasa sakit… Takkan ada rasa sakit… Dan kita juga tidak lagi terpisahkan… Kau sekarang sudah memaafkanku bukan?" senyuman Valencia semakin lama semakin melemah.

Boy Eddy hanya bisa mengangguk lemah juga. "Aku tidak pernah membencimu, Valencia. Aku tak bisa membencimu. Aku terlalu mencintaimu dan tidak bisa membencimu lagi. Selamanya, kau adalah orang yang paling berarti dalam hidupku."

Valencia terbatuk sesaat dan darah pun muncrat lagi dari mulutnya.

"Xavier sudah ada pada ibu Jacky, Boy. Tadi mereka bilang ibu Jacky ada lewat dan ibu Jacky sudah membawa pergi Xavier. Dengan demikian… Dengan demikian… Dengan demikian, Xavier dan Xavion akan dibesarkan bersama. Di masa depan nanti, aku harap… aku harap… mereka bisa mencari Xalvador dan ketiganya bisa bersahabat akrab – sama seperti kau, Kenny dan Jacky. Aku sudah sangat senang apabila Xavier bisa tumbuh menjadi seorang anak yang sehat dan bahagia."

Boy hanya mengangguk-ngangguk pasrah. "Aku tahu kau sudah berusaha yang terbaik demi Xavier. Dan kau juga sudah berusaha yang terbaik demi aku, Valencia… Jika seandainya ada kehidupan yang mendatang, aku pasti akan mencarimu lagi, Valencia. Aku akan mencarimu lagi. Kau mau kan jatuh cinta lagi padaku dan menikah denganku lagi?"

Valencia mengangguk mengiyakan. "Kau percaya dengan adanya… adanya… adanya kehidupan mendatang?"

"Aku percaya, Valencia… Cinta kita belum selesai, Valencia. Masih ada banyak hal yang belum kita raih. Masih ada banyak hal yang belum kita alami bersama. Dan masih ada banyak hal yang belum kita lihat bersama. Di kehidupan mendatang, kita bersama-sama akan ke ujung dunia dan di sana aku akan mengatakan aku sangat… sangat… sangat mencintaimu…"

Valencia kembali mengangguk-nganggukkan kepalanya.

"Sudah mau mati kita, Boy…" tampak senyuman simpul di wajah Valencia. "Tapi, selama beberapa minggu terakhir ini, semenjak kita adu mulut waktu itu, kau sudah tidak pernah menciumku lagi. Bisakah… Bisakah… Bisakah kau menciumku lagi, Boy?"

Boy juga tampak tersenyum simpul. "Selama yang kaumau, Sayang… Sebanyak yang kauinginkan…"

Bibir kedua suami istri itu saling bertaut. Mereka mempererat pelukan masing-masing. Darah dan air mata juga saling berbaur. Semuanya perlahan-lahan menjadi gelap, pekat, nan kosong tak terjelaskan. Kegelapan akhirnya meladung nan mengerabik. Kesunyian akhirnya menggelimuni nan menggeliat. Tanda titik sudah hadir di tempat, mengakhiri segala kepedihan dan penderitaan.

Mengapa tidak terasa sakit lagi? Apakah kami sudah berakhir…? Mengapa aku tidak merasa semuanya ini sudah berakhir? Aku tidak merasa sedih dan menyesal dengan semua yang telah terjadi… Kenapa bisa begitu ya…? Apakah ini adalah karena cintaku terhadap Boy? Ya… Ya… Bisa jadi… Tapi sekarang aku terjebak dalam kegelapan yang gelap di mana-mana nih… Ada di mana Boy? Baru saja ia memelukku, menciumku, dan mengatakan dia sangat mencintaiku, sekarang dia sudah menghilang entah ke mana, menelantarkanku sendirian dalam gelap di sekelilingku nih… Aku harus menunggu lagi… Menunggu dan terus menunggu sampai akhirnya Boy menemukanku. Sampai akhirnya kami bisa bertemu dan bersama lagi…

Boy juga berada dalam suatu kegelapan yang pekat nan tak berujung.

Di mana pangkalnya ini? Di mana ujungnya nih? Sama sekali tidak berpangkal ujung… Ada di mana Valencia? Ada di mana dia? Baru saja kami meninggal bersama, kini aku dan dia sudah terpisahkan lagi. Harus mencarinya ke mana ya…? Tapi, aku takkan menyerah. Aku yakin Valencia akan terus menungguku… Aku yakin dengan janji cintanya kepadaku… Ada di mana kau, Valencia…? Ada di mana kau…?

Xavier… Xavier… Maafkan Ayah, Nak… Sejak hari ini, aku tidak bisa menemanimu lagi, tidak bisa bermain denganmu lagi, dan tidak bisa membawamu jalan-jalan lagi. Ternyata waktu kebersamaan antarmanusia itu begitu singkat. Jika tahu begitu sebelumnya, aku akan menghabiskan lebih banyak waktu denganmu, Xavier. Tanpa Ayah dan Ibu di sampingmu, aku harap kau bisa belajar sendiri menghadapi beratnya kegelapan dan kekejaman dunia manusia. Kau harus belajar sendiri menghadapi masa depanmu. Kau harus mendengarkan apa kata-kata Nenek Gladys ya, Xavier… Walau aku dan ibumu tak ada di sampingmu, ingatlah, Nak… Kami akan selalu ada di dalam hatimu. Panggil nama kami dan kami akan hadir ke dalam hatimu… Kami senantiasa ada di sana… Maafkan kami, Xavier… Maafkan kami… Sekali lagi, maafkan semuanya… Jangan pernah… Jangan pernah hidup dengan kebencian dalam hatimu, Xavier… Itu hanya akan merugikan dirimu sendiri…

Perlahan-lahan, tubuh Valencia Fang dan Boy Eddy Wangsa roboh ke lantai. Kepala keduanya tampak terbaring di sebuah mesin tik yang sudah hancur berantakan. Tuts-tutsnya sudah hancur dan tampak berhamburan ke segala arah.

Diam… Hening… Semuanya tidak bergerak lagi… Meninggalkan genangan darah dan bayang-bayang maut di seisi bangunan klub 3P… Mayat bergelimpangan di mana-mana… Seisi bangunan sudah porak-poranda dan berubah menjadi seperti kapal pecah. Terdengar suara mobil ambulans dan mobil polisi dari kejauhan. Makin lama, suara semakin jelas. Akhirnya apa yang terjadi dalam bangunan klub 3P mendapat perhatian dari polisi, pihak rumah sakit, dan masyarakat-masyarakat sekitar.

***

Perlahan-lahan jenazah ketiga sahabat The Amazing Boys bersinar dengan warna biru, hijau dan merah. Mendadak kristal dengan warna masing-masing mulai bermunculan pada sekujur badan. Kristal akhirnya menyelimuti sekujur badan. Sinar warna biru, hijau dan merah masih berpendar ke mana-mana. Tiga wanita yang semula terjebak di dalam kegelapan masing-masing akhirnya bisa melihat tiga sinar dengan tiga warna yang berbeda.

"Itu pasti Kenny… Ken! Ken! Ken!" Belinda berlari ke arah sinar warna biru yang ia tangkap dalam kegelapan yang mengerubunginya.

"Itu pasti Boy… Boy! Boy! Boy!" Valencia berlari ke arah sinar warna hijau yang ia tangkap dalam kegelapan yang mengerubunginya.

"Itu pasti Jacky… Jack! Jack! Jack!" Ivana berlari ke arah sinar warna merah yang ia tangkap dalam kegelapan yang mengerubunginya.

Mendadak saja sinar warna biru, hijau dan merah mulai meredup dan akhirnya berubah menjadi tiga kristal dengan tiga warna yang berbeda. Tampak jenazah tiga sahabat The Amazing Boys tidur terlelap dalam kristal masing-masing. Tentu saja ketiga wanita terhenyak di tempat masing-masing karena mendapati pasangan mereka kini sudah terkurung dalam kristal dengan tiga sosok dewa yang berdiri di belakang kristal tersebut.

"Hah! Kenny! Ken!" Belinda tampak menyentuh-nyentuh kristal warna biru yang ada di hadapannya dan Kenny Herry sama sekali tidak memberikan reaksi.

"Siapa kau? Keluarkan Boy! Dia itu suamiku!" Valencia mencoba mengetuk-ngetuk kristal warna hijau yang ada di depannya, namun Boy Eddy sama sekali tidak bergeming.

"Kauapakan Jacky dalam kristal merah itu?" Sama juga, Ivana mengetuk-ngetuk kristal merah yang ada di depannya, tapi Jacky Fernandi sama sekali tidak bereaksi.

"Suamimu bukanlah suamimu… Pasangan hidupmu bukanlah pasangan hidupmu…" kata sosok dewa yang berdiri di belakang kristal.

"Apa maksudmu?"

"Susah kalau diceritakan… Lebih baik kau melihat dan menyaksikan sendiri saja…" kata sosok dewa tersebut lagi.

Masing-masing dewa mengayunkan tangan mereka. Sinar warna putih terang nan menyilaukan mata berpendar ke arah Belinda, Valencia, dan Ivana. Ketiganya menutup mata masing-masing karena tidak tahan dengan terangnya sinar warna putih tersebut. Begitu ketiganya membuka mata masing-masing. Mereka sudah berada di sebuah taman yang begitu indah nan mempesona.

Ketiganya melihat ke sekeliling mereka. Hilang sudah kegelapan yang mengurung mereka tadi. Mereka berdiri di bawah hangatnya sinar mentari, dengan latar belakang air terjun dan padang rumput warna hijau segar. Kupu-kupu dengan beragam warna terbang dari satu bunga ke bunga yang lain. Terdengar kicauan burung-burung sebagai melodi surgawi yang begitu indah nan menyejukkan telinga ketiganya.

Mendadak saja mereka melihat tiga sosok dewi yang sedang mengumpulkan bebungaan surgawi. Tentu saja mereka terhenyak kaget karena ketiga sosok dewi dalam balutan jubah warna jingga tersebut tampak sangat mirip dengan mereka bertiga.

"Kenapa ia bisa mirip sekali denganku?"

"Siapa dewi itu? Apa yang terjadi di sini? Kenapa ia bisa mirip sekali denganku?"

"Ada yang aneh di sini… Dewi itu mirip sekali denganku…"

Muncullah sinar warna biru dari air terjun yang mengalir dari pegunungan, sinar hijau dari tanaman teh di puncak bukit dan sinar merah dari bebungaan yang bermekaran di padang rumput tersebut. Masing-masing sinar berubah menjadi sosok tiga dewa yang mirip sekali dengan Kenny Herry, Boy Eddy, dan Jacky Fernandi. Kembali Belinda, Valencia, dan Ivana tercengang di tempat masing-masing.

Sang dewa mendekati sang dewi. Mereka saling berpelukan. Canda tawa riang gembira mulai mengalun ke seantero taman surgawi. Sang dewa mengayunkan tangannya sejenak. Bunga-bunga surgawi berjatuhan dari langit dan menghujani sang dewi dalam balutan jubah warna jingga. Aroma semerbak menebar ke empat penjuru mata angin.

Mendadak saja langit menjadi gelap dan hujan mulai turun dengan derasnya. Angin kencang mulai bertiup. Dalam sekejap, taman surgawi yang begitu indah berubah menjadi semacam medan perang dengan kekeringan dan kegersangan di mana-mana. Keindahan hilang dan kegersangan segera datang mengerabik sanubari sukma. Sang dewi mulai merasa ketakutan dan ia tampak bersembunyi di belakang sang dewa yang ia cintai.

"Aku takut… Aku takut… Maha Dewa dan Maha Dewi akan segera datang untuk menyimpanku kembali ke dalam kristal…" kata sang dewi.

"Jangan takut… Ada aku di sini… Mereka takkan bisa menyimpanmu ke dalam kristal." Sang dewa melindungi sang dewi yang ia cintai.

Maha Dewa dan Maha Dewi dalam balutan jubah emas dan perak mereka muncul di depan tiga dewa dan tiga dewi yang saling mencintai.

"Sungguh lancang! Dewa Air Terjun… Dewa Teh… Dewa Bunga Mawar… Kalian bertiga ditempatkan dalam satu taman ini adalah untuk meditasi dan menyempurnakan ilmu kekuatan kalian! Kalian tidak disuruh untuk mencintai tiga dewi pembantu yang mengurus taman surgawi ini! Apa-apaan kalian ini! Sebagai penerus kerajaan surgawi ini, kalian telah mempermalukan Ayahanda dan Ibunda!" teriak Maha Dewi.

Maha Dewa yang berpembawaan agak tenang, menenangkan istrinya dan berkata, "Tenang, Maha Dewi… Tenanglah sedikit… Anak-anak takkan bisa mendengarkan kata-katamu apabila kau menyampaikannya dengan cara yang begini…"

"Kau sampaikanlah kepada mereka!" sergah Maha Dewi sedikit gusar. Dia tampak kembali ke tempat duduknya.

Maha Dewa menghampiri ketiga anak dewa juniornya.

"Kalian tahu bahwasanya jatuh cinta antara dewa-dewi yang berbeda tingkatan di sini itu dilarang…?"

"Kami tidak mengerti kenapa harus demikian, Ayahanda… Kami saling mencintai… Setiap dewa-dewi yang ada di negeri kita juga berkesempatan untuk menyempurnakan ilmu kekuatan mereka dan menaikkan tingkatan mereka, termasuk tiga dewi penjaga taman surgawi ini. Kami tidak mengerti kenapa kami tidak bisa saling mencintai."

"Lancang! Kau berani mengubah peraturan negeri ini, Dewa Teh! Kau akan menerima akibat dari kelancanganmu hari ini!" suara Maha Dewi kembali berdentum.

Maha Dewi mengarahkan tangannya ke dewa dalam balutan jubah warna hijau. Api mulai berkobar dan membakar jubah dewa tersebut. Sang dewi yang berdiri di belakangnya terhenyak bukan main.

"Cepat minta maaf pada Maha Dewi, Dewa Teh! Jika tidak, kau akan habis terbakar dan kau harus bertapa ulang mulai dari awal lagi!"

"Aku tidak mengerti kenapa kami tidak diizinkan saling mencintai. Ketika ia bersama-sama denganku nanti, ia akan menemaniku bermeditasi, ia sendiri juga akan bermeditasi dan menyempurnakan ilmu kekuatannya. Kami berdua akan menjadi dewa dan dewi yang sempurna, Ibunda. Kenapa Engkau begitu keras kepala dan tidak pernah mau merestui kami?"

Maha Dewa menatap ketiga anaknya dengan pandangan lirih.

"Peraturan tetaplah peraturan… Untuk saat ini, mereka bertiga belum bisa menyempurnakan ilmu kekuatan mereka. Mereka tidak cocok bersanding dengan kalian bertiga. Untuk bisa mencapai tahap seperti kalian, mereka harus bertapa selama sepuluh ribu tahun alam manusia lagi. Kalian takkan bisa menunggu selama itu. Kalian akan kami jodohkan dengan tiga dewi dari negeri seberang sana yang lebih cocok dan lebih sesuai. Tinggalkan tiga dewi ini dan kembali ke pertapaan kalian!" suara Maha Dewi terdengar berdentum.

"Apa kau tidak merasa kau sudah terlalu keras kepada ketiga anakmu, Maha Dewi?" tanya Maha Dewa dengan sorot mata sedikit iba.

"Mereka adalah tiga penerus kerajaan kita, Maha Dewa. Jika tidak tegas, dan tidak disiplin dalam menegakkan peraturan kerajaan kita, bagaimana mereka bertiga bisa memimpin kerajaan dan dewa-dewi yang menghuni kerajaan ini? Mereka harus diajari sejak dini untuk memprioritaskan peraturan dan disiplin negeri ini!"

"Kami mohon pertimbangkanlah kembali, Ibunda… Ayahanda… Kami saling mencintai… Aku takkan bisa meneruskan pertapaanku jika dewi ini tidak menemaniku, Ibunda, Ayahanda… Jika Ibunda dan Ayahanda tidak bisa mengabulkan permintaan kami ini, aku rasa aku tidak bisa meneruskan pertapaan ini lagi."

"Engkau menggunakan pertapaanmu sendiri untuk mengancamku, Dewa Bunga Mawar?" tampak Maha Dewi sedikit menyipitkan kedua matanya dan menatap lekat-lekat ke salah satu anak dewanya yang jubahnya berwarna merah gelap semua.

Maha Dewi mengarahkan tangannya ke Dewa Bunga Mawar. Api mulai berkobar dan membakar habis jubah Dewa Bunga Mawar lapis demi lapis.

"Cepat minta maaf pada Maha Dewi, Dewa Bunga Mawar… Cepat minta maaf sebelum ilmu pertapaanmu selama ini habis sia-sia begitu saja…" tampak air mata mulai gelingsir dan sang dewi tampak benar-benar tidak berdaya kali ini.

Dewa Bunga Mawar menguatkan hatinya. Ia tidak ingin minta maaf. Ia hanya menggeleng pasrah.

"Bagaimana, Dewa Air Terjun? Setelah melihat apa yang terjadi pada kedua saudaramu, masih maukah Engkau bersikukuh bersama-sama dengan dewi tingkat rendah itu?" tampak Maha Dewi sedikit tersenyum sinis.

Maha Dewa hanya bisa berdiri kaku dan menyaksikan apa yang diperbuat oleh sang istri untuk menghukum ketiga anak mereka.

Dewa Teh sudah kehilangan 60% dari kekuatannya. Tampak dia mulai melemas dan jatuh ke tanah. Dengan sorot mata nanar, ia menatap kedua saudaranya dan berujar,

"Aku tak pernah menyesal dengan keputusanku, Dewa Air Terjun, Dewa Bunga Mawar… Mohon maaf… Aku ingin bersolo karier dulu… Aku tidak bisa menemani kalian berdua dalam pertapaan lagi. Lebih baik aku melanglang dalam dunia manusia dan mencari jati diriku sendiri daripada terus terkungkung dalam sangkar emas seperti ini…"

"Pergilah sana!" hardik Maha Dewi. "Pergilah sana ke alam manusia, Dewa Teh! Engkau akan menyadari di dunia manusia sana penuh dengan kekejaman dan kepalsuan. Setelah cukup puas melanglang di dunia manusia, kau akan menyadari tiada tempat yang lebih menyenangkan lagi dibandingkan dengan rumahmu sendiri di sini!"

Dewa Bunga Mawar juga tidak bisa bertahan lebih lama lagi.

"Aku tidak kuat lagi, Dewi… Lepaskan aku… Nanti kau sendiri juga ikut terbakar dan menjelma menjadi manusia…" Dewa Bunga Mawar mulai tampak ambruk ke tanah.

Mendadak saja kedua dewi hanya tersenyum simpul. Keduanya memegangi dan membelai-belai kedua belahan pipi Dewa Teh dan Dewa Bunga Mawar . Dewa Teh dan Dewa Bunga Mawar mulanya begitu terperanjat kaget. Namun, pada akhirnya mereka hanya bisa mengangguk dan tersenyum. Dewa Air Terjun hanya bisa menyaksikan apa yang terjadi pada kedua saudaranya dengan sorot mata nanar.

"Mereka lebih memilih untuk terlahirkan di dunia manusia dan mengecap segala jenis derita yang ada di sana," Maha Dewa memandangi bekas tempat kedua anaknya tadi dengan sedikit lirih.

"Dalam lima puluh tahun atau seratus tahun, mereka pasti akan kembali, Maha Dewa. Mereka takkan tahan dengan segala jenis derita yang ada di alam manusia sana. Disiplin tetaplah disiplin dan harus ditegakkan. Jika tidak, kelangsungan negeri kita ini akan berada dalam bahaya besar." Maha Dewi masih menatap Dewa Air Terjun yang ada di hadapannya.

"Bagaimana, Dewa Air Terjun? Pilihan ada di tanganmu sendiri…"

"Masihkah kau mencintaiku jika aku sudah terlahir di alam manusia sebagai manusia biasa dan tidak memiliki kekuatan apa-apa lagi?" tanya Dewa Air Terjun kepada sang dewi dengan pandangan nanar.

"Aku… Aku akan mengikutimu ke mana pun kau dilahirkan…" kata sang dewi dengan sebersit senyuman simpul sembari mengangguk mantap.

Dewa Air Terjun juga mengangguk mantap. Dia mengibaskan tangannya sekali. Terciptalah api surgawi di sekeliling badannya. Dia mengulurkan tangannya dan sang dewi menyambut uluran tangannya. Partikel tubuh keduanya mulai habis satu per satu dibakar oleh api surgawi yang berwarna biru.

Maha Dewa dan Maha Dewi sungguh terhenyak dengan kejadian itu.

"Kau… Kau… Bahkan kau juga lebih memilih sang dewi itu daripada memprioritaskan kelangsungan kerajaan ini, Dewa Air Terjun?" tampak mulut Maha Dewi yang menganga karena dia sungguh terhenyak kaget bahkan anak pertamanya juga memilih untuk terlahir ke alam manusia saja daripada harus terpisahkan dari sang dewi yang dicintainya. Dia sungguh tidak menyangka hubungan percintaan ketiga anak dewanya dengan dewi-dewi mereka sudah sebegitu dalam.

"Iya, Ibunda… Maafkan kami tidak bisa menjadi dewa yang berbakti kepada Ayahanda dan Ibunda. Suatu saat di masa depan nanti, kami akan kembali lagi ke taman surgawi ini dan melanjutkan pertapaan kami jika Ayahanda dan Ibunda sudah merestui hubungan kami bertiga dengan tiga dewi penjaga taman surgawi ini. Maafkan kami, Ayahanda… Maafkan kami, Ibunda… Kami berangkat dulu…"

"Kalian semuanya tidak berguna! Kalian semuanya pemberontak dan pembangkang! Di alam manusia itu kalian juga akan menelan banyak penderitaan dan kalian tetap takkan bersatu! Dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang berikutnya, kalian tetap akan terpisahkan!" teriak Maha Dewi dengan suaranya yang berdentum.

Dewa Air Terjun dan dewi pasangannya akhirnya menghilang dari pandangan mata Maha Dewa dan Maha Dewi. Saking marahnya, setitik air mata mulai gelingsir di pelupuk mata Maha Dewi. Dia berkata kepada sang suami,

"Aku hanya ingin mereka tumbuh menjadi dewa yang disiplin dan bisa mementingkan masa depan kerajaan ini. Apakah aku salah, Maha Dewa?" air mata Maha Dewi yang gelingsir di pelupuk mata Maha Dewi akhirnya tampak bergulir turun.

"Anak-anak, Maha Dewi… Seiring dengan berjalannya waktu, mereka akan bisa mengerti." Maha Dewa merengkuh sang istri ke dalam pelukannya.

"Dewa 5 Unsur! Dewa 5 Unsur!" panggil Maha Dewa.

Benar saja… Sejurus kemudian, ada lima dewa masing-masing dengan jubah warna kuning, merah, biru, cokelat, dan hitam muncul di hadapan Maha Dewa dan Maha Dewi.

"Kami siap menerima perintah dari Maha Dewa…" kata Dewa Kayu mewakili keempat rekannya.

"Kalian harus menemani ketiga dewa mahkota di dunia manusia. Seberapa banyak pun penderitaan yang mereka alami, kesadaran dan badan jasmani mereka tidak boleh sampai rusak. Kalian berlima bertanggung jawab untuk itu. Kalian mengerti kan?"

"Kami mengerti, Maha Dewa… Kami siap melaksanakan tugas…" Kali ini, kelima dewa unsur menjawab berbarengan.

Mendadak saja memori kesadaran tersebut menghilang dan sekeliling Belinda, Valencia, dan Ivana menjadi gelap kembali. Belinda, Valencia dan Ivana hanya bisa berjongkok dengan lemas, dengan sinar mata tidak percaya dan mulut mereka yang menganga lebar.

"Jadi… Itukah sebabnya kenapa di kehidupan ini kami harus dipisahkan lagi?" Belinda mulai mengumbar kekesalan dan kekecewaannya. "Kami sungguh kecewa pada kalian para dewa. Apa salah kami jika kami saling mencintai? Apakah masalah tingkatan itu begitu penting bagi kalian para dewa?"

"Peraturan tetaplah peraturan, Belinda… Memang di alam dewa sana, dewa dan dewi yang berbeda tingkatan tidak boleh saling mencintai dan menikah karena itu akan menurunkan tingkat pencapaian ilmu si dewa atau si dewi yang lebih tinggi. Oleh sebab itulah, kami melarang dewa dan dewi yang tidak sederajat untuk saling mencintai dan menikah," jawab sang dewa.

Namun, Belinda tetap terlihat tidak puas dengan penjelasan sang dewa. Dia tampak merapatkan sepasang bibirnya dan membuang pandangannya ke arah lain.

"Jadi, akan ke mana aku ini? Kalian akan tetap memisahkan Jacky dariku?" tanya Ivana dengan sekelebat pandangan tidak percaya.

"Tidak! Tidak! Kembalikan Boy padaku! Kami akan sama-sama bergerak ke kehidupan yang berikutnya! Meski berkali-kali terpisahkan dari satu kehidupan ke kehidupan yang berikutnya, kami akan tetap saling menemukan. Kami takkan menyerah sampai Maha Dewa dan Maha Dewi merestui hubungan kami…" mulai terdengar tangisan Valencia yang tersedu-sedu.

"Kalian bertiga akan terlahirkan kembali di kehidupan yang berikutnya. Sementara tiga dewa mahkota akan menjelma menjadi tiga malaikat pengantar nyawa di kehidupan ini. Di kehidupan kalian yang berikutnya, mereka akan tetap mencari kalian bertiga, sesuai dengan janji mereka. Namun, mereka tidak boleh memberitahu kalian jati diri mereka. Apabila kalian tidak bisa mengingat mereka, atau apabila mereka memberitahu sendiri kepada kalian jati diri mereka, kalian akan terpisahkan selamanya… Mengerti kan?" kata sosok dewa yang berdiri di belakang kristal pengurung tiga sahabat The Amazing Boys.

Tiga wanita kembali terhenyak di tempat mereka masing-masing.

"Apa tujuanmu dengan berbuat begini kepada kami? Jelas-jelas kau tahu ingatan akan hilang seiring dengan jalannya reinkarnasi. Jelas-jelas kau ingin menggunakan jalan reinkarnasi untuk memisahkan Jacky dariku! Kau benar-benar licik!" Air mata emosi dan amarah tampak mulai terbit di kelopak mata Ivana.

Sosok dewa tersebut tampak meledak dalam tawa nyaringnya.

"Jika ada keyakinan, kau pasti bisa mengingatnya, Belinda… Jika ada cinta, kalian pasti akan bisa bertemu dan bersatu, Ivana… Jika ada usaha untuk meraih kebahagiaan, kau pasti akan bisa bersanding kembali dengan Dewa Teh kami, Valencia… Berusahalah… Berusahalah… Masa depan dan kehidupan mendatang sudah menunggu kalian. Tiga dewa mahkota kami akan menunggu kalian di kehidupan mendatang ya…"

Sosok dewa tersebut mulai mengibaskan tangannya. Muncullah tiga lingkaran sinar warna jingga di belakang Belinda, Valencia dan Ivana. Mereka mulai merasa satu per satu partikel pembentuk tubuh mereka mulai tersedot ke dalam lingkaran sinar jingga tersebut.

Aku akan membawa ingatanku dari kehidupan yang sekarang ke kehidupan yang berikutnya. Aku pasti bisa… Belinda mulai bertekad dalam hati.

Di kehidupan yang berikutnya, aku pasti bisa mengingatmu, Boy. Kau harus tetap mencariku ya… Aku akan menunggumu selalu… Valencia juga membuat tekadnya sendiri di dalam hati.

Kalaupun aku tidak bisa membawa seluruh ingatanku ini ke kehidupan yang berikutnya, aku yakin aku bisa membawa sebagian. Aku akan kembali bertemu denganmu di kehidupan yang mendatang dan aku yakin aku bisa mengingatmu, Jacky… Mungkin saja di kehidupan mendatang Maha Dewa dan Maha Dewimu sudah merestui hubungan kita dan tidak lagi melarang kita bersama, Jacky… Aku selalu menunggu datangnya hari itu, Sayang… Ivana juga membuat tekadnya sendiri di dalam hati.

Ketiganya menghilang ke dalam sinar jingga. Sang dewa kembali mengayunkan tangannya. Tiga kristal berubah menjadi tiga sinar dengan tiga warna berbeda dan terbang masuk ke dalam telapak tangannya.

"Untuk sementara, tiga kristal ini akan aku simpan dulu. Lihat ke depannya apakah mereka bisa saling menemukan atau tidak…" kata sang dewa seolah-olah ia sedang bersenandika dengan dirinya sendiri.

"Cinta… Sejak dulu beginilah cinta… Bukan derita sih… Tapi perjuangannya tiada akhir, kalau menurutku…" sambil meledak dalam tawa nyaringnya, sang dewa menghilang dan keluar dari zona kegelapan yang diciptakannya sendiri.