webnovel

Kau Selamatkan Aku dari Kobaran Api

BAB 8

Medan, 18 Mei 2018

Titik waktu akan bergeser mundur sedikit; masih di hari yang sama, tapi di pukul empatan sore harinya. Terpaksa Kenny Herry menghadap Nona Jessica bersama-sama dengan Angela karena Angela terlambat tiba di PT. Keramik Rusli sore hari itu.

"Maaf sekali, Bu Jessica. Aku mengantarnya ke sini tadi. Tapi, karena ban mobil kempes di jalan, terpaksa harus cari tukang tambal ban yang bisa menambal ban mobil," kata Kenny Herry asal-asalan.

"Dari mana memangnya kalian?" Nona Jessica Wong mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya di atas meja kacanya.

"Dari Tembung sana, Bu Jessica. Aku membawa Angela menemui kedua orang tuaku. Rumahku memang di Tembung sana," kata Kenny Herry asal-asalan lagi.

Sungguh salut Angela melihat kemampuan Kenny Herry dalam mengarang alasan dengan cara yang sedemikian spontan. Tidak heran dia bisa mengelabui orang-orang Belanda pada zaman penjajahan dulu.

"Oke deh… Lain kali tidak boleh begitu lagi ya, Angela… Lihat ini sampai merepotkan pacarmu datang ke sini memberikan penjelasan," kata Nona Jessica Wong menebarkan sebersit senyuman menggoda. Tidak kusangka pacar Angela Thema ini sangat ganteng. Aku jadi penasaran apakah dia itu orang yang tertarik pada uang dan kekayaan atau tidak. Sempat saja aku tahu dia termasuk laki-laki yang lebih memprioritaskan uang dan kekayaan, akan kusingkirkan si Angela Thema ini dan akulah yang akan bersanding dengan sang pangeran tampan…

Seolah bisa membaca isi hati Nona Jessica Wong, tampak Kenny Herry mulai membelai-belai rambut poni sang putri pujaan di hadapan Nona Jessica Wong.

"Terima kasih untuk pengertiannya, Bu Jessica. Kasihan sekali sih Angelaku ini. Kubiarkan dia bekerja selelah ini hanya karena dia harus mendapatkan gelar S1- nya. Setelah tamat S1, dan setelah kami menikah, dia takkan kubiarkan bekerja selelah ini lagi. Menurut Ibu benar tidak?"

"Ya… Tergantung apakah kau sanggup menghidupinya atau tidak," jelas terdengar nada sindiran di sini.

Angela Thema mulai tidak mengerti ke mana arah pembicaraan antara sang malaikat birunya dengan atasannya ini.

"Lucu sekali jika aku sampai tidak sanggup, Bu Jessica. Lagipula, aku mengumpulkan uang dan kekayaanku itu secara halal. Dalam mengumpulkan harta, aku tidak pernah melakukan hal-hal yang bertentangan dengan hati nurani."

"Maksudmu?" tampak Nona Jessica Wong memajukan tubuhnya beberapa senti ke depan, dan tampak dahinya berkerut dalam.

"Bu Jessica… Anak kecil yang ada di samping Bu Jessica itu kelihatannya sangat haus. Apakah Bu Jessica tidak ingin memberinya sedikit dari jus ini?" tanya si malaikat biru menunjuk ke jus mangga di depan Nona Jessica Wong yang tinggal seperempat.

Dari pantulan kaca meja, Nona Jessica Wong bisa melihat adanya seorang anak laki-laki kecil dengan lubang besar pada dada kirinya dan pada kedua rongga matanya. Tampak darah terus bercucuran dari lubang-lubang itu. Nona Jessica Wong memekik tertahan dan ia melihat ke samping sejenak. Namun, sama sekali tidak ada anak kecil, tidak ada siapa-siapa di sampingnya.

Angela Thema juga terperanjat kaget melihat arwah si anak lelaki itu. Arwah si anak lelaki terus mendorong-dorong kepala Nona Jessica Wong. Arwah kepala Nona Jessica Wong maju mundur, keluar masuk dari kepala raganya.

"Ayo main ayunan, Kak! Ayo main ayunan! Menyenangkan sekali… Menyenangkan sekali…" terdengar suara si anak lelaki dengan dua lubang besar pada tubuhnya.

Sontak Angela mundur dan menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang malaikat birunya.

Kepala Nona Jessica Wong semakin dan semakin pening. Ia semakin lemas dan semakin lemas. Akhirnya ia hanya bisa terkulai lemas di atas meja kacanya. Arwah si anak lelaki pun menghilang.

"Menghilang… Ke mana anak kecil itu? Dia masih begitu kecil, Baju Biru… Palingan satu atau dua tahun begitu saja, tapi sudah bisa bicara dan berdiri."

"Dalam keadaan sudah menjadi hantu, tentu saja pribadi itu bisa melakukan hal-hal yang tak mungkin dilakukannya semasa hidup, Gel. Sudah biasa… Yang menjadi pertanyaannya adalah… Kenapa anak sekecil itu bisa meninggal dan terus meneror atasanmu ini?"

"Kau tahu sesuatu?" tanya Angela kepada sang malaikat birunya dengan sedikit bergidik ngeri.

"Hanya semacam firasat… Tidak begitu yakin sih… Yang jelas, kita akan menyelidikinya nanti. Aku akan menangani kasus gadis yang mati bunuh diri di mall itu dulu. Akan kukabari kau jika sudah ada perkembangan."

"Dan kita tinggalkan saja Bu Jessica ini dalam kondisi yang demikian?" Angela merasa kurang yakin.

Kenny Herry tersenyum menenangkan, "Tenang saja, Gel. Kekuatan anak itu masih lemah karena sudah meninggal dalam usia yang begitu dini. Dia hanya bisa membuat Bu Jessica ini pingsan. Bu Jessica ini akan sadar kembali dalam waktu beberapa menit."

"Oh, oke deh… Aku mau kerja dulu kalau begitu. Kabari aku jika sudah ada perkembangan mengenai gadis yang bunuh diri itu."

Si malaikat berbaju biru melambaikan tangan. Angela Thema juga melambaikan tangannya. Si malaikat berbaju biru langsung menghilang dari tempat itu. Angela Thema menoleh sesaat lagi ke Nona Jessica Wong yang masih terkulai lemas di atas meja kaca sebelum ia membuka pintu dan keluar.

Di luar, tampak Cindy Victoria yang begitu asyiknya chatting dengan seseorang di Line.

"Chatting dengan siapa tuh?"Angela berusaha mengintip apa yang tertera di layar ponsel Cindy Victoria ketika yang punya ponsel buru-buru menarik mundur ponselnya dan menyembunyikannya dari jangkauan mata Angela.

"Takut sekali aku tahu deh…" kata Angela. Namun, dia yakin dia tidak salah baca nama yang tertera di layar ponsel Cindy Victoria. Jelas di layar ponsel tertera nama Qomar Shia Putra.

"Tidak ada apa-apa… Hanya mengobrol soal tugas dengan beberapa teman kampus kita. Banyak tugas yang menanti. Ada beberapa yang tidak kumengerti, jadi nanti mau pinjam lihat sebentar tugas-tugas yang sudah mereka selesaikan."

"Oh, begitu ya… Oke deh… Aku mulai masukkan dulu beberapa VKK ini ke dalam jurnal kas keluar. Kita sambung lagi nanti…" kata Angela segera beranjak ke tempat kerjanya. Dahinya masih berkerut dalam.

Jelas-jelas tadi aku membaca adanya nama Qomar Shia Putra pada layar ponselnya. Apa yang dibicarakannya dengan laki-laki itu? Kenapa dia tidak mau aku tahu?

Cindy Victoria meneruskan lagi chatting-nya dengan Qomar Shia Putra.

"Kenapa mendadak kau mengajakku ketemuan Sabtu malam besok?" terus terang, perasaan Cindy mulai bermekaran.

"Tentu saja ada yang ingin kubicarakan, Cindy. Tentang Angela… Aku heran entah apa salahku sehingga sampai kini dia tidak ingin dekat denganku. Aku tidak tahu di mana kekuranganku. Terus terang saja, Cindy… Kau adalah teman dekatnya. Aku ingin meminta bantuanmu. Mungkin kau bisa menceritakan kepadaku apa-apa saja yang disukai oleh Angela dan apa-apa saja yang tidak disukainya. Aku akan berusaha memperbaiki diriku."

Cindy Victoria tertegun. Dia merasa sedikit kecewa. Namun, kekecewaan segera dihapus oleh kesenangan yang segera menggelimuni karena sang laki-laki pujaan hati telah mengajaknya ketemuan di Sun Plaza Sabtu malam besok.

"Oke deh… Meski aku tidak tahu apakah aku bisa membantu atau tidak dalam hal ini."

"Oke deh… Kau bersedia meluangkan waktu untuk ketemuan saja, aku sudah sangat berterima kasih, Cindy."

Seperti biasa, Qomar Shia Putra selalu bisa mengeluarkan kata-kata yang bisa meluluhkan benteng pertahanan Cindy Victoria Kosim.

"Besok malam jam tujuh begitu, aku langsung jemput kau dari rumah."

"Tidak usah, Qomar… Rumahku di Binjai sana. Aku dari tempat kerja jam enaman begitu langsung ke Sun saja. Kita langsung ketemuan saja di sana."

"Oke deh… Thanks very much… See you besok malam ya…" balas Qomar Shia Putra lagi. Cindy Victoria hanya mengirimkan sebuah emoticon senyum sebagai balasannya.

Aku akan berkencan dengan Qomar Shia Putra, laki-laki yang begitu aku harap-harapkan sejak aku masuk ke bangku kuliah. Meski dia hanya ingin menanyakan informasi soal Angela dariku, aku tidak peduli. Aku sudah cukup gembira dia mau mengajakku ketemuan – pada malam mingguan lagi. Aku sudah cukup senang karena aku bisa berbuat sesuatu untuknya.

Asa gembira terus menyelisir di pesisir pikiran Cindy Victoria Kosim.

***

Medan, 19 Mei 2018

Sabtu malam mulai menyapa seantero kota Medan. Jalanan di setiap sudut kota masih tampak padat merayap karena aktivitas para penduduk kota Medan yang beragam. Ada yang baru pulang kerja. Ada yang mengunjungi pusat-pusat pembelanjaan dan pusat-pusat hiburan bersama-sama dengan keluarga, teman-teman dekat, atau dengan kekasih pujaan hati.

Rasa penasaran masih membelenggu pesisir sanubari Carvany Callen Chen. Dia terus merasa penasaran apakah Delvin Lowin masih meneruskan praktik kotor dengan apotek keluarganya atau tidak. Maka berangkatlah ia ke Jati Junction dan mencari alamat rumah Delvin Lowin sesuai dengan yang diberikan oleh ibunya.

Memang Delvin Lowin tinggal di kawasan perumahan elite yang cukup bergengsi di kota Medan. Orang-orang biasanya membeli ruko di Jati Junction untuk dijadikan kantor atau tempat bisnis. Entah alasan apa si Delvin Lowin ini membeli salah satu ruko di Jati Junction untuk dijadikan tempat tinggal hariannya.

Tampak keluarga kecil Delvin Lowin di dalam rukonya di Jati Junction. Dua ruko yang digabungkan menjadi satu membuat rumah Delvin Lowin sangat luas untuk satu keluarga kecil yang hanya beranggotakan empat orang. Tampak Catherine Valeda Lowin yang mengawasi para pembantu menyiapkan makan malam di dapur.

"Kok bisa lama sekali kalian masaknya? Masak dua tiga jenis sayur saja bisa lama sekali! Memang tidak becus kerja! Main HP saja kerja kalian sepanjang hari kan!" suara si nyonya rumah mulai berdentum. Semua pembantu terlihat melaksanakan pekerjaan masing-masing dengan teliti tanpa bicara sepatah kata pun.

Sudah hal biasa Catherine Valeda harus berteriak marah-marah apabila ia pulang dari apotek dalam keadaan capek lahir batin, dan melihat pekerjaan para pembantu tak ada satu pun yang beres.

"Kuperhatikan dari CCTV ya…! Kalian asyik main HP dan chit-chat di halaman belakang kan sepanjang hari ini! Jangan kira kami tak ada di rumah, kerja kalian tak ada yang mengawasi ya! Sudah sejak jam 12 siang tadi aku pesankan malam harus masak apa dan masak apa. Kalian iya-iya saja begitu, tapi tak satu pun pekerjaan kalian yang beres! Dasar malas!"

Di saat tidak ada yang berani membantah, mendadak satu pembantu usia awal lima puluhan yang sedang memasak sup berceletuk,

"Nyonya Catherine… Ini gasnya sepertinya bocor deh… Ada tercium bau-bau tidak sedap di sini…"

Pembantu yang lain, yang sudah hafal benar tabiat dan perangai si nyonya rumah, sudah tahu apa yang bakalan terjadi pada si pembantu awal lima puluhan ini. Mungkin ia masih bekerja di rumah ini tak lebih dari satu tahun, sehingga ia tidak tahu di saat si nyonya rumah lagi marah dan mengomel-ngomel, tidak boleh ada yang mengomentari apalagi buka mulut bertanya yang macam-macam.

"Bau kepalamu!" si nyonya rumah mendorong kepala si pembantu dengan satu jari telunjuk kanannya. "Ini bau masakan tolol! Bagaimana kau bisa memasak dan memastikan rasa dan baunya sudah pas jika bau masakan dan bau gas saja tidak bisa kaubedakan!"

Si nyonya rumah berjalan keluar.

"Jelas-jelas ini bau gas loh! Kenapa dia tidak mau mendengar sih! Setidaknya kan dia bisa panggil orang untuk membetulkan gas yang bocor ini!" protes si pembantu awal lima puluhan sepeninggal si nyonya rumah.

Tak ada yang berani nimbrung lagi. Semuanya sedang berkonsentrasi ke pekerjaan masing-masing. Mau tidak mau si pembantu awal lima puluhan itu hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mengurut dada, menelan kekesalannya sendiri.

Dua anak laki-laki keluarga Lowin bermain kejar-kejaran sampai ke ruangan dapur. Namun, tak ada satu pun pembantu yang berani menegur mereka. Silap-silap jika mereka melapor ke ibu mereka, bisa-bisa para pembantu yang bakalan kena getahnya.

"Kembalikan mobilku!" teriak si bungsu.

Si sulung hanya membalas teriakan si bungsu dengan menjulurkan lidahnya. Merasa tidak ada harapan memperoleh mobil mainannya kembali, si bungsu mulai menangis sembari berteriak keras-keras supaya terdengar oleh kedua orang tuanya.

"Ayah! Ibu! Bang Denny mengambil mobil mainanku dan tidak mau mengembalikannya!" teriak si Derry Erito.

"Denny! Kembalikan mobil mainan adikmu ya! Jangan tiap hari kerjaanmu hanya mengusili adikmu ya! Jika sudah habis kesabaranku, kau bakalan aku libas ya!" terdengar teriakan si nyonya rumah lagi.

"Dia mainnya lama kali! Apa tidak bisa giliran aku yang main sekarang! Masa Ibu beli mainannya pun hanya satu! Tidak adil!" teriak Denny Eriwan tidak mau kalah.

Derry Erito juga tidak mau kalah. Dia membuka mulutnya dan membalas, "Apanya yang lama! Aku baru mulai saja kok!"

"Kau sudah main mobil itu dari tadi ya! Asyik kaujatuhkan mobil itu dari tangga! Seru kali ya kau merusak mainanku terus!" teriak Denny Eriwan dengan mata melotot.

"Sudah! Sudah! Mainan hanya satu berarti kalian itu harus kongsi! Dia itu adikmu ya, Denny Eriwan!" teriakan si nyonya rumah terus berlanjut. "Mengalah sedikit untuk adikmu memangnya kenapa sih! Lagipula, selain mainan mobil itu kan masih ada banyak mainan yang lain di ruang depan sana! Mesti kali kau ya berebutan mainan mobil itu dengan adikmu!"

Denny Eriwan tidak puas dimarahi oleh si ibu dengan tidak adil begitu. Dia mengambil mobil-mobilan yang masih menganggur di lantai. Dipukulkannya mobil-mobilan tersebut ke dahi Derry Erito. Tentu saja sang ayah yang sedang menyaksikan televisi di ruang depan bisa melihat perbuatan si anak sulung. Si anak bungsu jatuh tersungkur ke lantai dan mulai melampiaskan kekesalannya dengan tangisan dan teriakan yang pecah berderai nan tiada berujung.

"Astaga! Denny Eriwan! Sebegitu tegakah kau kepada adikmu?"

Catherine Valeda sangat shocked melihat kelakuan anaknya yang sulung. Dengan beberapa langkah lebar, sang suami berjalan mendekati kedua anaknya. Satu tamparan keras langsung didaratkannya ke pipi Denny Eriwan. Meski jatuh tersungkur ke lantai, Denny Eriwan sama sekali tidak menangis. Dia hanya membuang pandangannya ke arah lain dengan sejuta air mata yang mulai menggenangi pelupuk mata.

"Aiihh…! Jangan begitu mengajari anak, Vin!" teriak si istri yang shocked juga melihat cara sang suami dalam mendidik anak mereka.

"Kau tidak lihat apa yang dilakukannya pada adiknya tadi! Dia memukulkan mobil-mobilan itu ke kepala adiknya hari ini! Besok-besok dia akan memukulkan martil, besi atau pisau ke kepala kita apabila kita tidak mengabulkan permintaannya! Lihat hasil ajaranmu ini, Catherine! Lihat model begini yang menjadi hasil pengajaranmu selama ini!"

Terdengar suara sang suami yang berdentum ke seisi rumah. Tidak ada yang berani membantah apabila sang raja rumah sudah mengumandangkan ultimatumnya. Sang istri memberdirikan si anak bungsu yang masih terisak-isak memegangi kepalanya yang sebenarnya tidak apa-apa. Si istri membawa anak bungsu mereka ke kamar untuk dioleskan sedikit obat memar. Tampak si anak bungsu yang kini diam-diam menjulurkan lidahnya ke anak sulung sesaat sebelum dia meninggalkan tempat keributan. Si anak sulung mengantar kepergian adiknya dengan sepasang matanya yang mendelik tajam.

"Sebagai yang lebih tua, kau malahan menindas adikmu! Bagaimana kelak kau bisa diharapkan untuk menjaga dan melindungi adikmu? Abang macam apa kau ini! Renungkan kesalahanmu itu baik-baik di sana! Jangan kau makan malam jika kau belum menyadari kesalahanmu dan meminta maaf pada adikmu! Ingat itu!"

Si ayah berlalu. Sama sekali tidak ada yang berani ikut campur ke dalam urusan keluarga Lowin. Para pembantu tetap tampak sibuk menyiapkan makan malam, menyiapkan segala peralatan makan, dan merapikan meja dan kursi di ruang makan. Tidak ada yang berani mendekati Denny Eriwan dan memberinya sedikit penghiburan.

Kesal dan amarah terus mengerabik di semenanjung batin Denny Eriwan.

Lima belas menit berlalu. Tampak Derry Erito makan malam bersama-sama dengan kedua orang tuanya. Perasaan bersalah mulai melungkup di benak Derry Erito. Dia melirik ke abangnya sebentar. Tampak abangnya masih belum beranjak dari tempat keributan mereka tadi. Derry Erito ingin mengambilkan sedikit lauk untuk abangnya. Namun, dia takut abangnya masih sakit hati terhadapnya dan akan menolak pemberiannya terang-terangan. Oleh sebab itulah, dia memutuskan untuk menyisakan sedikit lauk-pauk dan sayur-mayur di atas meja, sehingga ketika abangnya ingin makan malam nanti, di atas meja masih tersedia makanan.

Segenap gulana bergelitar di padang sanubari Derry Erito.

***

"Kalian mau ke mana?" tanya si baju biru kepada dua rekannya di dalam kereta api magis.

Tampak si baju hijau sedang merapikan rambut dan penampilannya di depan cermin besar yang merefleksikan seluruh badan. Tampak juga si baju merah sedang merapikan baju kaus dan jaket merahnya di depan cermin besar.

"Tentu saja mau keluar bersama Felisha."

"Tentu saja ada janji dengan Carvany. Kau tidak ada janji dengan Angela memangnya?"

"Tentu saja ada, Jacky, Boy… Tapi mendadak kita bertiga disuruh ikut rapat dengan para dewa-dewi di atas sana."

Tampak raut wajah Kenny Herry yang sudah setengah merengut. Otomatis raut wajah Boy Eddy dan Jacky Fernandi juga setengah merengut karena jadwal kencan mereka terganggu oleh rapat mendadak dengan para dewa-dewi di atas sana.

"Kok mendadak banget sih?" tanya Boy Eddy sembari menghela napas panjang.

"Mana aku tahu," kata Kenny Herry mengangkat kedua bahunya. "Dan aku juga tidak berani bertanya terlalu banyak kepada Dewa Logam tadi."

"Bukan Dewa Api yang datang mengabarimu soal rapat mendadak ini? Biasanya dia atau Dewa Air yang datang mengabari kita bukan jika ada pertemuan di atas sana?" celetuk Jacky Fernandi dengan nada santai.

"Tidak… Dewa Logam yang datang tadi…" kata Kenny Herry sambil bersandar pada dinding batu pualam. "Aku sudah memberitahu Angela aku agak terlambat menjemputnya."

"Oke… Sebentar… Aku akan memberitahu Carvany dulu…"

"Oke… Tunggu aku… Akan kukabari Felisha dulu ada rapat mendadak dengan para dewa-dewi di atas sana."

***

Carvany membaca pesan Jacky Fernandi di Line sambil tersenyum dan kemudian dia menyimpan kembali ponselnya ke dalam tas tangannya.

Bel pintu ditekan berkali-kali. Tentu saja raut wajah Delvin Lowin tampak sangat tidak senang menyambut kedatangan Carvany malam itu.

Carvany langsung melangkah masuk tanpa dipersilakan. Mata Delvin Lowin langsung melotot menyaksikan perilaku Carvany yang mendadak nan tak terduga.

"Wah… Angin apa nih yang membawamu ke rumah kami malam ini, Carvany?" terdengar sedikit sindiran Catherine Valeda tatkala dia bergerak ke ruang depan dan melihat siapa tamunya malam itu.

"Sudah lama ya aku tidak contact suamimu ini, Catherine…" tukas Carvany dengan sebersit senyuman kecut.

"Tentu saja… Selama ini aku juga hanya mengenalmu dari foto."

"Sama… Aku juga…" senyum santai Carvany terlihat lagi.

"Ada apa gerangan nih malam-malam mingguan begini bisa bertamu ke rumah kami? Ada apa-apa yang penting, cepat dikatakan dan diselesaikan ya. Kami mau keluar nih… Malam minggu…"

"Oke… Aku to the point saja. Tentunya Delvin sudah menceritakan kepadamu soal pesan terakhir Bibi Hartati saat ia meninggal beberapa hari yang lalu."

"Wah… Menakjubkan sekali… Baru tahu aku kau itu bisa melihat dan berkomunikasi dengan makhluk-makhluk tak kasat mata. Tapi, aku lebih percaya sih kau sudah mencari tahu informasi soal apotek keluarga kami sebelum kau berpura-pura berbicara dengan arwah Ibu hari itu."

Tampak wajah sinis Catherine Valeda.

"Dan soal mertuamu yang sebenarnya meninggal karena tertabrak bus? Apakah itu juga hanya karanganku?"

Delvin Lowin melemparkan kunci rumah ke atas meja dengan kasar. Kunci rumah dengan cepat terjatuh ke lantai dan meluncur ke dalam kolong sofa tempat Carvany duduk. Tentu saja tampak Carvany terperanjat kaget sesaat.

"Siapa yang bisa membuktikan kebenaran ceritamu itu? Siapa yang bisa membuktikan bahwasanya Ibu memang meninggal karena tertabrak bus dan bukan karena penyakitnya?" suara Delvin Lowin berdentum.

"Demi Buddha, Delvin, Catherine… Tidak bisakah kalian menghentikan praktik kotor kalian itu?" tampak Carvany mulai lelah dengan sikap kedua suami istri ini yang sungguh keras kepala.

"Kau yang seharusnya berhenti mengganggu kami dan berhenti ikut campur ke dalam urusan keluarga kami!" amarah mulai mengerabik di delta pikiran Delvin Lowin.

"Jangan bawa-bawa nama Buddha segala deh, Carvany… Apakah selama ini kau sudah menjalankan ajaran Buddha dengan benar? Kau berani jamin selama ini kau tidak pernah berbohong pada orang? Urus dulu hidupmu sendiri sebelum kau mengurusi hidup orang lain!" terdengar tawa sinis Catherine Valeda.

"Tapi, kalian sadar benar menjual obat yang sudah kadaluarsa itu sungguh tidak manusiawi kan? Selain itu, jika ketahuan polisi, apotek kalian bisa terancam kebangkrutan. Itukah yang kalian inginkan?"

"Kau berani mengancam kami?" desis Catherine Valeda dengan pandangan mengerikan ke arah Carvany. Jelas Carvany sedikit bergidik dengan sinar mata itu. Catherine Valeda memang termasuk ke perempuan yang sanggup melakukan apa saja demi melindungi apa yang menurutnya sudah menjadi miliknya.

"Berapa yang kauinginkan sebenarnya untuk tutup mulut?" tanya Delvin Lowin dengan pandangan mata tajam.

"Siapa yang menginginkan uang kalian! Kau sungguh terlalu meremehkan orang, Delvin!"

"Tahi kucing…" tampak tawa sinis Catherine Valeda lagi. "Siapa coba di dunia ini yang tidak mencintai uang? Asal kau tahu saja… Masih ada banyak dus obat yang belum berhasil kami jual. Semuanya itu ada sekitaran lima puluhan juta. Uang lima puluh juta itu tidak sedikit ya! Belum lagi obat-obat yang dari luar negeri! Aku sudah rugi berapa coba! Jika aku membuang semua obat itu, aku pastikan omong kosong dan idealismemu ini takkan bisa mengembalikan semua uangku. Kecuali kau bisa mengembalikan semua uangku, kau baru berhak bicara di sini dan menasihatiku."

"Itu adalah pesan terakhir Bibi Hartati sebelum ia dijemput oleh kereta api pengantar ke kehidupan yang selanjutnya. Harus bagaimana sih baru kalian bisa percaya?" tampak dahi Carvany berkerut dalam.

"Sudah selesai dengan khotbahmu?" tampak lagi senyuman sinis Catherine Valeda. "Jika kau sudah puas memberikan khotbahmu di sini, pintu ada di sebelah sana."

Sementara itu di bagian belakang rumah… Tampak Derry Erito sedang asyik bermain dengan iPad abangnya ketika mendadak sang abang muncul dari belakang dan merebut alat itu dari tangannya.

"Aku mau main, Bang! Aku mau main!" Derry Erito mulai merengek lagi.

"Sudah cukup kau main dengan mobil itu ya! Gara-gara kau, aku jadi dimarahi dan dihukum Ayah & Ibu! Sekarang iPad ini adalah punyaku. Waktu itu, dengan jelas Ayah bilang membelikan iPad ini untukku, bukan untukmu! Mainlah mobil itu dan jangan pernah merebut mainanku lagi!"

"Ayah! Ibu! Bang Denny merebut mainanku dan tidak mau mengembalikannya!" teriak Derry Erito lagi, tapi sama sekali tidak ada tanggapan ayah ibunya dari ruangan depan.

Senyuman sinis Denny Eriwan merekah di sudut bibirnya. Derry Erito ingin merebut iPad itu dari tangan abangnya. Abangnya lebih gesit mengelak dan menghindar. Terjadilah rebut-merebut sebuah iPad di antara kedua bersaudara itu. Tak ayal lagi, iPad terlepas dari genggaman tangan dan melayang ke kompor gas yang memang tidak jauh dari mereka. Alhasil, bau gas yang memang sudah bocor halus sejak dua atau tiga jam yang lalu, kini semakin dan semakin menyengat.

"Aku pasti akan mendapatkannya terlebih dahulu!" Derry Erito berlari ke arah kompor gas.

Entah kenapa bau gas yang semakin tajam seolah-olah menyadarkan Denny Eriwan dari lamunan panjang. Dia mulai menyadari apa yang akan terjadi di detik-detik berikutnya. Mata mulai mencelang. Mulut mulai melangah. Denny Eriwan segera menarik pakaian adiknya sehingga si adik tidak berlari lebih jauh lagi. Dia memeluk sang adik dari depan dengan posisi badan yang membelakangi kompor gas. Tak ayal lagi, gas tiga kilo dengan isi yang masih ada 20% akhirnya meledak dan mengubah bagian belakang rumah menjadi semacam reruntuhan perang.

Tubuh kedua bersaudara itu tercampak jauh ke depan. Kontan Denny Eriwan meninggal seketika dengan bagian punggung dan kepala belakang yang sudah setengah hangus. Tampak Derry Erito menjerit dan melolong dalam kengerian, tertimpa di bawah jenazah abangnya. Ia tidak sanggup berdiri. Tampak pula si jago merah mulai menyambar ke mana-mana dan membakar apa pun yang ada di sekelilingnya. Para pembantu juga kucar-kacir dan berhamburan ke segala arah mencari jalan keluar dari bagian belakang rumah. Namun sangat disayangkan, rumah tersebut tak memiliki pintu belakang.

Terhenyak kaget laksana mendapat sambaran halilintar di siang bolong, kedua suami istri Lowin dan Carvany segera memburu ke belakang. Ledakan gas terjadi lagi karena api mulai menyambar ke tabung gas tiga kilo yang kedua. Api segera menyambar dan menewaskan tiga orang pembantu.

"Aaiihh…! Denny! Derry!" teriakan si nyonya rumah sungguh nyaring nan memekakkan telinga.

"Tolong aku, Bu! Tolong aku…!" terdengar lolongan kengerian Derry Erito.

Si ayah mengangkat tubuh Denny Eriwan. Tampak kedua matanya sudah membelalak hampa. Menyadari si anak sulung sudah tidak tertolong, ia hanya mencampakkan jenazah anaknya ke samping dan memberdirikan si anak bungsu.

"Kenapa kau begitu? Dia anakmu juga, Delvin! Kita harus bawa dia ke rumah sakit! Kita harus bawa mereka ke rumah sakit sekarang!" kini tampak si istri berteriak bagai orang gila.

"Denny sudah meninggal, Catherine! Mengertilah! Kita hanya bisa menolong Derry! Kita harus secepatnya keluar dari sini!"

Asap hitam makin lama makin pekat. Si istri dan si anak bungsu mulai terbatuk-batuk. Carvany tidak berani mendekati bagian belakang rumah karena hawa panas yang makin lama makin kuat.

"Kak! Aku takut, Kak! Aku takut, Kak!" tangisan Derry Erito terus berlanjut ketika ia terjun ke dalam pelukan Carvany. Kedua orang tuanya masih ada di belakang.

Sayang sekali… Api mulai menyambar tabung gas yang ketiga. Ledakan kali ini jauh lebih kuat; mungkin karena isinya jauh lebih banyak daripada dua tabung gas yang sebelumnya. Ledakan menyambar tubuh sang suami. Tubuh itu menghantam tangga dan tidak bergeming lagi. Tampak kedua mata Delvin Lowin yang sudah bernasib sama seperti mata si anak sulungnya. Tubuh si istri tercampak hingga ke jendela kaca. Kepala langsung menghantam dan memecahkan jendela kaca. Tampak tubuh sang istri yang melorot lemas ke lantai.

"Ayah! Ibu!" teriak Derry Erito hendak menerjang ke bagian belakang rumah lagi, tapi Carvany mencegat lengannya.

"Jangan ke sana! Bahaya!" pekik Carvany berusaha menahan langkah-langkah si anak bungsu dan terus menariknya ke bagian depan rumah.

"Bawa Derry keluar dari rumah ini, Carvany! Bawa Derry keluar dari sini!" terdengar teriakan terakhir Catherine Valeda Lowin, teriakan yang tidak berdaya di saat bayang-bayang maut sudah datang menjamah dan menjemput.

Dengan perlahan-lahan, dia merangkak ke tubuh anak sulungnya yang sudah terbujur kaku dengan kedua bola matanya yang terbelalak lebar nan hampa. Dengan sekuat tenaga, tangan kanan berusaha menggapai tubuh si anak sulung yang terbujur kaku hanya beberapa senti di hadapannya.

"Den! Denny! Maafkan Ibu, Den… Maafkan Ibu… Maafkan Ibu… Bahkan Ibu tidak bisa melindungimu di saat-saat terakhir hidupmu," terdengar lolongan ketidakberdayaan dari sang ibu.

Jerjak jendela yang terbuat dari kayu mulai terbakar habis dan mulai terlepas dari rongganya di dinding semen. Jerjak jendela dengan kobaran api yang menjilat-jilat jatuh menimpa tubuh Catherine Valeda Lowin.

"Aaiihh…!"

Habislah sudah semuanya… Sisa-sisa air mata ketidakberdayaan, tangisan kengerian, dan lolongan ketakutan mulai habis dilahap si jago merah – satu demi satu.

"Mana kuncinya ini! Mana kuncinya!" Carvany mulai panik.

"Apinya sudah semakin dekat, Kak…" lolongan Derry Erito terus berlanjut ketika ia melihat api sudah mencapai ruang tamu, membakar sofa serta perabotan lain.

Panik semakin menggeligit. Takut dan ngeri kian menguasai. Di mana kuncinya? Kok aku bisa menjadi tidak ingat di mana si Delvin Lowin itu meletakkan kuncinya setelah ia mengunci pintu? Jacky… Oh, Jacky… Muncullah sekarang… Aku yakin kau akan muncul sebentar lagi. Aku sangat membutuhkan pertolonganmu sekarang…

"Kak… Kak… Apakah kita tidak akan selamat juga?" mulai terdengar isakan tidak berdaya dari Derry Erito.

Carvany meraih anak itu ke dalam pelukan. "Tidak… Kita akan selamat… Kita pasti akan selamat… Pertolongan akan segera datang. Kakak yakin akan ada yang segera datang menolong kita, Dik…"

Carvany dan Derry Erito mulai terbatuk-batuk lagi. Asap hitam kian tebal. Hawa panas kian terasa. Sekonyong-konyong memori alam bawah sadar kembali menyelisir di padang sanubari hati.

Tampak Jacky Fernandi yang menyelimuti tubuhnya dengan sehelai kain basah nan panjang dan menerjang masuk ke dalam sebuah bangunan tua yang terlihat juga sedang terbakar.

Helaian kain basah nan panjang langsung diselimutkan ke tubuh Ivana yang sudah setengah lemas karena tidak tahan menghirup asap hitam terus-menerus. Ivana mendongak ke atas dan akhirnya ia hanya bisa tersenyum lega nan lemah.

"Kau datang menyelamatkan aku, Jacky… Kau datang menyelamatkanku. Aku yakin kau pasti akan datang. Aku yakin kau pasti akan datang menyelamatkan aku."

Sebatang pilar kayu yang hampir terbakar habis ambruk dari atas dan mengarah ke tubuh Ivana yang masih lemas meringkuk di bawah. Jacky Fernandi menahan pilar kayu itu. Teriakannya pecah membahana tatkala pilar kayu dengan kobaran api yang masih menjilat-jilat jatuh mengenai punggungnya.

"Jacky! Jacky! Kau tidak kenapa-kenapa?" Ivana kembali aktif berteriak. Hilang sudah lemas dan lemahnya tadi.

Jacky Fernandi menggeleng-gelengkan kepalanya. Dengan sisa-sisa kekuatannya yang terakhir, dia membopong tubuh sang putri pujaan hati keluar dari bangunan tua yang terbakar itu. Ivana terus menenggelamkan diri dalam pelukan sang pangeran pujaan hati.

Memori alam bawah sadar Carvany kembali ke masa kini tatkala ia terbatuk-batuk lagi karena asap hitam dan panas bara api kian menghantui.

Jacky… Jacky… Aku yakin kau akan datang menolong kami. Aku yakin kekuatan perasaanku akan datang padamu. Kau akan tiba di sini tepat waktu dan menolong kami.

Mendadak saja, pintu itu dipaksa buka dari luar. Jacky Fernandi berdiri di balik pintu dengan beberapa warga lingkungan sekitar yang berdiri di belakangnya. Beberapa warga langsung menyelamatkan Derry Erito keluar. Jacky Fernandi segera membopong tubuh sang kekasih pujaan hati keluar dari rumah itu. Satu dan dua menit kemudian, mobil pemadam kebakaran dan ambulans segera tiba. Mobil polisi juga tiba di tempat kejadian.

Carvany Callen Chen hanya bisa menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang malaikat merahnya. Tangisan pecah berderai diiringi air mata yang menganak sungai. Ruap lara menyapa pesisir batin Jacky Fernandi tatkala mendengar tangisan sang putri pujaan hati.

"Maafkan aku… Maafkan aku datang terlambat, Carvany…" tangan naik dan membelai-belai kepala sang putri pujaan. Tampak kedua bahu sang putri pujaan masih berguncang dengan irama yang teratur.

"Jacky… Jacky… Jacky Fernandi Yiandra…" Carvany terdengar seperti berbicara dan menangis pada saat yang bersamaan. Dia mengangkat kepalanya dan mulai menatap sang malaikat merah.

"Kau sudah mengingat siapa aku?" mata Jacky Fernandi sedikit membesar. Ia tidak tahu lagi apakah ia sedang merasa terkejut atau gembira.

"Jacky Fernandi Yiandra… Itu kan namamu?" tanya Carvany sembari memandang lekat-lekat ke mata sang malaikat merahnya. Sang malaikat merah akhirnya mengangguk mengiyakan.

Carvany menenggelamkan diri ke dalam pelukan sang malaikat merah lagi. Air matanya terus bergulir turun butir demi butir. Ia tampak seperti orang yang kehabisan napas.

Tangan sang malaikat merah perlahan-lahan naik membelai-belai kepala Carvany.

"Kau datang menyelamatkanku, Jacky. Kau datang menyelamatkanku. Aku yakin kau pasti akan datang. Aku yakin kau pasti akan datang menyelamatkanku."

"Aku akan selalu datang untukmu, Carvany… Apakah… Apakah… kau sudah mengingat semuanya dari kehidupan lampaumu?"

Carvany pelan-pelan melepaskan diri dari pelukan sang malaikat merah. Carvany menggeleng lembut. "Belum semuanya, Jack… Aku ingat kau juga pernah menyelamatkan aku dari sebuah bangunan tua yang terbakar. Aku ingat di kehidupan lampau aku terlahir sebagai Ivana Pangdani. Aku juga ingat bagaimana pertemuan pertama kita."

Tangan sang malaikat merah kini menyeka ekor mata sang putri pujaan hati.

"Jangan dipaksakan… Tidak semua kenangan kita di masa lampau adalah kenangan manis. Ada beberapa kenangan yang sebaiknya kaulupakan saja."

"Aku ingin mengingat semuanya, Jacky. Aku ingin menjadi Ivana Pangdani lagi sehingga aku bisa menghadapimu sepenuhnya, tanpa keraguan, tanpa tanda tanya."

"Pelan-pelan… Kau akan bisa mengingat semuanya. Ketika kau sudah mengingat semua kenangan yang ada – termasuk juga kenangan pedih yang sungguh menyakitkan – jangan takut, Carvany. Aku selalu ada di sampingmu, menemanimu dan menghadapi semua kenangan itu bersamamu."

Carvany mengangguk dan kemudian ia teringat ke satu hal. "Oh ya… Waktu menyelamatkanku dari sebuah bangunan tua yang terbakar, aku ingat ada sebatang pilar kayu yang penuh dengan kobaran api ambruk menimpa punggungmu. Iya kan? Kau baik-baik saja setelah itu?"

Jacky Fernandi kini tampak mengulum senyumannya. "Aku baik-baik saja karena ada kau yang menjagaku. Setelah dari sini dan sesudah semua ini beres, aku akan menceritakannya lengkap kepadamu."

Carvany mengangguk sembari melemparkan sebersit senyuman manis. Kembali sang malaikat merah meraih Carvany ke dalam pelukan. Carvany memicingkan matanya sejenak – menikmati saat-saat kedekatan murni dirinya dengan lelaki yang dicintainya. Masih hawa tubuh yang sama… Sepertinya hawa tubuh ini begitu jelas dalam mimpi-mimpiku selama ini… Hanya saja, aku masih tidak bisa ingat kapan dan di mana itu. Oh, Buddha… Apakah di kehidupan lampauku, aku pernah menjadi istrinya? Kami pernah bersama-sama dan lebih dekat lagi daripada ini?

Carvany membiarkan momen-momen pelukan kehangatan sang malaikat merah berlangsung selama beberapa menit.

Oh, Buddha… Aku ingin seperti ini terus… Aku ingin momen ini tidak berlalu dengan sedemikian cepat. Laksana terbangun dari mimpi yang begitu panjang, aku baru menyadari aku sudah sangat merindukan pelukan ini selama 80 tahun. Waktu yang sedemikian lama… yang sedemikian panjang… Dan sekarang aku baru bisa memilikinya lagi…

Langking masa lalu telah pergi tertiup angin. Asa bahagia kembali berselarak di tepian pantai sanubari hati Jacky Fernandi Yiandra dan Carvany Callen Chen.

Segenap kesibukan dan kepanikan masih menggelincir di tempat kebakaran tersebut dan sekitarnya.