webnovel

Cinta Dua Masa

BAB 12

Medan, 20 Mei 2018

Bintang-bintang menemani sang rembulan menghias langit Medan pada Minggu malam. Sungguh suatu Minggu malam yang cerah.

Perlahan-lahan, Felisha Aurelia membuka matanya. Dia sedang berbaring dalam pangkuan kaki si malaikat hijau. Sang malaikat hijau sendiri sedang duduk bersantai dalam gerbong pemandangan sembari membaca sebuah buku.

"Sudah bangun?"

Felisha Aurelia mengangguk. "Iya… Sedang baca buku apa?"

"Tentang sejarah kemerdekaan negeri ini, pada tahun 1945 dan 1949."

"Saat itu, aku sudah tidak ada… Maksudku, Valencia Fang saat itu sudah tidak ada di dunia ini. Begitu kan?" tanya Felisha Aurelia agak ragu.

Boy mengangguk, "Begitu juga dengan Boy Eddy Wangsa… Aku hanya menyaksikan kemerdekaan negeri ini dari dalam mesin tikku."

Boy Eddy menyapukan tangannya sekali, dan muncullah sebuah meja dengan sebuah mesin tik tua di atasnya.

"Kau menyembunyikan diri di dalam mesin tik ini? Tidak pernah keluar?" Felisha Aurelia tampak agak melebarkan sepasang matanya.

"Sesekali ada keluar sih… Kan sepuluh tahun setelah kehancuran klub 3P, aku kembali bertemu dengan dua sahabat sehidup sematiku. Ternyata mereka juga mengurung diri dalam benda masing-masing."

Felisha Aurelia terus memandangi sang malaikat hijaunya, menanti penjelasannya yang berikutnya.

"Kenny mengurung diri dalam swipoa kuno miliknya; Jacky mengurung diri dalam kartu-kartu yang biasa dipakainya dalam mengajarkan bahasa Inggris dan bahasa Belanda kepada anak-anak bumiputra waktu itu. Apa itu istilahnya pada zaman sekarang ini?" Boy Eddy sedikit mengerutkan dahi karena ia berusaha mengorek ke dalam ingatannya.

"Flash cards…" sahut Felisha Aurelia.

Boy Eddy mengangguk mantap. Felisha Aurelia kembali berbaring ke pangkuan kaki sang malaikat hijau.

"Maafkan aku meninggalkanmu begitu saja dan langsung melangkah ke kehidupanku yang berikutnya. Kau pasti sangat kesepian, seorang diri dalam kegelapan dunia mesin tik itu."

"Tak bisa bertemu denganmu, aku tak ingin melihat benda apa pun lagi di dunia ini…"

Felisha mengulum senyumannya. "Tadi aku mengingat bagaimana pertemuan pertama kita. Ternyata kau baik hati sekali membeliku dari bar itu dan mengizinkanku bermalam di rumahmu. Kau mengizinkanku bermalam di rumahmu padahal baru pertama kali kita berkenalan."

"Kau yang terlalu polos berani menginap di rumah laki-laki yang baru saja kaukenal. Kau tidak takut malam itu aku mengapa-apakan dirimu?" celetuk sang malaikat hijau mencubit lembut hidung sang putri pujaan.

Felisha Aurelia kembali mengulum senyumannya. "Aku percaya padamu. Entah kenapa ketika melihat sorot matamu saat kau membeliku di bar malam itu, aku yakin kau adalah laki-laki yang baik hati."

"Seyakin itu kau padaku, Fel?" sang malaikat hijau meledak dalam tawa renyahnya.

"Sekarang sudah terbukti kan keyakinanku itu benar adanya…" Felisha terus mempererat pelukannya dan tidak ingin melepaskan.

"Halo… Kami sudah balik… Ternyata kalian ada di sini rupanya…" sapa Angela ramah dari belakang.

Mau tidak mau Felisha melepaskan pelukannya. Dia tersenyum melihat kedatangan Kenny Herry dan Angela Thema.

"Dari mana memangnya kalian?" Boy Eddy sedikit mengerutkan dahinya.

"Baru saja menyelesaikan sebuah kasus…" jawab Kenny Herry.

"Kasus apa memangnya?" Felisha juga tampak sedikit mengerutkan dahinya.

Detik-detik berikutnya dilewati mereka dengan cerita Angela kepada Boy Eddy dan Felisha mengenai kasus kejahatan yang dilakukan oleh Nona Jessica Wong dan Dokter Quade selama ini. Para pembantu menghidangkan aneka makanan dan minuman ringan untuk menemani obrolan mereka.

***

Kasus Nona Jessica Wong dan Dokter Quade disiarkan di televisi pada malam itu juga.

Kasus kematian Nona Jessica Valeria Wong dan Dokter Quade Qortni Quintan yang misterius menjadi sorotan dan topik hangat seharian ini. Nona Jessica Valeria Wong ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa dalam kolam renang di rumahnya sendiri, sementara Dokter Quade Qortni Quintan ditemukan tewas mengenaskan dalam kondisi tanpa kepala setelah tersiram lima botol air keras di dalam laboratorium kimia di gedung universitas tempat ia mengajar. Polisi menemukan beberapa bukti autentik keterlibatan keduanya dalam kasus-kasus penjualan anak di bawah umur dan penyelundupan organ-organ tubuh manusia yang marak terjadi di kota Medan selama sepuluh tahun terakhir. Nona Jessica Valeria Wong dan Dokter Quade Qortni Quintan sah dinyatakan sebagai dua tersangka utama dalam kasus-kasus penjualan anak-anak di bawah umur dan penyelundupan organ-organ tubuh manusia yang marak terjadi di kota Medan sepuluh tahun belakangan ini. Namun, sampai sekarang, polisi masih mempertanyakan sebab-musabab kematian keduanya yang begitu misterius. Sampai detik ini, sebab-musabab kematian keduanya masih menjadi tanda tanya besar.

"Jadi si Nona Jessica Valeria Wong ini adalah general manager di PT. Keramik Rusli tempat kau PKL itu, Gel?" Felisha sedikit membesarkan kedua matanya.

Angela mengangguk. "Ya… Memang aku pernah melihat ada anak kecil yang mendorong-dorong arwahnya keluar masuk raganya beberapa kali, Fel… Ternyata mereka mengambil jantung dan kedua kornea mata anak itu untuk dijual dengan harga tinggi…"

"Kasihan sekali anak itu… Siapa nama anak itu?" Boy Eddy bertanya dengan sorot mata penuh amarah. Dia menjadi geram setelah mendengar cerita kejahatan yang dilakukan oleh Nona Jessica Wong dan Dokter Quade.

"Tidak ada namanya, Boy. Kami hanya memanggilnya dengan panggilan 'Adik Kecil'. Dia lahir di luar nikah. Ayahnya tidak ingin mengakuinya dan ibunya bunuh diri pada saat ia berumur empat belas bulan. Anak itu ditinggalkan ibunya di rumah kakek neneknya. Karena takut anak itu bisa mendatangkan aib dan merusak citra baik keluarga mereka, sang kakek menjualnya ke Nona Jessica Wong dan Dokter Quade. Di tangan kedua orang ini, nasib anak itu berakhir tragis," tukas Kenny Herry dengan nada kesedihan yang mendalam.

"Kakeknya sudah jatuh lumpuh sih karena stroke. Dia sudah menerima ganjarannya," ujar Angela begitu ia melihat sorot mata Boy Eddy sudah menyala-nyala karena kemarahannya.

"Jadi hanya ayah anak ini yang belum menerima hukuman setimpal atas apa yang telah diperbuatnya?" Boy Eddy masih berusaha membendung kegeramannya.

"Ada di mana ayah anak ini sekarang?" tanya Felisha.

"Masih dalam penyelidikan kami sih…" Angela tampak setengah lirih.

"Kami curiga ayah anak ini adalah salah satu teman sekampus Angela. Kami sedang menunggu saat yang tepat untuk mendatanginya dan menampakkan wujud arwah anak dan istrinya ke hadapannya. Lihat apakah ia masih bisa mengelak atau tidak," kata Kenny Herry dengan segudang akal dan rencana yang bergelitar dalam padang sanubarinya.

"Arwah perempuan yang bunuh diri itu hanya bilang laki-laki yang menghamilinya itu bernama Qomar. Ada banyak laki-laki yang bernama Qomar sih di Medan ini. Kebetulan nama teman sekampusku itu juga Qomar. Makanya kami akan menyelidikinya lebih lanjut lagi," sahut Angela.

"Jika memang Qomar yang dimaksud gadis yang bunuh diri itu adalah teman sekampusmu, tentu saja ia harus menerima hukuman yang setimpal atas apa yang telah diperbuatnya," timpal Kenny Herry, menunjukkan raut kecemburuan yang membuat Angela sedikit geli.

"Memang harus itu, Ken… Jangan enak-enak saja dia menghamili anak orang, anaknya lahir dan kini meninggal dalam kondisi yang begitu mengenaskan, dia enak-enak saja goyang-goyang kaki dan masih sangat menikmati hidupnya hingga saat ini! Umpamanya aku adalah hantu perempuan yang mati bunuh diri itu, aku akan…"

Felisha langsung menyodorkan sepotong cake ke mulut sang malaikat hijau. Sang malaikat hijau tampak kontan terdiam dan melahap habis potongan cake tersebut dalam beberapa kali mengunyah. Kenny Herry, Angela dan Felisha meledak dalam tawa geli mereka melihat tingkah konyol Boy Eddy.

"Ya… Aku paling tidak tahan jika berhadapan dengan manusia yang sudah tidak bertanggung jawab, malah bisa bersikap munafik dan sok suci lagi di hadapan semua orang! Naik emosiku…" tutur Boy Eddy sembari mengurut dada.

"Dari dulu kau memang begitu jika sedang mengomel-ngomel, akan mengomel terus panjang lebar tanpa titik koma. Terpaksa aku menyodorkan makanan kesukaanmu ke dalam mulutmu untuk menghentikan sementara omelanmu. Take it easy, Boy… Kenny dan Angela akan membuat laki-laki itu bertanggung jawab atas segala perbuatannya."

Felisha menebar sebersit senyuman menawan.

"Ya… Ya… Ya… Aku tahu… Ini menjadi kasus Kenny yang dibantu oleh Angela. Mereka pasti akan menyelesaikan kasus ini sampai tuntas. Hanya saja, aku geram sekali dengan laki-laki pengecut yang tidak bertanggung jawab seperti itu!"

Sekali lagi, Kenny Herry, Angela, dan Felisha meledak dalam tawa geli mereka. Suasana romantisme di malam hari berlalu dengan cepat.

Cinta kembali beriak dan mengeriap dalam kuncup batin keempat insan tersebut.

***

Medan, 21 Mei 2018

Sungguh suatu Senin pagi yang cerah di rumah Carvany Callen Chen… Carvany turun dari lantai dua rumahnya dan mendapati rumah dalam keadaan kosong. Ternyata ayah ibunya ada jadwal atau kegiatan penting pagi ini sehingga pagi-pagi sekali mereka sudah berangkat ke kampus. Jam tujuh pagi saat Carvany turun dari lantai dua, keduanya sudah tidak tampak. Meski demikian, sarapan paginya sudah dipersiapkan oleh sang pembantu. Mengetahui Carvany suka sekali makan nasi goreng ditambah dengan telur dadar, sang pembantu sudah menghidangkan nasi goreng di atas meja makan pagi itu.

Carvany baru saja mau duduk dan menikmati nasi gorengnya ketika bel pintu berbunyi. Sang pembantu tampaknya lagi belanja di pasar. Mau tidak mau, Carvany sendiri yang pergi melihat siapa yang bertamu ke rumahnya pagi-pagi begini.

Carvany mengerutkan dahinya tatkala melihat dua orang petugas kepolisian berseragam lengkap berdiri di depan pintu pagar.

"Ada yang bisa saya bantu, Pak Polisi?" Carvany masih mengerutkan dahinya.

"Apakah Anda Nona Carvany Callen Chen?" tanya salah satu di antaranya yang agak tua, kira-kira di pertengahan empat puluhannya.

Carvany mengangguk cepat.

Sang petugas kepolisian menunjukkan tanda pengenalnya. Carvany melirik ke tanda pengenal itu. Memang tanda pengenal itu asli. Kedua bapak-bapak ini memang polisi asli.

"Boleh kami masuk?" tanya yang satunya lagi, agak muda, kira-kira di akhir tiga puluhan atau awal empat puluhan.

"Ada apa ya?" Carvany masih enggan membuka pintu pagar meski dia sudah menenteng kuncinya dalam genggaman tangan.

Dalam hati, Carvany bersyukur juga ayah ibunya sudah tidak ada di rumah ketika dua polisi ini datang. Jika mereka masih ada, akan runyam akibatnya.

"Ada sesuatu yang ingin kami informasikan kepada Anda… Berkenaan dengan jati diri Anda, Nona Carvany…" kata polisi yang agak tua tadi.

"Jati diri saya?" kembali dahi Carvany berkerut dalam.

"Alangkah baiknya kita berbicara di dalam, Nona Carvany…" kata polisi yang agak muda.

Carvany akhirnya membukakan pintu pagar. Sejurus kemudian, kedua polisi dan Carvany sudah duduk berhadap-hadapan di ruang tamu.

"Ada yang salah dengan jati diri saya?" tanya Carvany langsung to the point.

"Kami menemukan dokumen tentang Anda di sebuah rumah yang nyonya rumahnya ditemukan tewas tenggelam kemarin sore." Si polisi yang agak muda meletakkan sebuah amplop ke atas meja, di hadapan Carvany.

Carvany membuka amplop tersebut dengan tangan gemetaran. Dia terperanjat kaget nan terjengat di tempat begitu namanya tercantum dalam surat perjanjian jual beli seorang bayi kecil perempuan antara Bu Nickesia Chowin Chen dengan seorang perempuan yang bernama Jessica Wong. Dokumen itu terlepas dari genggaman tangan Carvany. Mulutnya tampak menganga lebar dan kedua bola matanya tampak membelalak lebar.

Carvany menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak mungkin! Ini tidak mungkin! Ini tidak mungkin!"

"Nama-nama yang tertera di dokumen tersebut adalah nama lengkap, Nona Carvany. Jadi tidak mungkin kami bisa salah mendatangi orang. Selain itu, dokumen tersebut diketik rapi di atas secarik kertas segel dan ada materainya. Jadi tidak mungkin dokumen perjanjian jual beli ini palsu."

Carvany menahan napas. Dia berusaha mengatur dan menetralkan detak jantungnya yang sudah tidak normal lagi.

"Benar Ibu Nickesia Chowin Chen ini adalah ibu Anda yang sekarang?"

Carvany hanya bisa mengangguk dengan lirih.

"Berarti tidak salah lagi, Nona Carvany. Dari catatan data kependudukan di kelurahan ini, Anda terdaftar sebagai anak perempuan tunggal dari Bapak Kenric Chen dan Ibu Nickesia Chowin Chen. Namun, jelas-jelas dokumen perjanjian jual beli ini membuktikan Anda bukanlah anak kandung mereka. Mereka, atau Ibu Nickesia Chowin Chen sendiri telah membeli Anda dari seorang perempuan yang bernama Nona Jessica Wong."

Kembali dunia latar belakang Carvany pecah berhamburan. Carvany kehilangan seluruh kekuatannya. Carvany merasa seolah-olah seluruh tulang-belulangnya lepas beterbangan ke segala arah. Dia hanya bisa bersandar pada kursinya guna mencari sisa-sisa kekuatannya yang masih ada.

"Ada di mana si Jessica Wong ini sekarang? Ada di mana dia? Saya ingin menemuinya. Saya ingin bicara dengannya."

Kedua polisi itu tampak menggelengkan kepala mereka dengan lirih.

"Nona Jessica Wong ditemukan tewas tenggelam dalam kolam renangnya rumahnya sendiri kemarin sore, Nona Carvany. Kami menemukan surat perjanjian transaksi jual beli ini dalam lemari di kamar tidurnya. Ini berkenaan dengan jati diri Anda. Jadi, kami kira Anda sudah dewasa dan Anda berhak mengetahui hal ini."

Carvany hanya bisa terduduk lemas di kursinya. Namun, meski semangatnya sudah jatuh ke titik terendah, dia masih bisa berpikir dengan jernih.

"Apakah Bapak bisa menelusuri di mana kedua orang tua kandung saya sekarang? Apakah mereka masih hidup? Apakah mereka masih tinggal di Medan atau sudah pindah keluar dari kota Medan ini?"

Lagi-lagi kedua petugas kepolisian tersebut menggelengkan kepala mereka dengan lirih.

"Maafkan kami, Nona… Dari dokumen ini, kami hanya bisa mengetahui bahwa dulunya Anda itu dibeli oleh ibu Anda yang sekarang dari Nona Jessica Wong ini. Nona Jessica Wong sudah menghapus data-data Anda sebelum Anda dinamai Carvany Callen Chen oleh ibu Anda yang sekarang ini. Nona Jessica Wong sendiri ditemukan tewas tenggelam dalam kolam renang di rumahnya kemarin sore. Jadi, kami tidak bisa lagi menelusuri jejak kedua orang tua kandung Anda. Kami bahkan tidak bisa lagi melacak jati diri orang tua kandung Anda. Setiap harinya ada saja orang-orang tua yang membuang dan tidak menginginkan anak-anak mereka."

Carvany akhirnya terdiam. Kelumun getir mulai meringkai muara hatinya. Kebingungan mulai mengeriap di pesisir pikirannya. Dia sama sekali tidak tahu lagi apa yang mesti diperbuatnya? Jacky… Jacky… Ada di mana sih kau sekarang? Justru kau menghilang dan tidak muncul di saat-saat aku begitu membutuhkan saran dan nasihatmu…

***

Carvany sampai di sekolah dan ia bergegas masuk ke dalam ruangan kerjanya. Air mata sudah tidak tertahankan dan tidak terbendung. Dia meletakkan tas tangannya ke atas meja begitu saja. Tangan menyambar sehelai tisu dan mulai menyeka ekor mata.

"Lho, Carvany…? Tidak ikut upacara?" tanya sang kepala sekolah yang kebetulan lewat depan ruangan kerja Carvany dan melihat Carvany masih bertengger santai dalam ruangan kerjanya.

"Lagi berhalangan, Pak. Maaf ya, Pak… Senin ini saya off dari upacara dulu."

"Oh, oke deh kalau begitu… Istirahatlah, Carvany…" kata sang kepala sekolah sembari berlalu. Mendengar kata 'berhalangan', sang kepala sekolah sudah langsung mengerti apa itu halangan seorang perempuan muda dan tidak berniat mempertanyakannya lebih lanjut.

Carvany menutup pintu ruangannya dengan rapat. Dia mulai meledak dalam tangisannya bak anak sungai di musim hujan. Ayah dan ibu yang begitu menyayanginya selama ini ternyata bukanlah orang tua kandungnya. Dia terus hidup dalam kebahagiaan keluarga yang kini berubah menjadi kebahagiaan semu dalam pandangan matanya. Dia menjadi bertanya-tanya dalam hati. Kenapa sang ibu harus membelinya dari perempuan lain? Apakah perempuan yang bernama Jessica Wong itu adalah ibu kandungnya? Ataukah ia hanya seorang perantara yang menghubungkan ibu yang membesarkannya sekarang dengan ibu kandungnya yang akan menjualnya dulu? Lalu bagaimana dengan ayah yang membesarkannya hingga hari ini? Apakah ayahnya tahu dia bukanlah anak kandungnya? Apakah ayahnya tahu ibunya dulu membelinya dari seseorang?

Carvany menghela napas panjang. Berbagai macam pertanyaan berkecamuk dalam padang pikirannya. Akan tetapi, dia tidak menemukan satu jawaban pun terhadap semua pertanyaan itu.

"Apakah kau membutuhkan kehadiranku sekarang?" tanya sang malaikat merah mendadak muncul dan berdiri dengan manis di depannya. Dengan kekuatannya, Jacky Fernandi sudah bisa menebak apa yang menjadi beban pikiran sang putri pujaan.

Carvany mengangkat pandangan matanya dan dia melihat kehadiran sang malaikat merah. Dia berdiri dan kontan menerjang ke arah sang malaikat merah. Dia meraih sang malaikat merah ke dalam pelukannya.

"Kenapa kau baru datang sekarang? Aku terus memanggilmu dari tadi. Ke mana saja kau, Jacky?" tangisan Carvany mulai bertumpah ruah dalam pelukan Jacky Fernandi.

"Aku bangun sedikit kesiangan pagi ini… Sorry… Sorry sekali, Carvany… Aku sudah menduga cepat atau lambat kau akan membutuhkan kehadiranku. Namun, sungguh aku tidak menduga hal itu ternyata berkaitan dengan jati dirimu dan hal itu akan terbongkar dengan sedemikian cepat."

Perlahan-lahan, tangan mulai naik dan membelai-belai kepala sang putri pujaan.

"Mendadak aku merasa aku kehilangan peganganku selama ini. Tiba-tiba saja aku tidak tahu aku hendak melangkah ke mana. Aku merasa aku kehilangan rumahku, kehilangan keluargaku, kehilangan kehangatan tempatku berteduh dan berlindung selama ini."

Carvany kini menangis terisak-isak dalam pelukan sang malaikat pujaan hati. Jacky Fernandi tidak berkata-kata lagi. Ia membiarkan sang putri pujaan hati menangis sesenggukan dulu selama beberapa saat. Ia sadar benar dalam kondisi demikian, Carvany memerlukan beberapa menit untuk menangis dan melepaskan segala beban pikiran beserta gundah gulana sampai puas.

Tangan terus membelai-belai kepala sang putri pujaan hati.

"Aku sudah tidak memiliki apa-apa sekarang. Tidak ada seorang pun yang bisa kuandalkan dan kuajak berbagi. Sekarang aku hanya memilikimu di sampingku, Jacky. Kau takkan meninggalkan aku juga kan, Jacky? Kau akan terus di sampingku kan, Jacky?"

Jacky Fernandi langsung mengangguk mantap. "Memang aku memiliki semacam perjanjian dengan Dewa 5 Unsur supaya pada akhirnya nanti aku bisa bersama-sama denganmu. Itulah yang sedang kuperjuangkan di sini."

"Walau pada akhirnya nanti Dewa 5 Unsur mengundangmu naik ke atas surga sana dan membantu-bantu pekerjaan mereka, kau tetap takkan setuju bukan? Kau tetap memilih untuk tinggal di alam manusia ini menemaniku kan?"

Dari pandangan matanya, kelihatan jelas jawaban Jacky Fernandi sangat penting bagi Carvany. Oleh sebab itulah, Jacky Fernandi langsung mengangguk mantap.

"Tentu saja aku tetap akan tinggal di alam manusia, Carvany. Aku tidak mungkin ke surga sana. Tanpamu, semua tempat itu akan terasa sangat membosankan," bisik Jacky Fernandi di telinga sang putri pujaan dengan lembut.

Carvany tersenyum kecut. Dia meraih sang malaikat merah ke dalam pelukannya lagi. Sang malaikat merah juga membalas pelukan tersebut.

"Apa yang akan kaulakukan setelah tahu kebohongan yang diperbuat ibumu selama ini?"

"Aku bisa memaafkannya, Jacky. Bagaimanapun juga, dia adalah ibu yang merawat dan membesarkanku selama ini. Jasa-jasanya terhadapku selama ini jelas adalah fakta yang tidak bisa kupungkiri. Hanya saja, aku tidak tahu apakah Ayah bisa memaafkan Ibu atau tidak setelah dia mengetahui kenyataan ini. Aku juga tidak tahu apakah Ayah masih bisa menerimaku lagi atau tidak setelah ia tahu aku bukanlah anak kandungnya, setelah ia tahu ia telah sia-sia menyayangi seorang anak perempuan yang entah anak siapa selama ini."

Sisa-sisa air mata masih membuat kedua bola mata Carvany basah.

"Memang ayahmu adalah seorang laki-laki yang sangat memprioritaskan nama baik dan reputasinya di depan semua orang. Aku juga pesimis dia bisa menerima semua kenyataan ini begitu ia tahu nanti. Aku juga tidak habis pikir kenapa di kehidupan ini, dia bisa tetap berjodoh dengan ibumu, seorang wanita yang selalu hidup dengan mengandalkan kebohongan dan rahasia."

"Apakah… Apakah… Apakah di kehidupan lampau Ibu juga membohongi Ayah dengan satu rahasia yang juga tidak termaafkan?" Carvany tampak sedikit menyipitkan kedua matanya.

Jacky Fernandi hanya bisa mengangguk lirih.

"Jika kau sudah mengingat sampai sana, aku akan melengkapi kepingan memorimu dengan ceritaku, Carvany."

"Di antara mereka terjalin hubungan jodoh yang tidak baik. Dan kini jodoh yang buruk tersebut kembali terulang. Aku jadi bertanya-tanya… Apakah di masa depan hubungan jodoh mereka tetap akan buruk?"

Jacky Fernandi mengangkat kedua bahunya. "Hanya mereka sendirilah yang tahu itu, Carvany. Jika mereka tetap membalas kebencian dengan kebencian, hubungan jodoh mereka yang buruk tetap akan terulang terus dan selamanya mereka tetap akan seperti itu."

"Aku senang ada kau di sampingku, Jacky. Dengan demikian, masa lalu atau masa depan menjadi tidaklah begitu penting. Yang penting bagiku adalah masa sekarang."

Carvany merebahkan kepalanya ke dada sang malaikat merah.

"Aku juga senang kau tidak membenci ibumu. Aku senang kau bahkan bisa memaafkan ibumu. Dengan demikian, aku yakin hubungan jodohmu yang buruk dengan ibumu akan segera berakhir di kehidupan ini."

Tampak Carvany tersenyum kecut, "Aku rasa dia sangat mencintai Ayah. Dia membeliku supaya Ayah beranggapan dia sudah memiliki seorang anak dari hasil perkawinan mereka dan dengan begitu, Ayah akan semakin mencintai dan menyayanginya. Dia telah salah jalan dan salah mengambil pilihan gara-gara cinta. Aku rasa aku juga akan melakukan hal yang sama jika kau terlihat sudah mulai bosan padaku dan mulai berpaling ke dewi lain atau ke malaikat perempuan yang lain."

Carvany menunjukkan sedikit kemanjaan. Jacky Fernandi menampilkan sebersit senyuman santai.

"Aku akan anggap itu sebagai sanjunganmu padaku. Aku merasa sangat bangga ternyata aku ini begitu berarti bagimu, sehingga penantianku selama hampir 80 tahun ini tidaklah sia-sia."

Carvany hanya mengulum senyumannya. Serasa ada bunyi-bunyian manis yang turun dari negeri surgawi di atas sana. Meski dia masih merasa sedikit terpukul dengan kenyataan jati dirinya hari ini, kehadiran sang malaikat merahnya sedikit banyak membuatnya merasa terhibur.

***

Felisha Aurelia turun dari lantai atas dan melewati ruang tamu. Untuk mencapai pintu depan, dia harus melewati ruang tamu terlebih dahulu. Mendadak terdengar suara berat ayahnya dan suara nyaring ibunya yang bercakap-cakap dengan Hengky Fredieco di ruang tamu. Dia tahu neraka akan segera kembali menyapa pada Senin pagi itu.

"Langsung keluar begitu saja, Fel? Tidak duduk dulu sini mengobrol dengan Hengky?" tanya sang ayah.

"Atau kalau tidak, kau kan bisa berangkat ke kantor barengan Hengky saja, Fel…" terdengar tawa santai dari sang ibu yang justru terdengar begitu menyebalkan di telinga Felisha Aurelia.

"Yah… Bu… Aku mau ke kantor sekarang."

Baru saja kaki Felisha Aurelia melangkah, terdengar suara sang ayah yang mulai berdentum. Hengky Fredieco dan Bu Quenby Clara saja sedikit terperanjat kaget dengan dentuman suara Pak Erwan yang mendadak nan tiba-tiba. Namun, bagi Felisha Aurelia yang sudah terbiasa dibentak-bentak ayahnya bahkan semenjak ia masih kecil, sudah terbiasa dengan dentuman suara Pak Erwan dan sama sekali tidak terlihat terkejut.

"Ada seorang pelanggan penting kita yang datang dari Jakarta hari ini, Ayah. Aku sudah buat janji akan ketemuan dengannya pagi ini. Aku sudah terlambat nih dari waktu yang kujanjikan. Permisi…" kata Felisha Aurelia langsung bergerak maju menuju ke pintu depan dan keluar dari rumah begitu saja.

"Kembali kau! Kembali kau, Felisha! Kembali kau!" teriakan sang ayah terus berlanjut bahkan setelah terdengar deru mesin mobil yang membawa Felisha Aurelia ke kantor meninggalkan halaman rumah.

"Sudahlah, Wan… Dengan membentak-bentak seperti itu, kau takkan bisa membuatnya menurut padamu. Felisha itu sama sepertimu – bandel dan keras kepala. Dia hanya akan menurut apabila kau berhasil meyakinkannya bahwasanya permintaan dan tuntutanmu terhadapnya itu logis dan masuk akal."

Bu Quenby Clara mendengus ringan melihat perangai sang suami yang sedikit-sedikit main bentak-bentak.

"Tidak apa-apa, Pak Erwan. Aku bisa meyakinkan Felisha bahwa bersamaku benar-benar bisa membuatnya bahagia. Aku tulus menyukai Felisha dan aku takkan menyerah semudah itu," kata Hengky Fredieco sembari melemparkan sebersit senyuman ceria.

"Wah! Jika semua laki-laki berpikiran terbuka dan lapang dada sepertimu, amanlah semua perempuan di dunia ini…" kata Bu Quenby Clara dan kembali meledak dalam tawa santainya.

"Terima kasih untuk pengertianmu, Hengky. Aku akan berusaha meyakinkan Felisha bahwa kaulah satu-satunya calon suami yang tepat untuknya. Selain dirimu, aku takkan setuju dia menikah dengan pria mana pun," kata Pak Erwan dengan sedikit pandangan berharap-harap tertuju pada Hengky Fredieco.

Hengky Fredieco kembali menampilkan senyuman cerianya. Namun, dalam hatinya ia mulai bersenandika. Jika memang Felisha adalah gadis dalam kehidupan lampauku yang terus hadir dalam mimpiku selama ini, berarti dia adalah Valencia Fang. Jika dia adalah Valencia Fang, berarti sedikit banyak dia sudah tahu aku adalah Terry Liandy di kehidupan lampau. Aduh…! Aku tidak begitu ingat kenapa Valencia Fang akhirnya bisa terpisahkan dari Terry Liandy di kehidupan lampau. Di kehidupan lampau, dia terlepas dari genggamanku. Di kehidupan ini, aku takkan lagi membiarkannya terbang begitu saja. Aku akan mendapatkannya dengan cara apa pun – dengan cara apa pun yang bisa kuusahakan.

Senandika Hengky Fredieco terus menggeligit semenanjung batinnya.

Atau… Jangan-jangan… Jangan-jangan di kehidupan ini Valencia sudah lebih dulu bertemu dengan Boy Eddy Wangsa itu sebelum aku bertemu dengannya…? Itukah yang membuatnya terus-menerus menolakku? Jika memang demikian adanya, aku akan menyelidiki jati diri Boy Eddy Wangsa di kehidupan ini. Terlahir menjadi siapa dan ada di mana dia di kehidupan ini ya? Aku akan menyelidikinya dan dengan cepat aku akan memperoleh informasi itu…

Tanpa sepengetahuan pasangan suami istri Viraluo, sebersit senyuman sinis mulai menghias bibir Hengky Fredieco Godwin.