webnovel

Sheila dan Mario

"Buat apa sih, Yo?"

Sheila bersandar pada di dekat dinding mading, menatap Rio yang memasang wajah sendu. Sheila mewajarkan bahwa laki-laki yang sudah dikenalnya tiga belas tahun terakhir itu tidak bisa berpikir jernih karena patah hati. Terbukti dengan Rio yang memohon pada Sheila untuk ikut ke pertandingan futsal sore nanti dengan alasan dia tidak mau terlalu terlihat menyedihkan di depan mantan pacarnya.

"Tara dateng sama Gilang, Ca." Rio meraih lengan Sheila. Masih tetap dengan wajah memelas. "Gue traktir kwetiau depan kompleks deh."

Sheila menghela napas berat sembari menampis tangan Rio. "Ini lo gak makin keliatan gagal move on ya, Yo? Maksud gue— ada enggaknya gue juga nggak ngaruh sama sekali. Semua juga pada tau kita temenan, tetanggaan."

"Seenggaknya gue gak sendiri."

"Ya lo kan bareng yang lain."

"Boncengan gue kosong Caaa." Rio menyurai rambutnya ke belakang. Menatap teman yang sudah ia kenal dari kecil dan selalu digosipkan salah satu dari mereka menyukai yang lain. "Lo kan tinggal duduk manis, makan keripik, non—"

"Keripik dari mana?"

"Ntar gue beliin! Astagfirullah," kata Rio mulai kesal.

Sheila terkekeh pelan, dia kemudian menepuk bahu Rio seraya berkata, "lihat ntar ya sahabatku, OSIS lagi sibuk-sibuknya nih. Gue mesti ngelist surat-surat buat Humas cari sponsor."

"Yaelah. OSIS lagi, OSIS lagi."

"Futsal lagi, futsal lagi. Apa lo?!" Sheila mendengus kesal melihat Rio cengengesan tidak jelas. Perempuan itu kemudian beranjak pergi setelah mendengar suara bel tanda mengakhiri jam istirahat pertama. "Ntar gue kabarin."

***

Usai menunaikan sholat dhuhur saatnya Sheila dan Manda pergi ke Kantin untuk menemui Tiara, makan siang, sebelum lanjut ke jam pelajaran setelahnya. SMA Gharda memiliki tiga Kantin yang terletak strategis, tujuannya untuk memudahkan siapa saja mengakses tempat tersebut tanpa perlu jauh-jauh ke satu titik karena memang jarak antara gedung satu ke gedung lain lumayan jauh.

Namun rencana sekolah tidak selalu berjalan mulus. Dua Kantin yang menghimpit area Gedung Kelas XII diklaim menjadi milik mereka, selain siswa-siswi Kelas XII tidak ada yang boleh menginjakkan kaki di sana. Akibatnya Kelas X harus berkorban berjalan lebih jauh untuk memenuhi rasa lapar mereka, membeli jajan dari luar Sekolah pun tidak diperbolehkan.

Sheila sebagai Kelas XI akhirnya bisa bernapas lega karena tidak perlu takut kembali ke Kelas ketika bel istirahat usai. Sheila tersenyum mendapati lambaian tangan Tiara yang duduk berhadapan dengan seorang laki-laki.

"Tumben dah, Rio mau gabung?" tanya Manda begitu mengetahui laki-laki yang duduk di hadapan Tiara adalah Rio.

"Udah putus dari Tara."

"Hah?! Serius lo?" Manda refleks berhenti berjalan sambil menahan lengan Sheila. "Lo serius mereka putus?"

Sheila mengangguk. "Emang kenapa? Gitu amat reaksi lo."

"Jangan bilang Tara jadian sama Gilang," kata Manda sedikit bergumam namun diberi anggukan dari Sheila akibatnya mata perempuan itu melotot tajam. "Gila! Berarti dugaan gue bener!"

"Kenapa sih?" Sheila mulai merapatkan diri pada Manda. Penasaran.

"Gue udah lima kali lebih mergokin Tara jalan sama Gilang."

"S-serius lo?"

Manda mengangguk mantap. "Waktu gue jaga stand kue nyokap Sil, di Mall. Mereka masih pakai seragam sekolah gitu. Gue ngeuh-nya itu mereka waktu si Gilang pakai baju seragam futsal sekolah kita!"

Sheila mengernyit bingung, pandangannya dialihkan pada Rio yang ternyata tengah menatapnya sambil melambaikan tangan mengisyaratkan agar mereka segera bergabung. "Lo yakin Man?"

Manda menggaruk kepalanya. "Iya... gue sih yakin kalau ngeliat Gilang sama Tara. Emang Rio gak cerita apa?"

"Enggak."

"Apa dia gak tau ya?"

Sheila menghela napas panjang, perempuan itu kemudian mengamit lengan Manda. Menghentikan pembicaraan tersebut sebelum melebar ke mana-mana. "Udahlah yuk. Ntar orangnya ngerasa lagi kalau diomongin."

Begitu Sheila duduk di samping Rio, perempuan itu segera menerima pertanyaan dari laki-laki di sampingnya, "lo ngomongin gue ya?"

"Siapa?" balas Sheila kaku.

"Noh ayam Pak Agus. Barusan bertelor," jawabnya asal membuat Sheila langsung teringat cerita Bu Mega di Kelas. Perempuan itu refleks memukul bahu Rio kencang. "Eh seriusan! Ayam Pak Agus beneran bertelur!"

Manda yang mencomot kentang goreng ikut menimpali. "Iya tuh, katanya telornya ada lima."

"Gemes banget gak sih?"

Tiara menggelengkan kepala. "Masih telur apa gemesnya sih, Sil?"

"Iya... gemes dong. Ayam yang dipelihara Pak Agus dari kecil sekarang udah bertelur!" Wajah Sheila berseri mulai membayangkan hadirnya anak-anak ayam di lingkungan Sekolah. "Berasa besarin anak sendiri!"

"Pala lu!" Rio menoyor kepala Sheila pelan.

"Ck! Kenapa sih?"

"Jorok Ca. Bayangin aja banyak tai ayam di Lapangan."

"Yaelah tinggal disapu doang."

"Lo mau nyapu?"

"Bayar tukang kebun buat apaan, Mario?!"

"Ya buat potong rumput, nanem tanaman, yang jelas bukan bersihin tai ay—"

Tiara menggebrak meja sebelum perdebatan keduanya berlanjut panjang. Rio dan Sheila refleks menatap Tiara tidak suka. "Lo mau lanjut apa makan? Gue udah puyeng banget nih remed geografi."

Kepala Sheila langsung ditolehkan pada Rio. "Lo remed juga?"

"Ya..." Rio mengusap tengkuknya menatap Tiara dan Sheila bergantian. "Gitu deh. Banyak kok yang remed."

"Apaan? Cuma lo sama gue ini," sahut Tiara disambut helaan napas kasar dari Sheila.

Untuk Sheila, menjaga nilainya tetap stabil tidaklah cukup. Dia perlu memastikan nilai Rio juga stabil, paling tidak cukup untuk memenuhi standar kenaikan kelas. Sheila tentu tidak akan sepeduli ini kalau bukan karena Ibu Rio dengan mata berkaca-kaca memintanya mengawasi kegiatan belajar Rio.

Tentu ada alasan cukup kuat untuk Sheila mengiyakan permintaan Tante Rina. Pertama, Rio sempat diskors satu minggu karena berantem dengan Kakak Kelas yang sampai sekarang belum juga Sheila ketahui apa alasan pastinya. Kedua, Rio sempat diskors dua minggu akibat berdebat dengan guru seni budaya hingga berpotensi menciptakan perkelahian. Ketiga, Rio dalam pengawasan guru-guru BK. Satu kali saja kesalahan, sudah bisa dipastikan laki-laki itu akan dikeluarkan dari sekolah.

"Sumpah ya, Yo. Lo udah janji sama orang tua lo bakal jadi anak baik-baik, jadi anak bener, jad—"

"Ntar dulu." Rio menyela ucapan Sheila, keningnya berkerut menandakan dirinya bingung. "Jadi anak yang bener itu gimana sih?"

Sheila mengernyit, bingung sendiri dengan pertanyaan tiba-tiba tersebut. "Iya... bener dalam banyak hal. Tingkah lo, kegiatan lo, hobi lo."

"Emang gue ngapain selama ini ngapain sih, Ca? Jual narkoba apa gimana?"

"Heh!" Sheila memutar bola matanya jengah. "Pokoknya hidup yang lurus-lurus ajalah."

"Iya. Tapi gue gak nger—" Ucapan Rio terhenti begitu saja ketika pandangan laki-laki itu tidak sengaja menangkap Tara dan Gilang baru saja masuk ke area Kantin. Wajah Tara begitu ceria, tersenyum merespon semua ucapan Gilang yang entah membicarakan apa.

Dari tempat Sheila duduk, dia bisa merasakan emosi dari Rio. Bahkan ketika laki-laki itu mengatakan satu kalimat dengan nada tidak bisa dibantah. Sheila hanya bisa diam tanpa merespon. "Lo ikut gue ke tempat futsal."