webnovel

Futsal

Pukul empat sore bersamaan dengan bel berbunyi tanda kegiatan belajar mengajar di Hari Senin usai, Rio bergegas memasukan semua buku dan satu bulpen yang ajaibnya belum habis sejak masa orientasi sekolah. Di sampingnya Evan menatap Rio penuh tanya. "Mau kemana lo?"

"Tempat futsal," jawab Rio tanpa menatap Evan. "Lo bareng Sandi kan? Gue mau jemput Caca." Katanya kemudian buru-buru keluar dari Kelas setelah menyalimi Bu Mega yang tidak mau repot untuk kembali menyuruh Rio duduk dulu karena dirinya belum menutup Kelas.

Rio berjalan cepat menuju lantai tiga, tempat di mana area Kelas XI IPA berada. Begitu sampai di depan Kelas Sheila, laki-laki itu bersandar di dinding pembatas sembari menatap lurus ke dalam Kelas menembus kaca. Senyum tipisnya segera tergambar ketika ia mendapati Sheila berusaha keras untuk tetap terjaga mendengarkan Pak Ali, guru Biologi, yang masih betah menerangkan materinya.

Sepuluh menit berlalu, koridor lantai tiga mulai penuh dengan siswa-siswa yang keluar dari Kelas bergegas untuk pulang. Berbeda dengan Kelas XI IPA 5, kelas Sheila, Pak Ali masih saja betah menerangkan bahkan tidak ada tanda-tanda akan mengakhiri meski siswa-siswi yang diajar sudah tidak menunjukkan ketertarikan.

"Yo!" panggil Doni, salah satu anggota tim inti futsal.

Rio menggerakkan dagunya sedikit ke depan. "Eh, Don."

"Lo gak ke Lapangan?"

"Nunggu Sheila, lo duluan aja."

Doni menoleh ke Kelas Sheila, laki-laki itu meringis begitu melihat Pak Ali di dalam. "Gue saranin lo suruh Sheila nyusul deh. Pak Ali gak kenal waktu kalau ngajar."

Doni menepuk bahu Rio. "Duluan ye."

Rio mengangguk diiringi helaan napas panjang. Matanya menatap Pak Ali tajam, benar saja setelah selesai menerangkan slide yang ditampilkan, laki-laki paruh baya itu justru memindahkan ke slide berikutnya bukannya mengakhiri pelajaran. Lantas berlandaskan membela kebenaran dan hak siswa Rio melangkah mantap menuju pintu masuk Kelas XII IPA 5.

Tok... Tok... Tok...

Seluruh perhatian segera terpusat ke arah pintu, termasuk Pak Ali yang langsung menunjukkan wajah tidak suka. "Kenapa Rio?"

Rio melangkah masuk ke dalam. Berdiri dengan jarak lima meter dari tempat Pak Ali berdiri. "Udah jam pulang Pak, kali aja Bapak gak dengar."

"Iya saya tau." Pak Ali menyilangkan tangannya ke belakang. Menghadap ke arah Rio yang jauh lebih tinggi dari dirinya. "Tapi materi yang saya sampaikan belum selesai."

"Tapi jam pelajaran sudah selesai, Pak."

"Iya saya ta—"

"Terus kenapa masih dilanjut, Pak?"

Pak Ali berdecak keras. "Jangan macam-macam kamu sama saya!"

Bentakan Pak Ali membuat suasana di Kelas segera menegang. Bahkan ketika Rio menaikan alisnya dan serta merta membalas ucapan Pak Ali dengan kalimat tidak sopan. "Bapak juga jangan macam-macam sama murid, jangan dikira kalau Bapak guru kita gak berani buat pro—"

"Eeee... maaf-maaf Pak." Sheila datang menarik lengan Rio dan segera membawanya keluar Kelas sebelum masalah semakin panjang.

Sampai di ujung Koridor yang mengarah ke tangga turun barulah Sheila melepaskan cekalan tangannya. "Apa-apaan sih, Yo?!"

"Kok lo marah?"

"Ya menurut lo?!"

Rio menyurai rambutnya ke belakang. Tiba-tiba emosinya memuncak setelah disalahkan setelah melakukan apa yang menurutnya adalah benar. "Terus lo mau ngebiarin Pak Ali gitu aja?"

"Ya mau gimana? Toh Pak Ali cum—"

"Cuma apa?!" Rio menaikan sebelah alisnya. "Cuma apa? Cuma ngejalanin tugasnya? Semua guru juga gitu kali, Ca. Tapi gak berlebihan kaya Pak Ali. Lo gak liat gimana muka-muka capek temen lo? Muka lo juga."

Rio diam sejenak menarik napas dalam-dalam. "Udahlah. Lo ikut gue ke Lapangan sekarang."

Sheila memutar bola matanya jengah. "Lo ngelawan Pak Ali cuma buat gue nemenin lo futsal?"

"Ya ngga—"

"Udah gila lo."

Rio berdecak pelan, laki-laki itu segera menarik pergelangan tangan Sheila. "Buru ah!"

"Eh tas gue!" Sheila berusaha menahan badannya untuk tidak ikut ditarik oleh Rio, namun tentu saja tenaga laki-laki itu lebih besar darinya dan Rio tidak pernah peduli alasan apapun jika menyangkut keinginannya. "Gampang. Ntar balik lagi ke Sekolah."

***

Kali terakhir Sheila menginjakkan kaki di Lapangan Futsal ketika dirinya berada di tahun kedua sekolah menengah pertama. Hari itu juga menjadi hari pertemuan Rio dengan Tara, selanjutnya Rio tidak pernah merengek minta ditemani paling tidak ia aman dari omelan Ibunya jika latihan sampai larut malam. Sheila pun senang karena terdapat kafe buku yang terletak di dekat Lapangan Futsal, secara teknis sih tidak ada yang dirugikan.

"Gak ada yang berubah ya?" gumam Sheila sembari memperhatikan sekeliling.

Rio yang berjalan tepat di depan Sheila menoleh ke belakang. "Mau berubah jadi Rumah Sakit juga gak mungkin."

Pandangan Sheila langsung tertuju pada Rio yang menatapnya datar. "Yeeee... kenapa sih lo? Sewot bener."

"Ck!" decaknya kemudian berjalan cepat mengabaikan Sheila yang jadi menatapnya sebal.

"Gak jelas!"

Lantas Sheila pergi ke bangku kayu panjang. Tempat di mana gebetan atau pacar para pemain menonton. Sheila duduk di dekat seorang perempuan berambut sebahu, salah satu Kakak Kelasnya di Sekolah.

Amara, ketua cheerleaders dengan jabatan tersingkat hanya dua bulan dan terpaksa mengundurkan diri karena cedera di pergelangan kaki ketika latihan.

"Kak," sapa Sheila sebagai formalitas.

Amara menyipitkan mata, menatap wajah Sheila yang rupanya familiar di benaknya. "Lo tuh... anak OSIS ya?"

"Iya Kak." Sheila tersenyum tipis.

Amara menjentikan jarinya setelah akhirnya paham siapa Sheila. Namun jawaban Amara bukan seperti apa yang ada di benak Sheila. "Lo sahabatnya Rio kan?" katanya dijawab anggukan oleh Sheila. "Hm... jadi bener."

Kening Sheila berkerut. Meskipun nada bicara Amara setengah berbisik, tapi Sheila tidak bisa mengabaikan nada maklum dalam ucapan Amara barusan. "Kenapa Kak?"

"Ah, enggak. Gak apa-apa kok."

"Apanya yang bener Kak?"

Amara menatap Sheila sejenak. Detik kemudian perempuan itu segera menghapus jarak di antaranya dengan Sheila.

Sheila sendiri tidak menyangka semudah itu memancing Amara.

Amara sedikit membungkukan badan kemudian mengarahkan tangannya ke depan mulut seraya berkata, "Lo beneran suka sama Rio?"

"HAH?!"

Mata Sheila membulat sempurna. Pertanyaan menjijikan apa yang baru saja ia dengar?

"Buktinya lo di sini sekarang."

"Hah?!" Sheila mengerjap beberapa kali. Memulihkan semua kesadarannya. "Gimana-gimana Kak? Hubungannya apa gue ada di sini sama omongan lo tadi yang— yang... enggak banget."

Amara kembali mencondongkan badan ke arah Sheila kemudian berbisik, "gue denger dari anak-anak, kalau begitu Rio putus dari Tara lo dateng nemenin Rio futsal, berarti lo suka sama dia!"

Sheila menggaruk kepalanya. Dia benar-benar bingung dengan ucapan Amara dan kenapa juga Kakak Kelasnya ini bisa memiliki logika seperti itu?

"Enggak— Maksudnya... kenapa bisa gue?"

Amara mengedikkan bahu. Mata perempuan itu kemudian tidak sengaja menatap ke arah pintu masuk. Di sana Tara berdiri bersedekap tampak mengawasi mereka— atau lebih tepatnya Sheila dari kejauhan.

Amara meletakkan tangannya di bahu Sheila kemudian sedikit memutar badan juniornya itu ke arah samping. "Tuh, lo dipelototin."

Amara tersenyum geli, perempuan itu kemudian menepuk bahu Sheila beberapa kali sebelum beranjak pergi setelah berkata, "semangat ya."