"Oh iya… PR musim panas!!"
Dengan panik aku langsung berlari menuju lemari buku. Aku mengambil semua buku-buku yang aku ingat ada catatan PR musim panasnya. Kemudian, aku memeriksa satu persatu buku-buku itu.
Setelah semua diperiksa, rasa panikku sedikit menghilang. Untungnya aku sempat mengerjakan beberapa PR-nya, tapi sayangnya yang belum selesai bagian yang sulit sekali. Pasti saat itu aku mengerjakannya dengan prinsip 'mengerjakan yang mudah dulu, kalau sulit tinggalkan dulu'. Jadinya aku melupakan bagian yang sulitnya.
"Sepertinya besok pagi sekali aku pergi menemui Shiina saja…" gumamku. "Sebaiknya aku kirim dulu pesan, supaya tidak terlalu mengejutkannya. Kuharap dia mau membantuku."
###
<Flashback>
Aku pun berkeliling mencari stan yang menarik, sebelum pergi melihat kembang api. Setelah cukup lama berkeliling, aku pun memutuskan untuk mengunjungi stan permainan menembak. Di sana, aku melihat ada Shiina yang memakai kimono belang putih-biru pendek selutut. Dia sedang mencoba memainkan permainan menembak.
"Yo, Shiina," sapaku.
Shiina pun berhenti membidik dan melihat ke arahku. "Oh, ternyata Kiki-san." Shiina kembali membidik lagi.
Aku pun melihat arah bidikan Shiina. Ternyata arahnya menuju boneka beruang sedang yang berada di paling atas etalase kayu. Kurasa wajar saja kalau Shiina menginginkan itu, karena dia seorang perempuan. Kalau aku akan pilih pistol-pistolan yang masih dikemas dengan kotak kardus, di etalase tengah paling sisi.
Perkiraanku ternyata benar, peluru kayu yang ditembak Shiina mengenai badan boneka beruang sedang itu. Sayangnya, boneka itu tidak jatuh. Lalu aku melihat Shiina, dia terlihat sedikit kesal karena gagal.
"Serahkan kepadaku," ucapku.
Aku pun memberikan uang ke paman penjaga stan untuk membayar permainan. Paman penjaga stan pun memberikan pistol laras panjang dengan peluru kayu yang sudah menempel di lubang laras. Kemudian, aku pun membidik ke arah boneka itu.
Ah, gawat, penyakitku kambuh. Penyakit ingin terlihat keren di depan perempuan. Seharusnya tadi aku tidak bilang begitu, cukup membayar dan mencobanya saja. Pasti malu kalau ternyata sampai gagal. Shiina yang berhasil mengenai boneka beruang itu saja gagal, apalagi aku yang belum pernah memainkan permainan ini sebelumnya, ditambah kemampuan menembakku menggunakan tembakan mainan saja payah.
Dipikir-pikir lagi, rasanya mustahil bisa mendapatkan boneka beruang itu hanya dengan tembakan dari pistol ini. Dari yang aku lihat saat Shiina menembakkannya, dorongan ke pelurunya cukup keras sehingga kecepatan meluncurnya cukup cepat. Tapi, jarak antara tempat menembak dengan tempat hadiah cukup jauh. Jadi, kurasa tidak akan memberikan dorongan yang kuat saat terkena hadiahnya. Kalau saja yang ditembak bendanya kecil atau tipis, pasti mudah jatuh walau hanya dengan dorongan kecil. Itu pun kalau kena.
Kalau aku menyerah, pasti sangat memalukan. Apalagi kalau sampai membuat Shiina berharap, dia pasti sangat kecewa sekali. Harga diriku sebagai laki-laki akan hancur lebur. Aku pasti tidak akan bisa tidur tujuh hari tujuh malam.
Kalau begini, tidak ada pilihan lain selain mencoba dan menyerahkan kepada keburuntungan. Ayo semangat, Kiki!!
Tanpa pikir panjang, aku menembakkan peluru kayunya. Dengan cepat aku bisa melihat peluru kayu itu meluncur mengenai sisi botol plastik berisi kertas yang berada di sisi boneka beruang, lalu memantul ke belakang boneka beruang. Sudah dipastikan, kalau itu adalah kegagalan.
Dengan perasaan malu, aku melihat ke arah Shiina. "Maaf, Shiina. Aku ga-"
"Ini dia hadiahnya!" ucap paman penjaga stan mengalihkan pandanganku.
Dengan penuh tanda tanya aku melihat ke arah boneka beruang yang diinginkan Shiina tepat di depanku. Aku mengedipkan berkali-kali untuk memastikan ini bukanlah halusinasi.
"Untuk ukuran laki-laki bodoh, kau bisa memikirkan dengan cara menembakkan penyangga belakang kayunya. Ah, jangan salah paham, aku bukannya memuji!"
"Eh, ah, iya… Oh, ini, bonekanya." Aku pun mengambil bonekanya dan menyodorkan ke Shiina.
"A-Aku tidak menginginkan itu! Aku hanya ingin memainkan permainan ini saja! Kau kan yang mendapatkannya, jadi seharusnya kau yang menyimpannya."
"Aku kan laki-laki, mana mungkin menyimpan boneka. Lagipula, aku melakukan ini karena ingin memberikannya kepadamu. Anggap saja sebagai tanda terima kasih karena selalu membantuku belajar. Jadi, tolong terimalah."
"Baiklah, aku terima…" Shinna mengambil boneka beruang dari tanganku dengan kepala menunduk.
"Hm, kau mengatakan sesuatu?"
"Bu-Bukan apa-apa!" Shiina pun pergi meninggalkanku begitu saja.
Tadi, rasanya aku mendengar Shiina mengucapkan terima kasih. Kurang yakin juga, sih. Tapi, mungkin saja itu memang benar. Seperti heroine tsundere yang selalu malu mengucapkan terima kasih kepada sang hero.
###
Sekarang aku sudah ada di depan pintu kamar Shiina, dengan beberapa buku dan perlengkapan tulis di tangan. Saat tadi bangun, aku sudah mendapatkan pesan balasan. Untung saja Shiina mau menerimanya, tapi setelah selesai sarapan.
Sebenarnya bisa saja aku meminta bantuan nanti siang, tapi karena aku ada rencana ingin bermain game seharian ini, jadi aku paksakan untuk mengerjakan pagi agar bisa selesai secepatnya. Selain itu, besok sudah waktunya masuk sekolah, jadi tidak ada waktu lagi.
"Shiina, ini aku Kiki," ucapku sambil mengetuk pintu.
"Silahkan masuk!" balas Shiina di dalam.
Aku pun memutar kenop pintu dan mendorong daun pintunya. "Permisi."
Aku pun memasuki kamar Shiina, lalu melihat sekitar. Sebenarnya aku iseng ingin mencari boneka yang waktu itu aku berikan kepada Shiina, aku ingin tahu apakah dia menyimpannya. Tapi, setelah melihat sekitar dengan teliti, aku tidak menemukan boneka itu.
"Jangan hanya berdiri saja, cepatlah duduk!" tegur Shiina.
"Oh, maaf!" Aku pun langsung duduk. "Ma-Maaf, Shiina. Aku mengganggu hari santaimu."
"Memang ini merepotkan. Aku bisa saja menolak permintaanmu, tapi karena kau adik Intan-san, aku jadi tidak enak untuk menolaknya."
"Terima kasih, Onee-chan. Kau selalu saja menolong adikmu ini. Aku sayang sekali padamu, Onee-chan!"
"Lalu, apa yang tidak bisa kau kerjakan?"
"Pertama, matematika!" Aku langsung menyimpan buku matematika di atas meja dan buku tulisanku.
Shiina menatapku dengan tatapan dingin setelah melihat isi buku tulisanku. "Jangan bilang kalau bagian tersulitnya adalah semua soal…"
Aku pun mengalihkan pandanganku. "Yah… kau tahu, tiap orang pasti memiliki bakat di bidang ma-"
"Selain matematika, pelajaran apa lagi yang belum kau kerjakan?"
"Fisika…"
"Apa kau mengerjakan setengahnya atau belum sama sekali?"
"Hmm…" Aku mengalihkan pandangan dengan bergetar dan keringat dingin yang keluar. "Belum sama sekali… Ah, tapi tenang saja, aku sudah mengerjakan pelajaran lain… walau baru setengahnya…"
Perlahan aku kembali melihat ke arah Shiina. Sebuah senyuman manis dia berikan, tapi perasaanku mengatakan itu bukanlah senyuman manis. Walau begitu, aku balas senyumannya dengan senyuman… senyuman pahitku.
"Kiki-san."
"I-Iya?"
"Bukankah aku sudah mengajarkan semua rumusnya?"
"Yaahh… manusia kan terkadang mengalami fenomenal yang namanya lu-"
"Jangan istirahat."
"Apa?"
"Jangan istirahat atau bahkan makan sampai kau bisa menyelesaikan semua PR-nya. Aku akan mengajarimu sebentar, sekedar untuk mengingat. Setelah itu, kerjakan sendiri."
"Ta-Tapi…"
"Mengerti?" tanya Shiina sambil tersenyum manis.
"I-Iya…"
Apa yang dikatakan Shiina pun terjadi. Dia mengajariku lagi rumus-rumus yang dibutuhkan untuk mengisi soal PR matematika dan fisika, tapi dengan cara cepat dan sebentar. Lalu, Shiina menyuruhku untuk menyelesaikan semuanya tanpa dibantu sedikit pun dan diawasi dengan tatapan tajam. Itu menjadi tekanan batin bagiku.
Akibatnya, walau sudah waktu makan siang, PR-nya belum selesai juga dan aku melewati makan siang. Shiina tidak mengizinkanku makan siang, bahkan sampai-sampai dia mengunciku di kamarnya dan dia pergi untuk makan siang. Tekanannya semakin besar.
Namun, menjelang sore hari, akhirnya semua PR-nya selesai. Kondisiku sudah seperti orang sekarat, kelaparan dan lemas. Dengan tubuh lemas, aku kembali ke kamar. Setelah menyimpan buku-bukunya, aku pergi ke dapur untuk mencari makanan, mungkin saja ada makanan ringan di kulkas.
"Tuan, kau tidak apa-apa?"
Dengan lemas, aku menggerakkan kepalaku ke samping. Aku bisa melihat Allyn berdiri dengan wajah datarnya. "Aku bohong bila bilang baik-baik saja…" jawabku lemas. "Aku lapar…"
"Ini ada onigiri." Allyn menyodorkan dua onigiri di atas piring. "Silahkan dimakan, Tuan."
"Tidak apa-apa, aku bisa membuat makanan lain. Ini kan makananmu."
"Bukan, Tuan. Ini untukmu."
"Eh, untukku?!"
"Iya, Tuan."
Dengan cepat aku mengambil dua onigiri dan langsung memakannya dengan tergesa-gesa. Akibatnya aku terdesak, tidak berhenti batuk-batuk. Tapi, untungnya Allyn siap siaga dengan memberikan air minum.
"Hah… Makasih, Allyn…" ucapku setelah selesai minum dan tidak terdesak lagi.
"Tuan, seharusnya kau ber-"
"Kau memang maid yang sangat pengertian." Aku mengelus kepala Allyn. "Terima kasih."
"Su-Sudah menjadi tugasku, Tuan…" jawab Allyn sambil menundukkan kepala.
Kemudian, Allyn pun pergi. Sedangkan aku duduk di kursi meja makan untuk mengistirahatkan tubuhku, sebelum kembali lagi ke kamar.
"Akhirnya ketemu juga!"
Aku langsung melihat Yami dan Avira yang datang menghampiriku. "Yo, Avira, Yami."
"Tadi kau tidak ikut makan siang bersama kami, kan?" sambung Avira. "Kami mencarimu ke mana-mana. Memangnya kau dari mana saja?"
"Aku sedari tadi ada di kamar Shiina, sedang mengerjakan PR musim panas. Aku terlalu serius mengerjakannya, sampai-sampai lupa makan siang. Maaf membuat kalian cemas, heheheheh."
Tentu saja mana mungkin aku mengatakan alasan yang sebenarnya, kalau aku tidak ikut makan siang karena kekejaman Shiina yang mengurungku di kamarnya.
"Pasti kau lapar sekali, aku akan buatkan makanan untukmu," tawar Avira.
"Eh, tidak perlu!" cegahku. "Aku sudah cukup kenyang dengan memakan dua onigiri buatan Allyn. Nanti malam juga kita makan, jadi tidak apa-apa."
"Eh, Allyn? Bukankah yang membuat onigiri i-" Kalimat Avira terhenti oleh tangan Yami.
"Avira, sebaiknya kita segera pergi! Kita kan yang bertugas membeli bahan makan malam," ucap Yami.
Yami pun membawa Avira keluar dari ruang makan, meninggalkanku yang ingin menanyakan soal kelanjutan kalimat Avira tadi. Tapi, kurasa tidak terlalu penting, jadi aku hiraukan.
"Sebaiknya aku kembali ke kamar. Masih ada waktu sebelum makan malam."
Aku pun pergi ke kamarku untuk memainkan game kesukaanku. Walau mungkin hanya sempat tiga atau empat jam, tapi lebih baik daripada tidak memainkannya sama sekali.