Tak terasa sudah lima tahun kejadian itu berlalu, sekarang sosok itu sudah ada di hadapanku. Semakin terlihat dewasa dengan tubuh tegap tingginya yang tegak di depan pintu masuk. Tadi, saat aku akan keluar dari dalam kelas, aku hampir bertabrakan dengannya. Membuatku seketika teringat akan kisah masa lalu dan juga pesan darinya.
Pak Mursal hanya diam dengan wajah datarnya yang tak berubah. Tatapannya masih terlihat tajam dan meneduhkan dengan wajah yang semakin dewasa dan memancarkan cahaya keindahan.
Astaghfirullahal'azim, apa yang kupikirkan?
Tubuhku bergerak untuk menyingkir, menunduk untuk mempersilakannya lewat duluan. Dari tata caranya yang menatapku, aku yakin dia sudah lupa padaku dan juga pesan terakhirnya itu. Wajar saja, dulu setelah beliau mengatakannya aku justru balik bertanya mengenai maksudnya, membuat beliau tertawa dan kembali duduk tanpa menjawab lagi. Bisa di katakan bahwa, Pak Mursal juga tidak serius mengatakannya, bukan?
"Silakan, Pak. Maaf saya sudah hampir menabrak Bapak tadi." Aku berkata, menundukkan kepala, karena belum siap bertatap muka dengannya.
Tidak ada suara langkah, Pak Mursal bahkan tak bergeming di tempatnya. Masih berdiri tegak, menatapku sejurus. Padahal anak-anak bahasa Arab, sudah diam tak bersuara di dalam. Ternyata performa mengajar Pak Mursal tidak berubah sejak dulu. Masih tegas dan membuat murid-muridnya tertunduk patuh.
"Sepertinya saya pernah melihatmu. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Suaranya terdengar bertanya, sambil menyentuh keningnya dengan jari telunjuk.
Jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya, apakah Pak Mursal ingat siapa aku? Ini tidak bisa di biarkan, aku tidak mau sampai di perhatikan dan di beri perhatian seperti dulu. Cukuplah aku menjadi seorang yang perlu di jaganya dulu, sekarang jangan lagi.
Memutuskan untuk berpura-pura, aku langsung menggeleng. Aku tak ingin dia mengingat tentang pesannya dulu. "Saya tidak ingat, Pak. Sepertinya kita memang belum-"
"Begitu, ya?" potongnya membuat mulutku terkatup.
Tak punya pilihan lain, aku hanya mengangguk pelan. "Atau, mungkin Bapak hanya tidak sengaja melihat saya di sekitar kampus ini. Ah, mungkin begitu, Pak."
"Baiklah, mau kemana kamu? Bukankah ini sudah bel?" tanyanya sambil melirik arloji miliknya.
Aku mengangkat kepala, lalu tersenyum. Wajar saja beliau tidak tahu, beliau masih baru mengajar di universitas ini. Baru kisaran seminggu yang lalu atau aku juga yang baru melihatnya?
"Saya bukan anak bahasa Arab, Pak. Saya tadi kemari hanya ingin mengantarkan buku yang di minta oleh Bu Azmi."
Keningnya berkerut. "Kenapa tidak mengambil jurusan bahasa Arab?"
Aku diam mendengarnya. Ya Allah, ini pertanyaan yang dapat mengiris jiwa dan raga. Aku bukan tidak mau, tapi tidak sanggup.
"Saya tidak sanggup, Pak." Aku berkata lirih membuatnya menatapku penuh tanya.
"Kenapa? Apakah karena tingkat pembelajarannya yang semakin sulit?"
Aku menggeleng. "Bukan karena itu, ada hal lain."
Pak Mursal menaikkan sebelah alisnya, lalu kemudian mengangguk. "Baiklah, apapun itu, saya tidak akan bertanya karena itu rahasia pribadi milikmu." Beliau menjeda kalimatnya, melirik sejenak kearah dalam. "Tapi, mungkin nanti saya wajib tahu tentang apapun yang ada pada dirimu. Saya masuk dulu, terima kasih sudah mengantarkan buku-buku itu."
Aku terdiam, meremas khimarku pelan. "Iya, Pak, sama-sama. Silakan jika ingin masuk, saya juga permisi. Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu balasannya, aku langsung berlalu, meninggalkan seorang guru yang pernah menjadi pembelaku di masa lalu.
"Maafkan saya, Pak. Memang ada baiknya kita tidak saling mengenal seperti dulu. Saya tidak mau Bapak tahu seperti apa saya sekarang," ujarku pelan, melangkah menyusuri koridor untuk menuju anak tangga.
Aku sudah kuliah selama enam semester di sini. Dua tahun sejak aku lulus SMA, aku sempat melewatkan dua tahun masa pendaftaran untuk masuk ke Universitas. Karena, aku harus di rawat selama enam bulan, dan sisanya bekerja untuk menabung biaya pendidikan. Saat ini pun, aku masih bekerja. Walau terkadang rasa sakit menghampiri tubuhku yang semakin lemah, aku tak punya alasan lain untuk tetap melakukannya selain bersabar.
Aku sudah tak seperti yang dulu!
"Ain! Sini, hei!"
Sampai di loteng, aku di kejutkan dengan teriakan Azizah. Seorang teman seperjuangan dan sejurusanku yang cukup menyenangkan. Dialah penghibur sekaligus temanku saat ini. Walaupun sekarang banyak yang mau berteman denganku sekarang, tapi aku tetap lebih akrab dengannya.
"Maaf, aku lama. Tadi di cegat dosen Bahasa Arabnya," ujarku menjelaskan tanpa di minta.
"Oh, yang bening dan cakep itu?"
"Astaghfirullah, Az. Bukan makhrom sampai kamu harus memujinya. Kalau mau memuji ciptaan-Nya itu dengan tambahan 'MasyaAllah', begitu!"
Azizah meringis. "Iya, Bu Ustadzah Aini. Afwan, ana khilaf."
"Ya Allah," gumamku, menatapnya yang masih meringis serasa tak bersalah. "Khilafnya kelihatan sekali, ya, Bun!"
Azizah akhirnya tertawa, membuatku tersenyum lebar. Kubuka buku tugas yang di sodorkan olehnya, berusaha fokus pada tulisan bahasa Arab yang ku tulis di sana.
"Kira-kira, Pak Mursal benar-benar lupa padaku tidak, ya?" batinku teringat, membayangkan wajah datarnya yang seakan tak menampilkan apapun.
Aku menghela napas. "Mungkin saja tidak, lima tahun ini beliau tidak mungkin mengingatku lagi. Karena, pasti banyak orang baru yang menemui dan di temuinya. Bisa saja butiran debu sepertiku terlupakan."
Aku tersenyum tipis, lalu mengusir semua pemikiran itu dari dalam kepalaku. Berharap, Pak Mursal tak pernah lagi mengingatku.
"Eh, tunggu." Suara Azizah terdengar sesaat sejak kami tenggelam di balik halaman buku.
"Kenapa?" Aku mendongak sebentar, lalu kembali menatap buku di hadapanku.
Azizah menatapku lurus, telunjuknya diletakkan di dagu, sesekali dia mengetuknya perlahan.
"Kamu bilang tadi, dosen kelas itu mencegat kamu?"
Aku mengangguk tanpa ragu.
"Kenapa bisa? Eh, maksudku beliau 'kan orangnya pendiam. Selama mengajar di sini, beliau tidak pernah bicara dengan orang-orang, apalagi mahasiswi. Kok bisa dia mencegat kamu?" tanya Azizah membuatku tersenyum lebar.
"Tadi beliau pikir aku anak bahasa Arab, makanya beliau cegat dan tanya aku mau kemana. Soalnya 'kan anak bahasa Arab sudah masuk, bertepatan dengan aku yang baru akan keluar dari sana," jelasku membuat Azizah mengangguk.
"Begitu, ya? Kupikir tadi, beliau tertarik padamu! Menurut informasi yang kudengar, dosen bahasa Arab itu jomblo. Padahal usianya sudah matang, usahanya juga mapan. Karena selain dosen, beliau juga punya usaha di bidang makanan ringan."
Aku diam mendengar penjelasan dari Azizah, sedikit banyak aku tahu bahwa guru yang pernah menjadi pembelaku di masa lalu kini sudah sukses. Menjadi dosen di universitas ini dan juga punya usaha, Alhamdulillah kalau begitu.
Azizah masih menjelaskan sedikit-sedikit, lalu lompat pembahasan tentang seorang kenalannya yang mengajak ta'aruf. Wajahnya memerah saat mengatakannya padaku. Aku tahu, kenalannya adalah seorang ustadz. Azizah memang seseorang yang amat beruntung, walaupun nasibnya sama denganku.
"Ustadz Ahmad yang kita kenal dari tausyiah mingguan itu?"
Bersambung!