"Minum obat dulu, Ain." Azizah menyodorkan dua butir aspirin dan segelas air putih padaku.
Aku meraihnya dengan tangan bergetar, kepalaku masih sedikit nyeri. Di bantu Azizah, aku meminumnya dengan bantuan satu gelas air.
Obat ini, sudah empat tahun lebih aku mengonsumsinya. Jika pusing menyerangku, tak ada yang dapat kulakukan selain meminumnya. Jika aku telat meminumnya satu kali saja, maka kepalaku akan sangat sakit, bisa-bisa aku juga akan jatuh pingsan. Selama ini bisa di katakan bahwa aku sudah amat bergantung pada obat bulat kecil berwarna putih itu. Tanpa meminumnya, aku takkan bisa melakukan apapun, selain merasakan sakit yang teramat sangat. Apakah suatu saat, aku masih bisa sembuh?
"Bagaimana? Sudah lebih baik?" Ibu kost bertanya, di belakangnya Ustadz Ahmad turut berdiri.
Memang saat aku di bopong oleh Azizah saat akan pulang tadi, Ibu pemilik kost kebetulan lewat. Dia ikut masuk ke dalam kost yang kami tempati agar Ustadz Ahmad tidak ragu memasukinya demi menyimpan beras lima liter milik kami yang di bawanya. Wajah Ustadz Ahmad dan kedua orang di hadapanku ini terlihat cukup panik. Mereka khawatir saat melihat aku sudah hampir mimisan tadi.
"Saya tidak apa-apa, Bu," ujarku pelan, duduk menyandar di tempat tidur.
Kulihat Ibu kost yang tengah menghela napas, kuakui beliau amat baik dan perhatian selama ini, padaku dan juga anak-anak kost. Beliau juga ramah, sholehah dan tidak suka terlalu menagih biaya kost. Menurut informasi, beliau adalah seorang istri pengusaha tembaga di kota ini. Kost-kostan ini hanya sampingan saja baginya.
"Saya prihatin dengan keadaan kamu, Ain. Di usia muda, kamu harus mengidap penyakit yang berbahaya. Kamu seharusnya di rawat, bukan bekerja keras seperti ini," ungkapnya membuatku tersenyum.
"Saya juga khawatir, Bu. Tapi, kami hanya tinggal berdua di kota ini. Menunggu saya lulus dari universitas dan mendapatkan pekerjaan yang lebih besar gajinya, masih terlalu lama. Kalau saya yang bekerja sendiri di pabrik, gajinya tidak akan cukup," ujar Azizah, dia mengusap lenganku lembut.
Aku tersenyum menenangkan. "Tidak apa-apa, saya masih bisa untuk bekerja. Penyakit ini sudah empat tahun lebih saya idap, Alhamdulillah sampai sekarang saya masih di beri kekuatan dan kesehatan. Ini hanya ujian, saya justru menikmati rasa sakit yang di berikan Allah. InsyaAllah, akan ada kesembuhan yang akan mendatangi saya nanti. Ibu tidak perlu khawatir."
"Aini benar," ujar Ustadz Ahmad, baru mengeluarkan suara. "Saya yakin bahwa akan ada kesembuhan yang akan Aini dapatkan. Selama ini Allah sudah melihat usaha kalian, usaha untuk bertahan hidup, usaha untuk saling menjaga dan juga usaha untuk segera sembuh. Yakinlah akan kekuatan doa, jangan lupa untuk selalu berserah diri padanya. Akan ada hikmah dari apa yang terjadi semalam dan juga hari ini. Untuk kamu, Ain. Syafakillah La Tatharun, InsyaAllah." Do'anya membuatku tersenyum.
"Aamiin, terima kasih, Ustadz."
Ustadz Ahmad tersenyum, dia menatap lurus padaku sejenak, sebelum akhirnya memalingkan sorot mata.
"Jika begitu, saya pamit dulu. Sudah hampir ashar, Assalamu'alaikum."
Kami mengangguk. "Wa'alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh."
Ustadz Ahmad berlalu diantar Azizah ke pintu keluar. Sesaat setelahnya, Ibu pemilik kost juga pamit padaku. Aku mengangguk, lalu menjawab salamnya sebelum akhirnya bangkit dari duduk dan berlalu ke kamar mandi. Aku harus bersiap, sebentar lagi jadwal ku untuk bekerja.
"Aini," panggil Azizah saat aku keluar kamar mandi, dia sudah berdiri di meja dapur. "Kamu mau bekerja?"
Aku mengangguk. "Iya, kenapa?" Melanjutkan langkah, aku membuka lemari untuk mengambil pakaian seragam kerja berwarna hitam.
"Yakin kamu sudah kuat?"
Aku mengangguk. "Aku kuat, tadi pusing karena lupa minum obat saja. Jangan khawatir, Az."
Kukenakan hijab dan memakai sedikit make-up. Azizah hanya diam melihatku dari pantulan kaca kecil yang tertempel di dinding. Kost tempat kami ini amat sederhana. Fasilitasnya hanya sebuah tempat tidur tingkat dua, lemari, sebuah meja belajar, meja dapur dan juga ember di kamar mandi. Untuk rice cooker, panci, wajan dan alat-alat lain kamilah yang menyediakannya. Aku dan Azizah sudah kenal sejak empat tahun lalu, mudah akrab karena sepaham dan juga senasib hingga memutuskan untuk tinggal bersama dan berjuang bersama untuk hidup dan melanjutkan kuliah.
Bahkan Azizah adalah orang pertama yang paling tahu bagaimana aku, penyakitku, kisah dulu yang menimpaku, serta hal-hal lain di dalam diriku. Bisa di katakan, aku dan Azizah adalah kakak beradik yang saling melengkapi.
"Aku antar, yuk! Kita beli nasi saja di luar untuk makanmu. Kalau aku masak, tidak akan sempat." Azizah meraih tas dan mengambil kontak motor dari sana. Lalu menarik tanganku yang hanya pasrah mengikutinya.
"Yakin kita beli?" tanyaku setelah mengunci pintu dan berlalu ke tempat motor kami terparkir.
Azizah mengangguk, memakai helm dan mulai menyalakan motor. "Besok kita gajian, jadi uang kita tidak akan sempat habis." Azizah nyengir, memintaku naik. "Lagipula, biaya kuliah kita sudah lunas hingga akhir semester ini, bukan? Tidak ada yang perlu di khawatirkan!"
Aku tersenyum mendengarnya, begitulah Azizah, terkadang perhitungannya cukup akurat. "Untuk uang kost?" Aku sengaja bertanya, membuatnya menoleh sedikit.
"Gampang! Nanti kalau aku jadi nikah, aku akan bayar hingga sepuluh tahun ke depan pakai uang mahar!"
Mataku membulat. "Mahar? Maksud kamu apa, Az? Kamu mau menikah?"
Tawanya pecah, bahkan saat kami sudah menepi di sebuah warteg yang tak jauh dari pabrik. Aku turun, di susul olehnya.
"Iya, aku mau menikah." Azizah berkata, lalu menarik tanganku masuk. "Pilih kalau tidak, aku atau kamu yang menikah? Atau kita sama-sama menikah?"
Keningku berkerut, tapi mataku menoleh kearah suara orang yang terdengar batuk.
"Pak Mursal?" batinku tak percaya, melihat seseorang yang amat familiar di mataku, tengah duduk di salah satu sisi meja, tempat kami melangkah.
Beliau bangkit dari sana, lalu menatapku dan Azizah yang tengah menghentikan langkah. Mataku tertuju padanya, sedangkan Azizah sedang melihat menu makan yang ada di selebaran poster.
"Pak?" Aku berkata, memastikan. Aku yakin suaraku terdengar olehnya.
Beliau diam, masih menatapku sejenak. "Mas, berapa semuanya?" Pak Mursal mengalihkan pandang, memanggil seorang pelayan warteg.
Setelah membayar, beliau berjalan kearahku dengan tatapan biasa. Baru saja jarakku dengannya sedikit dekat, Azizah sudah menarik tanganku untuk duduk di ujung warteg. Sempat kulirik sejenak ke belakang, tatapan mata Pak Mursal mengikuti langkahku sambil tersenyum.
"Ya Allah, senyuman itu ...." Aku tak melanjutkan ucapanku, teringat tentang kejadian masa dulu, saat dengan mudah aku dapat melihat senyum dan mendapatkan perhatiannya.
Tapi sekarang aku sadar, Aini yang dulu, tidaklah sama dengan Aini yang sekarang.
Bersambung!