Setelah menimbang beberapa saat, aku tak bisa menggabungkan kejadian itu dengan Pak Mursal. Apa hubungannya? Pak Mursal dan pemilik pabrik hanya rekan kerja sama, tidak mungkin beliau punya kuasa untuk mengatur ruangan para pekerja.
Menatap Azizah, aku berkata. "Sudahlah, Az. Tidak perlu kita bahas lagi. Tadi aku di pindah, karena menggantikan seorang pekerja yang sudah resign. Lagipula, aku sudah bekerja empat tahun di sini. Kurang pengalaman apalagi coba?"
Azizah terdiam sejenak. "Benar juga, sudah empat tahun, ya? Kalau aku baru jalan dua tahun, karena bekerja di pabrik roti tiga tahun lalu." Azizah tersenyum, lalu memegang pundakku. "Alhamdulillah, ini seharusnya menjadi kabar gembira. Gajimu besar di ruangan itu, Ain. Bisa di tabung untuk biaya pengobatan untuk penyakitmu. Mungkin, ini jawaban dari doa-doa kamu selama ini."
Aku balas tersenyum. "Amiin, mudah-mudahan begitu. Ini juga berkat doa dan usaha kamu, Az. Apalah artinya diriku tanpamu."
Azizah tertawa, lalu memelukku erat. "Kita akan berusaha bersama, berdoa bersama. Mudah-mudahan, kebaikan dan Ridha-Nya selalu menyertai langkah kita."
Aku balas memeluknya erat, sebelum akhir dia melepasnya. "Amiin, InsyaAllah begitu. Terima kasih sudah ada dan menemaniku selama ini, Az. Aku tidak sanggup membalasmu, semoga Allah yang akan membalasnya dengan semua kebaikan."
Azizah tak menjawab, dia hanya tersenyum dan menarik tanganku untuk menaiki motornya. Sesaat motor matic yang kami beli tiga tahun yang lalu ini menyala. Lampunya menyorot kearah depan, sebelum akhirnya Azizah memutar gas dan melajukannya memasuki jalanan.
"Langsung pulang?" tanyanya dari arah depan.
Aku yang duduk miring karena sudah terbiasa, mengangguk. Laju motornya sedikit melambat saat akan menyeberang memasuki jalan inti. Diantara kami, Azizah adalah seorang yang paling mahir mengendarai motor. Aku masih gugup, kadang hampir saja oleng. Selama tinggal dengan orang tuaku, aku tak pernah di ajarkan naik motor. Abi dan Kakak lelakiku tak mengizinkan, mereka tidak mau aku kenapa-napa saat belajar menaikinya.
Dan, tinggal empat tahun lebih dengan Azizah membuatku harus belajar. Dengan Azizah sebagai pelatih, aku perlahan dapat menaikkan kaki saat motor melaju perlahan dan itu hanya berlalu sebentar. Selebihnya, aku akan oleng dan buru-buru menurunkan kaki. Dua tahun aku mempelajarinya tak pernah berhasil. Azizah juga tak lagi mengizinkan aku, setelah tahu riwayat penyakitku yang semakin parah.
"Mau apa kita mampir kemari?" Aku bertanya bingung, menatap sebuah mini market di depan mataku.
"Beli kuota untuk laptop," jawabnya sambil meringis, beranjak turun setelah menurunkan penyangga motor.
Aku ikut turun, menatapnya bingung. "Bukannya kuota ada di gerai kuota? Kenapa ke mini market, Az?" Azizah tertawa kecil, lalu menarik tanganku memasuki gedung putih merah itu.
"Sekalian cari yang sejuk-sejuk, ruangan ini 'kan ber-Ac." Tawanya terhenti saat berpapasan dengan salah seorang pegawai mini market. Menarik tanganku, Azizah berjalan kebagian snack.
"Lihat Ain! Ini yang kamu packing, bukan?" Azizah berseru, menunjuk sebuah kemasan snack yang tertata rapi.
"Wah, iya. Ternyata di sini ada juga." Aku berkata sambil meraihnya, tertawa kecil melihat setiap sudut. "Harganya, Az!" Mataku membulat sempurna, menatap kertas kecil dengan bandrol harga yang lumayan mahal untuk satu bungkus snack rasa balado dengan berat tiga ratus gram.
"Berapa?" Azizah menyahut dari rak sebelah, entah kapan dia berjalan ke sana.
"Lima puluh sembilan ribu sembilan ratus. Ya Allah, sama saja dengan enam puluh ribu!"
Suara tawa yang kudengar dari Azizah, tanganku sudah buru-buru meletakkan bungkusan itu dan menyusul Azizah yang tengah mengambil beberapa bumbu masakan.
"Namanya ini kota besar, Ain. Pasti semuanya mahal!" Azizah berkata, lalu tersenyum kearahku. "Tapi, karena kamu besok gajian. Tidak apa-apa kalau aku membeli beberapa bumbu di sini, ya? Soalnya tidak ada di pasar."
Aku menyipitkan mata. "Aku gajian?" Azizah mengangguk, menatapku dengan wajah yang seperti tak berdosa. "Bukannya kamu juga?"
"Eh, iya ya! Tapi, aku 'kan mau nabung untuk biaya nikah!"
Kulihat wajahnya yang sudah menahan tawa, mengartikan jika Azizah tak serius mengatakannya. Tapi, demi menyenangkan hatinya, biarlah aku menanggapi.
"Kamu mau nikah sama siapa?" Aku ikut berjalan di belakangnya, saat Azizah sudah selesai memilih bumbu dan kembali ke dekat pintu untuk meletakkan barang yang di belinya di meja kasir.
"Manusia, laki-laki sholeh jenisnya." Azizah berkata, lalu menyebutkan angka nomor kartu yang akan dia isi kuota saat pegawai kasir bertanya.
Aku memilih diam setelah mendengar ucapannya. Melihat-lihat ke sekitar yang lumayan ramai orang-orang berbelanja. Sesaat, mataku menatap jam dinding yang ada di sudut kanan ruangan.
"Az," panggilku pada Azizah yang masih membayar.
"Apa, Ain?" Dia menatapku, lalu menoleh kearah pegawai yang sudah mengulurkan kantung belanja.
"Terima kasih, kembali lagi, ya, Mbak!"
"Sama-sama, Assalamu'alaikum." Azizah berkata, tersenyum ramah.
"Wa'alaikumusalam."
Keluar dari mini market, aku menutup mulutku karena menguap. Mataku perih, ini sudah hampir dini hari. "Kita pulang, ya?" Aku berkata pelan, membuat Azizah tersenyum.
"Iya, memangnya mau kemana lagi?"
Azizah menaiki motor dan menyalakannya. Beberapa menit kemudian, kami sudah memasuki jalanan raya.
"Untuk apa kamu membeli bumbu masakan ayam itu, Az?" Aku bertanya saat kami sudah memasuki kost. Azizah tidak turun dari motor, dia melajukannya memasuki ruang dalam kost.
Area kost kami tidak ada penjaganya, jadi tidak mungkin motor matic berharga milik kami ini di tinggal di luar. Yang ada besoknya, hanya tinggal bekas. Motornya sudah hilang di ambil orang!
"Besok aku mau ketemu camer!" Tawanya pecah setelah mengatakannya, bahkan bertambah lebar saat melihat wajahku yang terkejut bagai tersambar gledek.
"Camer? Maksud kamu, burung camer?"
"Astaghfirullahalazim, Ain. Camar, itu burung camar!" Azizah berkata meluruskan, membuatku meringis.
Menghempaskan diri di tempat tidur, Azizah ikut bergabung di sisi kananku setelah mengunci pintu. "Kamu serius mau menikah, Az?" Aku bertanya, menatap wajahnya sendu.
"Eiit! Aku tidak akan menikah secepat ini, Ain. Tidak mungkin aku melupakanmu sebelum ada yang dapat menjaga dan memperhatikanmu lebih dari aku!" Azizah berkata, menggenggam tanganku erat.
"Tapi, besok kamu ingin menemui orang tua calonmu. Itu artinya-"
"Ain," potong Azizah cepat, menatapku lucu. "Kamu lupa, besok ada kajian mingguan dari Ustadz Ahmad Bukhori. Ibunya datang, menjadi salah satu jama'ah wanita untuk mendengar ceramah anaknya. Jadi ...." Azizah menatapku, dengan wajah memerah.
"Jadi?" Aku bertanya, membeo kalimat terakhirnya.
"Aku di minta oleh Ustadz Ahmad untuk menyiapkan diri. Karena, selain mengikuti kajian. Ibu Ustadz Ahmad juga ingin menemuiku, beliau ingin mengenal sesosok wanita biasa yang sudah berhasil membuat anaknya terpesona!"
"Astaghfirullahalazim," ujarku sambil tertawa, ucapan serta ekspresi Azizah amat sangat lucu bagiku.
Tapi bukannya tersinggung, Azizah ikut tertawa. Tapi sesaat kami sama-sama diam, khawatir para penghuni kost sebelah terganggu.
Dengan nada rendah, aku bertanya. "Apakah kamu menyukai Ustadz Ahmad, Az? Maksudku, langsung dari dalam hati dan cinta karena Allah?"
Azizah terdiam, menatapku sejurus.
Bersambung!