Anra meregang nyawa setelah dirinya tak sengaja tertabrak truk saat berjalan di trotoar. Supir yang mabuk menjadi penyebab olengnya kemudi, hingga akhirnya dia menjadi korban yang tidak bersalah.
Sebelum kematian yang begitu menyakitkan, Anka yang dalam keadaan setengah sadar berkata."Aku meminta pertanggungjawaban atas semua ini!"ucapnya meski terbata-bata dengan aliran darah di bibir.
Dia mati setelah mengatakan kata-kata terakhirnya, namun tidak sepenuhnya mati. Diruang terang tanpa bayangan, putih seperti salju, dan sejuk seperti di padang rumput yang luas. Dirinya tersadar dengan wajah bingung.
"Apa yang terjadi?"
Cahaya terang muncul dihadapannya, semula hanya remang-remang, beberapa detik berikutnya berubah membentuk manusia, dan satu menit setelahnya muncul sayap di punggungnya. Sosok wanita cantik tercipta dari remang cahaya, dengan pakaian putih kelap-kelip silau menyilaukan mata.
"Siapa kau?"tanya Anra melangkah mundur memasang kuda-kuda, berjaga-jaga.
"Kau? Apa seperti itu cara bicara mu saat bertemu seorang Dewi?"tanya wanita berpakaian kelap-kelip.
"Dewi? Mana ku tau jika kau Dewi?"balas Anra menutup matanya dengan tangan.
"Perkenalkan namaku Servie dan aku seorang Dewi di dunia mu berasal."
Anra memasang wajah bingung."Apa yang dilakukan Dewi ditempat seperti ini?"
"Bukannya kau sendiri yang meminta pertanggung jawaban atas kematian yang menimpa mu. Aku datang ke sini untuk mengganti rugi atas semua yang kamu alami."ucap Servie santai."Kau bakalan dihidupkan kembali ke dunia lain. Dunia yang penuh ilmu sihir dan ilmu pedang dimana-mana, naga, goblin, dan berbagi macam monster."tambahnya.
"Kau mau menghidupkan ku ke dunia yang berbahaya seperti itu? Itu sama saja dengan membunuhku untuk kedua kalinya!"timpal Anra protes.
"Apa kau tidak bisa mendengar sampai selesai? Aku belum selesai berbicara!"ucap Servie dengan wajah kesal."Aku akan mengabulkan semua permintaanmu, apapun yang kau mau!"lanjutnya.
Anra langsung menjawab."Aku mau jadi Dewa!"ucapnya tegas.
"Apa yang kau pikirkan? Tidak bisa! Permintaan yang lebih masuk akal!"raut wajah Servie tambah kesal.
"Kalau begitu, karena dunia ini sangat berbahaya. Jadi bisa kau mengabulkan banyak permintaanku?"tanya Anra.
"Bisa saja, asal yang masuk akal. Tidak seperti menjadi Dewa yang kau sebutan tadi."jawab Servie mulai menenangkan diri.
"Baiklah! Ku sarankan kau menulis semuanya di kertas, karena ini akan sulit untuk diingat."ucap Anra menarik nafas dalam-dalam.
"Aku mau bisa menggunakan semua jenis sihir, dapat menguasai semua elemen, dapat menggunakan semua senjata, dapat mempelajari semua jenis beladiri, ilmu pedang, ahli penempa dan alkimia. Mana tanpa batas, anti segala racun, wajah tampan, bisa segala jenis tarian, bisa memasak, tubuh kebal serangan sihir dan fisik."Anra menghembuskan nafas.
"Apa sudah semuanya?"tanya Servie memegang kertas dan pulpen bercahaya.
"Belum! Masih ada yang aku mau. Aku mau bisa membaca semua huruf, bisa segala bahasa, punya stamina yang kuat, punya kekuatan yang sangat kuat, dan ini yang terakhir. Aku mau ***** yang besar, panjang, dan tahan lama."
"Permintaan yang terakhir itu, bukannya itu terlalu cabul? Terlebih kau sangat serakah dengan banyaknya permintaan ini."ucap Servie menatap Anka dengan tatapan jijik.
"Jangan menatapku seperti itu. Permintaan terakhir hanya untuk jaga-jaga, dan aku tidak serakah, itu namanya bersiap-siap!"sangkal Anra dengan santainya.
"Kebanyakan alasan. Cepatlah berdiri! Aku akan mengirim jiwa mu segera."ucap Servie.
Anra segera berdiri.
"Pejamkan matamu!"
Anra terus menuruti apa yang dikatakan. Servie mulai memajukan tangannya ke depan, cahaya remang-remang muncul di telapak tangannya, beberapa detik kemudian cahaya mulai menyelimuti tubuh Anra, cahaya terus bertambah terang. Satu menit kemudian, suara bayi terdengar sedang menangis. Sayup-sayup dari jauh terdengar suara pria tua menembus semak-semak, pria tua empat puluh tahun itu berkata.
"Bayi siapa ini? Kenapa ada di dalam hutan?"tanya pria tua yang menggendong keranjang anyaman.
Di keranjang bayi tepat di gelang bertuliskan "Anra", ketas catatan tergeletak, pria tua itu mengambilnya."Bayi ini bajingan, jika menemukannya silahkan untuk dibunuh!"isi dari catatan.
"Apa Dewi yang menulisnya? Dasar sialan!"batin Anra kesal.
"Kasihan sekali bayi ini. Siapa orang tua yang tega membuangnya? Terlebih mereka membuat catatan yang tidak bermoral seperti ini."pria tua itu menggenggam tangannya merusak kertas catatan.
Pria tua empat puluh tahunan itu bernama Gorgori, dia mungkin tua. Tapi tubuhnya sehat dan berotot selayaknya orang yang masih muda, wajahnya tegas juga tirus, memiliki jenggot dan kumis menutupi setengah wajahnya. Dibeberapa bagian tubuhnya terdapat bekas luka yang begitu banyak, terlihat keren dipadu dengan otot-ototnya yang tegas.
Gorgori membawa Anra yang berusia empat bulan ke rumahnya di perkampungan biasa dengan semua penduduk bekerja sebagai petani buah dan sayuran, juga berternak. Gorgori cukup terkenal di sana, di setiap perjalanan dia selalu disapa oleh penduduk desa yang sedang sibuk bekerja di ladang.
Desa Ruca, desa yang masih asri yang berada dibalik lembah, semua penduduk ramah dan murah senyum, hidup serba kecukupan dari hasil ladang dan peternakan yang mereka kelola.
Sesampainya di rumah, Gorgori meletakan keranjang Anra bayi di meja ruang tamunya, sementara dia pergi keluar untuk membeli susu dari tetangga.
"Aku bereinkarnasi jadi bayi. Ku pikir aku akan langsung besar, ternyata tidak. Tubuh ini sangat sulit digerakkan!"ucapnya dalam benak."Ini rumah pria tua yang membawa ku."tambahnya menggerakkan pupil, melihat sekitar.
Rumah kayu dengan luas 6×8 meter, terbagi menjadi beberapa ruangan di dalamnya. Ruang tamu, kamar, dapur, dan kamar mandi. Semuanya terbuat dari kayu, meski begitu tatanan kayu tersusun rapat di setiap sisi dinding, membuat hawa dingin malam tidak terasa. Di dinding rumah memiliki beberapa pedang yang dipajang, perisai juga ada. Pedang dan perisai bukan sekedar pajangan semata, itu adalah senjata milik Gorgori saat dia menjadi petualang, dia masih menggunakannya jika pergi ke hutan untuk berburu.
Pintu terbuka, Gorgori kembali dengan sebotol susu sapi di tangannya.
"Apa kau kelaparan, aku sudah membawakan susu untuk mu."ucap Gorgori mengambil sendok.
Perlahan-lahan Gorgori menuang susu ke mangkuk, dia lalu mengais dengan sendok secara pelan. Dengan hati-hati Gorgori menyuapi Anra susu sapi, Anra mengirup sedikit demi sedikit. Satu suapan habis, dua, hingga tiga suapan juga sama habis, di suapan ke empat, Anra menolak.
"Rasanya hambar, aku tidak menyukainya!"ucap Anra, mengeluh. Hanya dia yang bisa dengar.
"Kau pasti sudah kenyang!"ucapnya menutup botol susu."Bagaimana kalau aku mencarikan nama untuk mu, nama apa yang cocok untuk bayi laki-laki sepertimu?"Gorgori sambil menggendong Anra bayi.
"Ryu, bagaimana?"ucapnya menatap Anra. Anra menggeleng kuat, menolak.
"Kau tidak suka ya? Brant, Bagaimana?"Gorgori kembali menatap Anra. Anra kembali menggelengkan kepala, sekaligus menggerakkan tangan yang dipasangi gelang atas namanya.
"Kau masih belum suka ya? Gorgulus, bagaimana?"
Anra masih menggelengkan kepalanya, tangannya bergerak lebih kuat, sampai-sampai memukul pipi Gorgori yang menggendongnya.
"Pria tua ini, nama-nama aneh yang kau berikan, tidak akan ku terima!"tegasnya.
Setelah menerima pukulan Anra, Gorgori akhirnya menyadari gelang yang melekat di tangan Anra.
"Anra, apa itu nama yang kamu mau?"tanyanya sekali lagi. Anra mengangguk setuju.
"Mulai sekarang namamu Anra!"ucap Gorgori mengangkat Anra.