webnovel

S2-86 SAPPHIRE AND EMERALD

"You are the crown ...."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Dua Hari Kemudian ....

_________________________

Hal yang Apo rasakan saat membuka mata adalah semacam flashback. Tiba-tiba dia bangun dalam kondisi pegal. Kebingungan. Apalagi Sanee ada di sebelahnya seperti waktu itu. "Halo, Sayang? Sudah bangun?" tanyanya. Bedanya kali ini Apo tidak muntah-muntah, melainkan pipinya basah. Dia pun duduk dan menatap ke sekeliling kamar. Tapi tidak ada Paing di sebelahnya.

"Oma? Phi mana?" tanya Apo. Omega itu meraba bantal satunya. Tidak hangat. Sangat rapi. Dan itu membuat dadanya berat.

"Oh, Sayang ... mungkin kau harus tenang dulu," kata Sanee. Lalu menggenggam tangannya. "Paing sekarang hanya butuh do'a. Dia diisolasi di ruangan ICU. Dan jangan temui dulu karena dia menjalani perawatan intensif."

DEG

"Apa, Oma?"

"Dia jadi transplantasi paru-paru kemarin," kata Sanee. "Setelah berkelahi dengan suamimu."

Tenggorokan Apo pun serasa menyempit. Dia ingat momen sebelum pingsan. Dan sekarang kenyataan menggamparnya begitu keras. ".... t-tapi boleh aku tahu separah apa, Oma?" tanyanya.

"M-Maksudku ... Phi tidak sampai patah tulang atau semacamnya kan? Aku hanya ...."

"Bukan, tapi menurutku Paing sekarang harus istirahat total. Dan kita pun wajib bertahan sampai dia sembuh," kata Sanee. Suaranya berubah gemetar dan penuh kesedihan. "Aku sungguh tidak mau dia kenapa-kenapa, Sayang. Aku benar-benar tidak ingin kehilangan dia ...."

Apo pun tertular tangisan wanita itu. Dia segera beringsut mendekat. Balas menggenggam. Lalu bicara selembut mungkin. "Oma, aku benar-benar minta maaf ....." katanya. "Dan tolong bilang aku seharusnya melakukan apa--hks ... jujur aku juga bingung sekali ...."

Sanee menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, Sayang. Tidak perlu. Toh Paing sendiri yang memilih dirimu ... hiks ... hiks ... hiks ...." katanya. "Tapi, bisa jangan ambil kehidupannya dariku? M-Maksudku, aku benar-benar tidak paham dengan suamimu ... hiks ... hiks ... hiks ...."

"Oma ...."

"Belum lagi Yuzu yang mengamuk kemarin--hiks ... ya Tuhan ...." desah Sanee dengan air mata berjatuhan. ".... semoga dia tidak marah lagi setelah dibawa suamiku pulang--ha ha ha ... bisa kau bayangkan mereka berdua menggila? Rasanya aku tak tahan lagi di rumah."

"Oma ...."

Keduanya pun berpelukan untuk beberapa saat. Sepenuhnya hanya deep-talk hari itu. Tentang pekerjaan, rumah, baby, Mile, Nazha, dan masih banyak lainnya--semua agar suasana semakin tenang.

Sanee juga menemani Apo mengemong triplets di rooftop. Mereka merencanakan beberapa hal terkait bisnis. Tapi juga membahas hal manis. Seperti masa kecil Paing? Apo senang hati menyimak cerita Sanee saat membuka-buka album lawasnya. Tentang bocah lucu nakal yang suka bermain-main. Sangat pintar, tapi jarang pulang karena banyak temannya.

Paing ternyata punya sosial tinggi sejak kecil. Dia sering foto bersama mereka kalau Sanee menjemput, dan tentunya potret itu cukup hitam putih. Namun, anehnya Paing jarang mengundang mereka pulang.

Bocah itu tetap menyendiri jika di rumah. Belajar dan main sesuka hatinya. Sama sekali tidak suka diganggu para babysitter. Namun, Sanee tidak pernah melarangnya berbuat apapun. Toh di sekolah Paing sering berprestasi. Dan foto-fotonya saat juara membuat Apo memicing.

"Eh? Yang ini siapa ya?" tanya Apo. Lalu menunjuk bocah perempuan yang ada di sisi Paing.

"Oh ... itu Luhiang," kata Sanee. "Apa kau sudah diberitahu? Dulu mereka kujodohkan sebelum ada kendala."

"Ah ...." desah Apo dengan rona yang muncul di pipi. Pasalnya Luhiang manis sekali, tapi siapa yang tahu pubertasnya malah jadi Alpha? "I-Iya, Oma. Kami dulu sempat membahasnya setelah aku bertanya."

Sanee pun tersenyum tipis. "Bagus. Jangan bosan-bosan tanya kalau bicara dengannya. Paing itu mudah kok, sebenarnya. Tapi memang harus diawali dulu," katanya. "Mau bantuan, mau ditemani, mau diajari, mau mengajak main, atau apalah--dia pemalu tapi mukanya memang begitu. Sok-sokan datar menyebalkan, ya kan?"

Apo pun tertawa melihat Sanee mencibir anaknya sendiri. "Hihihi, iya Oma."

"Karena itu dia pernah pacaran sama yang satu ini. Sebentar ...." kata Sanee. Lalu membalik halaman album foto di pangkuannya. Di situ ada Paing versi junior yang menggandeng Omega--ehem--jelek ... Maaf saja Apo tetap jujur di dalam hatinya--tapi mereka bergandengan sambil tersenyum.

"Oh, ha ha ha," tawa Apo, meski sebenarnya tidak bisa lega.

"Nah ... kan? Dulu Paing sempat kugodai sih. Oma bilang, 'Sayang, kok maunya sama yang seperti itu? Ya ampun kuncirannya saja sering miring.' tapi Paing bilang, 'Dia keren kok. Berani bilang mau jadi pacarku. Ya sudah, ayo. Yang cantik-cantik saja tidak berani.' Terus, begitulah ... pffft .... mereka bertahan sampai lulus junior, tapi si Omega dibawa orangtuanya ke luar negeri."

Apo pun refleks berdehem. "Ah, sad ending ...." desahnya sambil menggaruk pipi yang tidak gatal.

Sanee mengulum senyum gelinya kali ini. "Iya, terus Paing menangis kencang pada waktu itu. Ha ha ha, dasar bocah. Dia ditinggali ikan koi pemberian si Omega. Tapi mati lalu dikubur di halaman belakang."

Namun, lama-lama Apo merasa ada yang aneh. "Eh? Tunggu dulu. Tapi hubungan Phi sama Luhiang batal di umur ke-12 kan?" katanya. "Jadi, sebelumnya mereka tahu kalau dijodohkan?"

Sanee jadi gemas dengan Omega puteranya. "Ya diberitahu, Sayang. Tapi bocah seumur mereka mana paham jodoh-jodoh ...." katanya. "Tahu-tahu digodai terus kalau main bersama ...."

Apo pun mengangguk pelan. "Oh ...." desahnya sembari tersenyum.

Meskipun bagitu, rasanya Apo paham dengan perasaan Paing. Dulu dia juga sangat mencintai Mile. Tanpa syarat. Bahkan meski bocah itu paling gendut di sekolahan. Apo begitu karena merasa nyaman. Diterima. Jadi, senang dekat dengannya.

"Ngomong-ngomong, kenapa cinta pertama seringnya hilang, ya," batin Apo saat terbaring sendiri di kamar. Dia miring ke kiri seolah menghadap Paing, padahal Alpha itu istirahat di rumah sakit. "Padahal indah sekali. Aku sampai pernah tidak mau mencintai yang lain lagi." Dia meraba tempat itu dengan remasan. Sangat rindu, tapi harus menahannya agar Paing fokus pada pengobatan. "Kenapa juga akhirnya nyambung dengan orang yang tidak disangka?" batinnya lagi. "Padahal dipikir berapa kali pun ... aku ... dan Phi Paing ... rasanya hampir tidak mungkin."

Apo pun melepas kalungnya sebentar. Dia ingin melihat desain benda itu lebih jelas, karena saat diberikan langsung dipasang ke lehernya. Dia menyalakan lampu tidur agar lebih terang. Menitinya, lalu menemukan hal yang tak pernah dia sangka--ah ...

demi apa itu inisial dua nama! SUMPAH! Apo sampai menyipitkan mata agar melihatnya lebih detail. Dan huruf 'PA' benar-benar terbenam di dalam sana.

DEG

"Oh ... shit!" maki Apo sambil membelai bandul tersebut. "Jangan bilang ini pesan custom? Aku pikir langsung beli di toko perhiasan ...." katanya. Lalu google sebentar untuk mencari tahu makna batu safir. Pipinya sampai merona tanpa sadar. Senyum-seyum. Bahkan tidak jadi tidur karena membuka kotak perhiasan di pangkuannya.

Itu adalah lambang romansa yang kekal. Keagungan, kejujuran, ketulusan, dan kesetiaan.

"Ah ...." desah Apo lagi-lagi. Sebab dia penasaran juga dengan bandul dari Mile, yang berupa zamrud bening agak beryl. Tapi merasa bodoh karena baru menyadarinya sekarang.

Itu adalah lambang cinta sejati, kebijaksanaan, harapan, penenang, dan penyembuh dari segalanya.

"Aku selalu berpikir hanya kau sendiri yang bisa menyembuhkanku, Apo. Ha ha ha. Tapi orang yang kuharapkan selalu meminta cerai, cerai, cerai--bahkan sekarang juga menyerahkan diri untuk orang lain."

"Mile, sepertinya kau sungguhan sakit ...."

"Ha ha ha ha, iya. Memang ... aku takkan rehab, jika sangat-sangat normal. Tapi sepertinya kau tidak sabaran."

"Mile--"

"Aku selalu membayangkan kepergianmu jika kita setuju bercerai, Apo. Karena aku paham, aku tidak pantas. Dan aku sangat mengapresiasi betapa bagus kalung darinya kau kenakan."

Apo pun menggenggam bandul Paing dengan mata yang berkaca-kaca. Omega itu memakainya kembali. Mengecupnya, tapi kemudian terkekeh-kekeh. "Ha ha ha ... penyembuh, ya?" gumamnya.

".... apa kalau kuceraikan, kau akan benar-benar jijik padaku? Apa kalau kuceraikan, kau tak akan mau bertemu denganku? Bicara mungkin? Menoleh? Atau mau mengingat namaku?"

"Mile ... ha ha ha, ya ampun ...." tawa Apo lagi. Dia kini sadar setakut apa sang suami. Karena Alpha itu benar-benar tidak ingin ditinggalkan dirinya. "Kenapa bertindak sejauh ini? Kau tidak harus menyakiti Phi-ku kan? Sebenarnya apa yang kalian bicarakan sampai berkelahi? Ha ha ha ha ha ...."

Karena itu, lima hari kemudian Apo pun siap menuju RS Samitivej Thonburi, Bangkok. Resepsionis kantor bilang di sanalah Mile dirawat. Sebab tulang lengannya sempat geser karena pelintiran Paing. "Tapi saya dengar hari ini sudah boleh pulang kok, Tuan Natta. Coba Anda langsung temui saja. Bisa jadi sore nanti baru sampai rumah?"

Apo pun mengangguk pelan. "Oke," katanya. "Thanks, ya. Tak masalah.

Aku akan ke sana menemuinya."

"Baik. Sama-sama."

Dan benar saja kabar itu. Mile sudah tampak sehat meski masih luka-luka. Duduk sendirian, tapi tidak menyuap makanan dan malah menatap keluar jendela.

CKLEK!

DEG

"Apo ...."

Apo pun tersenyum saat berjalan mendekat. "Oh, hei, Mile ... bagaimana kabarmu sekarang?" tanyanya sebelum duduk di kursi tunggu. "Sudah baik? Atau masih harus ditimang seperti bayi? Aku hanya ingin mengatakan sesuatu ...."

Mile yang masih tak menyangka pun diam sebentar. Dia menatap Apo seolah-olah keajaiban. Masih loading, bahkan meski Apo nyata-nyata menggenggam tangannya. "...."

".... bisa kau lepaskan aku? Serius," kata Apo. Tanpa takut, bahkan menatap mata suaminya begitu dalam. "Aku janji nantinya kau tetap boleh berkunjung ke rumah kami, Mile. Just do it."

"...."

"Bukankah kau ingin menjadi Ayah mereka?" tanya Apo. "Seperti yang kau bilang pada padaku dulu ...."