webnovel

S2-40 A WHITE FLOWER

"A white flower that I found. I thought it was right not to let him go."

[ANGELIC DEVIL: The Crown]

Baru saja Mile masuk, pandangannya sudah terdistraksi lagi. Ada dua bodyguard keluarga Takhon yang mendadak pisah dari barisan. Mereka menghampiri Apo. Lalu bagi tugas. Satunya bisik-bisik di sebelah telinga sang istri. Satunya lagi membawakan botol susu Blau Er.

Omega-nya mau dituntun kemana?

Apo yang memunggungi pun tak terlihat ekspresinya. Sang istri hanya mengangguk kecil. Lalu ikut dua bodyguard itu melangkah. Rupa-rupanya jalan sisi kiri disterilkan dari butler yang lalu lalang agar Apo bisa lewat. Omega itu ditunggu Paing yang baru saja menyerahkan pengantin. Lalu tersenyum dengan dibalas Apo senyuman juga.

Hal yang membuat langkah Mile menjadi gamang. Tapi itu belum seberapa.

Paing kini merangkul pinggang Apo dari sisi kanan. Tidak posesif, tapi penuh kelembutan. Alpha itu menuntun Apo untuk naik ke spot khusus. Semua demi bertemu orangtuanya.

Sepasang suami istri yang sudah tua. Mereka sama-sama ubanan. Tapi penampilan menunjukkan mereka semua tetap bau uang. Senyum yang sopan. Saling berhadapan dengan obrolan yang santun. Lalu si wanita minta izin agar Blau Er boleh digendong.

Fuck, Apo. Mile takkan membiarkannya menikah dengan pacar Alpha-nya apapun yang terjadi. Apa-apaan bertemu tanpa sungkan seperti itu? Walau publik sudah menilai mereka bercerai, tapi hubungan mereka masih sah di mata hukum! Mile pun tidak jadi duduk kembali di sisi Nazha, malahan menenggak wine yang ditawarkan seorang butler lewat.

Alpha itu mengawasi istrinya sedang bercengkerama dengan keluarga Takhon. Dari kejauhan pun Mile tahu Apo merona, apalagi saat Blau Er dicium-cium. Oleh Pa Paing, oleh Ma-nya. Baby itu juga aktif mengayun-ayunkan tangannya ke udara karena disambut baik. Dia mungkin tertawa. Sehingga kebahagiaan si mungil menyebar ke semua arah. Sesuatu yang membuat Mile melonggarkan dasi walau tidak gerah, lalu menelepon Nazha dengan dialog seolah itu rahasia.

"Nazha, pamit saja sekarang. Jangan lama-lama," kata Mile. "Aku tunggu di pintu depan. Ada urusan penting mendadak."

Suara Nazha sangat lembut di seberang sana. "Oh, iya, Mile. Sebentar Alan lagi makan kue. Biar dihabiskan dulu."

Mile, yang selalu menekan dirinya sendiri karena tahu kekuatan keluarga Nazha, langsung bergumam-gumam. "Hm, tapi cepat," katanya. "Kalau bisa tidak perlu menyapa orang. Kita lakukan itu lain hari."

"Hm, hm. Iya, Sayang. Aku tutup dulu teleponnya. Alan sepertinya agak rewel."

"Ma! Maa! Atit! Hiks--"

"Nazha--"

Tuuuttttssssss ....

DEG

Oke? Sekarang apa? Pelipis Mile pun berdenyut-denyut karena pening. Tapi dia hanya menghela napas panjang. Sumpah dia bertahan di tempat meski kakinya sempat mengetuk, lalu cukup lega karena calon istri keduanya sungguhan keluar. Namun, seorang Guli Nazha Bextiar? Dia takkan diabaikan sekitar, meskipun Mile menyuruh tidak menyapa.

Nazha amat dikagumi, meski perusahaannya bukan di Thailand. Sang Ayah sering memberikan pengaruh di Turki sana, dan ibunya pandai menjalin relasi hebat. Ya, meski kolot karena berdarah Uighur. Wanita itu memang seperti keberuntungan saat bertemu dengannya di Istanbul dulu. Tepat saat Apo hamil 1 bulan, dia muncul dengan senyum untuk menggantikan posisi sang ibu sebentar.

"Oh, Mile ....? Kukira Pomchay yang akan datang kemari?" Dia bilang. Waktu itu Alan juga menerobos ruang rapat. Padahal tadi diikuti babysitter-nya di luar.

BRAKH!

"Ma! Ma! Pelmen!" kata Alan sambil mengacungkan permen tusuknya.

Saat itu anggota rapat belum lengkap dan baru hadir berlima. Lainnya tua, hingga tidak banyak memperhatikan, kecuali kelucuan Alan saat diminta Nazha keluar.

Sumpah Mile sulit berkedip karena bocah itu mirip dirinya, tapi tak menyangka kalau Nazha mengakui sesuatu setelah rapat selesai.

"He's your child, Mile. Tapi ceritanya panjang," kata Nazha. "Dan aku masih berduka karena kepergian Chen Li baru 7 bulan. Sulit sekali melihat Alan memanggil Daddy sembarang lelaki."

"...."

"Terus ... Dia sering tantrum parah jika kutinggal. So, yeah. Kadang kuajak serta bekerja. Hanya jika jadwal tidak sampai larut malam."

Saat itu Mile hanya menyapa Alan sebentar. Matanya sulit lepas karena membayangkan anak Apo juga selucu Alan. Maksudnya jika nanti seumuran dia. Namun, kini janin itu masih dalam rahim. Mile pun meraih pipi si bocah karena membayangkan sesuatu, tapi tidak menyangka saat Nazha menawarkan sesuatu.

"Kalau kau kesulitan, bilang padaku harus apa."

"...."

Mile pun menoleh dengan raut yang sulit dideskripsikan. Namun, Nazha tahu dia bingung mengendalikan beberapa hal. Apalagi ini tahun pertamanya banting setir ke kursi CEO.

"Aku bisa membantu, Mile. Kuanggap ini empati untuk Daddy Alan."

"...."

".... termasuk kegagalanu tadi. Jangan memforsir diri sendiri dan maklumi saja. Toh ini menang awal-awal kau di ranah kami."

....

Dan itu hanya awalnya.

Mile mungkin bisa biasa saat menghadapi Nazha. Tapi tidak setelah di jet dalam perjalanan pulang. Mana mungkin dia tidak kepikiran? Alan terlalu mirip dengannya. Dan bocah itu sangat pintar walau agak nakal. Dia tahu cara tersenyum lebar dengan mata bulat. Dan itu mengobati sakitnya akan kegagalan dan kehangatan.

"Daddy? Mau men uga?"

Mile pun membuka genggaman tangannya yang diisi permen kecil dari Alan. Dan dia selalu memikirkan bocah itu. Hingga sampai rumah. Melakukan pekerjaan ini itu. Tapi harus ingat besok pagi menjemput Apo di Bandara Suvarnabhumi.

BRUGHH!

"Hei, Apo?"

Apo yang baru melakukan dinas di Swiss waktu itu malah melewati pelukannya yang sudah terentang. Dia justru melempar buku tebal berbahasa Jerman. Lalu melewatinya begitu saja.

"Ayo Yuze, jalan."

Mile pun menoleh dengan raut yang bertanya-tanya. "Ini apa, Apo?"

"Bekal."

"Hah?"

Apo langsung masuk mobilnya karena lelah. Lalu memejamkan mata. Hal yang membuat Mile harus mengais kesabarannya lebih banyak. Bicara dengan Yuze sebentar, lalu masuk dan mengecup bibir Apo sebagai bentuk kerinduan.

Cup. Cup. Cup. Tapi Apo menampakkan wajah yang uring-uringan. "Kita kapan pulangnya?" Dia bilang. Tapi Mile sulit marah karena tatapan mata cantik Apo sulit diabaikan.

"Nanti. Sebentar aku sedang senang Omega-ku pulang."

"Aku capek, asal kau tahu saja. Hei--"

Apo tampak risih karena perut buncitnya disentuh. "Dia juga baik-baik saja. Kupikir kenapa tidak membalasku berhari-hari."

Dan Apo lebih tersinggung lagi. "Jangan berlebihan, oke? Aku ini sudah sabuk hitam semasa kuliah," katanya. Yang tampak sama sekali tak butuh kehadiran dia.

"Hm, hm. Sabuk hitam pun harus tetap memikirkan bayinya kalau sedang mengandung."

Memang, waktu itu Apo masih sangat kesal kepadanya, walau alasannya juga tidak jelas apa. Mungkin karena sifatnya memang keras kepala? Atau terlalu hati-hati saja? Dan selalu curiga pada semua hal? Intinya Apo benci jika mengikuti perkataan dia.

Hanya saja melepaskan sosok semenawan Apo? Tepat setelah Omega itu setuju untuk bertunangan. Dan memberikan banyak petualangan padanya karena tertantang ingin menaklukkan--Mile merasa tidak bisa mundur.

Mile benar-benar menginginkan Omega ini. Dia ayu saat bangun atau lelap di dalam mimpi. Maka, keegoisan Mile semakin bertambah. Jangan biarkan Apo menggugurkan kandungannya apapun alasan yang dia bilang. Buat itu sebagai faktor penghubung, walau Mile sebenarnya tidak terlalu memikirkan adanya anak--lagipula orang bebas sepertinya? Punya momongan rasanya nomor sekian.

"Kau memikirkannya sudah sejak kapan?" tanya Mile. Sangat senang saat Apo tiba-tiba memberikan hadiah desain rumah. Oh, shit. Itu seperti kejutan. Pertanda Apo mau menetap dengan dirinya.

"Memang penting sejak kapan? Pilih sajalah. Aku mau berpakaian dulu."

Ya, walau sikap Apo tidak banyak berubah. Namun, itu sudah cukup untuk Mile melupakan Nazha dan Alan untuk sementara waktu. Persetan lah dengan mereka! Aku tidak ada hubungannya, Pikir Mile. Lalu menyerbu Apo dari belakang.

BRUGH!

"Kau belum bilang mencintaiku."

Dan Apo membalasnya dengan dengusan. "Kau mungkin lupa kalau belum bilang juga."

Kenapa Omega ini sulit mengalah? Sesusah itukah Mile mendapatkan kepatuhannya? Padahal dia bilang--

"Aku, hm, ingin agak tidak adil. Kau cerita masa kecil sampai sesenggukan. Kau juga bisa mengagumi Mile si gendut jelek, tapi memusuhiku setengah mati. Aku benar-benar bingung sekali."

Dan Apo berbalik, meski tanpa ekspresi. "Aku mencintaimu, Mile. Tapi aku harus memastikan persoalan rasa benar-benar di tempat yang tepat."

"Yang tepat bagaimana maksudmu?"

"Aku memang tidak pernah berpacaran, tapi aku sering memperhatikan situasi berbagai macam pasangan. Bagaimana orang yang mencintai, tapi ternyata sosok itu tidak pantas setelah kau menguji dia."

DEG

"...."

"Bukan dari segi rupa, harta atau posisi sih, khusus aku. Tapi aku tahu value-ku sendiri. Nilai prinsip, loyalitas, dan apakah aku akan diperlakukan baik kecuali tanpa sengaja--aku harus tahu semuanya sebelum mengambilmu dari siapa pun."

Hal yang menggampar Mile berkali-kali. Sakitnya, dan penyesalannya dahulu. Apo mungkin tidak bermaksud melakukan itu padanya, tapi prinsip kuat sang Omega sudah cukup memberikan benteng. Betapa Mile saat itu menahan diri untuk emosional, karena ingat Nazha dan Alan sekali lagi.

Pikir Mile, "Jika aku tahu hari ini akan bersamamu, mungkin aku tidak akan melakukan hal-hal seperti itu dulu."

Sebab Apo terlalu bersih. Terlalu suci. Dia bahkan berupa kuntum mawar putih sebelum Mile merusaknya di dalam pesawat. Dan Mile paham Apo bisa dapat yang lebih pantas.

Namun, ada rasa yang membuat Mile tidak mau berhenti. Apalagi tadi siang mereka bertunangan, tolonglah. Mile hanya ingin meyakinkan Apo mereka akan baik-baik saja.

"Sekarang sudah mengerti maksudku? Kau akan kupertahankan selama masih dalam batas toleransi. Tapi jangan coba-coba saja."

"...."

"Sekali aku tahu kau tidak layak lagi di mataku, lebih baik aku sendiri dan hidup seperti sebelum kita memulai semua ini. Aku ahli dalam hal itu, Mile. Dan kau boleh mencobanya andai ingin tahu."

Mencobanya? Mile bahkan sudah terlewat batas sebelum hari ini terjadi. Karena itulah, dia panik saat Ameera muncul di depan gedung untuk menabrakinya. Tatapan Apo membuat Mile sungguh takut kehilangan. Apalagi Apo langsung pergi tanpa berkata-kata.

BRAKH!!

"Good. Setidaknya akan ada rumah tangga yang hancur sebentar lagi."

DEG

"Apa?!"

"Omega-mu yang lelaki manis itu, bukan? Tadi kulihat dia sempat melihat kita berdua."

Sial! TIDAK AKAN MILE BIARKAN APO PERGI! TIDAK AKAN! BRENGSEK!

BRRRRRMMMMMMMMM!

"APO!"

Mile tahu, dia membohongi Apo sejak awal. Tapi perasaannya tidak bisa dihentikan. Mile sungguh ingin Apo memberikan kesempatan. Dan itu harusnya bisa berkali-kali. Dia frustasi melihat sang Omega menghapus pesan. Memblokirnya. Lalu terus menjauh dengan mobil tersebut.

CKLEK!

"Aku akan pergi dengannya saja. Terima kasih sudah diantar. Salam untuk Ma aku sampai di rumah dengan selamat," kata Apo. Yang ternyata sungguh-sungguh menjawab harapan dia. Omega itu membiarkan mobil yang mengantar dia pergi. Lalu menatap Mile dengan mata curiga, tapi juga ingin percaya.

Kau masih kembali padaku, Apo, Pikir Mile pada saat itu. Dan dia harap selamanya Apo tidak pernah tahu.

.... tentang bagaimana dirinya menanggung beban. Dihantui senyum Nazha dan Alan setiap kali kesulitan. Atau tremor karena tidak bisa menyentuh Apo yang terus menerus muntah karena kehamilannya--

Fuck!

Mile pun memaki-maki diri sendiri. Tepat setelah bangun telanjang di sisi pewaris Green Star Zeneca tersebut. Sejak kapan? Kenapa dia tidak bisa menahan diri sendiri? Mile pun akhirnya pulang dengan meninggalkan Nazha begitu saja. Dia terlalu cemas. Terlalu panik. Sampai-sampai mencari cara agar bisa mendapatkan kesenangan, tanpa harus berhubungan seks lagi di luar sana.

"Anda butuh penenang, Tuan. Namanya dopamin. Aku akan memberikannya, tapi perhatikan dosis yang dipilih benar-benar. Jadi tolong tetap hati-hati," kata Dokter Sou. Pria yang mengabdi untuk keluarga Romsaithong itu pun membantu, tapi Mile merasa itu tidak cukup.

Kegagalan projek Bas saat dirinya di Madrid, Spanyol. Keributan di sana-sini yang beruntun terjadi. Tapi orang rumah tidak ada yang bisa diandalkan--Mile benar-benar sinting hingga membanting botol Dopamine karena itu rasanya tak manjur.

PRAKH!!!

Dia butuh yang lebih. Tapi apa?!

Segalanya mulai buram dalam kepala. Mile pun melirik narkotika lagi, walau hanya pernah mencoba waktu remaja. Dan membanting pintu hotel untuk siapa pun yang menarik hatinya. Cukup 20 menit tiap kali bertemu, bukan? Apo hanya tidak boleh tahu.

"Tidak, Mile. Ini bukan salahmu. Aku kan sudah memilihmu. Anggap saja begini. Lagipula, jika pasanganku orang lain. Belum tentu juga kondisi kita seperti sekarang. Aku tak boleh kurang bersyukur ...."

DEG

Salah, Apo. Justru karena kau memang salah memilih. Maka kau berada di sini--Mile sangat sadar tentang kebenarannya, tapi melihat Apo seperti ini? Bagaimana jika sang Omega makin hancur setelah rahasianya terbongkar?

"Mau memelukku sebentar?"

Namun, Apo tampak sangat terluka. Dia juga tidak mau mendekat, hingga Mile harus datang sendiri untuk memeluk. Apakah dia sudah tahu? Mile selalu menebak setiap detik.

"Mile, aku benar-benar berterima kasih ...."

.... waktu terasa seperti hujan belati saat itu. Perih. Sulit. Sesak. Tapi Mile tetap harus meneruskan kebohongan yang sudah menumpuk tinggi.

"Aku yang harusnya berterima kasih. Terima kasih sudah memilihku dengan yakin. Terima kasih juga telah melangkah begitu jauh, dan bersedia melahirkan bayi-bayi kita."

"Umnnn."

Mile pikir, oke ... sudah cukup dia membuat ulah hingga hari ini. Jangan lagi. Jatuh saat awards menandakan waktunya makin serius, tapi ternyata roda kehidupan tidak mengizinkan.

BRAKHHHHHH!!!

"Bisa kau minggir sebentar?" kata Apo. Yang baru saja kehilangan ayahnya. "Kau pikir sarapan mudah di saat seperti ini? Coba bayangkan yang mati Ayahmu, Mile? Dan kau ada dalam posisiku ...."

"Apo, tenang--"

PLAKH!

"Tenang, katamu? Kenapa tidak pergi saja? Semua ini gara-gara siapa?"

"KAU, MILE! Kau ... kau yang aku pilih ... setelah semuanya, bisa tolong pergi sebentar?"

.... di titik itulah Mile benar-benar beku di tempat. Apo benar. Memang seharusnya dia pergi sebelum ini terjadi. Tapi jika ingat tentang Paing Takhon? Alpha yang menatap Apo penuh cinta dalam kondisi berantakan sekali. Di resepsinya dengan sang istri. Juga menyajikan ketulusan dengan rasa sakit yang dipendam sendiri--

"Eh? Phi Paing? Tunggu, Mile ... dia datang ...."

Apalagi Apo menyeretnya ke lelaki itu dengan raut yang teramat riang. Siapa dia sampai membuat istrinya begitu?

"Oh, itu dia?"

"Iya, padahal kemarin katanya tak datang ke buku tamu. Tapi dia barusan kemari!"

Dan membuat Mile gelap mata ingin menghancurkan jika diberikan kesempatan.

DEG

"Mile?" panggil Nazha beberapa kali.

Mile pun baru tersentak dari lamunan. Padahal Ibu Alan itu sampai mengayunkan tangan di depan matanya. ".... hm?" tanyanya. Masih belum sepenuhnya sadar.

"Jadi pulang?" tanya Nazha. "Kebetulan Alan ingin beli es krim."

"Oh ...." Mile pun mengalihkan pandangannya kepada si bocah imut yang nyengir saat menatapnya.

"Jadi kita jalan-jalan sebentar nantinya," kata Nazha. "Say ok?"

"Tentu," kata Mile, walau tanpa eskpresi. Dia pun menggandeng Alan di sisi kiri. Lalu berkata perlahan. "Jadi, kau mau berapa banyak es krim nantinya? Sekeranjang? Daddy akan belikan untukmu."

Meski Bahasa Thailand-nya masih jelek, Alan sepertinya tetap paham dengan setiap kalimat. "Mau! Banyak!" jeritnya ceria. Bocah itu lalu mengayun-ayun tangan Mile. Segera menyeret sang Ayah dan Ibu agar cepat berjalan pergi. "Ciniii! Ayooooo!"

"Eh! Eh! Alan!" jerit Nazha. Namun, Mile tidak keberatan ditarik-tarik pada waktu itu. Dia pun mengikuti Alan kemana pun bocah itu pergi. Terseok, walau mata sulit mengalihkan perhatian dari sang Omega yang tertawa lagi di kejauhan.