"Apa setahun lalu kau bangga memilikiku?"
[ANGELIC DEVIL: The Crown]
8 Hari Kemudian ....
Mile terbangun pada pukul 3 pagi, gelisah. Tangannya mengelus sisi kiri ranjang, tapi Alan tak ada di sana. Spring-bed hangat memberitahu bocah itu belum lama pergi. Hanya saja sandal lantainya tidak dipakai. Mile pun turun untuk mencari anaknya, tolah-toleh. Ternyata Alan menggambar di lantai dan telungkup sambil mewarnai. Rautnya serius. Di sekitarnya ada krayon bertebaran. Saat Mile teliti lagi rupanya Alan habis cuci muka. Sebab wajah, kaki, dan tangannya basah bukan karena menangis. "Alan ... Nak? Kau belum tidur?" tanyanya hati-hati. Bagaimana pun bocah itu masih antipati, jadi Mile mendekatinya perlahan. "Tadi kan sudah baring bersama Daddy. Mimpi buruk?"
Alan hanya menggeleng.
Mile menemani di sebelahnya. Duduk bersila, lalu memperhatikan apa yang dipikirkan si bocah. Oh ... Alan tengah mengilustrasikan seorang pria berhelm yang tersenyum di sebelah mobil balapnya. Itu Liu Hanyi .... Sosok itu memang menempati hati Alan sebelum dirinya. Senyumnya ramah, kumisnya tipis, dan Mile bisa menilai kesan Hanyi baik, meskipun telah meninggal. Lelaki itu pasti sering menghabiskan waktu dengan Alan, jika tidak mustahil selengket itu. Kehadirannya saja pengganti Hanyi. Setidaknya itu yang Nazha tekankan sebelum mereka menikah.
"Kau ingin jadi pebalap seperti dia?"
Alan menoleh. "Mn." kemudian fokus kembali.
"Bagaimana kalau mirip Daddy? Pakai jas?"
Alan lagi-lagi berhenti mewarna. Bohong bila Mile tak tahu ada suit karya Nazha khusus Alan. Usai pindahan semua ada di lemari, tapi karena berlabel pasti belum dipakai. Mile sempat menyentuhnya karena penasaran. Namun, Alan kini hanya diam. Dia menatap Mile dan krayonnya gantian. Lalu menggambar tokoh wanita. Itu jelas Nazha dengan rok selutut. Wajahnya juga senyum, dan Alan menggandeng tangan mereka.
"Alan."
"Hm?"
Daddy akan meninggalkanku juga?
".... apa?"
Seolah Mile mendengar suara barusan, padahal Alan hanya berkedip-kedip.
Apa barusan aku berhalusinasi?
Mile pun berusaha sadar dengan memijit keningnya.
"Daddy juga tijak ica tidur?" tanya Alan tiba-tiba. Bocah itu berusaha memahami ayahnya, tapi tidak mendapat jawaban. Jemari mungilnya terus menggambar karena merasa diabaikan. Kali ini Mile di sebelah Nazha. Tangan mereka sama-sama bergandengan. Sementara Alan menginterpretasikan sosoknya sendiri dengan senyum lebar. Dia adalah anak kecil dengan imajinasi bahagia, tak seperti pada kenyataannya. Ada 'love' besar-besar yang menjadi background. Namun tiada Apo karena Alan tak paham arti poligami. Bocah itu masih suci , murni. Bahkan dia bilang Hanyi dan Nazha lama tak pulang bukan karena kematian. Membuat Mile sering sulit meninggalkan kemana pun dia ingin menuju. Jangan sampai dia merasa sendirian lagi. ".... Daddy iyang akan mengajau pelgi esok. Kemana?"
"...."
"Daddy?"
"Berkunjung ... cuma sebentar, Sayang. Ke Bangkok. Setelah itu kita pulang kemari lagi."
"Huh?"
Mile hanya tersenyum tanpa menjelaskan. Dia ikut mewarnai demi membunuh waktu. Lalu ke bandara pagi harinya. Mereka terbang lagi, meskipun baru pindahan. Karena hari sidang perceraian sudah tiba. Saat sampai di pengadilan ternyata Apo belum datang, padahal Mile ingin melihat wajahnya sebelum mereka menjauh. Mile pun menunggu tak jauh dari parkiran, sementara Alan dia gandeng dengan wajah polos. "Apo--"
Di parkiran ujung, Omega itu keluar dari mobil mengenakan sweater pink, beany pink, syal dan long-coat hitam, serta tas selempang pink juga. Secara keseluruhan dia makin tampak feminim, bahkan bibirnya dipoles lip-gloss tipis-tipis. Apo menoleh lagi karena si sopir memanggil. Tapi itu bukan sopir biasa, karena jam tangannya Bvlgari. "Apo--"
Kedua Alpha itu memanggil bersamaan.
Apo pun berbalik ke belakang, karena hanya satu suara yang dia dengar. Omega itu bertanya, "Iya, Phi?" Lalu menatap ponselnya yang diulurkan.
"Ini hampir ketinggalan."
"Oh."
"Tadi jatuh di sebelahku."
"Thanks."
Mile memang tak bisa merekam seluruh obrolan mereka, tapi dia bisa membaca ekspresi Apo. Omega itu sudah bahagia. Dia sungguh baik-baik saja dengan ada atau tiada dirinya. Apo tersenyum manis seperti saat jatuh hati padanya, bedanya sekarang lebih agresif. Apo maju sebentar untuk mengecup bibir Paing, dia terkikik centil--padahal sang Alpha tampak khawatir. "Yakin tak masalah sendirian?" tanyanya.
"Ya," jawab Apo. "Phi kerja saja rapatnya tak kalah penting."
"...."
"Aku adalah ibu anak 7, jadi jangan meremehkanku."
Paing pun menghela napas panjang. Dia menyadari kehadiran Mile di seberang sana, saling menatap. Tampak berpikir sejenak sebelum turun.
"Eh? Phi ...."
"Sebentar saja, aku ingin bicara dengannya."
Paing menghampiri Mile tanpa menunggu Apo. Sang mate pun menyusul lambat di belakang. Sebab bekas jahitan caesar masih menyulitkan. Omega itu tetap berusaha jalan elegan, padahal perutnya terasa terobek di dalam. Dia melihat Paing lepas-lepas kancing depan jasnya, pertanda sang mate sebenarnya juga sedang tegang. Paing bilang, "Sawadde khab," yang dibalas Mile dengan anggukan. Karena Alpha itu masih menggandeng Alan.
"Mile--"
"Kau--"
Paing pun mengayunkan tangan. "Kau duluan saja, silahkan. Yang lebih tua mengalah."
Mile pun tertawa mendengarnya. Dia cukup terhibur dengan kalimat Paing, karena Apo yang berdiri di sebelahnya adalah pertanda kemenangan. Bagian mana yang mengalah di sini? Mile rasa itu bisa menjadi lelucon yang gelap. "Kulihat kau sibuk sekali, ya. Daddy baru," katanya dengan mata berair. "Tapi aku senang melihatmu begini--maksudku kalian berdua. Dan kuharap ini terakhir kalinya aku mendengar Apo lari kebingungan."
"Ya."
"Setelah aku melepasnya nanti, jangan sampai ada rumor sampai ke Islandia," ancam Mile. "Karena jika iya, aku pasti datang meski dia bukan hakku lagi. Entah untuk menghajarmu, entah untuk mengobrak-abrik kantormu. Intinya ini antara kau dan aku."
"Tentu."
Mile dan Apo kini berpandangan. Satunya tajam, satunya lagi merasa tidak karuan. ".... benar-benar hanya kau dan aku," tegasnya. Karena Apo dia kecualikan dalam hal ini. Namun, sang Omega menggenggam Paing sangking kalutnya. Bibirnya agak terbuka, pertanda kesulitan napas tapi ditahan. "Semoga kalian berbahagia."
Paing balas menggenggam sang mate di sisi saku. Dia menatap Alan yang berada di tengah mereka. Namun meski kecil, Alan merupakan kekuatan besar untuk Mile. "Kau juga, berbahagialah. Kuharap aku bisa bertemu dengan bocahmu versi dewasa. Dia hebat. Bahkan perkiraanku jadi kader Alpha terbaik di Islandia."
"Alpha?"
Mile menatap Alan Bextiar.
"Alpha," kata Paing. "Firasatku mengatakannya. Tunggulah dia akan berubah sebentar lagi. Mungkin nanti jadi penengah untuk seluruh saudaranya yang lebih muda."
"...."
"Suatu hari ...." imbuh Paing. "Anak-anakku akan menjadikannya contoh yang baik. Jadi dampingilah agar terus berprestasi jika itu kelebihannya."
"Oke."
Paing tiba-tiba berlutut di depan Alan. Dia melepas jepitan dasinya. Lalu dipakaikan ke jaket si bocah. Alan memandanginya karena tak kenal, dan ekspresi bocah itu berubah saat Paing mengulurkan tangan. "Boleh Uncle kenalan denganmu?"
Alan pun melepas tangan Mile untuk menjabat Paing dahulu. "Alan, Uncle."
"Hmph, nama yang bagus," puji Paing sambil tersenyum. "Aku Uncle Paing. Panggil saja begitu, oke? Kuharap kau sering main ke rumahku suatu hari nanti."
"Huh?"
"Jika kau suka adik kecil, pasti akan betah di sana."
Paing pun pamit setelahnya, dia pergi dengan langkah tegap. Namun ketiga pasang mata tetap memandang hingga mobilnya hilang di balik gerbang. Alan sendiri dititipkan ke babysitter karena ada pemberitahuan sidang segera dimulai. Kira-kira 20 menit lagi dari sekarang. Ada pengacara Apo baru datang. Pengacara Mile pun menyusul. Sementara jaksa sebelumnya sudah berganti Jaksa Na. Mereka bertiga masuk ke ruangan sidang secara tertib. Sementara hakim yang bertugas diajak bicara dua ajudan. Hm, mereka mungkin sedang bertukar informasi.
"Ada hal yang ingin kau katakan padaku , Mile?" tanya Apo. Dia meremas tali selempang dalam genggaman. "Jika iya--"
"Apa kau akan mendengar dengan hati jika kukatakan?" sela Mile. "Mulai nanti kau bukan lagi istriku."
Tanpa mundur selangkah pun, Apo pun menatap lurus. ".... oke, akan kucoba," katanya. "Apa, Mile? Mungkin ada yang bisa kubantu."
Alpha itu tampak gentar. "Aku ... memang mengawali pernikahan kita dengan kebohongan. Semuanya kacau. Sudah jelas pula sebagian besar salahku," kata Mile. "Tapi, bisa kau katakan sekali lagi? Secara jujur, dan terakhir tidak masalah. Karena kuharap, kau benar-benar mencintaiku di masa lalu."
"...."
".... maksudku, memang pernah. Kau juga senang saat menikah denganku. Menjadi Omega-ku. Istriku. Apa kau pernah bangga karena memilikiku? Aku hanya ingin yakin di titik terendah ini."
Apo menyadari Mile teramat emosional. Mungkin jawabannya menjadi alasan hidup dan mati. Mile sangat rapuh. Maka dia harus hati-hati untuk membuatnya percaya. "Coba simpulkan saja sendiri," katanya. "Aku pernah hamil dan melahirkan tiga anakmu, padahal belum siap waktu itu."
"...."
"Dan untuk Omega sekelasku, kenapa harus mempertimbangkan ajakanmu menikah? Kenapa aku harus peduli dengan keinginanmu yang katanya belum cinta, tetapi mengejar dengan obsesi," kata Apo. "Kenapa aku wajib memperhatikan rasa ingin tahumu, Mile? Aku bisa saja ke rumah sakit untuk menggugurkan kandungan tanpa sepengetahuanmu, dan aku tidak kekurangan uang untuk melukaimu."
"...."
"Aku bukan Omega tertindas, paham? Aku tak membutuhkanmu untuk mengangkat derajatku di masyarakat. Aku setara, bahkan mungkin melebihi dirimu," tegas Apo. "Kalau pun ingin suami CEO, relasiku lebih luas daripada keluargamu waktu itu. Aku kenal dengan banyak Alpha hebat. Di dalam maupun luar negeri. Tapi aku ... sengaja membutakan mata untuk memilihmu."
"...."
"Apa kau tahu apa artinya? Aku telah membuang sebagian akal sehat untuk memberimu ruang, Mile. Karena aku, Apo Nattawin, sebenarnya memang ingin kau datang," kata Apo. "Aku mencintaimu sampai ingin pamer ke siapa pun, bahwa margaku sudah berganti Romsaithong, padahal Wattanagithiphat memiliki derajat lebih tinggi saat kita menikah."
"Apo--"
"Tapi tidak ada gunanya menyesal. Karena aku yang sekarang takkan terbentuk tanpa mau lamaranmu," sela Apo, menuntaskan isi hatinya. "Jadi takkan kuhabiskan waktu untuk membenci ketololanku. Kau tetap pemberian Tuhan pada waktu itu, suamiku, ayahn triplets, dan hari ini datang sebagai Alpha bijak yang menebus dosanya."
Mile mengepalkan tangan karena tubuhnya gemetar. "Aku ... bijak, katamu?"
"Setidaknya itu lebih baik, meski di bawah tingkatan Buddha," kata Apo. "Aku ini menghargai usahamu, oke? Aku di sini pun hadir sebagai istrimu, bukan musuh," katanya. "Dan aku tak pernah memiliki keinginan menjadikanmu orang yang kubenci."
"...."
"Tapi yang kulihat, perpisahan memang lebih baik dilakukan. Karena sekarang sudah beda dengan waktu itu. Aku dan kau tak boleh tenggelam dalam impian, apalagi hanya memperhatikan diri sendiri. Kita sekarang sudah punya anak, Mile. Masa depan, target yang harus dikejar, dan orang-orang berharga untuk dibahagiakan."
"...."
"Aku yakin kau pun paham maksudku."
Mile memandang tiap jengkal raut wajah Apo. Keteguhannya. Hatinya. Perasaannya, atau bagaimana Omega itu ingin mengakhiri. Apo tak tumbang hanya karena meja sidang dipersiapkan. Dan hari ini dia hadir dengan kesadaran sempurna. Mile tahu jalan untuk mereka masing-masing memang sudah terbuka. "Baiklah," katanya, lalu memijit hidung yang pengar mendadak. "Terima kasih, Apo. Jawabanmu tak pernah mengecewakan. Ha ha ha ... istriku memang hebat sekali."
"...."
"Istriku hanya untuk hari ini ...."
Apo pun memandang tetes-tetes air mata yang jatuh ke lantai. Saat itu Mile tertawa, dan tatapannya penuh oleh arti yang dalam. Dia tak mendekat, tapi perasannya merasuk ke relung hati. Sampai-sampai Apo merasa diterpa angin yang kencang. Omega itu nyaris tergugu. Lebih-lebih saat mendengar permintaan Mile.
"Apa kita benar-benar tak bisa kembali, Apo?"
"Tidak."
"Aku ingin berusaha sebaik mungkin untukmu ...."
Apo pun diam karena pernah memperkirakan ini, dan sekarang nyata terbukti. "Sebaik menyelesaikan semua yang sudah terjadi?" tanyanya. "Bahkan andai Phi Paing melepaskanku. Kau pun yakin bisa sembuh sambil menyelesaikan kerusakan perusahaan, reputasi publik, bubarnya relasi keluarga kita bertiga, jejak perilakumu, dan status 7 anakku?"
"...."
"Bisa?"
"...."
"Apa kau mampu memperbaikinya seperti semula, Mile?" tanya Apo. "Jika tidak, coba pikirkan yang paling logis. Apa Phi Paing akan membiarkan anaknya ada di tanganmu? Misal bersamanya apa dengan surat asuh lepas seperti di panti? Dengan merahasiakan identitas ibunya, atau menggantikanku dengan ibu jadi-jadian karena aku mengalah untukmu. Belum lagi Keluarga Bextiar ... yang anaknya terlanjur bunuh diri, maukah berdamai dengan kita semua?"
Tak bisa dipungkiri lagi, kerusakan pernikahan ini terlampau parah ....
Separah Apo takkan sanggup kembali, bahkan andai perasaan cintanya masih tersisa.
".... mungkin bisa, tapi hanya beberapa," kata Mile, mulai berusaha realistis. "Aku memang tidak mampu kembalikan yang sudah pergi, Apo. Seperti nyawa--dan hal lain yang mustahil kukendalikan."
"Kau ternyata mengerti--"
"Tapi kau masih istriku hari ini," sela Mile. "Karena itu, boleh aku menciummu untuk terakhir kali?"
DEG
"Apa?"
".... atau aku sudah terlarang, dan Takhon yang belum resmi bebas denganmu?"
"A-Aku--Mile ...."
"Aku bingung dengan hierarki di dunia ini, Apo. Aku hanya merasa ini kurang adil untukku ...."
Apo pun mundur selangkah. "No, Mile. I mean--I have a mate--"
".... dan kalian bonding di belakangku," sela Mile bertubi-tubi. Suaranya sungguh dingin dengan luka yang mulai menganga. "And you're not in royal consent just like our dignity, Apo. Apa kau sekeras itu sampai aku tidak berhak mendapat kehadiran istriku hari ini saja."
Sang Omega pun melirik sekitar. Jujur ini di luar dugaan, tapi Mile tidak keliru. Jika Apo berpikir Mile akan berbuat jahat, memang apa yang bisa dia lakukan? Mile sudah ada di titik jatuhnya. Dia tersesat. Hanya saja-- "I can't--maksudku, aku tak bisa lagi menerima hal seperti itu darimu, Mile," kata Apo. Berusaha mengeluarkan amunisi terakhir. "Aku ini--"
"...."
"Aku--"
"...."
Namun, berapa kali pun Apo tergagap. Mile tidak maju selangkah pun dari tempat. Alpha itu hanya menatap dengan kedua mata memerah. Mungkin karena kesulitan menahan diri sendiri. Mile bertahan sekuat tenaga, bahkan jika Apo tidak mengizinkan, kemungkinan Alpha itu akan menggenggam permintaannya seumur hidup. Oh, coba ingat. Apa Mile pernah memaksakan sentuhan sejak mereka terpisah? Jawabannya tidak. Bahkan ketika mereka hanya berdua di rumah, tepat waktu Apo pulang karena ingin mengajak bicara. Seburuk apapun yang Alpha itu lakukan, Mile belum pernah menjamahnya lagi dengan tangan setan yang dimiliki.
"Ok, just one kiss ...." kata Apo, dengan raut ketakutan. Suaranya nyaris tak terdengar, dan selempangnya jadi sasaran diantara mobil yang terparkir. Omega itu mundur lagi tanpa sadar. Napasnya sesak, dan matanya berkaca-kaca sangking paniknya. "D-Dan aku akan bilang ke Phi Paing soal ini. Maksudku, setelah sidang. B'coz you're no longer my husband after this--"
"Alright, that's totally fair ...."
Mile pun melangkah mendekat. Apo kaku. Sampai-sampai matanya hanya memaku sang suami ketika pinggangnya diraih. Napas besarnya menerpa ribut, tapi ternyata Mile tak langsung mencium. Alpha itu memandangi belahan bibir Apo yang mengkilap oleh lip-gloss bening. Sepenuhnya cantik. Apalagi gigi-gigi rapinya mengintip sedikit. Omega itu meremas bahunya dengan cakaran. Dia gugup. Namum Mile tetap mendengarkan detak jantungnya dengan saksama. Sang Alpha seolah menolak kehilangan momen sedetik pun, ingin merekamnya, dan mengelus bagian pinggul dengan jemari. Mile meraih tengkuk Apo dengan hati-hati. Mendekatkan diri. Lalu mengecup dengan lumatan lembut. Matanya terpejam kala menekan hidung ke pipi sang Omega, membuatnya merona dan debar jantung mereka bersahut-sahutan.
Apo sendiri kehilangan dirinya, mata Omega itu berkedip pelan. Karena pernah lupa aroma Mile bisa menyebar sesegar ini. Dia terpejam dan membalas ciuman sang suami, padahal pening mulai merambati otaknya. Singkronasi kepemilikan Paing mulai bergelung tak henti-henti. Apo tersiksa, tapi inilah konsekuensi. Dia kesulitan napas bukan karena lupa cara berciuman. Hanya saja hierarki bonding ingin merebut segalanya. Omega itu pun menangis kala Mile menyesap kuat bibirnya rakus. Nyaris seperti mengunyah makanan terlezat yang pernah dia rasakan. "Mi--hhh ...." Kuku-kuku cantiknya menjambak rambut Mile kelabakan. Mungkin lip-gloss-nya juga habis dalam lumatan Sang Alpha. "Nnhh ... ngh--"
Manis.
Tubuh Apo tergebrak ke mobil karena Mile mendorong. Dia dihimpit. Benar-benar terjebak diantara lengan kekar Alpha itu.
"Hiks--"
Mile masih mengejar bibir Apo hingga si empunya terisak. Dorongan Apo tak lagi berguna. Apo pun bertahan selama yang dia bisa. Lumatan Mile berulang--tapi dia akhirnya dilepas karena isakannya makin sesak terasa.
"Hiks--"
Alpha itu menjauh perlahan. Dititinya ekspresi Apo yang syok parah. Dia tersedu-sedu, tapi tidak mau menatap Mile. Kedua bola matanya terus menatap ke bawah. Apo masih kesakitan, dan tengkuknya terasa panas sekali. Gigitan Paing pasti mengamuk di sana. Menjerat lehernya seperti tali, dan rasanya tercekik kuat.
"Are you ok--"
"HOOOOEEEEEKKK!!!"
Splarrrttttttttttttttttt!!!
BRAKHHHHHH!!
Apo pun muntah ke rumput tepat setelah mendorong Mile. Dia berlutut sampai Mile tergebrak mobil lain. Secara alami Omega itu menolak sentuhan Alpha yang bukan mate-nya. Dia muntah dua kali lagi. Bahkan memohon-mohon dengan isyarat tangan. "Stay back, please. I tell you, I can't .... hiks ... hiks ...." lirihnya. "Menjauh sedikit, Mile. Aku tak tahan aromamu. Sakit ... sakit ...." Tangannya kini meremas leher. Buruknya lagi ada ajudan memanggil. Pertanda suami istri itu harus masuk untuk memulai sidangnya.
"Apo--"
"CUKUP MENJAUH SEDIKIT!! TOLONG!!" bentak Apo sangking tak tahannya. Dia berpegangan pada badan-badan mobil untuk berjalan. Sementara Mile tetap mengikuti dari belakang. Dia baru sekali melihat Omega bonding yang melanggar sumpah, padahal itu hanyalah ciuman. Jika diteruskan mungkin tubuh Apo akan rusak. Kesehatannya terganggu, dan itu lebih menyakitinya.
Aku sepertinya memang bukan untukmu, Apo ....
"Hiks, hiks, hiks ... perih ...."
Aku benar-benar minta maaf sudah memaksamu lagi ....
"Phi ...."
.... maka akan kuakhiri semuanya di sini.
"Aku benar-benar minta maaf, Phi ...."
Keduanya pun masuk ke ruang sidang. Apo dibantu duduk ajudan yang lewat. Tanpa tahu ada sepasang mata yang sejak tadi menatap dari balik kaca mobil. Alpha itu tampak memiliki raut yang kosong. Dia juga terluka, hingga menutup seluruh jendela sebelum melanjutkan perjalanan.
"Aku tahu, aku seharusnya tidak berada di sini ...."