webnovel

An Empty World (END)

Pernahkan kalian membayangkan bangun di pagi hari dan mendapati dunia kosong tanpa seorangpun? Itu yang Arina Rahmawati rasakan. Gadis 17 tahun yang kebingungan mencari tahu apa yang sedang terjadi dengan buminya, dunianya. Kejadian yang tidak bisa dinalar dan mengerikan muncul satu per satu. Bertemu beberapa teman yang juga ia rasakan setelah mengembara mencari orang yang tersisa. Tidak hanya itu, kesakitan demi kesakitan menghantamnya. Hal mengerikan muncul tidak kenal lelah. Sampai puncaknya, ia membunuh keluarganya sendiri dengan tangannya. Tapi bukan itu masalah terbesar Arina. Bukan dunianya yang jadi masalah. Ada hal yang lain yang menunggunya. Di dunia lain. Di dunia yang tak tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Kebenaran satu per satu muncul. Dunia kosong tidaklah nyata. Itu hanya sebuah percobaan semata. Fresh and original. Start: Mei 2018 End: Desember 2019

IamBlueRed · Sci-fi
Peringkat tidak cukup
57 Chs

36-The Scientist

"Kamu tahu siapa ilmuwan itu, Arisa?" Tiba-tiba Biru bertanya.

Arisa menggeleng.

"Ilmuwan itu Ibumu, Arina Rahmawati. Dan sahabat Ibumu itu Ausans Amanda, ibu Susan—atau Ausans temen kita di basecamp. Bibi Arin orang terjenius yang pernah kutemui, Arisa. Dia nemuin banyak alternatif untuk memajukan kehidupan di benteng. Nggak ada orang sehebat dia." Biru menyebut Ibu Arisa dengan panggilan bibi.

Arisa melebarkan mata, terkejut. Tidak menyangka jika ilmuwan itu adalah Ibunya. Dan Ausans? Ibu Susan? Sahabat Ibunya? Apa maksudnya?

"Kamu inget orang yang aku panggil Paman waktu di gedung?"

Arisa mengangguk.

"Nah, setelah denger kabar penawar itu bisa nyembuhin infected, Paman—adik Papa yang sebenernya pemimpin di benteng langsung dateng nemuin Bibi Arin, ibumu. Dia pengen Bibi Arin buatin penawar lagi buat nyembuhin anak, istri, sama keluarganya. Jelas Bibi Arin nggak mau. Tapi Paman tetep maksa, nggak peduli kalau nyawa orang lain bakal hilang. Baginya yang penting keluarganya bisa selamat. Egois emang."

"Bibi Arin tetep kukuh pendirian. Ilmuwan lain juga ikut ngelawan. Paman gelap hati. Akhirnya dia bunuh ilmuwan yang ngelawan dia. Nggak ada yang tahu tentang hal itu. Penduduk benteng tahunya mereka meninggal karena sakit. Termasuk ibumu. Yang selama ini kita tahu, Bibi Arin meninggal dua tahun yang lalu karena sakit. Tapi ternyata nggak, Paman ngurung Bibi Arin di penjara bawah tanah dua tahun ini. Paman mulai percobaan itu dari awal, dibantu ilmuwan-ilmuwan yang memihak ke dia. Bibi Arin nggak dibunuh karena dia penemu pertama. Sewaktu-waktu mungkin berguna. Jadi Paman cuman ngurung dia dan bilang ke orang-orang kalau Bibi Arin meninggal di lab. Kamu masih inget orang yang kamu temuin beberapa hari yang lalu di dalam sumur, Arisa? Itu Ibumu, Bibi Arin. Kejadian yang kamu anggap mimpi, tapi sebenernya nyata."

Arisa menutup wajah, menghembuskan napas keras. Ia ingat sekali wanita itu. Bahkan ia masih ingat percakapan mereka berdua kala itu. Segala perasaan yang ia rasakan bercampur aduk menjadi satu. Bingung, marah, sedih. Bagaimana bisa?

"Dua tahun ini Paman ngelakuin percobaan itu. Penduduk benteng sama sekali nggak tahu kalau penawar itu didapet dengan ngorbanin nyawa manusia yang nggak bersalah. Cuma orang-orang laboratorium yang tahu waktu itu. Paman emang ngambil orang sebatang kara dan nggak punya keluarga untuk diambil penawarnya. Jadi penduduk benteng nggak akan curiga. Mungkin sekarang udah puluhan manusia yang jadi korban buat nyembuhin keluarga Paman. Anak-anak sama kerabatnya udah sembuh. Kecuali istrinya, masih dalam proses pencarian karena dia keinfeksi di kota."

Diam sebentar. Biru menghela napas, mengambil air putih di depannya, lalu meneguk cepat.

Dia bercerita kembali, "Tahun ini, tubuh Papa Mamaku udah ditemuin." Biru menjeda, menelan saliva. Arisa mengernyit tak paham. Apa maksud ucapannya?

"Waktu aku umur lima belas, Papa Mama kecelakaan. Papa waktu itu jadi pimpinan benteng di Jogja. Suatu hari Papa pergi, ada urusan ke benteng lain di Jakarta. Walaupun benteng-benteng perlindungan letaknya berjauhan di Indonesia, satu benteng dengan benteng yang lain terus berhubungan. Bantu membantu mengirim senjata, makanan, dan obat. Bisa dibilang benteng Jogja adalah benteng paling maju dari benteng-benteng lainnya di Indonesia. Benteng kita maju di segala bidang. Pertanian. Pertahanan. Produksi senjata. Perindustrian pakaian. Segalanya. Bahkan penemu penawar virus Moscow pertama adalah orang dari benteng Jogja."

"Papa pergi ke Jakarta bareng Mama. Perjalanan perginya lancar. Mereka berdua naik pesawat kecil milik benteng. Tapi waktu pulang, waktu mereka hampir deket benteng, pilot pesawat yang sejak pergi udah dijangkiti virus mulai berubah. Pesawat oleng. Mama sempet ngehubungin aku waktu itu, bilang kalau mereka dapet masalah di pesawat. Setelah itu sambungan keputus. Pesawat mereka jatuh."

Hening. Arisa menelan ludah. Baru saja sehari yang lalu Biru menceritakan bahwa orangtuanya meninggal karena kecelakaan mobil. Tapi sekarang, kebenaran datang. Tapi rasanya sama saja, orang tua Biru tetap tiada. Arisa menatap Biru iba. Ia bisa merasakan kesedihan sosok pemuda di depannya. Kehilangan kedua orang tua sekaligus pastilah sangat menyakitkan.

"Puing bekas pesawat jatuh itu ketemu. Dan jasad Papa Mama nggak ada di sana. Kemungkinan besar mereka berdua keinfeksi dan pergi. Dua tahun yang lalu, setelah penawar ditemuin, Paman yang semenjak Papa nggak ada, kekuasaan benteng dipindah ke dia nyuruh bawahannya buat nelusurin luar benteng buat cari Papa Mama. Dia pengen Papa Mama sembuh. Aku akui Paman emang baik. Bahkan aku ngerasa bangga punya Paman kayak dia. Tapi ya gitu, dia egois karena ngorbanin nyawa orang lain."

Biru menghembuskan napas untuk kesekian kalinya.

"Paman bilang, Papa Mama mungkin bakalan sembuh dengan penawar bulan ini. Tapi setelah tahu semua ini, aku nggak berharap banyak. Kalau Papa sembuh, pasti dia juga nggak sudi hidup dengan nyawa orang lain, ngorbanin orang lain demi kesembuhannya."

Arisa sempurna terdiam. Ia mulai paham suatu hal.

"Paman tahu kamu kebal, Arisa, karena Bibi Arin juga kebal. Paman juga tahu Susan sama Elang kebal. Maka dari itu, dia ngelakuin percobaan itu ke kalian bertiga."

Arisa terpaku. Ia tahu Susan. Biru sempat menceritakannya tadi. Susan adalah nama asli dari Ausans Amanda temannya di basecamp. Tapi yang mengejutkannya adalah gadis itu juga ikut dalam pemanenan virus? Astaga!

"Siapa Elang?"

"Siapa lagi kalau bukan Merapi?" jawab Biru.

Arisa menghela napas. Ia bisa menduganya.

"Ada empat puluh orang lebih yang Paman ambil penawarnya tahun ini. Seminggu yang lalu, Paman kasih tugas ke aku buat jagain kamu di permainan pikiran. Aku ikut dibius, aku ikut masuk ke permainan. Bedanya, aku sadar itu cuma permainan. Meskipun rasanya emang beneran nyata. Aku nggak tau gimana caranya Bibi Arin buat alat secanggih itu."

"Kamu beda, Arisa. Obat bius nggak mempan ke kamu. Kadang kamu bangun sendiri dari tidur tanpa diketahui. Dan hal itu bisa ngerusak dan ngegagalin pemanenan penawar. Maka dari itu, Paman kasih tugas itu ke aku karena aku orang yang paling deket sama kamu setelah Bibi. Mungkin kamu nggak inget, tapi kita main bareng sejak kecil. Bahkan semenjak kamu masih bayi."

Biru tersenyum. Arisa hanya menatap bingung. Dia tidak ingat apa pun. Yang ia ingat, Biru adalah pemuda yang ia temui di tengah jalanan beberapa hari yang lalu. Jalanan di dunia pikiran, mimpi, bukan dunia nyata. Arisa tersenyum getir. Menyedihkan sekali jika kenangan indah yang seharusnya diingat bersama, tetapi hanya diingat satu orang saja.

"Aku sama sekali nggak tahu kalau penawar itu didapet dengan ganti nyawa. Setelah kamu cerita tentang mimpimu di kantin basecamp waku itu, malam selanjutnya setelah Arival culik kamu—atau malam ini, aku langsung cek hutan di belakang gedung laboratorium. Dan bener, ada Bibi Arin di sana. Dia belum meninggal. Di sana Bibi Arin cerita semua kebenaran. Semua kebusukan Paman. Aku nggak tahu selama ini Paman bohongin semua orang. Dia tega ngorbanin nyawa orang lain demi kepentingan pribadi. Aku nggak tahu dia sejahat itu."

Biru terdiam, menatap gelas kaca di depannya. Denting kekecewaan nampak di wajahnya. Arisa tahu menyakitkan rasanya.