webnovel

Permintaan maaf Aya kepada Ara

Dengan berat hati Ara melepaskan ciumannya. Dilihatnya air mata Aya masih mengalir dan matanya masih terpejam.

Sesaat Ara memandangi wajah Aya yang penuh dengan air mata. 'Ia tetap tampak cantik.' Pikir Ara. Ia sedikit tersenyum.

Ara mengelap air mata Aya dengan jari-jari tangannya dan mencium kening Aya.

Aya perlahan membuka matanya dan melihat Ara dengan pandangan kabur. Ia menyeka air matanya yang masih terasa basah di mata dan di pipi. Ia kembali melihat Ara.

Wajah Ara sudah sangat berubah. Tidak semengerikan beberapa saat yang lalu. Aya berusaha menenangkan dirinya agar tidak panik. Ia takut akan memancing kemarahan Ara kembali.

"Maafkan aku mas?" Aya berusaha untuk memulai pembicaraan dan ia sangat berhati-hati dalam memilih kata. Suaranya bergetar karena takut.

Ara tersenyum hangat kepadanya. Dipeluknya Aya perlahan namun erat. Seperti tidak pernah terjadi sesuatu. Aya menurut untuk dipeluk dan ia pun melingkarkan kedua tangannya di tubuh Ara.

Kepala Ara menyerusuk di antara rambut dan leher Aya. Terdengar samar suara serak Ara membisikkan sesuatu.

"Maafkan aku yang tadi." Katanya. Ia memegang tengkuk Aya.

Aya kembali teringat dengan perlakuannya beberapa saat yang lalu. Air mata Aya mulai menggenang di pelupuk mata. Ia menengadahkan kepalanya agar air matanya tidak tumpah.

Lalu Ara menuntunnya kembali ke tempat tidur. Dinaikkannya badan Aya dengan perlahan dan lembut. Sangat jauh berbeda dengan sikapnya beberapa saat yang lalu.

"Maafkan aku mas?" Aya kembali melontarkan permintaan maafnya kepada Ara. Ia memegang tangan kiri Ara. Sekilas Aya melihat ada pandangan tidak senang di wajah Ara. Namun faktanya, Ara tersenyum ramah kepadanya.

'Mungkin perasaanku aja.' Pikir Aya.

Arapun menggenggam kedua tangan Aya. "Istirahatlah. Kamu jangan capek, jangan banyak pikiran. Ok?"

"Iya mas." Jawab Aya sambil menganggukan kepalanya. Lalu Ara menyelimuti Aya hingga ke bagian perut.

Saat Ara hendak berdiri, ia kembali menatap Aya. "Oiya, kamu sudah minum vitamin yang dikasih dokter tadi siang?" Tanya Ara.

Aya kembali mengangguk-anggukan kepalanya. "Sudah mas." Jawabnya dengan senyum yang dipaksakan. Aya masih kaku untuk memberikan senyum yang ikhlas.

"Baguslah." Sahut Ara. "Aku ke ruang kerjaku dulu. Masih ada kerjaan yang harus kuselesaikan. Kamu tidur aja duluan." Ara menerangkan.

Ia mematikan beberapa lampu yang dirasa tidak perlu untuk menyala sepanjang malam. Lalu ia keluar dengan membuka dan menutup pintu hampir tanpa suara.

Aya menghembuskan nafas yang sedari tadi ditahannya. Ia seakan-akan tidak bisa bernafas saat bersama Ara, walaupun kondisi Ara sudah berubah total dalam beberapa waktu.

Aya mulai tidak mengerti dengan sikap Ara. Ia kembali merasa takut bila didekatnya.

Namun, dikarenakan Aya sudah begitu lelah sepanjang hari ini, ia memejamkan matanya dan mencoba untuk tidur.

***

Di ruang kerja, Ara telah membanting barang-barang yang ada di atas meja kerjanya. Ia tampak beringas dan ingin merusak semua yang ada di ruangan itu.

Matanya melirik kesana kemari, mencari sesuatu yang bisa dihempaskannya untuk membantunya meredakan amarahnya.

Setelah lama ia berjibaku dengan barang-barang, berkas dan apapun yang dilihatnya, Ara terduduk lemah di lantai.

Disapukannya pandangannya ke seluruh ruangan. Terhampar vas bunga, berkas, buku-buku, pulpen, lampu kerja, dan barang yang lainnya yang sudah tidak sesuai dengan fungsinya karena berhamburan di atas lantai.

Ara menundukkan kepalanya. Ia berusaha mengatur nafasnya yang sedang memburu.

Tak lama Ara menunduk, terdengar suara nada dering ponsel miliknya. Ia mengangkat wajahnya dan mulai mencari-cari keberadaan ponselnya.

Seingatnya, ponselnya juga ikut terlempar saat ia membersihkan isi mejanya.

Ara berdiri mencari arah suara dari ponselnya. Saat ditemukannya, suara panggilan telepon tersebut telah terhenti. Dilihatnya layar ponselnya dan segera ia memeriksa riwayat panggilan. Tertera nama Anton di panggilan terbaru.

Dengan satu kali klik, tersambung panggilan telepon Ara ke nomor telepon Anton.

Setelah beberapa kali suara dering, barulah panggilannya diangkat.

"Halo." Suara riang Anton terdengar menenangkan di ujung telepon.

"Kenapa sob?" Tanya Ara. Ia berusaha membuat suaranya terdengar biasa.

"Sorry ganggu. Aku cuma pengen tahu aja, apa hasil dari kunjungan kalian ke dokter kandungan siang tadi?" Tanyanya ingin tahu.

Lama tak ada jawaban. Anton merasa curiga dan tidak enak hati. Ia berpikir, apakah ia sudah kelewatan karena ingin tahu tentang keadaan rumah tangga orang lain.

"Hmm, sorry nih sob. Aku bukannya mau ikut campur, hanya saja, aku mau pastikan hasil pemeriksaanku kemarin dengan hasil pemeriksaan dari dokter kandungan." Anton segera menjelaskan. Ia takut Ara salah paham dengannya.

"Ohh. Memangnya kemarin apa hasil pemeriksaanmu?" Tanya Ara balik. Ia masih berusaha menjaga suaranya agar tidak terdengar kasar.

"Eh, itu. Aku kok ngerasa istrimu itu seperti sedang hamil. Aku nggak berani memastikan, khawatir salah. Makanya aku sarankan kalian untuk periksa lanjut ke dokter kandungan." Jelas Anton singkat dan terburu-buru.

"Oh." Suara Ara terdengar biasa.

Setelah Anton mengajak Ara berbicara tentang kehamilan Aya, ia menyudahi panggilan tersebut dan menutupnya.

Ara diam menatap ke luar jendela. Ia sedang berpikir. Berpikir tentang dirinya, Aya dan anaknya.