Untuk mengetahui sebagian sifat terpuji hamba-hamba Allah yang telah dikurniakan olehNya ilmu pengetahuan agama tentang ketuhanan, maka yang mulia Al-Imam Ibnu Athaillah Askandary telah merumuskan dalam Kalam Hikmahnya yang ke-30 sebagai berikut:
"Hendaklah membelanjakan orang-orang yang mempunyai kekayaan dari kekayaannya, mereka itu orang-orang yang telah sampai kepada Allah s.w.t. Barangsiapa yang dikadarkan atasnya rezekinya, mereka adalah orang-orang yang sedang berjalan kepada Allah s.w.t."
Pengertian Kalam Hikmah ini sebagai berikut:
I. Hamba-hamba Allah yang taat kepadaNya dan telah diberikan pula olehNya ilmu ketuhanan adalah terbagi kepada dua bagian:
1. Hamba-hamba Allah yang disebut dengan istilah waa shiluuna ilaihi ( ) yakni mereka yang sudah sampai kepada garis perbatasan di mana mereka telah ke luar dari satu suasana kepada suasana yang lain. Mereka telah ke luar dari tahanan melihat alam yang serba berubah kepada lapangan tauhid dan sempurna penglihatan kepada keagungan Allah s.w.t. Mereka meskipun masih hidup dalam dunia dan bergaul dengan makhluk manusia, tetapi pandangan mereka kepada dunia ini jauh berbeda dengan pandangan manusia biasa. Kita sering tidak mengambil hikmah dari kejadian-kejadian yang sudah terjadi dan yang sedang terjadi. Kita sering lupa bahwa apa yang diberikan Allah s.w.t. kepada kita sifatnya sementara dan bukan untuk selama-lamanya. Bahkan kita lupa bahwa kurnia-kurnia yang diberikan Allah seperti kedudukan bagi penguasa, harta yang banyak bagi hartawan, ilmu pengetahuan bagi ilmuan dan lain-lain lagi adalah amanat Allah s.w.t. atas kita. Tetapi kita sering tidak mengindahkan amanat-amanat itu. Kita sering mempergunakannya dan meletakkannya atas hal-hal yang tidak diridhai oleh agamaNya, tetapi disukai oleh nafsu dan hawa kita sendiri. Tetapi bagi hamba-hambaNya yang semua keadaan tersebut di atas jauh daripadanya dan sifat-sifat mereka itu adalah kebalikan dari di atas, mereka itulah hamba-hamba Allah yang mendapat bimbingan daripadaNya. Penglihatan mereka luas, pandangan mereka jauh, bahwa kehidupan yang abadi dan hakiki bukanlah di dunia yang fana ini, tetapi adalah nanti di hari kemudian, hari akhirat yang kekal baqa. Semua gerak-gerik mereka dan seluruh anggota tubuh mereka, mereka jaga baik-baik sehingga tidak menyimpang, tidak menyeleweng dari keridhaan Allah, bahkan pula tidak pernah lupa kepada Allah s.w.t.
Berkat taat mereka yang demikian itu, maka sampailah mereka kepada suatu tingkatan di mana suasana mereka telah jauh berbeda dari suasana makhluk manusia biasa. Mereka itu telah dilimpahi Allah ilmu-ilmu dan rahasia-rahasia ketuhanan, sehingga inilah yang menyebabkan mereka itu melihat Allah kali pertama dan alam semesta kali kedua. Mereka kenal kepada alam adalah dengan Allah dan bukan mereka kenal kepada Allah dengan alam serta keadaannya. Tingkatan ini adalah tingkatan para Rasul dan Nabi-nabi, dan paling kurang adalah tingkatan hamba-hambaNya yang saleh, yang dikehendaki olehNya.
2. Mereka yang disebut dengan istilah: As-Saairuuna Ilaihi ( ). Maksudnya, mereka yang sering dalam perjalanan menuju Allah s.w.t. Mereka belum sampai kepada Allah, tetapi mereka sedang berjalan kepadaNya. Maklumlah orang yang sedang dalam perjalanan, mereka harus sabar, mereka harus tahan atas percubaan-percubaan yang mereka hadapi dalam perjalanan itu, mereka tidak membawa persiapan-persiapan yang banyak tetapi adalah sekedar seperlunya saja, tujuan mereka adalah satu, yaitu bagaimana mereka sampai kepada tujuan terakhir dari perjalanan mereka.
Hamba-hamba Allah yang dalam tingkatan ini dalam amal ibadah sering mendapat godaan, baik dari iblis maupun dari hawa nafsunya sendiri. Mereka dapat menyelamatkan diri mereka, dengan bersusah-payah dari bermacam-macam godaan dan tipuan itu. Sekali-sekali datang khayal tentang perasaan dunia dan kesenangannya, tetapi mereka dapat membendung jalan khayalan dan perasaan-perasaan yang kadang-kadang datang menyelinap ke dalam hati dan menyentuh tabir perasaan mereka. Kadang-kadang awan gelap dan angin kenyang melanda matahati mereka. Tetapi dengan berkat mujahadah, kesabaran dan ketabahan mereka, maka timbul lagi cahaya terang sehingga ketebalan awan dan kegelapannya, kecepatan angin yang telah datang melanda, akhirnya menciut dan timbullah cahaya yang terang dan bersinar. Mereka tetap selalu menjaga istiqamah, tetap dalam pendirian dan tidak terpengaruh dari serba macam keadaan dunia dan perputarannya. Di mana pun saja mereka berada, baik dalam masyarakat sesama Islam ataupun dalam masyarakat campuran, bahkan juga di negeri yang masyarakatnya tidak Islam sama sekali, mereka tetap memelihara garis-garis agama sebagai yang diterangkan oleh agamaNya.
Berkat ketabahan mereka dalam berjalan menuju Allah s.w.t. seperti telah tersebut di atas, maka Allah s.w.t. tidak lupa kepadanya. Di samping Tuhan memberkati rezekinya dalam hidup dan kehidupan, juga Tuhan tidak lupa pula memberikan ilmu dan faham tentang agama dan ketuhanan sehingga dengannya ia lebih dekat dan bertambah dekat kepada Allah s.w.t.
Tingkatan yang kedua ini adalah tingkatan hamba-hamba Tuhan dan para ulama yang mengamalkan ilmunya, baik dalam sifat peribadi maupun dalam sifat jamaah yang dihadapinya. Karena itu kita melihat para ulama yang betul-betul menjalankan ajaran agamanya, mereka tidak takut kepada siapa pun juga dan mereka tidak susah karena kekurangan rezeki dan biaya hidup dalam kehidupannya. Sebab mereka yakin bahwa selama mereka masih berjuang di jalan Allah dan selama mereka tidak bakhil memanfaatkan ilmunya, selama itu pula Allah s.w.t. akan memeliharanya.
II. Apabila kita telah dikurniai Allah, apakah dengan ilmu pengetahuan yang banyak, seperti hamba-hamba Allah yang telah tersebut di atas atau dengan kekayaan material, maka wajiblah atas kita bersifat pemurah, yakni bukan sekedar mengeluarkan hak kewajiban semata-mata tetapi hendaklah lebih dari itu. Hal keadaan ini apabila kita ingin dekat kepada Allah dan ingin dekat kepada manusia di samping kita ingin jauh pula dari bahaya dan malapetaka azab siksanya.
Karena itu Nabi besar kita Muhammad s.a.w. telah bersabda:
"Orang pemurah adalah hampir kepada Allah, hampir kepada manusia, hampir kepada Syurga, (tetapi) jauh dari Neraka. Orang bakhil jauh dari Allah, jauh dari manusia, jauh pula dari Syurga dan dekat pula dari Neraka. Orang jahil yang pemurah adalah lebih dicintai Allah dari orang yang banyak ibadat tetapi bakhil."
Hadis inilah yang mendorong hamba-hamba Allah yang saleh pada membelanjakan ilmunya dan hartanya ke jalan keridhaan Allah s.w.t. Mereka beramal pada umumnya sejalan dengan kemampuan dan kesanggupan mereka. Tetapi kadang-kadang ada pula sebagian hamba-hamba Allah yanglain, yang mempunyai sifat luar biasa, sehingga kadang-kadang lupa mereka pada dirinya sendiri. Karena semuanya diberikan dengan ikhlas pada jalan Allah. Apabila kita berbicara tentang sifat pemurah ini, maka dapat kita ketahui, sifat pemurah itu terbagi kepada tiga bahagian diLihat dari kitab Nashrul-Mahaasinil-Ghaaliyati fii Fadhlil-Masyaaikhis Shufiyyati Ashaabi Maqaamatil A'fiyati. Atau terkenal dengan sebutan kitab: Kifaayatul Mu'taqadi Wanihaayatul Muntaqadi. Oleh: Abu Muhammad Abdullah bin As'ad Al-Yaafi (698-768 H.) ha!: 229-233. Percetakan: Mustafa Al-Babil Halaby. – Mesir.
1. Pemurah dengan jiwa raga. Maksudnya ialah tidak takut dan tidak gentar memberikan jiwa dan raga u'ntuk agama dan perikemanusiaan. Ini pun termasuk dalam Hadis di atas. Contohnya dapat kita kenal pada kejadian sejarah yang telah terjadi pada Abul Husain An-Naury r.a.Pada satu kali peristiwa, beliau dibawa bersama rombongan orang-orang sufi kepada seorang khalifah bukan untuk sesuatu kebaikan, tetapi untuk ditahan dan dibunuh. Di antara ulama-ulama yang banyak itu terdapat Al-Junaid, seorang ahli tasawuf besar, tetapi bdiau dapat meloloskan diri, karena beliau dapat memperlihatkan dirinya sebagai seorang ahli hukum Islam yang berfatwa atas mazhab Abi Tsur. Tiga ulama yang lain yaitu: Asy-Syiham, Ar-Riqam dan An-Naury, telah ditangkap dan telah diadakan persiapan-persiapan untuk membunuh mereka. Pada waktu salah seorang mereka diminta untuk masuk ke ruangan lain untuk dibunuh, maka Syeikh Abul Husain mendahulukan dirinya dari teman-teman lain.
Berkata Algojo:
Tahukah anda, apakah yang akan kami lakukan dengan segera?
Beliau menjawab:
Inilah yang aku pilih, supaya teman-temanku dapat hidup sebentar lagi.
Algojo tersebut heran dan menyampaikan keadaan yang aneh ini kepada raja. Raja pun takjub, demikian pula orang-orang yang mendampingi raja. Rupanya di dekat raja itu didapat secara kebetulan seorang menteri agamanya. Sang menteri minta izin kepada raja untuk melihat orang-orang tahanan tersebut untuk menyelidiki hal keadaan mereka. Raja memberi izin, dan pergilah menteri agamanya kepada beberapa ulama yang telah ditahan itu. Menteri memerintahkan supaya salah seorang tahanan dipanggil untuk diperiksa. Maka keluarlah Abul Husain An-Naury r.a. Menteri menanyakan kepadanya beberapa masalah hukum. Abul Husain An-Naury sebelum menjawab pertanyaan itu melihat ke kanan dan ke kiri, kemudian menekur sejenak. Barulah setelah itu beliau menjawab seluruh pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Di samping semua pertanyaan yang beliau jawab, di antaranya beliau berkata:
Adapun sesudah itu maka ketahuilah, bahwa Allah s.w.t. mempunyai hamba-hambaNya. Mereka itu apabila berdiri, mereka berdiri dengan Allah, dan apabila mereka bertutur, mereka mengatakan segala sesuatu dengan Allah. Dan lain-lain perkataan beliau.
Akhirnya sang menteri tak dapat menahan air matanya.
Maka ia bertanya kepada Syeikh Abul Husain:
Mengapakah beliau sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan memalingkan mukanya ke kanan dan ke kiri dan kemudian menunduk?
Abul Husain menjawab:
Anda menanya beberapa masalah agama, tetapi saya tidak mengetahui jawaban-jawabannya. Saya tanyakan kepada orang sebelah kanan, dia menjawab tidak ada pengetahuan padanya. Saya tanyakan pula kepada orang yang sebelah kiri saya, dia menjawab demikian juga. Akhirnya saya bertanya kepada hati saya, maka hati saya memberikan jawaban yang ia terima dari Allah s.w.t. Maka jawaban yang diberikan hati saya, itulah yang telah saya jawab kepada saudara menteri.
Sang Menteri setelah mendengar jawaban Abul Husain AnNaury,
kemudian menyampaikan kepada raja sebagai berikut:
Andaikata jika semua ulama yang ditahan itu menyimpang dari jalan kebenaran (zanadiqah), tentulah tidak ada Muslim yang baik di permukaan bumi ini.
2. Pemurah kepada agama. Apakah yang dikehendaki pada pemurah pada agama? Misalnya dapat dilihat sebagai berikut: Seorang ahli tasawuf besar bernama Dzun Nun r.a. Gelar beliau Abul Faidh Al-Mishry. Muassis atau pendiri Tasawuf sebagai ilmu. Sebagian orang menuduh beliau dengan zindiq (yaitu zahirnya beriman, tetapi batinnya kufur). Tetapi hakikat ilmu beliau telah membuktikan atas benarnya beliau di kalangan ulama-ulama besar Islam. Wafat: tahun 860 H.
berkata beliau:
Pada suatu hari saya sedang berjalan-jalan di gunung Antokia (Anthioche) di negeri Turki, tiba-tiba saya bertemu dengan seorang perempuan yang berjubah wool. Kelihatannya perempuan itu seperti gila. Saya ucapkan salam kepadanya dan dia menjawab salam saya.
Perempuan itu bertanya kepada saya:
Bukankah tuan yang bernama dengan Dzun Nun Al-Misry?
Saya jawab:
Betul, dan kiranya engkau disejahterakan Allah, bagaimana engkau kenal kepadaku?
Jawabnya:
Aku kenal kepada tuan disebabkan kenal-mengenalnya cinta terhadap yang dicintai (maksudnya, satu cinta pada yang dicinta menyebabkan bertemu titik pertemuan antara dua orang aulia ini).
Kemudian perempuan itu menambah lagi:
Aku ingin menanyakan satu pertanyaan kepada tuan.
Saya jawab:
Silahkan!
Ia bertanya:
Apakah yang dinamakan dengan pemurah?
Saya menjawab:
Pemurah adalah memberi tanpa imbalan jasa yang sifatnya lahiriah.
Ia berkata:
Ini adalah arti pemurah dalam ukuran duniawi, tetapi apa itu pemurah menurut agama?
Saya jawab:
"Bersegera pada mentaati Tuhan seru sekalian alam."
Perempuan itu berkata:
Kalau begitu apabila tuan segera mentaati Allah, tentu Allah melihat hati tuan dan tuan jangan ada maksud apa-apa daripadaNya .
Aduhai diriku wahai Dzun Nun, sesungguhnya aku meminta kepada Allah sesuatu sudah sejak 20 tahun yang lain, aku bermohon kepadaNya, aku takut kalau aku merupakan orang yang meminta upah yang tidak baik, di mana beramal itu karena mencari upah. Tetapi aku beramal sekarang karena Allah s.w.t. (bukan karena lainnya). Setelah itu kami pun berpisah dan perempuan itu pun pergi meninggalkan daku.
3. Pemurah dengan dunia. Apakah yang dimaksud dengan ini? Misalnya dapat kita lihat pada kejadian yang terjadi pada Imam Syafi'i r.a. Sewaktu Iman Syafi'i kembali dari Shan'a (Yaman), sebagai seorang guru besar, beliau ke Makkah lebih dahulu. Beliau dihadiahkan orang uang yang banyak, puluhan ribu uang mas. Orang berkata kepada beliau, ada baiknya kita beli saja barang-barang berharga. Beliau tidak menghiraukan (mendengarkan) pendapat orang itu. Setelah beliau sampai ke perbatasan Makkah dan Yaman, maka di luar kota Makkah beliau mendirikan khemah kecil dan beliau membuka ikatan tempat uang tersebut di dalam khemah beliau. Semua fakir miskin yang datang pada beliau, beliau genggamkanlah pada setiap tangan mereka uang-uang tersebut, dari pagi sampai waktu sembahyang Zohor. Habislah semua uang yang ada pada beliau dan tidak ada yang tinggal sepeser pun. Kenapa demikian? Sebab Imam Syafi'i teringat kepada pesan ibunya: "Apabila engkau masuk Makkah sedangkan padamu ada uang, meskipun sepeser, aku tidak dapat menerimamu."
Maksud ibunya ialah, jangan dunia yang dipersembahkan pada ibunya, tetapi ilmu dan amal yang harus dibawanya.
Dengan ini teranglah bagi kita, bahwa untuk dunia jangan berfikir panjang, tetapi berikanlah dunia itu untuk kepentingan agama demi kebahagiaan yang abadi.
Kesimpulan:
Tanda orang yang dapat kurnia dari Allah s.w.t., apakah kurnia Tuhan itu berupa ilmu, harta, kedudukan dan lain-lain, ialah dengan membayarkan kurnia Tuhan itu kepada hamba-hambaNya yang memerlukannya, dan tidak boleh bakhil atas semuanya itu, yakni dalam ukuran kesanggupan dan kemampuan kita, maka berarti telah ada pada kita tanda-tanda baik sebagai yang telah dipunyai oleh hambahambaNya yang saleh.
Ketahuilah, apabila kita betul-betul ikhlas memberikan apa yang ada pada kita, demi memenuhi ajaran Allah s.w.t., dan demi keadaan kita selaku hamba-hambaNya dan makhluk-makhlukNya, maka semua kesulitan dan kesukaran akan dihindari oleh Allah s.w.t. Atau meskipun kita menghadapinya juga, tetapi setelah kesukaran itu akan timbullah kelapangan dan kesejahteraan. Setelah gelap timbullah terang.
Semua apa yang telah kita uraikan di atas, itulah yang dimaksud oleh firman Allah s.w.t. dalam surat 65, Ath-Thalaq:
"Hendaklah membelanjakan orang-orang yang mempunyai kekayaan dari kekayaannya, barangsiapa yang disempitkan rezekinya, hendaklah membelanjakan ia menurut apa yang diberikan Allah padanya. Allah tiada memberati diri seseorang, melainkan menurut yani dianugerahkan Allah kepadanya. Nanti Allah bakal mengadakan kemudahan sesudah kesukaran."(Ath-Thalaq: 7)
Camkanlah! Dan pelajarilah pengertian ayat ini dan hikmah-hikmah yang terkandung di dalamnya, di antaranya seperti yang telah diuraikan di atas.
Mudah-mudahan Allah s.w.t. mengkurniakan pada kita taufiq dan hidayah untuk dapat mengamalkannya dengan sebaik-baiknya.
Amin, ya Rabbal-'alamin ... !