webnovel

Tatapan Aneh

"Duduklah di samping Aksel."

Anna masih mematung di samping Edric.

"Enggak akan diapa-apain Aksel, An."

Dengan langkah kaki yang enggan. Anna berjalan dan duduk berada dalam satu kursi. Aksel menatapnya dengan tatapan yang tak biasa. Kali ini berbeda.

Anna memilih duduk di ujung, bukan berada di samping Aksel. 

"Jangan musuhan dulu, Anna!"

"Harus ya duduk di samping Bapak?"

"Harus!"

Tak lama kemudian pewara dari salah satu stasiun berita tiba. Menyapa Aksel dan jajaran perusahaan yang ada di sana dengan ramah. Bukan hanya pewaranya tetapi para jurnalis turut membersamai.

Acara dimulai usai semuanya siap. Hati Anna tak tenang. Ia memikirkan bagaimana perasaan adik laki-lakinya dan tentunya sang kekasihnya. Jelas hal ini akan disaksikan pada banyak orang. 

Beberapa pertanyaan telah mereka jawab dengan lancar "Mungkin untuk menutup wawancara kali ini ada pertanyaan yang sangat ingin ditujukan, bagaimana perasaannya menjadi kekasih seorang CEO ternama, Aksel Birendra?"

Semula jika itu pertanyaan dari orang lain Anna akan menjawab 'biasa saja' tapi berbeda ceritanya.

Anna menempelkan telapak tangan yang satunya pada kedua tangannya dan aksel bersatu di atas pahanya. Agar terlihat begitu manis di hadapan publik.

"Sudah tentu saya bahagia, bukan karena ia CEO ternama tetapi karena ia Aksel Birendra," jawaban yang cukup membuat Aksel memandangnya berbeda.

"Apa yang membuat Anna akhirnya memutuskan bersama Pak Aksel ini?"

"Karena semuanya yang saya cari ada pada Aksel, ketulusan, kasih dan sayang itu ada padanya."

Rasanya ingin muntah saat itu juga ketika mengatakan hal itu. 

Sorak tepuk tangan dalam ruangan tersebut membuat mereka menyunggingkan senyum. 

Kini, acara wawancara tersebut telah usai. Meskipun pakaian Anna cukup terbuka tetap saja rasanya ia kepanasan. 

"Sudah kan?"

"Sudah, ternyata kamu jago juga."

"Jangan senang, itu hanya omong kosong."

"Peduli apa dengan omong kosong itu, yang penting Nusantara tahu itu yang kamu ucapkan."

"Saya mau pergi, saya lapar, permisi."

"Okay, makanlah nanti kamu mati nyusahin lagi!"

Anna menatap Aksel sinis. Benar-benar bukan manusia jika Anna berpikir. 

"Cih! Siapa sih dia, menghakimi hidup terus!" gerutu Anna sambil berjalan keluar ruangan dan segera berganti pakaiannya.

Beruntung siang hari itu masih ada kesempatan untuk makan siang. 

"Dan, kamu sudah makan?"

"Belum, kan nunggu kamu. Sudah beres kan?"

"Sudah, makan yuk."

Mereka bergegas ke kantin. Segera melahap makan siang yang sudah terlambat. 

"Kamu jadi orang lain banget rasanya di wawancara tadi, An."

"Jelas, itu bukan mau saya."

"Yang sabar, kamu bisa."

Anna hanya melahap makanannya saja, dengan pandangan yang penuh pikiran di benaknya. 

"Leher kamu kenapa? Kok ada plesternya, luka?"

"Ini ulah atasan kamu."

"Hah, kamu diapain?"

Segera Anna menyelesaikan makanannya, ia mulai menjelaskan apa yang terjadi soal malam itu. 

"Ini tanda akibat dia, bagian atas tubuh saya ini sudah enggak suci. Gila dia, masih ada untungnya yang lain tidak. Tapi rasanya ini pelecehan. Makanya saya mau berhenti."

Anna menjelaskan semuanya hingga membuat kening Danita berkerut.

"What! Gila apa!"

"Jangan kenceng banget, ntar dengar orangnya."

Sekeliling yang masih ada di sekitar kantin tersebut menatap Danita heran.

"Maaf, kaget saja An. Wah sumpah ya kok bisa sih?"

"Ya yang tadi saya bilang, katanya ada yang masukin obat perangsang ke kopinya. Mungkin memang iya, soalnya beda."

"Tapi enggak sampai i—tu kan?" tanya Danita terbata.

"Gila apa, enggak lah!"

"Okay, okay."

"Anna, kamu masih di sini?" tanya Edric menghampiri mereka.

"Iya maaf Pak, soalnya tadi jam makan siangnya terlambat. Ada apa Pak?"

"Kamu dicari Aksel."

Danita dan Anna saling bertatapan.

"Selesai makan ke ruangannya ya."

"Baik siap, Pak."

Anna menghela napasnya. Entah apa yang akan terjadi kali ini. 

Usai membereskan makan siangnya, mereka kembali ke ruangannya. Mengerjakan yang belum selesai. 

Tok tok!

"Permisi, Pak."

"Masuk."

Anna duduk di hadapan Aksel.

"Dari mana saja kamu?"

"Maaf, Pak. Tadi saya makan siang dulu, karena tadi selesai wawancara kan memang sudah siang."

"Makan siang dan bercerita?"

Tak ada jawaban apapun dari Anna, ia terdiam. 

"Mulai besok mungkin akan banyak pekerjaan di luar kantor, kamu harus ikut."

Tubuh Anna spontan memberikan reflek tegap dan seakan mendapat penolakan dari nalurinya.

"Tapi bukannya ada Pak Edric 'kan, Pak?"

"Kamu tahu kan tugas Edric apa?"

"Iya, Pak."

"Kamu sekretaris saya, sudah seharusnya kamu pergi sama saya."

Anna menggerutu tiada henti dalam hatinya. Bergemuruh di dalam sana. Seakan ingin menolak. 

"Satu lagi, jangan pernah pergi dengan laki-laki lain tanpa sepengetahuan saya."

"Bukankah itu hak saya, kenapa dilarang?"

"Hak kamu tapi saya yang atur. Kamu itu pacar saya."

"Palsu."

"Jaga mulutmu!"

"Itu memang kenyataannya kan, Pak?"

"Rahasia ini cukup kita, Edric dan mungkin temanmu itu."

"Pak, saya juga punya kehidupan sendiri apa semuanya harus diatur?"

"Jika diharuskan."

Anna mendengus kesal. Aksel memberikan beberapa dokumen di depan Anna.

"Silakan kerjakan ini sebelum perjalanan dinas dimulai."

"Harus malam ini?"

"Secepat mungkin."

"Kalau begitu saya permisi."

Berkas-berkas dokumen tersebut Anna bawa menuju meja kerjanya. 

Bruk! 

Berkas tersebut ditaruhnya cukup kasar untuk melampiaskan kekesalannya pada Aksel.

"It's so hard, but you can do it!"

"Thank you, Dan."

Kring!!

Ponsel Anna berdering. Jantungnya mulai berdetak tak karuan. 

"Iya Satya?"

["Masih kerja kak?"]

"Iya masih, kenapa?"

["Ya sudah nanti saja Satya hubunginya."]

"Sekarang enggak apa-apa…"  panggilan tersebut terputus, sebab Satya mematikannya dahulu. Anna sudah pasti tahu, adik kandung satu-satunya akan mempertanyakan berita yang beredar.

"Satya, adikmu?"

"Iya, pasti dia mau wawancara saya juga."

"Tapi enggak jadi?"

"Bukan enggak tapi belum, dia tahu saya masih kerja. Mana mau dia ganggu."

"Jadi mau kamu ceritakan semuanya?"

"Kamu tahu sendiri, dia satu-satunya keluargaku yang paling dekat. Jelas akan saya kasih tahu,meskipun malu. Tapi lambat laun kalau dia enggak dikasih tahu bisa marah besar."

"Ya sudah kamu jelaskan gimana baiknya saja, maaf ya An. Saya enggak bisa bantu apa-apa."

"It's okay, ini bukan salahmu, Dan."

Hari semakin sore, senja menampakan sinarnya. Namun, mereka masih terus bekerja dan mereka

Akan tetapi, bayaran yang diberikan oleh Aksel tidak main-main. Setimpal dengan pekerjaannya. Barang siapa yang masih tidak terima pilihannya hanya bertahan dan hengkang dari perusahaan ini.

"Mau balik sekarang enggak?"

"Nanti deh, nunggu gelap sebentar."

"Ya sudah saya duluan ya."

"Hati-hati, Dan."

Danita sudah pulang dahulu, yang lain pun begitu. Namun, Anna menunggu hingga matahari benar-benar tidak terlihat dan gelap.

Hingga pada pukul tujuh malam ia mulai menunggu di halte.

"Hallo."

["Sudah selesai?"]

"Sudah, ini di halte."

["Ya sudah tunggu di rumah saja kalau gitu kak."]

"Jangan, kamu tahu sendiri kalau di rumah gimana suasananya. Tanyakan saja apa yang mau kamu tanyakan."

["Maaf kak, kayaknya enggak jadi. Besok saja kalau kita ketemu. Kakak pulang saja."]

"Loh, Satya? Hallo?" Panggilan terputus kembali.