Alice membawakan secangkir kopi menuju ruang kerja Rama. Rama kalau bekerja memang sangat fokus dan cermat. Saking fokus dan konsentrasinya hanya pada layar computer membuat laki-laki itu tak menyadari akan kedatangan Alice.
Suara decitan pintu terbuka tak mengalihkan perhatian Rama yang fokus pada layar laptop. Alice terus melangkahkan kaki mendekati meja Rama.
"Mas ini kopinya." Alice meletakkan secangkir kopi tepat di samping meja Rama.
Rama menoleh mendapati tangan mungil sedang meletakkan secangkir kopi. Kemudian pandangannya merambat kearah si pemilik tangan yang sedang berdiri tepat di sampingnya dengan penampilan yang ah, menurutnya sederhana namun mampu menggoda. Piyama dress selutut berwarna merah marron kontras dengan wara kulit Alice bak seputih susu.
"Pekerjaannya masih banyak Mas?" Alice dengan wajah menggemaskan mengintip sekilas kearah layar laptop suaminya.
Rama menegakkan tubuhnya dari sandaran ternyamannya. Jujur sedari tadi dia di ruang kerja memang bekerja namun tak seperti biasanya dituntut mengerjakan berkas melainkan ada sekelibatan bayangan ucapan Reza menghantuinya. Hal itu membuat konsentrasinya terganggu. Tanpa dinyana Alice datang disaat dirinya memikirkan Alice juga.
Ditatapnya lekat Alice dengan penuh tanda tanya. Bertubuh ramping dan kencang di beberapa bagian tertenu pertanda belum disentuh orang alias masih kencang, pikir Rama. Dia laki-laki dewasa yang telah malang melintang dikelilingi banyak wanita diluaran sana. Jadi sudah khatam akan penilaiannya dari bentuk tubuh wanita.
"Kenapa Mas Rama sedari tadi diam saja dan lihatin aku seperti ini?" Alice gelisah melihat tatapan Rama yang diselimuti kabut nafsu. Alice bisa membedakan tatapan yang baik dan buruk. Termasuk tatapan yang berselimut mesum.
"Mas, kalau begitu aku pamit ke kamar dulu. Mas masih sibuk …"
"Ahh." Pekik Alice merasakan tangannya ditarik hingga tubuhnya mendarat di pangkuan Rama.
"Mas?" Alice sudah duduk di pangkuan Rama, mendongak menatap wajah Rama yang menatapnya dengan tatapan tak terbaca kemudian menoleh kesamping mendapati tangan kekar Rama merengkuh pinggangnya posesif.
Sebenarnya apa yang diinginkan Rama hingga berlaku seperti ini, Alice menelan salivanya dengan susah payah. Tubuhnya menegang dan gemetar, jujur ini kali pertamanya berada di rengkuhan seorang laki-laki. Bahkan Panji, pacarnya dan laki-laki yang dicintainya saja tidak pernah berlaku seperti itu, sedangkan ini Rama yang belum dicintainya dan masih berusaha belajar mencintai justru berlaku lebih. Ya walau Rama telah menjadi suaminya dan berhak melakukan apapun atas tubuhnya.
Rama menyelipkan beberapa helai rambut Alice yang menjuntai bebas menutupi wajah cantiknya. Terlihatlah wajah cantik bersemu merah terpancar jelas di depan matanya.
"Bibir itu." Rama terbius menatap lekat akan ranumnya bibir mungil Alice yang terbuka sedikit menampakkan dalamnya membuat rasa penasaran beradu hasrat keluar dari diri Rama.
"Kenapa Mas diam aja sedari tadi. Aku takut, Mas." lirih Alice meronta dilepas merasa kurang nyaman berada di posisi intim seperti itu. Kalau begini dia menyesal telah memasuki ruang kerja Rama.
Cup
Rama mendekatkan wajahnya ke wajah Alice kemudian tanpa permisi, bibir Rama menempel begitu saja tepat di bibir Alice. Alice membelalak kaget tak percaya akan apa yang dilakukan Rama.
Rama tidak kuasa dihantui bayang-bayang ucapan Reza yang hanya menyulut emosinya. Dia ingin membuktikannya sendiri secara langsung kalau istrinya itu masih tersegel alias belum melakukan apapun yang melewati batas bersama kekasihnya dulu.
Alice meronta, kedua tangannya mendorong dada Rama untuk menjauh sekaligus melepas bibirnya. Jujur Alice belum siap melakukan itu walaupun ia sadar Rama berhak melakukan itu bahkan bisa lebih.
Kedua mata Alice semakin membulat sempurna ketika tangan kekar Rama merapatkan tubuhnya hingga tak menyisakan jarak sedikitpu membuat dadanya menabrak dada bidang Rama. Sedangkan tangan yang satunya menahan tengkuk Alice membuat bibir mereka semakin tenggelam. Belum selesai dengan keterkejutannya itu, tiba-tiba bibir Rama mulai bergerak menuntut sesekali menyesap dan melumat.
Alice memejamkan mata seiring tubuhnya terasa lemas bagai sayur kangkung yang disiram air mendidih. Desiran aneh menjalar di seluruh tubuhnya merasakan sesapan di bibirnya begitu liar hingga membuat otaknya meremang.
Merasakan bibir Alice yang pasif namun tak menolak cumbuannya yang ganas itu membuat Rama menyeringai puas. Dia merasa yakin kalau Alice memang masih tersegel buktinya ciumannya yang terasa kaku seperti baru pertama kali melakukan.
Tapi sayang otaknya yang sudah terbuai akan kenikmatan pada bibir Alice. Niatnya ingin membuktikan justru malah tenggelam semakin dalam menuntut untuk semakin jauh.
Tanpa terasa cairan bening jatuh dari pejaman mata Alice. Tubuhnya yang sudah lemah ditambah dekapan erat tangan Rama yang mengunci tubuhnya membuatnya tidak bisa berkutik selain hanya bisa pasrah dan menerimanya.
Rama terpaksa melepaskan tautan bibir mereka ketika merasakan tangan Alice meronta dengan susah payah memukuli dadanya. Dia paham itu pertanda Alice kehabisan nafas.
"Hahhh huhh hahhh." Alice menatap sayu dan berkaca kaca disertai nafas tersengal.
Rama juga sama namun tidak seperah Alice, mengingat itu bukan pengalaman pertama untuk berciuman melainkan sudah biasa bagi Rama. Ibu jari Rama terulur mengusap bibir Alice yang memerah dan bengkak karena ulahnya.
"Mas kenapa nyium aku hiks … hikss."
Alice kecewa memilih bangkit dari pangkuan Rama, berlari kencang menjauh dari ruang kerja Rama.
"Alice, kamu mau kemana?" pekik Rama menatap Alice yang sudah menghilang tak menyangka kalau Alice akan sekecewa itu padanya. Bukankah dia berhak melakukan itu, ya walau dia salah juga sih karena belum meminta izin dulu. Ah tapi dia merasa tidak perlu meminta izin bukan, toh dia suami Alice.
Alice menumpahkan tangisnya di dalam kamar yang hening dan sepi. Rasa sesak dipenuhi perasaan bersalah mulai menguasainya. Entahlah sosok Panji kembali terngiang di kepalanya. Rasanya dia benar-benar bersalah pada Panji setelah apa yang dilakukannya dengan Rama barusan.
"Aku nggak tahu kenapa, semakin kesini aku semakin jauh dari Rama. Rasanya sulit untuk menerimanya."
"Maaf Panji, maafkan aku. Kenapa semakin kesini rasa bersalahku semakin tak terbendung padamu. Kita belum putus tapi …"
"Alice!"
Alice terkesiap kaget menoleh, tubuhnya menegang dan ketakutan menatap Rama setelah apa yang dilakukan Rama padanya tadi.
"Kamu menyesal, aku telah menciummu? Dan kamu ternyata merasa bersalah pada kekasihmu, Panji?" Alice terkejut ternyata Rama mendengar ucapannya tadi.
Alice bingung, bukankah seharusnya disini yang marah adalah dirinya. Lantas kenapa Rama bisa semarah itu padanya.
"Aku belum siap, tapi kamu …"
"Hahaha lelucon apa ini. Seorang istri marah hanya karena dicium suaminya dan parahnya malah merasa bersalah pada laki-laki lain."
"Bukan begitu Mas. Hanya saja aku butuh waktu untuk melupakan bayang-bayang Panji dan mulai hidup baru denganmu."
Rama terdiam berusaha memahami perasaan Alice namun justru itu malah membuat hatinya sakit saja. Dalam hatinya tidak terima bila Alice membutuhkan waktu yang lama untuk melupakan Panji. Dia laki-laki normal butuh pelampiasan bukan. Apakah kurang cukup sampai sekarang dirinya memberikan waktu untuk Alice melupakan masa lalu dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Rama yang tadinya merasa bersalah atas perlakuannya dan berniat minta maaf pada Alice seketika marah mendengar ucapan lirih Alice di kamar tadi.
"Lantas sampai kapan kamu akan begini. Kapan kau akan menganggapku sebagai suami, sedangkan dicium saja sudah marah. Apakabarnya bila aku meminta hakku sebagai suami."
Deg
Alice tersentak mendengar peringatan Rama. Kini dia malah dilanda perasaan bersalah yang semakin menjadi-jadi. Bayang-bayang dosa karena berperan sebagai istri tidak bisa menjalankan kewajiban sebagai seorang istri pada suami.
"Mas maaf …"
Rama tidak menjawab memilih pergi meninggalkan Alice di kamar sendiri. Dia tidak mau emosinya yang terlanjur kelewat batas bisa menyakiti Alice. Dia tidak mau itu sampai terjadi. Semarah apapun dia tidak bisa menyakiti Alice, ingat di masa kecil dirinya selalu mengalah demi Alice agar baik-baik saja.
Brakkk
Suara pintu dibanting dengan keras menggema hingga membuat dinding bergetar. Alice reflek memejamkan matanya melihat keganasan sang suami ketika marah.