webnovel

Airlangga Sang Maharaja

Airlangga adalah pangeran penakut yang mengasingkan diri ke hutan setelah dikhianati orang yang ia percaya. Suatu hari seorang gadis mendatangi pertapaannya untuk meminta (sebenarnya memaksa) Airlangga merebut kembali tahtanya, demi menyatukan Tanah Jawa yang terpecah-belah. Meski awalnya terpaksa, inilah perjalanan Airlangga menjadi maharaja yang terus dikenang bahkan setelah seribu tahun berlalu. Peringatan : Ini adalah cerita fiksi yang diangkat dari sejarah Airlangga. Sebagian besar dari cerita ini adalah fiktif karangan penulis. Apabila anda tertarik dengan kehidupan Airlangga yang sesungguhnya, dapat membacanya melalui sumber-sumber sejarah yang akurat.

Sun_1 · Sejarah
Peringkat tidak cukup
28 Chs

Bab 12

Awalnya Wisnuprabawa kaget saat mendengar ribuan bala tentara dari Watan Mas sedang bergerak menuju Wuratan. Namun, begitu mengetahui perkiraan jumlahnya yang cuma lima ribu, ia malah tergelitik. Sejak pertemuannya dengan Aji Wurawi tempo hari, meski waktu itu ia bersikap congkak, nyatanya ia segera meningkatkan pertahanan Wuratan. Saat ini ibu kotanya dijaga oleh sepuluh ribu prajurit. Apabila ia mengumandangkan seruan, sepuluh ribu lainnya akan berkumpul dari setiap sudut kerajaan.

Wisnuprabawa pun menempatkan bala tentaranya di jalan utama memasuki Wuratan. Terdapat dataran kosong yang cukup luas, dan penyerang yang datang mau tidak mau pasti lewat sana. Dan benar saja.

Di satu pagi hari yang agak kelabu, bala tentara yang mengibarkan panji-panji Airlangga tiba. Mereka membunyikan tetabuhan yang sangat kencang tiada berhenti. Wisnuprabawa tak mau kalah, ia juga memerintahkan prajuritnya untuk menggaungkan tetabuhan. Kedua bala tentara saling berhadapan, diiringin dentuman gong yang menyerupai suara guntur.

Sungguh besar kepercayaan diri Wisnuprabawa. Mana mungkin bala tentaranya yang berjumlah dua kali lebih besar bisa dikalahkan?

Lalu seorang utusan dari pihak Airlangga datang membawa pesan, bahwa tuannya menginginkan.

Wisnuprabawa tidak takut!

Ia menjawab permintaan tersebut, kemudian bersama dua jendralnya menemui rombongan Airlangga—disertai Narotama, Hasin, dan Sri Dewi—di daerah netral, berupa tenda yang didirikan di tanah kosong antara kedua bala tentara.

"Salam, wahai Sri Raja Wisnuprabawa," ucap Airlangga. "Adapun kedatangan kami kemari adalah dengan sebuah itikad baik—"

Wisnupwabawa tiba-tiba tertawa, "Jajajajajajaja!" Itikad baik? Kau membawa lima ribu orang bersenjata tombak ke depan rumahku, kau bilang itikad baik?"

Airlangga tersenyum kecut, lalu melanjutkan, "Sebagai bekas abdi Kemaharajaan Medang, aku ingin meminta kembali kesetiaanmu. Karena sekarang Medang sudah bangkit lagi."

"Bangkit? Jajajajajajaja!"

Airlangga tertegun mendengar suara tawa yang tidak umum tersebut. Ia sampai mengira sedang dipermainkan.

"Dengar, anak muda," lanjut Wisnuprabawa. "Benar, dulu aku adalah abdi Kemaharajaan Medang. Tapi Medang yang itu sudah hancur. Dan kau ini siapa? Dalam tubuhmu tidak mengalir darah wangsa Isyana. Medang yang kau bangun sekarang tak lebih dari Medang-Medangan, kau paham? Jajaja!

"Lagipula selama ini aku sendiri yang berjuang mati-matian melindungi Wuratan dari gempuran Sriwijaya. Jungkir balik aku bertahan, dan kau di mana? Sekarang, tiba-tiba kau datang. Kau menginginkan aku, sang titisan Wisnu ini, mengabdi padamu? Pada anak kemarin sore yang tidak punya pengalaman apa-apa, yang bahkan prajuritnya lebih sedikit dariku? Bahkan aku bisa melumatku saat ini juga! Sudahlah, lebih baik kau pulang saja, dan menjalani hidup dengan tenang di kampung halaman. Tidak akan ada keributan, dan tidak akan ada darah yang tercecer sia-sia."

Airlangga berpikir sejenak. Lalu ia berkata, "Masuk akal."

"Tunggu! Jangan! Itu tidak masuk akal!!!" teriak Narotama.

"Sudahlah, Mpu. Saya ini datang dengan itikad baik...." Tapi sesungguhnya nyali Airlangga sudah menciut seperti daun putri malu yang disenggol. Begitu melihat betapa banyaknya prajurit yang dimiliki Wisnuprabwa, ditambah deretan pasukan berkuda, ia segera yakin bahwa bala tentaranya tak ada apa-apanya.

"Tidak!" Narotama masih bersikeras. "Kalau Wisnuprabawa menolak klaim Sri Raja, maka satu-satunya jawaban adalah perang!"

"Benar!" timpal Hasin. "Bogemku sudah lama belum mencicipi darah!"

Wisnuprabawa menyunggingkan senyum.

"Kalian budek? Kalian tidak dengar apa kata raja kalian?" ucapnya pongah.

Narotama memelototi Airlangga.

"Mu—mundur untuk menang," ujar sang raja.

"Mundur dan tak usah maju lagi!" sela Wisnuprabawa.

Narotama berdecak. Masalahnya jika mereka mundur, maka mereka akan kehilangan momentum. Ekspedisi militer ini dilakukan dengan memerah sumber daya terakhir yang mereka miliki. Apabila gagal, maka butuh waktu lama mempersiapkan ekspedisi berikutnya. Moral prajurit pun akan jatuh, dan seluruh pendukung Airlangga akan mulai meragukan sang raja. Mungkin di masa depan akan jadi sulit membuat ekspedisi militer seperti ini—kalau bukan mustahil.

Lagipula, jumlah bukan segalanya.

"Manusia gendut!!!" seru Narotama.

"Heh! Jaga mulutmu!" hardik salah satu jendral Wisnuprabawa. "Tak ada yang boleh menyebut nama Sri Raja seenaknya. Kau mau lidahmu dicabut?"

"Kenapa? Terserah aku, kan?" Narotama memicingkan sebelah alisnya. "Apalagi manusia gendut ini bukan titisan Wisnu. Dia ini… apa ya… disebut tetesan keringatnya Wisnu juga sudah bagus, sih. Dia ini tetesan lemak!"

"Kurang ajar!" Sang jendral sudah mengepalkan tinjunya, tapi Wisnuprabawa menghalangi.

"Jangan, ini daerah netral!"

Sang jendral menggeram seperti anjing yang dikekang tuannya. Lalu ia melontarkan tatapan yang mengancam.

"Lagipula, aku dengar kau bukan melindungi negeri ini dari Sriwijaya," timpal Hasin. "Yang kau lakukan adalah menjilat bokong Sriwijaya agar tahta kecilmu tidak diusik."

"Ups," Narotama menutup mulutnya. "Pantas saja dari tadi seperti ada yang mulutnya bau sesuatu, ternyata ada penjilat bokong."

Kedua orang itu tertawa, lalu menepuk tangan, menepuk punggung tangan, dan diakhiri bertukar tinju.

Airlangga semakin panik. Ia ingin menghentikan kedua abdinya tersebut, tapi Wisnuprabawa sudah melotot lebar.

"Dan dosamu itu terlalu berat, jauh lebih berat dari perutmu!" lanjut Narotama, tak mengindahkan kekhawatiran rajanya. "Setelah Mahapralaya, yang harusnya kau lakukan adalah membalas dendam pada Aji Wurawi! Kau malah mencari aman dan melepaskan diri dari Kemaharajaan Medang. Tidak ada jalan lain bagi pengkhianat sepertimu selain perang! Perang! Perang! Perang! Perang! Peraaaaang!!!"

Wisnuprabawa lekas teringat apa yang dikatakan Aji Wurawi. Airlangga—lebih tepatnya Rakryan Kanuruhannya—tak akan melepas raja-raja yang dulu cuma diam menikmati hasil kudeta.

"Baik, kalau perang yang kalian inginkan," Wisnuprabawa bertolak pinggang. "Perang yang kuberikan."

"Yeah!" Narotama menjentikkan jarinya.

Airlangga menyaksikan Wisnuprabawa berbalik ke arah pasukannya, sementara ia ditarik Narotama kembali ke pasukannya sendiri.

"Sri Raja, saya bersumpah akan melindungi Sri Raja sampai titik darah penghabisan," ujar Sri Dewi.

"Terima kasih." Airlangga memaksakan dirinya untuk tersenyum.

"Ya, jumlah bukan segalanya," kata Narotama. "Kita masih bisa menang… bila dewata berkehendak."

Lalu kalau dewata tidak berkehendak, bagaimana???

Airlangga naik ke atas kuda, lalu memacunya canggung. Ia menempatkan diri di samping Hasin dan para jendralnya, memimpin barisan infanteri yang mereka miliki. Ia memicingkan mata untuk melihat tombak-tombak yang teracung dari bala tentara di seberang tanah lapang. Kuda-kuda mereka meringkik, dan Wisnuprabawa duduk di atas gajah yang sangat besar. Begitu kedua bala tentara saling berbenturan, ia akan terperangkap dalam kekacauan.

"Sri Raja! Apa yang Sri Raja lakukan di sini?!" bisik Narotama.

"Memimpin prajurit?" jawab Airlangga ragu.

"Tidak perlu! Sudah ada Hasin. Lihat, Wisnuprabawa saja berada paling belakang. Di sini tidak aman!"

"Tapi—saya kan harus—"

"Sri Raja, saya sangat bangga bisa mengabdikan diri pada Sri Raja," sela Hasin. "Tidak semua raja punya nyali untuk memimpin sendiri prajuritnya di baris paling depan. Tapi benar kata Narotama, kami harus melindungi Sri Raja. Seluruh pasukan akan runtuh bila rajanya jatuh."

"Uh, tapi…"

"Lagipula, Sri Raja punya tugas yang lebih penting," lanjut Narotama.

"Apa?"

"Ikuti saya," Narotama mengedipkan sebelah mata.

Airlangga melihat ke para jendralnya satu persatu untuk meminta persetujuan. Mereka semua mengangguk. Pemuda itu pun mengikuti Narotama dengan perasaan bimbang antara lega tapi tak tega.

Kini ia berada di barisan paling belakang, bersama sedikit—dua lusin—pasukan kavaleri dan sekelompok pemain tetabuhan. Dari atas kuda ia masih bisa memantau medan perang di kejauhan.

"Mainkan tetabuhan!" perintah Narotama.

Lalu gong dihantam. Gendang dan ketipung dimainkan. Suara tambur bergemuruh sesekali.

"Prajurit!" Hasin berteriak menggelegar dari baris depan. "Langkah tegak maju!!!"

Prajurit infanteri pun bergerak, selangkah demi selangkah dalam barisan yang rapi. Bagi sebagian besar dari mereka, ini adalah pertempuran pertamanya. Ekspresi tegang terlihat jelas di wajah-wajah mereka. Tapi Hasin telah melatih mereka dengan disiplin keras. Tak seorang pun yang berpikir untuk kabur meski yang menanti adalah ajal.

Suara terompet panjang terdengar dari seberang, diikuti oleh ringkikan kuda yang bersahut-sahutan. Lalu ratusan tapal besi menghantam bumi. Wisnuprabawa melepas kavalerinya. Tak kurang dari lima ratus prajurit berkuda menerjang lurus tepat ke arah infanteri Medang.

"Berhenti!" seru Hasin. "Bentuk Candra Wyuha!"

Itu adalah formasi bulan sabit. Para prajurit bergerak cepat. Mereka membuat barisan panjang yang melengkung.

"Bersiap menghadapi kavaleri!"

Barisan infanteri terdepan bertekuk setengah lutut sambil memegangi tombak yang diturunkan ke tanah. Sementara barisan belakangnya berdiri antara celah-celah barisan pertama.

"Tahan!" seru Hasin, ia sendiri meremas gagang bogemnya erat-erat.

Pasukan kavaleri Wuratan semakin mendekat. Terjangan mereka menciptakan badai debu yang beterbangan ke udara. Manusia dan kuda teriak bersahut-sahutan, menggetarkan keberanian.

"Jangan takut! Jangan gentar! Tahan!"

Prajurit-prajurit Hasin mengeratkan geraham. Inilah yang sewajarnya mereka hadapi ketika memutuskan bergabung sebagai prajurit Medang.

Jarak antara kedua pasukan kian dekat.

Seratus tombak.

Lima puluh tombak.

Dua puluh lima tombak.

Sepuluh tombak.

"Hantamaaan!"

Seluruh barisan infanteri Medang mengangkat tombaknya, menciptakan dinding bilah tepat di hadapan para kuda. Namun, jarak mereka sudah terlalu dekat sehingga pasukan kavaleri Wuratan terus bergerak maju. Tombak-tombak mereka pun beradu. Tapal besi bertemu dada manusia. Bilah logam menembus perut kuda.

Hasin mengambil ancang-ancang, lalu berputar tiga ratus enam puluh derajat. Bogemnya menghajar dua ekor kuda sekaligus, mementalkan penunggangnya ke belakang.

Namun, ternyata infanteri Medang masih kurang latihan. Selama ini Laskar Hitam cuma merampok penduduk desa yang tak berdaya, sedangkan sisa prajurit yang lain kebanyakan adalah pemuda yang belum pernah melihat darah. Banyak yang meninggalkan posisi begitu pasukan kavaleri menghantam mereka, sementara yang lainnya habis terinjak-injak.

"Mundur! Mundur! Mundur perlahan!" teriak Hasin. "Jangan takut!"

Pria itu mengambil ancang-ancang, lalu melompat tinggi ke udara. Ia menghantamkan bogemnya ke bumi seperti komet, melumat prajurit yang tidak beruntung juga mementalkan kavaleri di sekitarnya.

Hasin tak berhenti sampai di situ. Ia lanjut mengerahkan serudukan banteng, sembari mengayunkan bogem untuk menghajar siapapun yang menghalangi jalan.

"Demi Sri Raja Airlangga!" teriaknya dengan bogem teracung ke angkasa.

Moral infanterinya pun terangkat. Mereka menguatkan kuda-kuda, lalu menghujamkan tombak sekuat-kuatnya. Akhirnya momentum hantaman kavaleri Wuratan pun berhasil dipupuskan. Prajurit berkuda yang tersisa berusaha mengendalikan tunggangannya, lalu berbalik arah.

Infanteri Medang pun bersahut-sahutan menyerukan kemenangan. Tapi jelas mereka merayakan terlalu cepat. Begitu kavaleri Wuratan mundur, infanterinya segera menggantikan. Sepuluh ribu prajurit berlarian dengan tombak teracung ke arah Hasin dan pasukannya.

"Candra Wyuha! Kembali ke formasi Candra Wyuha!" teriak Hasin.

Para infanteri cepat-cepat menyesuaikan posisi, tapi hantaman kedua segera terjadi. Sepuluh ribu melawan lima ribu. Mata-mata tombak mereka saling menyayat satu sama lain. Darah berceceran dan prajurit menjerit kesakitan.

Tangan Airlangga gemetar memegangi tali kekang kudanya. Ia menggigit bibir bawahnya sendiri. Ia tidak tahan melihat pembantaian yang terjadi di depan matanya. Sungguh ia merasa berdosa, karena dirinya cuma menyaksikan dari tempat aman, sementara prajurit-prajuritnya yang setia mempertaruhkan nyawa.

"Apakah ini benar?" gumamnya.

Narotama mengangguk. "Karena itu tugas kita adalah memastikan pengorbanan mereka tak sia-sia."

Kata-kata yang terdengar dingin di telinga Airlangga.

Ia ingin menyerah dan mengakhiri ini sekarang juga.

Agar tak ada lagi yang perlu tersiksa.

"Jika Sri Raja ingin menekan angka korban, maka Sri Raja harus berhasil," kata Narotama. "Keberhasilan kita menentukan berapa banyak yang akan pulang dari pertempuran ini hidup-hidup."

Airlangga bahkan tidak yakin ia bisa berhasil.

Tangannya gemetar semakin keras.

Lalu, tangan yang sama dinginnya menyentuh tangannya.

Sri Dewi menggenggam tangan sang raja, meski gadis itu juga ketakutan.

"Sri Raja," tuturnya kering. Kedua matanya menatap langsung mata Airlangga. "Ayo kita pulangkan mereka hidup-hidup."

Rahang Airlangga bergemeletak. "Aku mengerti."