webnovel

Bab 17

Hari ini Agnia berencana untuk mengunjungi restoran dan juga apartemen. Ingin melihat apakah para wartawan masih menunggu di sana. Tiga hari telah berlalu semenjak pemberitaan tersebut.

Di tengah jalan ia melihat Nina yang sedang berdiri di pinggir jalan dengan wajah tertunduk. Mobil Agnia berhenti di dekat NIna.

"Nin, kenapa kamu berdiri terus sedari tadi?"

Nina terkejut melihat atasannya. "Saya sedang menunggu angkot Bu."

"Ohh. Ayo biar saya antar."

"Eh tidak usah Bu. Tidak perlu repot-repot. Sebentar lagi angkotnya akan sampai kok." Nina tersenyum canggung.

Agnia melihat ke atas. "Cuaca hari ini lebih panas dari biasanya dan sedari tadi belum ada angkot yang lewat. Kamu yakin bisa menunggu lebih lama lagi? Wajahmu terlihat pucat Nin."

"Benarkah?" Refleks memegang wajah. Ia diam sambil berpikir untuk kembali menolak atau malah menerima tawaran tersebut. "Apa Bu Agnia tidak sibuk jika mengantar saya?"

"Tidak kok. Ayo naik. Cuacana semakin panas loh."

Nina mengangguk kecil kemudian masuk ke dalam mobil. Rasa gugup terus dirasakannya. "Terima kasih Bu atas tumpangannya. Saya jadi merasa tidak enak."

"Sebagai sesama manusia kita harus tolong menolong kan? Apalagi kamu kan karyawan saya. Tidak bisa saya biarkan karyawan saya berada dalam masalah. Jika bisa membantu, maka saya akan membantu dengan sebisa saya."

Nina tertegun mendengar pernyataan Agnia. Air matanya luruh begitu saja. Dengan cepat dihapus sebelum sang boss tahu.

"Bu Agnia sangat baik." NIna tertunduk untuk sejenak sebelum akhirnya berkata. "Ada yang saya ingin katakan pada Bu Agnia.?"

"Apa itu Nina?"

Hening beberapa saat. Nina menggeleng lemah. "Ah, bukan sesuatu yang penting. Saya cuma mau bilang kalau beruntung memiliki boss seperti Bu Agnia." Tersenyum ke arah Agnia.

"Bisa saja kamu ini." Agnia lalu melanjutkan perkatannya. "Oiya, beberapa jam lalu saya mengirimkan sejumlah uang ke rekening kamu. Semoga bisa membantu meringankan sedikit pengobatan kakekmu ya Nin."

Nina terkejut dan langsung mengecek ponselnya. Benar saja sejumlah nomianl uang yang cukup besar telah diterima. "Ii-ini ...'

"Sudah jangan merasa sungkan. Saya tahu bagaimana rasanya jadi kamu yang bekerja keras demi orang tersayang. Saya cuma meminta gunakan itu secara baik-baik ya."

"Tt-terima kasih Bb-bu Agnia."

*****

Setelah mengantar NIna, Agnia langsung bergegas menuju restorannya. Untung saja tidak ada lagi wartawan. Pemberitaan pun sudah tidak ada lagi sejak hari ini. Agnia menatap bangunan tersebut.

"Tempat ini aku bangun dengan kerja keras. Para pegawai juga menggantungkan hidupnya lewat penghasilan restoran. Aku tidak akan menyerah begitu saja. Kalau insiden itu disengaja, akan aku cari pelakunya!" Agnia mengepalkan tangan.

"Sial! Kenapa disaat seperti ini malah mogok sih."

Telinga Agnia mendengar suara sesorang. Ia melihat kesamping kiri, tak jauh dari tempatnya ada seorang wanita yang mengomeli kendaraan yang ditumpangi.

"Bukannya itu Tiara? Wanita barunya Ivan." Agnia penasaran dengan siapa Ivan waktu pertama kali datang ke restorannya.

Setelah dicari rupanya Tiara merupakan seorang model yang cukup terkenal dan merangkap sebagai peisnis.

"Ada yang bisa saya bantu?" Agnia menghampiri Tiara dan menawarkan bantuan.

"Kamu bukannya pemilik restoran yang ada cicak di dalam makanan kekasihku bukan?" Tiara memandang tak suka Agnia.

Ia mengangguk. "Maaf soal itu."

Tiara hanya diam. Ingin meminnta pertolongan tapi gengsi. "Begini, mobilku mogok dan di dekat sini tidak ada bengkel. Apesnya lagi ponselku kehabisan daya. Bisa pinjam ponselmu?"

Persetan dengan gengsi, ia butuh bantaun. Oh, jangan lupakan, Tiara berbicara tanpa menggunakan 'saya'. Peduli amat lah.

"Ini." Agnia mmeberikan ponsel pada Tiara.

"Ternyata benar kalau Tiara kekasih baru Ivan. Semakin hari mangsa Ivan semakin besar saja," batin Agnia.

"Ini kukembalikan." Menyerahkan benda tadi saat selesai menelepon.

"Butuh tumpangan? Aku bisa mengantarmu ." Kini Agnia ikut-ikutan tak memakai kata 'saya'.

"Tidak perlu. Kekasihku akan datang sebentar lagi."

"Kalau begitu aku pergi dulu."

"Ya, terima kasih atas bantuannya."

"Sama-sama." Agnia memutuskan segera pergi ketimbang harus bertatap muka dengan pria seperti Ivan.

Kasihan Tiara yang akan menjadi korban Ivan berikutnya. Ingin memberitahu tentang sifat Ivan, tapi tidak tahu bagaimana caranya.

Saat akan melajukan mobil, Agnia teringat sesuatu. Segera dihubunginya Dirga. "Dirga, aku ingin bertanya sesuatu padamu."

*****

Ia sudah kembali ke apartemennya hari ini. Syukurlah para wartawan-wartawan itu tidak lagi mengejarnya di tempat tingalnya yang ini.

Agnia duduk sambil menonton tv. Pikirannya langsung teringat saat menelepon Dirga. Bisa-bisanya ia mengatakan itu. Agnia berdecak sambil memukul bantal sofa. Merasa malu.

"Bisa-bisanya. Aku sangat malu. Ah sudah lah, sudah terlanjur."

Ada pesta yang akan diadakan salah-satu orang terkaya di Indonesia sebentar lagi. Ia tahu Dirga diundang dan biasanya akan ada keterangan plus one di surat undangan tersebut.

Benar, Dirga diperkenankan membawa seseorang dan Agnia menawarkan diri. Mengapa ia melakukan itu? Agnia ingin bertemu dengan Tiara. Dengar-dengar Tiara juga diundang. "Aku berharap Tiara diundang dan hadir di sana."

*****

Agnia melihat pantulan dirinya di cermin. Dress hitam sederhana melekat sempurna di tubuhnya. Ia melihat dengan saksama apakah ada kekurangan atau tidak.

"Aku rasa gaun ini cukup bagus dan tampak tak memalukan jika berada di pesta para orang kaya." Gugup, itu lah yang dirasakan. Takut jika ia memalukan Dirga.

Ting tong

Bel berbunyi. Agnia segera mengambil tas lalu menuju pintu. Pintu terbuka, menampilkan seorang pria tampan nan rupawan memakai jas yang serasi warna dengan Agnia.

"Kenapa repot-repot sampai sini? Aku bisa datang ke bawah kalau ditelepon."

Dirga melihat penampilan Agnia. Meski simple, tapi begitu cantik dan anggun. Sejenak ia terpaku. Untung kesadarannya segera pulih saat Agnia berbicara.

"Ohh itu, aku lupa." Canggung, itu lah yang dirasakan. "Sudah siap?" tanya Dirga sekaligus ingin mengubah topik.

"Sudah. Bagaimana menurutmu penampilanku? Aku takut jika dress yang kupakai tidak cukup baik berada di antara orang-orang kelas atas."

Dirga menggeleng sambil tersenyum samar. "Justru penampilanmu sempurna. Orang tidak harus memperlihatkan seberapa kaya dengan memakai baju atau aksesoris glamour. Cukup tindak tanduk serta cara berpakaian yang baik itu sudah menunjukkan kelas di mana seseorang berada."

"Benarkah? Menurutmu begitu?" Agnia masih merasa ragu.

"Benar. Aku sudah berkali-kali ada di sebuah pesta. Banyak dari mereka yang memakai dress seperti ini. Jangn dipusingkan. Lebih baik kita segera pergi sebelum terlambat."

"Kamu benar." Keduanya mulai berjalan meninggalkan apartemen Agnia. "Oiya, bagaimana dengan Maira? Apa dia tidak marah atau menunggumu kalau pulang larut malam?"

"Tidak akan. Aku sudah menyuruhnya untuk segera pergi tidur nanti. Meski Maira sering nakal, tapi anak itu penurut kok. Jadi, jangan khawatir."

Untuk malam ini Dirga tidak ingin menyetir. Ia lebih memilih menggunakan jasa sang sopir yang baisanya mengantar jemput Maira ke sekolah.