webnovel

Tato Dan Cairan Biru

Malam ini, Genta berbaring tengkurap di dipan pasien berwarna biru, Bhatari dan Ajeng berada tepat di samping kiri dan kanan, Bhatari tak henti-hentinya terisak dan Ajeng hanya diam sambil memegang botol berisi cairan biru. Tangan Genta lalu memegang tangan Bhatari, "Tar, jangan sedih gitu dong." Ujarnya.

"Aku nggak tau, Genta. Aku merasa sangat sedih." Balas Bhatari

Tangan Genta lalu mengelus tangan mungil Bhatari, "Tenang, kita pasti ketemu lagi, aku akan cari kalian."

"Jangan buat janji yang nggak bisa kamu tepati lagi," ucap Ajeng memotong, "Mari kita mulai," lanjutnya lagi sembari mengangguk, diikuti oleh anggukan Bhatari dan Genta.

Ajeng mengambil cairan biru, memindahkannya ke dalam suntikan, rambut Genta yang menutupi area leher ia sibak ke kiri, tampaklah guratan akar yang meliuk-liuk pada bagian belakang leher tanpa warna, ragu Ajeng mendekatkan suntikan ke bagian gambar itu,

"Genta kamu yakin?" tanyanya memastikan.

"Kita sudah berdebat soal ini, tak akan terjadi apa pun, buktinya kamu dan Bhatari baik-baik saja," balas Genta pelan, sebenarnya ada rasa takut yang mulai menganggu dirinya sejak sore tadi.

"Baiklah," ujar Ajeng mendekatkan suntikannya, ditatapnya Bhatari yang masih memegang tangan Genta, Ajeng mengangguk,

"Tar, jangan nangis." Ujarnya, Bhatari mengangguk.

"Air matanya nggak bisa berhenti kak," jawabnya mencoba menyeka matanya dengan punggung tangan.

"Tar, jangan gitu dong." Balas Genta, tangannya lagi-lagi mengelus tangan Bhatari.

"Iya, iya, maaf. Aku nggak nyaangka aja, pencarian panjang kita ternyata nggak menghasilkan apa-apa."

"Tar, jangan ngomong gitu," ujar Ajeng lagi.

"Udah, kita lanjut aja. Kalo ditunda bentar lagi, aku pasti bakalan plin-plan dan nggak bisa buat nyuntikin ini." Tangannya lalu cekatan memegang suntik, Bhatari memalingkan wajah, tak ingin melihat.

"Udah?" tanya Bhatari.

"Hmm."

Bhatari lalu berbalik, dilihatnya Genta yang masih tetap berbaring, tak terjadi apa-apa.

"Genta," panggilnya pelan. Tidak menyahut dengan panik Bhatari menatap Ajeng, "Kak, ini kenapa?" tanyanya lagi.

Ajeng yang lama terdiam, "Aku nggak tau, tapi liat itu," tunjuknya ke arah leher Genta, gambar akar itu mulai berpendar, berwarna keabu-abuan dan tampak seperti proyektor, perlahan gambar kosong itu mulai terisi. Badan Genta lalu bergetar, "Gentaaa!!" teriak Bhatari, Ajeng lalu berinisiatif untuk membalikkan badan itu. Mata Genta berwarna putih kehijauan, tak ada lagi bola hitam,

"Genta atur pernafasan kamu," bisik Ajeng pelan. Tak lama semua bagian dari ruangan itu mulai melayang, tangan Genta terangkat, badannya pun ikut melayang dan mengalami kejang-kejang di udara. Dengan panik Bhatari menarik badan Genta dan memaksanya untuk tetap berada di dipan,

"Genta, pernapasannn. Atur pernapasan kamu," teriaknya. Tak hanya diam, Ajeng ikut menahan bagian kaki Genta. Genta mengalami kejang-kejang, dipan bergetar, dan semua benda yang ada di dalam ruangan itu ikut terbang dan bergerak sesuai dengan tangan Genta yang terus-menerus bergerak.

"Pernapasan!!" teriak Ajeng.

"Tarik nafas dan hembuskann!!" balas Bhatari berteriak.

Terdengar bunyi nafas memburu menguasai ruangan, nafas itu lalu pelan, seperti ditarik dan dihembuskan, Ajeng dan Bhatari saling tatap dan mereka baru menyadari jika semua benda itu mulai terjatuh ke lantai, badan Genta tidak lagi kejang-kejang, ia telah tenang dan mulai menghembuskan nafas pelan, suasana tiba-tiba tenang. Tak lama badan Genta mulai berpendar, kulitnya terlihat bercahaya, pori-pori kulitnya mengeluarkan celah-celah cahaya yang menyatu di udara.

"Kak," ucap Bhatari menunjuk ke arah Genta, Ajeng hanya diam sembari menutup mulutnya. Cahaya itu mulai terlihat lebih terang dan menyilaukan, membuat badan Genta perlahan memudar. Ajeng dan Bhatari tidak menyadari itu.

Bunyi sepatu berlarian mulai terdengar, "Mereka kejang-kejang dokter," teriak seseorang, suara sepatu menyusul dan berjalan tergesah-gesah. Suara itu bersahutan dengan hembusan nafas yang pelan kemudian memburu, orang berbicara saling bersahutan, tak tahu lagi yang mana yang akan terdengar. Cahaya terang mengambil alih penglihatan keduanya, mereka lalu merasa ringan dan tak lagi menapak lantai hingga cahaya terang itu membutakan penglihatan keduanya.

"Sekarang aku tahu, kenapa aku tidak memiliki kekuatan seperti Bhatari dan Ajeng, manusia tak bisa mengisi penuh kapasitas otaknya melampaui 80% dan jika itu terjadi ia akan berada pada titik ketiadaan, dan akar ini. Ia telah melumatku habis, betul kata Ajeng janjikulah yang akan membuatku hilang."

Kilas kenangan mulai terlihat, seorang Genta mengaduk arang dan air tebu, ada ritual yang ia lakukan sebelum membuat gambar itu. Tato yang Genta buat tidak bukan hanya sembarangan tato karena ia mengikut sertakan kepercayaan Suku Mentawai pada proses pembuatan gambar itu. Sebutir air mata lalu menghilang di udara, diikuti badan Genta yang mulai memudar dan hilang bersama cahaya.