webnovel

Kacau

Duka mendalam masih ada dalam lubuk hati Dodi dan Aldo, meski Max telah pergi tetapi mereka masih belum bisa mengikhlaskannya. Bagaimana pun, Max telah di rawat oleh mereka. Kebersamaan mereka selama bertahun-tahun bukanlah hal sepele.

"Sudahlah, Dod. Max telah pergi. Bisa kah kamu mengikhlaskannya?" Ucap Genta menenangkan.

"Ikhlas katamu? Kamu bisa bilang ikhlas! Tapi tidak semudah itu." Dodi terpancing emosi.

"Sesuatu yang bernyawa, pasti akan mati. Sudahlah."

"Kamu mudah mengatakannya, tapi tidak semudah itu melakukannya. Aku tau, bagi mu Max tidak ada artinya, kan?" Dodi menatap Genta tajam.

Genta mulai terpancing emosi.

"Tidak ada artinya? Max adalah teman kita. Teman seperjuangan kita. Bagaimana bisa kamu mengatakan itu?" Genta menarik baju Dodi.

Mereka saling bertatapan sengit.

"Kalau Max berarti untuk mu, kamu seharusnya menguburnya. Bukan malah menjadikan Max sebagai bahan penelitian mu!" Dodi tak mau kalah, ia juga menarik baju Genta.

"Aku sudah mengatakannya! Max adalah satu-satunya manusia yang terinfeksi. Ia adalah kunci untuk anti virus yang akan kita buat!" Genta tak habis fikir dengan jalan pikiran Dodi.

"Persetan dengan itu! Max sudah sepantasnya beristirahat dengan tenang. Bukan malah jadi bahan penelitian mu!" Dodi masih emosi, ia berniat memukul wajah Genta. Tetapi dengan mudah Genta menangkisnya.

"Tenang lah, Dod. Aku akan berusaha membuat anti virus itu secepatnya agar Max bisa istirahat dengan tenang." Tenang Genta.

"Baik lah, aku pegang kata-katamu" Ucap Dodi dan meninggalkan Genta.

Raut kesal masih terlihat di wajah Dodi, ia berjalan ke arah inkubator yang telah di isi oleh jasad Max.

Dodi menatap kaca akrilik transparan dalam inkubator tersebut dengan tatapan sedih saat melihat jasad Max. Ia teringat, dulu Max selalu tersenyum saat melihatnya. Tetapi sekarang tak ada senyum yang menghiasi wajah Max. Hanya raut pucat yang tergambar jelas.

"Max, kenapa kamu pergi secepat ini?" Dodi menatap sendu.

"Tenang lah, Max. Aku tidak akan membiarkan mu terlalu lama di inkubator ini." Dodi menatap sekilas, dan mulai berjalan menjauhi inkubator tersebut.

***

"Sudah sampai mana anti virus yang kamu buat, Genta?" Tanya Ajeng.

"Aku belum memulainya." Jawab Genta lesu.

"APA??" Ajeng kaget.

"Bagaimana bisa kamu belum memulainya? Apa yang kamu fikirkan?" Ajeng tak habis fikir dengan hal itu.

Genta terdiam, saat ini pikirannya bercabang. Banyak hal yang mengganggu pikirannya.

"Apa kamu tidak berniat lagi membuat anti virus, Genta?" Ucap Ajeng yang menarik perhatian Genta sepenuhnya.

"Tidak, bukam begitu. Aku bisa jelaskan." Ucap Genta.

"Genta, apa kamu tau? Aku sangat suka kesepian. Karena bagaimana pun sepi adalah teman ku dari dulu. Tidak memiliki teman pun aku sudah terbiasa." Ajeng menarik nafas.

"Tapi virus ini telah merenggut dunia, manusia hampir punah. Aku sudah tak tahan lagi dengan kesepian ini. Aku rindu padatnya kemacetan karena waktu pulang kerja. Aku rindu dengan kehidupan yang penuh dengan manusia." Ajeng menerawang, pikirannya berkecamuk. Ia sangat merindukan keramaian di dunianya dulu.

Genta menatap Ajeng sendu, ia seharusnya sudah tidak bermain-main lagi. Sudah seharusnya virus ini di hentikan.

"Maafkan aku, aku berjanji akan secepatnya menyelesaikan ini." Genta tersenyum getir. Bahunya tiba-tiba memberat, beban yang ia terima sangat lah besar.

Genta berjalan ke arah laboratorium dengan gontai, langkahnya mulai melemas. Dipandangnya laboratorium dengan seksama.

"Baiklah, aku tidak bisa seperti ini terus" Genta menarik nafas dalam-dalam.

Genta mengarahkan kakinya ke beberapa tabung kimia, ditatapnya tabung-tabung tersebut.

Tangannya telah di lapisi sebuah sarung tangan, diambillah tabung berisi cairan itu.

Genta mengangkat tabung itu sejajar dengan wajahnya, Genta menatapnya sekilas.

"Dor!!!" Bhatari mengagetkan Genta.

"PRANGGG!!!" sebuah tabung cairan kimia yang tadi di pegang oleh Genta telah pecah. Genta menatap cairan yang tumpah tersebut dengan perasaan yang campur aduk.