webnovel

Pekerjaan Sambilannya Adit

Siang hari setelah pulang sekolah. Kelas menjadi riuh saat jam sekolah telah berakhir. Beberapa teman sekelasku langsung berhamburan keluar kelas, entah itu langsung pulang, atau memiliki agenda lain bersama teman-temannya. Sebagian kecil menetap di kelas dalam waktu dekat karena beberapa alasan.

Aku? Aku pun berencana untuk segera beranjak dari mejaku, sebelum seseorang di belakangku menepuk pundakku.

"Hei, Adit! Siap berangkat sekarang?"

Aku menoleh ke belakangku. Seorang siswa laki-laki berdiri di belakangku dengan seringai yang lebar di wajahnya.

"Ya, sebentar, Dani. Aku membereskan barang-barangku dulu, ya."

Namanya Daniel Hutabarat, tapi sering kupanggil Dani. Dia adalah teman sekelasku, dan juga teman kerjaku. Dia orangnya easy going, mudah bergaul, dan gampang membuat seisi kelas menjadi temannya. Tapi sisi buruknya adalah, dia itu terlalu berisik. Ketika di tempat kerja, terkadang dia lah yang menarik para pelanggan dengan suaranya yang berisik namun riang itu. Tapi, meskipun begitu, tidak ada yang membencinya. Mungkin itu adalah daya tariknya.

Orang seperti Dani lah yang membuatku merasa iri.

"Baiklah. Ayo, berangkat!"

Setelah mengambil tas sekolahku, aku berdiri dan beranjak keluar dari kelas. Dani juga mengikutiku dari belakang. Kami sering berangkat ke tempat kerja kami berbarengan, tapi kita tidak pergi ke sana bersama. Kami selalu berbincang-bincang sepanjang jalan menuju ke parkiran sekolah, dimana motornya Dani terparkir.

"BTW, kenapa lu terlambat tadi pagi, Dit?" tanya Dani tiba-tiba.

"Itu?! Jam alarmku tidak berbunyi tepat waktu, makanya aku telat bangun. Begitu lah cerita singkatnya," ceritaku memalingkan wajahku darinya.

Dani sepertinya tidak mempercayai ceritaku. Aku rasa wajar dia tidak mempercayaiku, melihat dari ekspresiku saat menjawabnya tadi.

Mana mungkin aku bilang kalau aku keasikan nonton video Youtube sampai ketiduran.

"Palingan lu kebangun di tengah malam, coba buat tidur lagi dengan nonton Youtube, tapi malah kebablasan, sehingga kesiangan bangun, 'kan?"

Aku hanya terdiam mendengar perkataannya Dani. Kenapa dia bisa menebaknya dengan tepat? Apa dia bisa membaca pikiran orang?

Dani sempat melirik ke arahku sebentar, sebelum dia melanjutkan, "Ayolah, santai saja, kali? Gak usah gugup seperti itu. Mana mungkin orang rajin kayak lu kesiangan gara-gara hal sepele seperti itu, 'kan?"

Dani pun tertawa kecil bercanda. Aku hanya bisa tertawa kecil gugup, sambil menelan air liurku sendiri tanda menahan malu.

"Tapi, kalau memang benar, gue rasa itu wajar, deh. Lu pernah cerita kalau lu sering mimpi buruk, 'kan? Apa sekarang masih?"

"Iya. Tapi tidak terlalu sering. Beberapa hari kebelakangan ini memang sering mimpi buruk, sih."

Dani hanya melirik kepadaku sambil menghela nafasnya.

"Lu masih belum merelakan kepergian orang tua kandung lu, ya?"

Aku hanya mengangguk pelan.

"Huh …. Yah, gue belum punya anggota keluarga yang sudah meninggal– Amit-amit! Jangan sampai, deh! – jadi, gue gak tahu perasaan lu, ya? Tapi, itu sudah lama sekali, 'kan? Lu seharusnya sudah merelakan kepergian mereka."

"Mudah mengucapkannya daripada melakukannya. Selain juga melepaskan kepergian mereka, rasa bersalah karena telah hidup tetap menyangkut di hatiku, tahu?"

"Terus, lu mau apa? Mau menyusul mereka, gitu?" tanya Dani.

Aku hanya menundukkan kepalaku terdiam. Aku bingung untuk menjawabnya.

"Kalau lu sempat berpikir buat menyusul mereka, lu sudah gila!" bentak Dani memarahiku.

"Iya, tidak mungkin, lah? Aku masih punya akal sehat, tahu?" jawabku berbohong.

"Yah, walaupun lu berbohong sekalipun, gue mungkin bakalan percaya, kok. Maksudku, kita masih muda. Hidup masih terlalu panjang. Sia-sia saja kalau lu mau menyusul mereka," ceramah Dani kepadaku.

Untuk sesaat, aku terkejut saat mendengar ceramahnya Dani. Biasanya, Dani suka berbicara sesuatu yang konyol, atau selalu menyelipkan candaan-candaan cringe dalam percakapannya. Terkadang, candaan seperti 'jokes om-om' juga sering dia selipkan. Sangat jarang sekali Dani berbicara seserius itu.

"Dan lagi, bukannya dia sangat menempel dengan lu? Saat gue bertemu dengan dia, lu dan dia menempel terus seperti lem super. Sulit sekali dipisahkan. Kalau lu pergi, nanti dia akan sangat sedih, loh."

Yang Dani bicarakan adalah adik angkatku. Sekarang dia masih seorang siswi SMP. Perbedaan usia kami hanya terpaut dua tahun, dan dia menganggapku sudah seperti kakak kandungnya sendiri. Seperti yang dikatakan oleh Dani, dia selalu menempel kepadaku. Saking menempelnya, Dani sempat mengira kalau kami berdua adalah sepasang kekasih, dan bukan saudara angkat.

Kami terus mengobrol, dan tanpa kusadari, kami sudah berada di halaman parkiran sekolah. Aku hanya berdiri terdiam di depan gerbang sekolah, menunggu Dani yang sedang mengurus sepeda motornya.

Sekolah ini memang memberikan kebebasan kepada siswa/siswinya dalam mengendarai kendaraan bermotor. Asalkan mereka memakai helm, memasang plat nomor kendaraan, dan menaati peraturan lalu lintas, kamu bebas mengendarai kendaraan bermotormu ke sekolah. Tapi resiko ditanggung sendiri. Belum lagi, kebanyakan orang yang mengendarai kendaraan bermotor ke sekolah adalah seorang guru, atau staf sekolah saja.

Sangat jarang seorang siswa/siswi yang mengendarai kendaraan bermotornya untuk berangkat ke sekolah. Kebanyakan dari mereka dibonceng oleh orang tuanya, contohnya yah si Karina, menaiki angkutan umum, atau berjalan kaki ke sekolah. Hanya Dani saja yang mengendarai sepeda motornya sendiri ke sekolah dari semua orang yang kutahu.

Selagi menunggu, aku memandangi jalan raya yang penuh dengan kendaraan dan orang-orang yang lalu lalang. Aku hanya memandang kosong dengan anggapan waktu akan cepat berlalu. Wah, ada mobil sport yang sangat keren baru saja lewat. Jarang sekali bisa melihat mobil Lamborghini kuning melintas di jalan raya kota Medan. Aku sering melihatnya hanya di dalam video game saja. Melihatnya secara langsung serasa mimpi jadi kenyataan.

Aku keasyikan melamun menatap jalan raya, sehingga tidak sadar kalau ada orang yang mencolek bahuku. Aku pun berbalik, sebelum sebuah jari telunjuk yang kecil nan imut menusuk pipi kananku.

"Ma-Maaf, Kak Radit! Saya tidak sengaja!" teriak panik seorang gadis berkuncir yang kukenal, yang kalau tidak salah namanya adalah Karina.

Aku sempat terkejut saat Karina menusuk pipiku dengan tidak sengaja. Tapi, setelah melihat Dani hanya tertawa cekikikan di belakangnya Karina, aku yakin kalau ini semua adalah idenya Dani.

***

Rencananya aku dan Dani akan langsung berangkat ke tempat kerja kami berdua. Tapi, karena Karina memutuskan untuk ikut dengan kami, dengan catatan bahwa Dani yang membujuknya, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk pergi bersama dengan berjalan kaki. Namun, sepeda motornya Dani harus dititipkan di depan rumahku.

"Kalian berdua mau pergi bekerja sekarang?"

Setelah mengetahui fakta tersebut, bukannya meninggalkan kami berdua, tapi Karina malah ingin ikut dengan kami berdua menuju ke tempat kerja kami.

"Yah, kita hanya bekerja sambilan saja, kok. Benar, gak Dit?"

"Pekerjaan sambilannya seperti apa, Kak Dani?"

Entah mengapa, tiba-tiba saja Dani dan Karina bisa menjadi seakrab itu dalam waktu sekejap. Mungkin itu karena pengaruh Dani yang mudah bergaul.

"Kami hanya bekerja di sebuah kafe saja, kok. Bisa dibilang, kami ini bekerja sebagai barista di tempat itu," jawabku singkat.

"Barista?" tanya Karina keheranan.

"Gampangnya, kita kerjanya menerima pesanan dari pelanggan, membuat pesanannya, lalu mengantarkannya ke pelanggan." Dani menjelaskan secara singkat pekerjaan kami kepada Karina. Karina pun mengerti dengan penjelasan dari Dani yang singkat.

"Jadi, dimana tempat kerjanya kalian berdua?" tanya Karina lagi.

"Kalau masalah jarak, jaraknya cukup dekat tapi berbahaya apabila berjalan kaki dari sekolah," jawabku sambil menunjukkan tempat kafe dimana kami berdua bekerja.

Yang kutunjuk adalah sebuah kafe kecil, tapi punya nama yang besar. Terletak di seberang jalan raya, di depan sekolah, kafe tersebut terletak di sebuah depan supermarket yang banyak orang datangi untuk berbelanja. Tidak hanya orang datang kesana setelah berbelanja, ada juga orang yang mampir ke kafe itu hanya untuk bersantai, melanjutkan pekerjaan mereka sambil menyeruput kopi hitam agar tetap terjaga, atau sekedar mengobrol dengan teman-teman mereka, berfoto dengan segelas frappe atau latte mereka, dan mengunggahnya ke sosmed mereka masing-masing.

"Pasti berat, ya pekerjaan sambilannya?" tanya Karina setelah mendengarkan penjelasan mengenai pekerjaan kami berdua.

"Yah, kalau baru mulai, pasti bakalan terasa berat, lah."

"Tapi kalau sudah terbiasa, pasti tidak terasa berat sama sekali, kok," sambungku.

Sekarang, kami hanya tinggal berjalan menyeberang jalan yang cukup ramai. Menyeberang jalan akan menjadi cukup berbahaya jika tidak berhati-hati.

"Jadi, bagaimana denganmu, Karina? Apa supirmu akan menjemputmu?" tanyaku kepada Karina sebelum mencoba untuk menyeberang jalan.

"Aku sudah mengabari supirku daritadi, tapi sampai sekarang masih belum ada kabar darinya," jawabnya sambil mengutak-atik Hp-nya.

Setelah mendengar penjelasan Karina, aku dan Dani saling menatap, mencoba memikirkan cara mengenai Karina.

"Jadi, bagaimana ini, Dit?" tanya Dani berbisik kepadaku.

"Bagaimana apanya? Aku juga tidak tahu bagaimana?"

"Apa suruh dia singgah di kafe dulu, menunggu kabar dari supirnya?"

"Ide yang bagus!"

Setelah menemukan ide yang bagus, kami pun berbalik untuk mengatakannya kepada Karina.

"Hei, bagaimana kalau kau ikut kami ke kafe, dan menunggu supirmu di sana saja? Bagaimana?"

"Ya! Daripada berdiri menunggu sendirian di depan gerbang sekolah? Lebih baik duduk di kafe saja! Bisa sekalian memesan kopi kami, ka—OUCH!!"

Aku memukul pinggangnya Dani setelah mengutarakan idenya yang semakin jauh arah tujuannya.

"SAKIT, TAHU!?"

"Maaf …." Tapi, aku tidak dengan sepenuh hati meminta maaf.

"Kak Daniel, apa kamu tidak apa-apa?" tanya Karina mencemaskan.

"Gak apa-apa, kok Dek. Cuma ini orang mukulnya kekeras–OUCH!!"

Aku memukul pinggangnya Dani sekali lagi, tapi dengan tenaga yang diperkuat.

"Intinya, kami ingin Karina singgah di kafe kami saja sembari menunggu supirmu datang. Bagaimana?" selaku.

Karina mengambil waktu untuk berpikir untuk waktu yang cukup lama. Sepertinya dia ingin memikirkan usul kami dengan hati-hati.

"Baiklah, saya ikuti saran kalian," jawabnya. Dani mengangkat tangannya kepadaku, mengisyaratkan meminta untuk melakukan tos. "Dan mungkin …, saya bisa memesan secangkir cappucino buatan kakak."

Karina menyambung sambil tertawa bercanda. Imutnya.

***

Malam hari. Jam kerja kami berdua sebentar lagi akan berakhir. Tapi masih banyak pelanggan yang mengunjungi kafe ini. Kebanyakan pelanggannya adalah seorang siswa/siswi, pengunjung supermarket, atau seorang pegawai kantoran yang ingin bersantai.

Bicara soal pengunjung, Karina masih belum meninggalkan kafe ini. Kami sudah menanyakannya beberapa kali, tapi jawabannya Karina selalu sama; tidak ada kabar dari supirnya. Karina bilang mungkin mobilnya masih belum diperbaiki sampai sekarang. Kami juga sudah menyarankan Karina untuk naik ojek online saja, tapi jawabannya Karina tidak bisa melakukannya karena tidak tahu caranya.

Sebagai gantinya, lagi-lagi Dani menyarankan kalau Karina ikut Dani untuk pulang dengannya dengan membonceng sepeda motornya. Awalnya Karina sempat ragu-ragu untuk menerima sarannya, tapi, setelah senior kami yang perempuan menyarankan kalau dia saja yang mengantarkan Karina pulang, Karina pun menyetujui usul tersebut.

Aku juga lebih setuju kalau orang lain selain Dani yang mengantar Karina, bukan karena alasan perbedaan gender. Aku hanya takut kalau Karina bakalan kewalahan mengatasi ke-random-an Dani saja. Mengenal cara Dani mengemudikan motornya, aku takut Karina bakalan trauma untuk naik sepeda motor seumur hidupnya. Bukan takut yang aneh-aneh, kok. Mengenal Dani, dia mana mungkin berani melakukan itu.

Jika dia benar-benar melakukannya, dia pasti akan mati dibunuh orang tuanya.

Sekarang kami berdua sudah menyudahi jam kerja sambilan kami. Karina sudah kembali pulang bersama dengan senior kerja kami yang perempuan. Kami juga sudah mengucapkan salam sampai jumpa kepada Karina.

Saat ini, aku dan Dani sedang berjalan ke rumahku untuk mengambil sepeda motornya Dani yang dia titipkan ke rumahku.

"Menurutmu, apakah dia sudah pulang dengan selamat?" Dani bertanya kepadaku tiba-tiba.

"Kenapa kau tiba-tiba bertanya hal seperti itu?" tanyaku keheranan.

"Yah, apa salahnya gue nanya seperti itu, sih Dit?"

"Kalau kau yang mengantarnya pulang, pasti aku yang bakalan bertanya pertanyaan yang sama kepadamu. Tapi, karena yang mengantarnya bukan kau, makanya aku tidak bertanya."

"Sebegitu gak sukanya lu kalau gue yang ngantar, gitu?" ucap Dani sedikit merengek.

"Bercanda, kok."

Tapi, aku berbohong.

Saat asik bercanda dengan Dani sepanjang jalan, HP-ku tiba-tiba bergetar dari dalam saku celanaku. Aku mengeluarkan HP-ku, dan dari layar HP-ku tertera sebuah pesan dari Whatsapp yang masuk.

"Siapa? Karina?" tanya Dani penasaran.

"Tidak. Adikku," jawabku singkat.

"Adik lu? Adik angkat lu? Adik lu yang nempel terus sama lu?" tanya Dani berulang kali.

"Iya, dia. Adik angkatku yang selalu menempel denganku."

[Kak, sudah mau pulang, kan? Bisa sekalian belanja kecap manis sama garam, gak? Minta tolong, ya!]

Aku dan Dani membaca pesan yang adikku kirimkan ke HP-ku.

"Adik lu lagi ada di rumah lu, ya?" tanya Dani setelah membaca pesan Whatsapp-ku.

"Iya. Memangnya kenapa?" tanyaku balik keheranan.

"Ti-Tidak apa-apa, kok ...."

Dia mengalihkan pandangannya dari mataku, bersiul tanpa alasan yang jelas. Belum lagi, tingkahnya terlihat sedikit gugup saat ini. Aku merasa curiga dengan tingkahnya Dani saat menyangkut mengenai adik angkatku. Jangan jangan ...,

"Ada Mamaku juga bersamanya, kok. Kemarin mereka bilang mau memasakkan makan malam di rumahku."

"Itu alasannya dia menyuruhmu berbelanja sekarang?" tanyanya lagi.

"Mungkin," jawabku singkat.

Karena harus berbelanja di saat-saat terakhir, kami tidak langsung berjalan pulang ke rumah, tapi singgah ke kedai terdekat dari tempat kami berada, dan membeli benda yang dimintanya.

Untungnya aku memiliki cukup uang untuk saat ini. Palingan, kalau uangku kurang, pun, aku bisa meminjam uang dari Dani, dan meminta orang tua angkatku yang mengembalikannya ke Dani lagi. Dia tidak keberatan sama sekali, kok.

Barang belanjaannya sudah berhasil dibeli. Dalam perjalanan pulang kami, kami terus mengobrol mengenai pekerjaan tadi. Sampai, HP-ku lagi-lagi bergetar untuk kedua kalinya.

Tapi, saat aku cek HP-ku, yang masuk bukanlah sebuah pesan baru dari adikku, tapi yang masuk adalah sebuah panggilan masuk dari nomor yang tidak kukenal. Seketika, aku melayangkan pandanganku ke Dani, berharap dia tahu sesuatu. Tapi, dia pun sama sekali tidak mengetahui apa-apa.

Apa aku harus mengangkat teleponnya? Aku pikir kalau ini adalah sebuah modus penipuan berkedok pinjaman online yang marak dibicarakan itu, ya? Padahal, aku tidak pernah mengajukan pinjaman online sama sekali. Jadi, siapa ini?

Aku memutuskan untuk menolak panggilan yang masuk untuk sekarang. Takut untuk menanggung resiko yang akan terjadi jika aku mengangkat teleponnya.

"Siapa itu tadi, Dit?" tanya Dani.

"Aku tidak tahu siapa. Nomornya belum terdaftar."

Sekali lagi, HP-ku bergetar kembali. Lagi-lagi, nomornya sama dengan sebelumnya. Aku dan Dani saling memandang satu sama lain, sampai Dani pun menyuruhku untuk mengangkatnya saja.

"Halo?"

"Halo, selamat malam, Kak Radit! Ini saya, Karina."

Ternyata, yang berbicara denganku lewat telepon saat ini adalah Karina. Untuk sesaat, aku menarik nafasku lega, untung bukan seorang penipu.

Tapi, sekarang aku punya satu pertanyaan, darimana Karina dapat nomorku? Siapa yang memberikan nomor teleponku ke Karina tanpa seijinku? Aku melirik kesal ke arah Dani, karena kupikir dia lah pelakunya. Tapi, ketika kulirik Dani, dia memberikan gestur tanda tidak tahu apa-apa.

"Siapa itu tadi, Dit?" tanya Dani lagi.

"Rupanya yang menelepon itu Karina," jawabku. "Tapi ...."

"Tunggu, kenapa lu melihatku seperti itu? Gue gak tahu apa-apa, loh?!" jawabnya sebelum aku melontarkan pertanyaanku.

"Kalau bukan kau yang memberitahunya, jadi siapa lagi?"

"Mana gue tahu!" jawabnya dengan mengangkat bahunya.

Aku kembali ke teleponku yang sudah kugantung untuk beberapa menit. Tidak lupa, aku menyalakan loudspeaker agar Dani juga bisa mendengarkan percakapan kami, dengan izin dari Karina juga tentunya.

"Oh ya, Karina? Ada apa meneleponku?" tanyaku.

"Maaf telah menelepon sekarang, tapi saya punya satu permintaan. Boleh tidak minta tolong, Kak Radit?"

Aku bingung dengan permintaan mendadaknya Karina. Apa yang sebenarnya terjadi, ya?

"Ngomong-ngomong, kamu dapat nomorku dari siapa, ya?" tanyaku mengalihkan pertanyaannya.

"Untuk itu, saya meminta nomor teleponnya Kak Radit dari Kak Sarah," jawabnya.

Sarah?! Oh! Sarah yang dibicarakan itu pasti adalah salah satu dari seniorku di tempat kerja sambilanku, dan juga, Sarah lah yang mengantarkan Karina pulang tadi malam.

"Kalau begitu, ada apa, Karina? Bisa ceritakan apa yang sebenarnya terjadi, Karina?"

"Begini, saat saya mengirim pesan ke supir saya, supir saya mengatakan kalau mobilnya masih dalam perbaikkan di bengkel, dan baru bisa kembali besok siang."

"Jadi, itu alasannya supirnya tidak datang menjemputmu tadi sore, ya?" potongku.

"Benar sekali, Kak! Dan sepertinya, tidak ada juga jemputanku untuk berangkat sekolah besok pagi nanti," sambungnya memberitahu kondisinya saat ini.

"Jadi, apa yang ingin kau minta dariku?" tanyaku blak-blakan.

Karina tidak langsung menjawab. Aku sedikit mendengar sebuah gumaman dari Karina.

"I-Itu ..., anu ...."

Mungkin, dia malu untuk mengungkapkannya sekarang.

"Jika kau tidak bisa mengatakannya sekarang, kau bisa mengirimkan pesan Whatsapp ke nomorku, ya?" saranku.

"I-Itu ..., saya mau mi-minta tolong Kak Radit ...."

Karina kembali berhenti berbicara. Entah kenapa, kok jantungku tiba-tiba berdebar cukup kencang, ya? Kami tidak dalam situasi di film-film romantis, tahu?

Jadi, Karina, berhentilah menjadi gadis pemalu, dan katakan saja permintaanmu itu segera! Aku jadi ikutan gugup, tahu!

"Minta tolong apa, Karina? Kami berdua disini kedinginan, tahu?" ucapku sedikit berbohong kepada Karina.

"Kedinginan? Gue tidak merasa kedingi—AWW!!!"

Aku mencubit lengan Dani sangat keras karena hampir membuat kebohonganku terasa sia-sia.

"Benarkah? Sa-saya minta maaf kalau saya menahan perjalanan pulangnya kakak-kakak sekalian. Saya tutup saja tele—"

"Aku cuma bercanda saja, kok. Aku hanya berkata begitu supaya kamu bisa mengatakan apa yang ingin kamu katakan dengan segera. Itu saja." Terpaksa aku mengatakan maksudku berbohong tadi kepada Karina.

"Saya minta maaf sekali, Kak Radit ...." Sekali lagi, Karina berhenti berbicara lagi setelah meminta maaf.

"Sudahlah. Jika tidak ada yang ingin dikatakan lagi, kirim saja pesan ke nomorku saj—"

"Tapi, saya ingin minta tolong ke Kak Radit sekarang!"

Seperti sudah tidak tahan dengan situasi canggung di dalam telepon ini, Karina meyakinkan dirinya untuk meminta tolong kepadaku sembari menaikkan nada bicaranya. Jika Karina sampai melakukan hal seperti itu, apa yang ingin Karina utarakan pasti sangat memalukan baginya, dan mungkin bagi aku dan Dani juga.

"Terus, apa yang bisa aku bantu sekarang?"

"..."

Keheningan di balik telepon terulang kembali. Situasi ini sedikit membuatku kesal. Tepat sebelum aku ingin mengucapkan kalimatku yang sebelumnya, Karina berbicara kembali.

"I-Itu ..., ka-karena mobilnya masih belum diperbaiki sampai siang ..., sa-saya ingin min-minta tolong Kak Radit u-u-u ...."

Sekarang setelah dia mengatakan itu, aku baru sadar kalau Karina tidak akan bisa berangkat sekolah besok dengan mobilnya. Dan aku yakin, dia tidak bisa berangkat ke sekolah selain menaiki mobil pribadinya sendiri. Dia bahkan tidak tahu cara memesan ojek online untuk mengantarnya pulang tadi. Kenapa aku tidak menyadarinya dari tadi, ya?

Aku dan Dani saling bertukar pandangan satu sama lain. Seperti sambil berkomunikasi dengan telepati, Dani menganggukkan kepalanya tanda setuju. Tapi, setuju untuk apa?

"Baiklah, aku akan mampir untuk menjemputmu jam setengah tujuh, ya. Bagaimana?" jawabku.

"O-Oke, Kak Radit. Saya minta maaf sekali lagi, ya karena sampai merepotkan Kak Radit sampai seperti ini."

"Santai saja, Karina. Baiklah, sampai jumpa besok, ya."

Setelah mengungkapkan ucapan terima kasih, aku memutuskan teleponnya.

"Jadi, bagaimana caranya lu mengantar dia ke sekolah? Naik angkot?"

"Kurasa begitu. Hanya itu satu-satunya cara bagiku."

Aku sebenarnya bisa mengendarai sepeda motor, terima kasih berkat motornya Bapak yang sering kupinjam di hari Minggu. Aku juga sudah mempunyai SIM. Tapi kendalanya, satu-satunya motor yang kupunya hanyalah motor milik Bapak. Dan Bapak juga menggunakan motor itu untuk berangkat kerja, yang kebanyakan pergi pagi pulang pagi.

Oleh karena itu, aku selalu berjalan kaki saat berangkat sekolah.

"Oke, oke. Lu pakai saja motor gue buat hari ini saja. Nanti di kelas, baru lu balikin kunci motor gue, ya?"

Tiba-tiba saja, Dani mengatakan kalau aku bisa meminjamkan motornya kepadaku. Maksudku, dia begitu sayang dengan motornya, yang merupakan hasil dari kerja sambilannya, yang masih menunggak cicilan 26 bulan. Jika terjadi sesuatu pada motor kesayangannya, Dani pasti akan memusuhiku selamanya.

Dani menyerahkan kepadaku kunci motornya langsung di tempat kami berdiri sekarang. Aku yang melihatnya memberikan kuncinya kepadaku merasa ragu untuk menerimanya atau menolak niat baiknya Dani.

"Apa kau yakin, Dani? Itu kan motor kesayanganmu. Apa kau yakin akan meminjamkannya kepadaku begitu saja?"

"Tenang saja. Kalau sama lu, Adit, gue percaya kok motor gue gak akan kenapa-napa, kok. Kan, lu sahabat baik gue."

Dani mengucapkan itu dengan senyuman lebar tergaris di wajahnya. Ketika melihat senyuman lebar dari Dani itu, aku jadi merasa lega, dan bersyukur.

"Baiklah, Dani. Aku terima niat baikmu." Aku pun menerima kunci motornya Dani dengan senang hati.

Kami melanjutkan perjalanan pulang kami sampai berakhir di rumahku yang kecil. Ketika sampai Ibu dan Adikku sudah ada di dalam menyambutku dengan hangat. Tidak lupa juga, Ibuku mengundang Dani untuk makan bersama. Canda tawa pun seketika pecah di atas meja makan yang kecil ini. Seketika, malam yang dingin berubah menjadi malam yang hangat dan menyenangkan berkat keberadaan mereka bertiga.

Pada saat itulah aku berkata dalam hatiku, mungkin, melanjutkan hidupku dengan mereka berada di sisiku bukanlah hal yang buruk. Aku bersyukur dengan keberadaan keluarga angkatku, sahabat baikku Dani, dan juga Karina.

Aku berjanji akan selalu menyimpan kenangan indah ini sampai akhir hayatku.