webnovel

Wanita Terbaik

Adamantine 17

Hidup itu seperti menyeberangi sungai. Jika kamu tergelincir, kemungkinan besar akan jatuh lalu terseret arus. Jika kamu berhasil melewati batu-batu yang licin, niscaya akan tiba dengan selamat di seberang sana. Hati-hatilah dalam memilih batu yang menjadi tumpuan. Karena tidak semua batu bisa membantumu.

--------------------------‐-----------------------------

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam. Mas Arga? Silahkan masuk, Mas." Marisa mempersilahkan Arga yang sedang memberi salam dari teras rumahnya. Pintu rumahnya sedang terbuka.

"Afwan, Abah sama Umi ada?" tanya Arga sopan masih dari depan teras.

"Umi ada di dapur, sedang beres-beres. Abah masih di Masjid. Sedang ada persiapan untuk taklim nanti ba'da Ashar. Ayo masuk, Mas." Marisa mempersilahkan sekali lagi.

Dengan sedikit segan, Arga memasuki rumah itu. Perasaannya sedikit lega mengetahui ada ibunda Marisa di dalam rumah. Sehingga nantinya tidak akan jadi fitnah jika ia bertandang ke dalam rumah.

"Silahkan, Mas." Marisa menunjuk pada sofa yang terbungkus bahan kulit berwarna coklat. Mempersilahkannya untuk duduk. Sementara Marisa tetap berdiri di tempatnya dengan wajah tertunduk.

"Ada apa, Mas? Ada perlu dengan Abah?"

Arga diam sejenak. Sedang berpikir bagaimana menjawab pertanyaan itu. Karena maksud dan tujuannya datang ke rumah itu memang untuk berbicara dengan Marisa dan kedua orangtuanya.

"Emm, iya. Saya tunggu Ustadz Harun saja."

"Kalau begitu, Risa bikinkan minum dulu, Mas. Mas Arga mau minum apa?"

"Apa saja boleh," jawabnya ramah.

"Yang dingin atau hangat?"

"Cuaca di luar sepertinya panas. Yang dingin juga boleh."

Marisa tertawa kecil. "Sebentar ya. Risa buatkan dulu. Palingan sebentar lagi Abah pulang." Marisa segera berlalu ke arah dapur.

Melihat kepergian Marisa, Arga menghela napas lega. Beberapa kali ia menarik napas dalam, lalu menghempas perlahan. Jantungnya perlu ditenangkan. Belum pernah ia merasa segugup ini. Bisa saja sekarang ia kabur dan membatalkan tujuannya datang ke rumah itu. Tapi kalau tidak sekarang, kapan lagi? Lebih cepat lebih baik. Segala sesuatu yang baik perlu dipercepat. Apalagi menyangkut masa depannya.

"Assalamu'alaikum." Suara bass seorang pria terdengar dari depan pintu. "Lho? Ada Arga."

"Wa'alaikumussalam, Ustadz." Arga segera berdiri lalu menyalami punggung tangan pria paruh baya itu. Kepalanya menunduk hormat.

"Tumben pagi-pagi datang kemari." Ustadz Harun menduduki sofa single. Tubuhnya berhadapan dengan Arga.

"Iya, Ustadz. Afwan mengganggu waktunya."

"Nggak apa-apa. Saya juga nggak terlalu sibuk. Cuma memonitor persiapan taklim saja. Jadi, ada yang bisa dibantu?" Ustadz Harun tersenyum lebar. Sepertinya menebar senyum memang jadi hobinya.

"Emm, begini Ustadz ..." Kalimatnya terhenti saat melihat Marisa yang berjalan menuju ruang tamu dengan membawa sebuah nampan berisi dua gelas es sirup dan sepiring singkong goreng.

"Wah, kamu tahu aja Abah lagi butuh yang seger-seger." Ustadz Harun kembali tersenyum puas saat Marisa meletakkan segelas es sirup di hadapannya.

"Sirup untuk Abah nggak terlalu dingin, lho. Nanti radang tenggorokan lagi," ingat Marisa pada orangtuanya itu.

"Iya, Sayang. Yang penting ada dinginnya. Terima kasih, ya."

Kedua anak bapak itu saling berbalas senyum yang meneduhkan. Alangkah harmonisnya keluarga ini di mata Arga. Apa yang bisa Arga keluhkan dari wanita yang hampir sempurna seperti Marisa dan keluarganya yang soleh dan solehah? Membuat Arga kembali bertanya pada dirinya sendiri. Sudahkah ia mantap dengan keputusannya?

"Oh ya, apa Risa juga diperlukan kehadirannya di sini?" tanya sang Ustadz yang sedang menggamit lengan sang putri.

"Bo—boleh, Ustadz. Kebetulan yang mau saya bicarakan ini, ada kaitannya dengan perkataan saya tiga hari yang lalu. Saat saya menyampaikan tentang kesiapan diri saya dalam membina rumah tangga."

"Hmmm." Ustadz Harun mengangguk-anggukkan kepalanya. Sementara Marisa duduk dengan wajah menunduk malu.

Ustadz Harun menepuk pelan pundak sang anak. "Kalau begitu sebentar. Sayang, tolong panggilkan Umi kemari."

Marisa mengangguk sekali lalu bangkit untuk menghampiri ibundanya yang masih sibuk di dapur.

Arga semakin tegang. Selama kepergian Marisa ke dapur, suasana menjadi hening. Waktu singkat itu terasa lama baginya. Gugupnya bertambah. Tidak mudah menyampaikan kata-kata yang sudah ia rangkai sedemikian rupa di kepala.

Ustadz Harun yang menyadari perubahan warna wajahnya yang memucat, malah tertawa keras. Membuat Arga kaget dan jantungan. "Santai saja, Arga. Kamu tegang sekali. Seperti sedang menghadapi sidang tesis."

Arga tersenyum kecut. Dalam hati ia membenarkan ucapan Ustadz Harun. Memang ia merasa seperti akan menghadapi sidang. Sidang kehidupan lebih tepatnya. Ia sudah memikirkan semua kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi pasca ia menyampaikan pidato maksud dan tujuannya.

"Ada apa ini, Bah?" Umi Nida, sang istri, yang berjalan tergopoh-gopoh dari arah dapur bertanya pada Ustadz Harun. Marisa mengikuti langkahnya dari belakang.

"Sini, Umi. Duduk dulu." Ustadz Harun menepuk-nepuk sofa panjang di sisi kirinya.

Umi Nida menangkupkan kedua tangannya di depan wajah, lalu duduk. Arga balas melakukan hal yang sama. Marisa mengambil duduk di sebelah uminya.

"Jadi, ada apa ya, nak Arga?" tanya Umi Nida bingung. Sementara Ustadz Harun juga melayangkan tatapan penasaran.

"Sebelumnya, afwan jiddan kalau kedatangan saya kemari terkesan mendadak dan tanpa mengabari terlebih dahulu. Karena memang keputusan ini baru saya ambil selepas sholat Subuh tadi."

Ustadz Harun kembali mengangguk-anggukkan kepalanya. Setuju dengan aksi Arga yang meminta petunjuk dari Allah selepas sholat.

"Kedatangan saya ini ada kaitannya dengan apa yang sudah saya sampaikan tiga hari yang lalu di rumah Mama Jihan. Kalau saya ... insyaa Allah sudah siap untuk membina rumah tangga."

"Berarti kamu sudah mantap?"

"Insyaa Allah, Ustadz. Dan saya sudah mengambil keputusan siapa wanita yang akan menjadi calon pendamping hidup saya nantinya."

============================

"How's the progress, Clint?" tanya Amara yang sedang sibuk memandangi pondasi bangunan di hadapannya.

"Look at this! Like a mad woman's breakfast. And you want it to be done in two weeks?! Come on!" protes Clint. Yang benar saja. Amara hanya memberinya waktu dua minggu untuk menyelesaikan bangunan itu beserta interior di dalamnya. Ia kerja dari matahari terbit hingga matahari terbit esoknya setiap hari pun, tidak akan mungkin tercapai target itu. Apalagi bangunan ini luasnya 1.000 m².

"Yeah, you right! Two weeks won't make it." Amara menghembus napas lelah. Semangatnya yang menggebu-gebu mulai retak.

Jadi apa yang harus ia lakukan sekarang? Relokasi itu harus dilaksanakan secepat mungkin mungkin. Banyak kepala yang menumpukan harapan padanya. Mereka tidak punya banyak waktu.

Seolah dapat membaca kekhawatirannya, Clint menepuk sebelah pundaknya. "You need plan B."

"Help me, please!" pinta Amara menampakkan wajah memelasnya. Tentu saja Clint tidak tega melihatnya.

"Okay, let's see what i can do." Jawab Clint pada akhirnya sembari memutar bola mata. Yang disambut dengan kepalan tangan di udara oleh Amara.

"Yesss! Thanks a bunch, Clint! So, let's call it a day. Dinnah on me! Ikan bakar?"

"No! No more 'ikan bakar'. I want Lawar."

Senyum Amara hilang berganti dengan wajah sebal. Kedua tangannya terlipat di depan dada. "Clint, you know i can't eat that."

Clint tertawa keras. Tentu saja ia tahu Amara tidak boleh memakan masakan dengan daging haram itu. "Gotcha! I'm just messing up with you."

"Not funny, Clint! So not funny!"

"Ok! Sorry, you need to chill. What about ... bebek goreng?"

Amara kembali tersenyum. Perlahan ia berjalan menuju mobilnya yang terparkir di pinggir jalan. "I' d like that! But first, we'll stop at a mosque."

"Masjid?" tanya Clint dengan bola mata melebar. Langkah kakinya terhenti.

"Yup!"

"What for?"

"Sholat."

Sontak Clint mengayunkan tangannya untuk menyentuh dahi Amara. Dirasanya suhu tubuh wanita itu normal. Ia baik-baik saja.

Sholat? Clint masih tidak percaya Amara berniat untuk sholat. Pasalnya, sudah lama sekali ia tidak melihat Amara menunaikan kewajiban lima-waktunya sebagai seorang muslimah.

"Apa sih, Clint?"

"You okay?" tatap Clint padanya dengan dahi berkerut.

"Ya. Why?" Amara ikut menghentikan langkahnya lalu berbalik.

"Kamu ... mau ... sholat?" tanya Clint lagi.

Amara mengangguk sekali.

"What happen to you?"

"What do you mean, Clint? I'm perfectly fine."

Clint kembali menatap curiga. "Crikey! You're not ... dying aren't you?"

"Hey! Do i look sick?"

"No ... yes ... i don't know."

Amara memutar bola mata malas.

Lalu tersenyum sendiri. Mengingat deretan daftar resolusi yang ia buat tadi malam. Memperbaiki hubungannya dengan Tuhan, adalah salah satunya. Have a -not a little but big- faith in God. Ia percaya dengan kata-kata yang tertuang dalam surat An-Nur ayat 26. Perempuan yang baik untuk laki-laki yang baik. Dan Amara ingin menjadi wanita yang baik, untuk siapapun lelaki baik yang menjadi suaminya nanti. Amara menggaris-bawahi kata 'siapapun'. Ia siap membuka hati. Menghapus nama Arga dari sang hati menjadi urutan pertama di daftar resolusinya.

Setelah menaiki mobil, keduanya berhenti sebentar di sebuah masjid di pinggir jalan yang mereka lewati. Clint menunggu di dalam mobil dengan setia, sementara Amara menunaikan ibadah wajibnya. Sepuluh menit kemudian mereka melanjutkan perjalanan menuju restoran favorit Clint di kota ini. Lokasinya tidak begitu jauh dari area proyek yang sekarang sedang mereka bangun. Kebetulan Clint lumayan akrab dengan pemiliknya yang juga seorang koki. Seringkali sang pemilik menghidangkan masakan hasil eksperimennya untuk Clint. Dan Clint yang memang penyuka segala jenis hidangan itu, tentu saja melahap semuanya dengan senang hati. Apalagi gratisan. Meskipun gajinya lumayan tinggi, Clint tetaplah salah seorang anggota komunitas jiwa gratisan. Mungkin terbawa kebiasaannya dulu untuk bertahan hidup pasca kepindahannya ke Indonesia.

Sesampainya di sana, Clint langsung mengajaknya berjalan memutar. Mereka masuk lewat pintu belakang yang langsung mengakses pantry dan dapur. Clint melihat sosok yang dicarinya baru saja selesai berbicara dengan salah seorang koki.

"Reno! Mate!" Clint sontak memeluk pria gagah dengan brewok halus di dagu, sang pemilik restoran.

"Clint! Apa kabar?"

"Amazing!" Ia melepas peluknya. "By the way, i'm not alone. This is Amara." Clint memperkenalkan keduanya. Namun saat Amara mengulurkan tangan, Reno menolak dengan tangkupan tangan di depan dada.

"Reno."

Arga kedua! Batinnya lalu segera menyesali. Teringat kembali akan daftar pertama resolusinya. Kenapa juga harus bawa-bawa Arga. Pria di hadapannya itu memiliki postur tubuh pria idaman. Apalagi wajahnya. Yang terpenting, pria soleh juga.

Bye bye Arga!

"Amara. Jadi ... kamu chef di sini?" tanya Amara percaya diri sambil kembali menarik tangan.

"Chef, and also the owner, Amara." Clint lekas mengoreksi.

Reno hanya tertawa kecil dengan mulut tertutup.

"So, bebek goreng?" tanya Clint pada Amara. Berusaha mencari tahu apakah ia masih berminat pada bebek goreng atau sudah beralih pada menu lainnya yang sedang dipersiapkan oleh para koki di dapur itu.

"Emmm ..." Kedua mata Amara memperhatikan sebuah piring oval putih berisi sebuah masakan daging dengan garnish indah yang siap untuk disajikan. "... itu apa?" tunjuknya pada hidangan itu.

"Grilled lamb steak with buttered sauce," jawab Reno mantap.

"Yummm." Clint mulai terpikir untuk memesan menu itu.

"Saya pesan yang itu."

"Me too. Bebek goreng, other time." Clint menyahut dengan air liur tergugah.

"Okay! Bruno, find seats for them!" Reno setengah berteriak memanggil salah seorang pelayannya dengan rambut kribo. Sepertinya warga keturunan negara Amerika Latin.

Bruno segera menghampiri ketiganya dan mengajak kedua pengunjung itu keluar dari dapur untuk menempati meja dengan pemandangan kolam kecil dengan air terjun buatan. Di pinggir-pinggirnya, berbagai jenis bunga anggrek tumbuh menghiasi.

Setelah keduanya menempati kursi, Bruno kembali menawarkan menu untuk dilihat-lihat. Keduanya memesan beberapa menu tambahan dan minuman.

"What do you think?" tanya Clint pada Amara sepeninggal Bruno.

"Great place! Are you a regular here? Why do you never take me here?" protes Amara sembari mencondongkan tubuhnya.

"Yes, i'm a regular. And ... i never take you here because never had the chance to."

"Maksudnya?" Amara mengernyit dahi.

"Amara, kamu selalu tertutup. Menarik diri. Being arrogant. So, how could i?"

"And now?"

"Now, you're different. More open. More friendly. Better person."

Amara tersenyum. Sedikit lega mendengar pernyataan Clint tentang perubahan dirinya. Ya, Amara mulai lelah bersikap angkuh. Menutup diri. Introvert. Perlahan, ia membobol benteng pertahanannya. Semakin tebal benteng itu, semakin banyak sakit yang dirasanya. Benteng itu sama sekali tidak melindunginya, justru menyakitinya.

"Thanks, Clint."

"Sepertinya aku harus berterima kasih pada Arga," imbuh Clint seraya mengumbar senyum.

"Oh, please. Not him again." Amara melengoskan pandangan.

"Amara ..." Clint mencondongkan tubuhnya dengan kedua tangan bertaut di atas meja. "You're so in love with him. I've never seen you like this before."

"Clint, please! Do me a favor. Let's not speak his name." Amara memohon dengan wajah sayu. Ia harus menghentikan pria yang sudah ia anggap sebagai seorang kakak itu, sebelum air matanya kembali menetes.

"Okay." Clint mengangkatbkedua tangannya tanda menyerah.

"So, what's your next plan in life?" tanya Clint mengalihkan topik.

Amara terdiam sejenak. Memandangi ikan-ikan koi yang asyik berenang di kolam selebar dua meter itu.

"Enjoying life, being happy ... i guess. But most of all, being a good human." Amara tersenyum manis.

"Good answer!" Clint mengangkat segelas fruit-punch yang baru saja diantar seorang pelayan ke meja mereka, lalu menyesapnya seteguk.

Amara pun menyeruput jus buah miliknya. Merasa lega karena restoran ini sudah memiliki label halal. Sehingga pria di hadapannya ini tidak akan mungkin menenggak alkohol. Clint ditambah minuman alkohol, sama dengan bencana.

Tak lama kemudian, menu yang mereka pesan satu-persatu berdatangan. Perut dan lidah Amara berlonjak senang karena hari ini seleranya benar-benar dimanjakan dengan ledakan rasa dari menu-menu yang dihidangkan.

Saat keduanya sudah mencapai titik kenyang, Reno menghampiri dan ikut gabung bersama mereka.

"How's the food?" tanya Reno setelah duduk di sebelah kanan Clint.

"The real satisfaction! As always." Clint memuji dengan kedua jempolnya.

Amara tertawa geli melihat tingkah Clint. Kalau sudah berurusan dengan makanan, pria gempal itu selalu nomor satu.

"Ehm, Mas Reno belajar culinary di mana?" tanya Amara sedikit malu-malu. Clint gantian melongo melihatnya. Tidak biasanya Amara bertingkah genit begitu.

"Di Oz. Kebetulan saya kenalan dengan Clint sejak masih sekolah di sana."

"My father was his tutor," sahut Clint.

Amara mengangguk kepala tanda mengerti.

"Jadi, Reno ... sudah berapa lama mendirikan resto ini?"

"Tempat ini cabang ke sepuluh. Baru tiga tahun."

Informasi yang mencengangkan untuk Amara. Pria tampan, mapan, sukses, soleh pula. Bye bye lagi, Arga! Sekarang yang harus Amara lakukan hanya satu. Memastikan status lajangnya. Is he available?

"Actually, he has five in Jakarta," tambah Clint.

Wow! Fixed! Batin Amara memuja-muji pria tampan sengan maskulinitas tinggi itu.

"Papaaaa!" Seorang gadis kecil berusia sekitar tiga tahun berlari menghampiri Reno dari arah pintu masuk. Seorang wanita manis berhijab dengan perut membuncit berjalan di belakangnya dengan santai.

"Hey, Masha!" Clint berteriak girang menyambut kedatangannya.

"Uncle Clint." Tangan kanan bocah itu menyalami Clint. Clint membalas dengan mengecup pipi kirinya gemas.

Reno segera menarik balita itu untuk duduk di atas pangkuannya.

"Gimana tadi sama Tante Sherin? Did you have fun?" tanya Reno lembut padanya.

"Senaaaang!" jawab Masha riang.

"Masha tidak nakal, kan?"

"Masha anak baik, Papa." Masha kembali menjawab dengan senyum manis.

Siapapun yang melihat senyum itu pasti terenyuh. Kecuali ... Amara. Wajahnya syoknya terpampang dengan jelas setelah Masha hadir di antara mereka. Apalagi setelah Reno menarik kursi di sebelahnya untuk diduduki oleh wanita dengan perut buncit tadi.

"Hi, Ara!" sapa Clint padanya.

"Hi, Clint! Baru selesai makan?" balas wanita bernama Ara itu.

"Yup, all great!" Clint mengatup jempol dan telunjuk melintasi mulutnya. Menunjukkan bahwa semua makanan yang telah masuk ke perutnya luar biasa enaknya.

"Oh ya, Amara ... ini istri saya, Ara." Reno memperkenalkan keduanya.

Ara mengulurkan tangan disertai senyum manis, sedangkan Amara ... menyambutnya dengan wajah malas. Sedikit rasa angkuhnya kembali muncul. Clint menggeleng kepala melihat perubahan wajahnya.

"Saya Ara."

"Amara." Ia menjawab tegas.

Selesai bersalaman, Ara mengajukan pertanyaan. "So, Clint ... she's your ...?"

"Oh, no no no no!" Clint dengan segera membantah maksud pertanyaan Ara. "She's just a bestfriend, more like a sister to me."

Ara dan Reno kompak menganggukkan kepala. Karena sedari tadi Reno sendiri bertanya-tanya siapa Amara sebenarnya. Karena ini kali pertamanya Clint membawa seorang wanita untuk mengunjungi restorannya. Apalagi mengenalkan wanita itu terlebih dahulu pada Reno. Membuat Reno bertanya-tanya hubungan spesial apa yang mereka miliki.

"Jadi, kapan adiknya Masha ... akan lahir?" tanya Clint dengan bahasa sedikit terbata-bata. Meskipun sudah bertahun-tahun tinggal di Bali, kosa kata bahasa yang diketahui Clint masih sedikit. Karena ia terbiasa dengan orang-orang yang selalu mengajaknya berbincang dengan bahasa asal negaranya, seperti Amara contohnya.

"Masih sekitar dua bulan lagi." Ara yang menjawab sembari mengusap lembut perutnya yang sangat besar.

"Wow, sudah dekat ya."

"I'll let you know when they're already born." Reno menjawab sembari membetulkan kunciran Masha yang mulai terlepas.

"They?" tanya Clint bingung.

Ara dan Reno saling berpandangan beberapa saat dengan senyum penuh makna. "We're having a twins, Clint."

"Crikey! A jackpot!"

Dan ketiganya terus melanjutkan perbincangan tanpa melibatkan Amara yang sama sekali tidak tertarik untuk ikut nimbrung. Ia lebih sibuk dengan pikirannya. Lagi-lagi, seorang pria dengan kriteria idaman, sudah menjadi rejeki wanita lain. Tentu saja. Pria-pria dengan kriteria idaman seperti ini, pastinya sudah banyak yang mengincar. Dan lagi-lagi, Amara seperti diingatkan oleh Tuhan. Jika wanita-wanita berpenampilan solehahlah yang menjadi pemenangnya. Wanita baik-baik untuk pria baik-baik. Itulah jawaban Tuhan untuknya.

Allah ... mampukah aku menjadi wanita yang baik?

============================

Arga menatap pintu dari kayu jati itu dengan penuh keringat dingin. Berharap jika bukan sang Medusa yang membukakan pintu itu untuknya. Niat dan tujuannya datang ke rumah itu hanyalah untuk bertemu dengan Ayah Hardi. Meskipun sudah berulang kali maju-mundur, dengan mengucap bismillah ia mulai mantap.

Tombol bel di sebelah kiri atas pintu ditekannya. Dalam hati ia memohon sungguh-sungguh pada Allah untuk memudahkan langkahnya. Keputusan ini tidak main-main ia buat. Sudah lama ia melalui proses pemikiran yang amat pelik dan panjang. Ditambah lagi lewat konsultasi dengan murobbinya dan beberapa ustad lain. Tidak lupa lewat sholat istikhoroh dan tahajud yang ia panjatkan tiap malam. Arga sudah mantap.

Daun pintu itu perlahan terbuka. Arga mulai was-was. Matanya sedikit terpejam karena kengerian melihat sosok yang membuka pintu itu.

"Arga?"

Matanya mulai membuka saat mendengar suara itu. Napasnya yang tadi tertahan, kini terhembus lega.

"Assalamu'alaikum, Ayah."

"Wa'alaikumussalam. Ayo masuk, Nak." Hardi memberikannya jalan masuk.

"Tumben kamu datangnya malam-malam." Hardi tidak mengikuti langkah sang putra. Matanya celingak-celinguk mencari suatu benda yang ia pikir ada di luar.

"Kenapa, Yah?" tanya Arga curiga setelah melihat tingkah aneh sang Ayah.

"Lho, kopermu mana? Masih di mobil? Nggak dibawa sekalian?" Penglihatannya tertuju pada mobil Honda Jazz milik Sakya yang terparkir di luar.

Tadi siang, ia sengaja meminjam kendaraan pribadi sang adik kandung untuk mengurus semua keperluannya.

Arga menyalami Hardi dengan takzim. Lalu memeluknya selama beberapa detik. Kalau boleh jujur, Arga sangat merindukan pelukan itu. Hardi terbiasa memeluknya sejak awal pertemuan mereka di panti asuhan.

"Ayah, kedatangan Arga kemari hanya untuk membicarakan sesuatu."

Raut kecewa langsung menghias wajah Hardi. Setelah itu ia menghela napas pelan. Menduduki kursi goyangnya di sudut ruangan.

Arga menduduki sofa lembut bernuansa ungu di tengah ruangan. Sofa pilihan sang Medusa. Arga kembali merasa jijik saat teringat usaha-usaha yang pernah dilancarkan sang ibu tiri padanya.

"Jadi, apa yang mau kamu bicarakan?" tanya Hardi masih dengan tidak bersemangat.

"Ayah ingat perkataan Arga empat hari yang lalu?"

Hardi menghentikan goyangan kursi. Lalu memajukan tubuh ke depan. "Perkataan yang mana?"

"Arga sudah siap untuk menikah."

"Aaah, yang itu. Jadi, kamu mau melamar cinta lamamu itu?"

"Sebenarnya, ... Arga ingin meminta bantuan Ayah untuk menemui orangtua dari wanita pilihan Arga."

Hardi beranjak dari kursi goyang menuju sofa panjang yang diduduki oleh sang putra. Pandangannya terlekat pada wajah sang anak semata wayang.

"Kamu sudah yakin dengan pilihanmu, Nak?"

"Insyaa Allah, Ayah."

Punggung Hardi bersandar. Matanya menyalang pada sebuah foto berpigura emas yang menempel di dinding. "Kamu tahu kan, harus berhati-hati dalam memilih pendamping hidup?"

Tentu saja, Ayah. Aku belajar dari pengalamanmu. Arga hanya berani membatin. Kepalanya mengangguk setuju dengan pertanyaan Hardi.

Hardi kembali melayangkan pandangannya pada Arga. Tangan kirinya terangkat menuju pundak sang putra.

"Ayah berharap semoga pilihanmu ini adalah yang terbaik dan jodoh dunia-akhiratmu."

"Insyaa Allah, Ayah. Terima kasih."

-----------------------------------------------------------------------