webnovel

The Sisters

Adamantine 13

Amara menatap kosong pada chandelier cantik di atas kepalanya. Sama kosongnya dengan ruang keluarga besar yang lebih mirip aula tempat ia membaringkan tubuhnya saat ini di atas karpet berbulu tebal.

Dua hari kemarin Amara tidak berangkat ke kantor ataupun kampus. Ia sedang ingin lalai dari semua kewajiban rutinnya. Sesekali bermalas-malas diri, mengosongkan waktu untuk merenungkan hidup. Dan lalainya berlanjut hingga hari ini.

Setengah hari ini Amara habiskan dengan termenung. Bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? Semenjak pertemuan pertamanya dengan pria bernama Arga Pramudya itu pikiran Amara hanya berpusat padanya. Sampai-sampai Amara terlupa dengan tujuan awalnya bekerja di perusahaan sang Mama. Sampai-sampai Amara terlupa dengan pertengkarannya dengan Anggita. Arga berhasil mengalihkan dunianya. Bahkan Arga, berhasil membuat Amara berpikir tentang eksistensi Tuhan. Arga ... berhasil menembus kedalaman hatinya, lebih dari Alvaro, cinta pertamanya.

Sayangnya, perasaan ini hanya bertepuk sebelah tangan. Dan lagi-lagi, Amara harus mendengar bunyi retakan hatinya yang mulai patah. Tepat hari ini, pria itu akan berta'aruf dengan wanita bernama Marisa, cinta pertamanya. Sesuai info dari Mama Jihan. Dan apa yang Amara lakukan untuk menyelamatkan hatinya? Tidak ada. Siapa juga yang berani melawan takdir Tuhan. Lagipula Arga sudah terang-terangan menolaknya. Walaupun memang salahnya Amara yang tidak berani berterus terang kalau sebenarnya bukan hubungan pura-pura yang ia inginkan.

"Mbak, makan siang sudah siap dari tadi. Mbak Amara tidak lapar?" Pertanyaan dari Ibu Susi membuyarkan lamunannya.

"Lagi nggak selera, Bu." Amara bangkit dari rebahannya. Menyejajarkan diri dengan Ibu Susi yang tengah duduk sopan di atas karpet.

"Mbak Amara lagi nggak enak badan? Sepertinya dari kemarin di rumah saja."

"Enggak, Bu. Saya cuma sedang butuh istirahat saja. Emm, Bu Susi jangan lapor ke Mama ya."

"Baik, Mbak." Ia mengangguk menurut. "Mbak Amara mau spa dan massage?"

"Eh, enggak usah, Bu. Saya cuma ingin santai aja di rumah."

"Selamat datang, Mbak Anggita." Ibu Susi langsung berdiri menegakkan badan begitu melihat kedatangan Amara di rumah itu setelah menghilang dua minggu. Amara juga ikut berdiri lalu segera menghampiri adik kesayangannya itu.

"Gita!" Spontan Amara memeluk erat Anggita yang terkejut karena diperlakukan seperti itu. "Lo kemana aja?"

Anggita segera mengurai pelukan singkat itu. Menatap baik-baik pada wajah sang kakak yang sama sekali tidak terlihat menyimpan amarah ataupun dendam padanya.

"Mbak ... " lirihnya lalu menunduk diam.

"Lo kemana aja? Lo nggak angkat telpon, nggak jawab WA. Mbak kepikiran, Gita." Amara mengeratkan kedua tangannya di bahu sang adik.

"Mbak ... lo nggak marah sama gue?" tanyanya dengan wajah heran.

"Ya ampun, Git. Cuma masalah gitu doang ngapain juga gue marah."

Bukannya bernapas lega, Anggita justru memundurkan langkah dengan kesal. Ternyata strateginya untuk membuat sang kakak benci padanya tidak berhasil.

"Gue udah ngatain lo. Gue udah ngomong kasar. Gue udah bersikap jalang. Gue udah ngerebut Alvaro dari lo. Gue udah ngebajak mobil hasil jerih payah lo. Dan lo masih maafin gue? Lo nggak marah sama gue?" tanyanya tidak terima.

"Ya enggaklah, Git. Gue emang kesel sama lo. But that's it. Cuma sebatas itu. Gue sayang —"

"Stooop!" jeritnya memotong penjelasan sang kakak. "Cukup! Gue nggak mau denger lagi kata-kata 'sayang' dari lo. Gue muak sama lo! Sama sikap egois lo! Sama kemunafikan lo! Gue muak!"

Sepi sejenak setelah kata-kata menohok itu terlontar dari lisan Anggita. Baik Amara maupun Ibu Susi yang berdiri di belakang keduanya hanya menganga dalam diam. Tak menyangka bahwa Anggita yang selama ini mereka kenal cuek, santai, dan murah senyum, bisa meledak-ledak seperti saat ini.

"Kalo lo mau marah sama gue, marah! Nggak usah ditahan-tahan!" Anggita maju perlahan dengan sikap menantang. Tubuhnya membusung angkuh. "Gue tau lo marah sama gue! Lo marah sama nyokap! Lo marah sama semua dalam hidup lo!"

"Git ..." Amara mundur teratur bersamaan dengan rasa takutnya terhadap sang adik.

"Apa lo pikir gue nggak marah juga?! Gue marah sama lo! Gue marah sama Mama! Gue marah sama Ayah! Keluarga ini keluarga munafik! Gue benci kalian semua!"

Anggita langsung membalik badan, berjalan cepat menuju kamarnya usai mengurai amarah yang dipendamnya selama ini. Suara bantingan pintu menggema di rumah besar itu.

Amara berusaha berpikir keras akan alasan yang menjadi sumbu utama kemarahan sang adik. Kenapa Anggita ikut membawa serta orangtua mereka dalam kemarahannya? Karena seingat Amara, saat mereka bertengkar tidak ada sama sekali menyeret-nyeret nama sang mama atau sang ayah.

"Mbak, Mbak Anggita ada masalah apa ya?" Bu Susi bertanya dengan wajah cemas.

"Saya juga nggak tau, Bu." Amara menjawab lirih dengan wajah setengah syok. Dengan penuh tanda tanya di kepala, Amara berinisiatif mengetuk pintu kamar sang adik.

"Git, gue boleh masuk? Git?"

Setelah beberapa kali ketukan, Anggita masih urung membukakan pintu. Hingga akhirnya Amara nekat membuka pintu kamarnya dan terkejut mendapati pemandangan itu. Sang adik tengah sibuk memindahkan isi lemarinya ke dalam dua koper besar.

"Lo mau kemana, Git?" Ia berlari lalu mencegat tangan Anggita yang sedang menumpuk pakaian di atas koper.

"Jangan sentuh gue!" bentaknya pada sang kakak lalu menarik lengannya kasar.

"Gita! Lo kenapa, sih? Gue salah apa sama lo sampai-sampai lo bersikap begini?"

Dengan segenap tenaga disertai gemuruh di dada, Anggita membanting tumpukan baju yang baru saja dikeluarkannya.

"Lo beneran naif apa cuma pura-pura sih?! Asal lo tau ya, Mbak. Selama ini gue berusaha keras buat bikin lo murka sama gue! Gue pulang malam, pura-pura mabuk, bertingkah seperti wanita nakal, sok-sok clubbing, semua itu ... supaya lo benci sama gue! Tapi apa? Lo cuma diam aja. Lo masih memperlakukan gue layaknya kucing kesayangan lo. Lo nggak pernah marahin gue. Sampai waktu di pool itu puncaknya."

Amara mendidih. Nadi-nadinya berdenyut keras. Jadi semua tingkah menyebalkan sang adik selama ini hanya sandiwara?

"Asal lo tahu, Mbak. Gue, adalah anak kandung ayah. Ganesha Suprapto adalah ayah kandung gue! Dan lo? Lo yang bilang ke gue dulu kalo kita punya ayah yang berbeda. Lo yang bilang kalo ayah Ganesh tidak pernah menganggap gue sebagai anaknya. Tega lo, Mbak!!" hardiknya dengan penuh teriakan.

Amara masih terdiam di tempatnya. Berusaha tahu diri dan memberikan kesempatan pada adiknya untuk mengungkap kebenaran versinya.

Anggita terduduk lemas di atas ranjang sembari mengusap air matanya yang sudah tumpah. "Selama ini, gue nggak punya Ayah. Gue nggak pernah merasakan kasih sayang Ayah. Sedangkan lo? Lo punya semuanya!"

Anggita menarik napas dalam untuk mengumpulkan kembali kekuatannya yang hampir pupus. "Asal lo tau, Mama selalu diam-diam memandang lo dari kejauhan. Mama selalu menitipkan hadiah untuk lo lewat gue. Ya, boneka-boneka yang sering gue kasih ke lo? Itu dari Mama, bukan hasil tabungan gue. Tapi apa?! Lo selalu playing the victim! Lo pikir gue nggak tahu misi balas dendam lo untuk menghancurkan perusahaan Mama? Gue selalu memeriksa laporan keuangan. Lo selalu bersikap seakan-akan cuma lo seorang anak broken home. Cuma lo yang hidupnya menyedihkan. Gue? Lo pikir gue selalu bergelimang kasih sayang dari Mama. Hidup manis manja di rumah sebesar istana kaisar. Kerjanya cuma bermalas-malas ria menghamburkan kekayaan Mama. Lo pikir lo tau semuanya. Enggak, Mbak! Enggaaak!!!"

Spontan Amara beringsut memeluk adik kesayangannya yang kembali histeris. "Maafin gue, Git. Maaf ..." lirihnya menenangkan Anggita.

Kali ini Anggita tidak melawan. Ia sedang benar-benar membutuhkan asupan kekuatan. Memori siang itu kembali berputar di kepalanya.

Flashback on

"Retha, kamu tidak datang ke pemakaman Ganesh?" Hasan membelai rambut panjang terurai wanita yang sudah menangis sepanjang hari itu.

"Aku nggak sanggup, Mas. Aku ... tidak bisa."

"Retha, kalau kamu perlu menyelesaikan masa lalu, selesaikanlah. Biar tidak terus menjadi beban di hatimu." Tangan kekarnya masih terus membelai pucuk kepala Retha.

Dengan sesenggukan, Retha mengangkat kepalanya yang sejak tadi tertunduk. "Mas ... dosaku terlalu banyak sama Mas Ganesh. Dia membenciku seumur hidupnya. Dan sekarang ... dia sudah nggak ada. Aku tidak punya kesempatan lagi."

Hasan menghela napas pelan. "Dosa besar apa yang sudah kamu perbuat?"

Retha yang masih tersedu tak sanggup menatap mata pria yang kini terlihat mulai menghakiminya. Retha ragu untuk bercerita. Dadanya terlalu sesak akibat mengingat kesalahannya.

"Retha?"

Tangisnya tiba-tiba terhenti saat menatap sinis pada lukisan wajah sang papa yang tergantung di dinding.

"Semua karena papa! Aku benci papaku! Sangat benci!" Retha memandang bengis lukisan itu.

"Apa hubungannya dengan papamu?" Hasan mulai menatap dengan wajah serius.

"Papaku selalu membenci Mas Ganesh yang tidak kaya-raya. Dia terpaksa menikahkan kami karena paksaan mama. Setelah mama meninggal, tak seharipun papa membiarkan kami hidup tenang. Papa selalu menggunakan segala cara untuk memisahkan kami. Dari mulai membuat Mas Ganesh dipecat dari universitas, sampai membayar orang untuk menabraknya yang saat itu dalam perjalanan pulang ke rumah dengan motor bututnya."

Amara kembali menundukkan wajah saat tangisnya mulai mengisak. "Mas Ganesh tidak pernah tahu kalau itu semua ulah papa. Sampai akhir dia selalu menghormati papa. Tapi papa ... mungkin rasa bencinya dibawa sampai mati. Papaku tidak pernah main-main dengan ancamannya. Ia mengancam akan ... " Retha tak sanggup melanjutkan saat mengingat ucapan sang papa yang terdengar sangat keji.

"Aku ... aku terpaksa. Aku mulai lelah melawan papa. Aku harus menjauh dari kehidupan Mas Ganesh. Deminya ... dan demi anak-anak. Aku pura-pura selingkuh. Bahkan mengatakan jika Anggita bukan putrinya. Padahal ... anak itu benar-benar darah dagingnya. Aku terpaksa. Aku ingin Mas Ganesh membenciku, menjauhiku. Aku ingin menyelamatkannya. Aku sangat mencintainya, Mas. Hingga detik ini aku masih mencintainya."

Hasan menghembus napas kasar saat merasakan kata-kata itu menghunjam jantungnya.

"Tapi anak-anakku ... mereka yang menjadi korban, Mas Hasan. Amara sangat membenciku. Dan Anggita ... ia selalu mengira tidak memiliki ayah. Mereka tumbuh hanya dengan satu orangtua." Mata basahnya terangkat saat kedua tangannya meraih lengan pria itu dengan tatapan meminta bantuan.

"Bagaimana aku bisa memperbaiki semuanya, Mas? Bagaimana?"

Flashback off

"... Lo pasti bisa menebak kelanjutan ceritanya. Mama tidak pernah tau kalo gue diam-diam mendengarkan saat itu." Anggita melepaskan diri dari sang kakak yang masih termangu.

"Sejak saat itu ... gue benci sama lo yang selalu disayang ayah. Gue benci mama yang sudah menjadikan gue alat kebenciannya! Gue benci ayah yang tidak pernah berusaha mencari tahu kebenarannya. Gue benci kaliaaan!"

"Gita, cukup!" sentak Amara. "Lo boleh marah. Terutama sama gue. Tapi harusnya lo berpikir. Kakek yang sudah bikin keluarga kita berantakan. Harusnya lo marah sama kakek!"

"Gue nggak bisa. Kakek ... kakek ... kakek sayang sama kita. Kakek yang selalu menemani gue bermain. Kakek yang mengajari gue caranya naik sepeda. Kakek mengajari gue banyak hal. Kakek selalu ada saat gue butuh ... kakek bagaikan ayah buat gue. Dan lo sendiri tahu betapa banyaknya jasa kakek sama lo."

Amara seketika diingatkan jika sang kakek, Arsa Ruditha, yang berjasa memuluskan jalannya mendapatkan beasiswa S2 di Kyoto dan beasiswa S3 di Inggris. Berkat koneksi sang kakek dengan para petinggi universitas, semua jalan seolah terbuka mulus bagi Amara. Tidak hanya itu, Arsa Ruditha juga sering mengirimkan hadiah-hadiah kecil bagi cucu pertamanya itu ke sekolah, tanpa sepengetahuan Ganesh. Amara mungkin membenci sang mama, tapi tidak sang kakek.

Dan hari ini, sebuah kebenaran terkuak dari mulut sang adik. Rasanya tak mungkin ia membenci sang kakek yang sangat baik padanya. Bahkan Amara selalu membawa foto sang kakek di dompetnya. Saat ini yang terpikirkan oleh Amara hanya satu hal. Memastikan fakta dari kebenaran itu.

"Gita, kita harus bicara sama Mama."

=======================

"Mas, benar sudah mantap dengan Kak Marisa?" tanya Sakya sembari merapikan atasan batik tulis bermotif sido asih yang dikenakan oleh Arga.

"Kalau memang dia jodoh pilihan Allah, insyaa Allah aku siap." Arga mematut diri di depan cermin. Pikirannya tak sesiap penampilannya.

"Gimana kalau dia bukan jodoh Mas?" Sakya ikut mematut diri di depan cermin. Setelah selesai menunaikan sholat Ashar tadi, sebentar lagi Sakya beserta Johan akan turut serta mengantar Arga dan Mama Jihan bertandang ke rumah Marisa, wanita yang telah menyetujui untuk ta'aruf dengannya.

"Ya kalaupun bukan, pasti pertemuan ini akan gagal."

"Mas sudah sholat istikhoroh?"

"Untuk apa? Memangnya aku sedang galau? Mungkin memang dia jodohku."

"Entahlah." Sakya duduk di atas ranjang sang kakak dengan resah. "Kok feelingku mengatakan bukan ya, Mas?"

"Feeling kamu apa bisikan setan?" Arga mengacak-acak kerudungnya gemas. Yang disambut dengan wajah memberengut oleh Sakya.

"Astaghfirullah. Masa iya sih bisikan setan?" Sakya menggumam pada diri sendiri.

Arga turut menghenyakkan diri di sebelah Sakya. "Kalau feeling kamu mengatakan bukan Marisa, lalu siapa jodohku?"

Sakya memandang lekat pada wajah tampan sang kakak. Beberapa detik ia memperhatikan benar lekuk wajah Arga. Kakaknya itu memang tampan, menarik, kulit bersih, badan gagah, berkharisma, cara bicaranya pun berwibawa. Pantas saja jika wanita seangkuh dan sekeras dekan fakultas tempatnya mengajar, bisa luluh lantak seketika. Nama Dania Amara langsung terpatri di pikirannya.

"Mbak Amara?"

"Apa? Wanita egois dan semena-mena itu? Jangan ngaco kamu."

"Mas juga suka kan sama Mbak Amara?"

"Saki, wanita itu bermasalah. Hidupnya bermasalah. Prilakunya bermasalah. Gaya hidupnya bermasalah. Kamu mau aku hidup bersama wanita dengan kompleksitas seperti itu?"

"Bukannya Mas juga termasuk orang bermasalah?" tembak Sakya mencemooh kakaknya.

"Ya justru itu. Aku bermasalah. Dia bermasalah. Apa jadinya hidup kita nanti? Masalah kuadrat?"

"Permasalahan kuadrat bisa dipecahkan dengan faktorial bukan?"

Arga memicing sudut matanya. "Kamu mau ngajarin matematika?"

"Maksudnya, semua masalah bisa dipecahkan, kakakku sayang." Sakya mencubit lengannya gemas.

Arga balas menatap serius pada wajah Sakya yang dipenuhi riasan natural. "Kenapa sepertinya kamu setuju sekali kalau aku berjodoh dengan dia?"

"Aku setuju Mas berjodoh dengan siapa saja. Asalkan ..." Sakya mengetuk-ngetukkan telunjuknya di dada kiri Arga. " ... Mas tidak membohongi diri sendiri."

Sakya menegakkan badannya lalu menarik tangan sang kakak untuk turut berdiri.

"Saki, kamu sendiri tahu bagaimana seorang Amara itu. Sholat dan mengaji saja tidak dilakukannya. Bagaimana dia bisa menjadi makmum sekaligus ibu yang baik untuk calon anak-anakku?"

"Nggak ada yang nggak mungkin, Mas. Dengan sejentik jari Allah bisa membolak-balik hati manusia."

"Aku tahu, Saki. Tapi —"

"Mas ..." Sakya memotong saat bola matanya bertemu dengan manik mata sang kakak. " ... kalau sudah ta'aruf dengan Kak Marisa, Mas sanggup untuk menjaga jarak dari Mbak Amara? Sanggup untuk benar-benar menutup hati darinya?"

Arga menghela kesal. Pertanyaan sang adik terasa mengusiknya. "Hubunganku dengannya murni profesionalitas saja."

"Beneran? Mas tidak sedang menipu diri sendiri kan?"

Arga kembali melengos kesal. "Kenapa sih kamu ngotot sekali?"

"Aku cuma ingin Mas Arga jujur dengan diri sendiri. Aku nggak mau nantinya Mas nyesel."

"Memangnya apa yang perlu aku sesali dari menjauhi seorang dosen killer seperti dia?" Emosinya mulai terpancing. Desakan Sakya mulai membuatnya kewalahan.

"Aku nggak tau, Mas. Coba tanya sama hati Mas sendiri." Sakya pun mulai jengah membuka pikiran sang kakak. Ia melangkah berniat meninggalkan pria itu menelan egonya sendirian.

Namun tepat di depan pintu Sakya kembali membalik badan. Membuat Arga kembali menatapnya. Kali ini raut wajahnya dipenuhi keraguan.

"Mas tau, kan ... setelah menginjak rumah Kak Marisa, tidak bisa mundur lagi."

_____________________♡♡♡___________________