webnovel

Si Tangan Kaligrafi

"Ga, sibuk nggak hari ini?"

"Hm?"

"Ada tawaran bagus buat kamu, Arga. Mungkin ... bisa buat nambah —"

"Tawaran apa, nih?" Pria yang dipanggil Arga itu kini beralih menatap serius Razi setelah tadi memaku pandangan di depan layar PC. Tumben sekali mantan rekannya ini bertandang ke kantor untuk menemuinya.

"Aku punya teman. Dia lagi butuh arsitek buat pembangunan kantor cabang. Kamu bisa?"

"Hmmm ..." Arga memutar otaknya. Mengira-ngira bobot pekerjaan yang sedang ia garap saat ini.

"Kalau kamu nggak bi—"

"Di mana?" Dengan cepat ia memotong kalimat Razi.

"Bali."

Arga terdiam sesaat. Menimbang-nimbang tawaran Razi sambil memperkirakan kemampuannya.

"Cuma gambar?"

"Ya mungkin kamu harus ikut ke lapangan sesekali. Sepertinya bisa kamu atur waktunya."

"Kantor cabang apa?"

"PT. Selona."

Kedua matanya membelalak lebar. "Serius???"

"Serius, Ga. Makanya aku tawarin ke kamu. Nggak main-main lho ini."

Razi tersenyum miring. Ia duduk di tepian meja dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

"Oke! I'm in! Kapan kita ketemu mereka?" Arga menyahut serius.

Razi tersenyum simpul. Bukankah tadi ia sudah menyebutkan bahwa temannya-lah yang membutuhkan bantuan?

"Cuma bertemu dengan temanku, Ga. Dia direktur operasionalnya."

"Ooh, aku pikir mau ketemu sekalian sama timnya."

Arga adalah mantan rekan kerja Razi di perusahaan sebelumnya tempat ia bekerja. Razi keluar dan mendirikan biro arsitek miliknya sendiri, sementara Arga masih betah mencari nafkah dari perusahaan milik Hardiyanto Soenyoto. Arga sudah menjadi arsitek senior di kantor itu dan menjadi satu-satunya orang kepercayaan Hardi.

Bicara mengenai mencari nafkah, Arga memang saat ini berlaku sebagai kepala keluarga. Ada seorang wanita yang menjadi tanggungannya di rumah.

"Nanti siang, ya. Bisa, kan?" Razi kembali memastikan.

Kepalanya mengangguk mantap. "Insyaa Allah."

.

.

=====================

.

.

"Cukup itu saja yang dibicarakan. Saya harap tidak ada lagi permasalahan ijin yang menghalangi progress." Retha menutup rapat hari ini lalu lirikan tajamnya tertuju pada putrinya yang tengah memainkan pulpen di atas meja bundar itu. "Dan saya harap ... ibu Amara bisa membantu Project Manager untuk membereskan poin-poin yang tadi sudah kita bahas."

Retha menatap malas. Enggan menanggapi sindiran mamanya. Ia tahu Retha hanya ingin ia lebih serius dalam menggarap proyek pembangunan perumahan mewah dengan konsep modern-living di Depok.

"Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran Pak Tagor dan Ibu Risma  selaku perwakilan dari PT. Ayodhya. Kami berharap kerjasama ini akan berlanjut dengan baik kedepannya."

Amara bergegas membereskan barang-barangnya sembari sesekali melirik jam tangannya. Dalam hati berkeluh kesah karena ia benar-benar telat. Mamanya itu terlalu banyak berbasa-basi dalam rapat. Ia harus segera melenggang dari tempat ini, urusan berjabat tangan dengan investor, biar menjadi urusan sang presdir.

"Kamu mau kemana? Sepertinya buru-buru sekali." Tatapan Retha menghakiminya.

"Bukan urusan Ibu!" jawabnya ketus.

Retha berusaha menyabarkan hatinya. Semenjak putri sulungnya itu tinggal bersamanya, belum pernah sekalipun terluncur kata "Mama" keluar dari bibirnya. Amara selalu memanggilnya Ibu Retha, terkadang diembel-embeli dengan kata "yang terhormat". Seperti panggilan formal yang tertera dalam kop surat.

Tangannya terangkat menyentuh punggung Amara. Sejenak terasa sebuah usapan lembut menyapu disana.

"Hati-hati, ya." Lalu ia pergi meninggalkan ruangan itu dengan wajah sayu.

Amara masih mematung di posisinya. Seperti baru saja tersengat listrik. Aliran energi dari usapan itu berefek dahsyat di jantungnya. Organ pemompa darah itu seperti kembali mendamba sentuhan itu.

"Bu Amara? Ibu baik-baik saja?" Suara Sasha menyadarkan dirinya dari keterlarutan dalam sentakan sentuhan mamanya.

"Ehm, iya. Sa, saya akan makan di luar, ke kampus, setelah itu mungkin langsung pulang. Kamu bereskan laporan dari notulensi rapat tadi, setelah itu kamu boleh pulang cepat."

"Hah? Serius, Bu??"

"Kamu itu lhooo, dari kemarin-kemarin kalo saya kasih bonus waktu, kaget melulu. Memangnya selama ini saya ratu tega sama kamu?"

Sasha menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Bimbang menjawab. Kalau dijawab iya, bisa-bisa nanti atasannya ini kembali menjelma menjadi ratu tega. Kalau dijawab tidak, artinya dia berbohong. Maka Sasha memilih menundukkan pandangan dengan bungkam mulut. Sepertinya itu pilihan paling baik.

Amara mengerti akan sikap bawahannya itu. Ia sendiri sadar diri memang sudah menjadi ratu tega selama ini. Tapi itu semua ia lakukan semata-mata karena dedikasinya terhadap perusahaan. Bukan, bukan dedikasi. Semata-mata karena motif terselubungnya.

"Ya sudah. Saya harus segera pergi sekarang." Amara berjalan keluar dari ruangan rapat meninggalkan Sasha yang segera berjoget ria setelah pintu ruangan itu tertutup.

.

.

==========================

.

.

Razi meletakkan ponselnya kembali ke dalam saku kemejanya dengan senyum sumringah. Dan senyum itu terus-menerus terkembang di wajahnya. Ia meraih gelas minumannya, lalu menyeruput beberapa kali.

Arga yang duduk di sebelahnya menebak-nebak ada apa dengan mantan rekan kerjanya itu. Apa ia sudah mulai tidak waras?

"Apa, Ga?" Razi yang menyadari sorotan aneh dari sudut mata Arga, bertanya dengan sikap acuh.

"Chat sama siapa? Senyam-senyum nggak jelas dari tadi. Jangan-jangan ente mulai nggak waras!" cibir Arga dengan mata memicing.

"Ada, deh!" jawab Razi dengan sebuah cengiran.

Arga memutar kedua bola matanya. Sesekali melirik jam tangannya. "Mana nih orang yang ditunggu? Sudah lewat setengah jam, lho. Keburu habis waktu maksi-ku."

Kaki Arga mengetuk-ngetuk lantai restoran itu. Kadar sabarnya mulai berkurang. Sebelas-duabelas dengan Razi, Arga sendiri tidak menyukai orang yang tidak tepat waktu. Menurutnya, seseorang yang tidak bisa menghargai waktu, adalah seseorang yang tidak bisa menghargai orang lain.

Sesekali Arga melempar pandangan, menatap orang-orang yang sedang asyik menyantap hidangan di restoran itu. Seperti biasa, jam makan siang di restoran area perkantoran pasti dipadati oleh para karyawan yang kelaparan. Bukan hanya lapar makanan, tapi juga lapar akan gosip-gosip di kantor.

"Nunggu calon klien harus ekstra sabar, Ga," Razi tersenyum aneh, membuat Arga semakin curiga.

Tak jauh dari pandangan Arga, terlihat wanita berkacamata - yang menurut Arga berukuran terlalu besar untuk proporsi wajahnya -, berjalan tergesa-gesa ke arah meja mereka. Rambut panjang ikalnya yang tergerai tak rapi, mencuri perhatian Arga. Wanita itu kan ...

"Telat lagi, Nia!" Razi bangkit dengan senyum datar.

"Iya, maaf ya. Tadi aku harus mengecek proposal dulu. Tanggung," jelasnya berbohong sambil memohon maaf. Tiga hari yang lalu, ia sudah memakai alasan 'meeting ngaret'. Masa sekarang menggunakan alasan yang sama lagi?

Razi hanya mengangguk tanpa ekspresi. Ia mempersilahkan Amara duduk di hadapannya dan Arga.

Titik mata Amara tertuju pada pria yang duduk di sebelah Razi namun turut berdiri menyambut kedatangannya. Pria ini kan ...

"Kenalin, ini teman kantorku dulu, Arga."

"Halo, aku Dania," ucap Amara sambil menjulurkan tangannya untuk berjabat. Berusaha bersikap profesional. Meskipun hatinya sedikit syok karena lagi-lagi harus bertemu dengan pria ini.

Alih-alih membalas uluran tangannya, Arga justru menatapnya sedikit dingin sambil menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Arga. Maaf, aku tidak menyentuh wanita yang belum halal bagiku."

Razi menahan senyumnya saat melihat reaksi Amara yang terperangah lalu menyorot tajam.

Ia tidak tahu saja jika sejak penolakan jabatan tangan ini, Amara kerap memaki dalam hati.

Munafik! Munafik! Munafik! Dasar Munaroh!

"San, aku pikir kita cuma makan siang berdua," sindir Amara sambil melayangkan lirikan ganas.

Arga akan bereaksi namun tangan kiri Razi segera menahannya. "Nia, kamu ingat kan waktu aku bilang mau ngenalin kamu sama orang yang bisa bantu project kamu? Arga ini orangnya. Dia otak di balik rancangan-rancangan yang pernah aku buat."

Ekspresi Amara berubah. Kekecewaan terlihat di raut wajahnya. Ia pikir makan siang kali ini akan menjadi kencan kedua mereka. Ternyata Amara salah total. Di saat Amara berniat rehat dari pekerjaannya, Razi justru datang membawa pekerjaan untuknya. Ia pikir pria ini hanya memakai project sebagai alasan untuk bertemu dengannya. Ternyata?

Amara menyandarkan punggungnya ke kursi dengan sebal.

Razi yang memperhatikan reaksinya spontan bertanya, "Kenapa?"

"Kalo begini ceritanya, sia-sia aku datang kemari," sungutnya membuang wajah.

"Maksudnya Mbak?" sela Arga turut bersuara karena tidak paham.

"Panggil saya Dania!" balas Amara dengan tegas tanpa menjawab pertanyaannya, lalu cepat-cepat memperbaiki sikapnya menjadi lebih profesional. Prinsip utamanya, tidak mencampur-aduk urusan pribadi dengan pekerjaan. "Jadi, Mas Arga ini arsitek di kantor kamu, San?"

"Iya, dia arsitek terbaik di kantor lama. Orang kepercayaan Pak Hardi."

"Ooh ... ehm, oke kalo gitu." Amara membuka tote-bag merah-nya lalu merogoh sesuatu dari dalam. "Ini kartu nama saya. Bisa minta kartu namanya?" Selembar kertas berbentuk persegi panjang kecil ditaruhnya di atas meja lalu didorong ke hadapan Arga.

Arga menerima kartu nama itu, meski tak yakin kartu kecil itu tidak akan melayang di tong sampah nantinya. Arga membaca sekilas tulisan yang tercetak di sana. DR. Dania Amarani Rielta, ST, Ph.d. Direktur Operasional.

Jika ada yang menebak tulisan jabatan itu membuat Arga terintimidasi, maka salah besar. Karena Arga bukanlah seorang pria yang dengan mudahnya mengkerut jika berhadapan dengan seseorang yang jauh lebih apapun darinya.

Amara memperhatikan raut wajah Arga yang justru berubah angkuh setelah menerima kartu namanya. "Maaf, saya tidak punya kartu nama. Kalo ibu Dania ada perlu dengan saya, bisa menanyakan nomor HP saya lewat teman saya ini." Arga menyorot ke arah Razi dengan matanya.

Amara tersenyum aneh, malas menanggapi lebih jauh. Pria ini memang benar-benar menyebalkan! Dasar munafik!

"Aku jamin, kamu pasti puas dengan hasil kerja Arga nantinya. Kalian silahkan lanjutkan perbincangan. Aku harus segera kembali ke kantor sekarang. Galang  kirim pesan, katanya ada emergency di kantor." Dengan santainya Razi berkata lalu berdiri. Dalam hatinya tersenyum geli saat melihat mulut sepasang manusia di sekitarnya itu menganga lebar secara bersamaan.

"Zi, kok ... eh, dia kan temanmu. Wah, nggak bisa begini, dong! Lagian kapan Galang ngomongnya?" Arga memprotes, tidak percaya dengan kata-kata temannya itu, lalu ikut berdiri.

"San, ka—kamu kok mau balik gitu aja? Aku kesini kan buat ketemu kamu! Bukan buat ketemu yang lain," sergah Amara jujur sambil melirik tak suka ke arah Arga. Dan Arga pun membalas dengan tatapan yang sama.

"Maaf, Nia. Hari ini aku cuma menepati janjiku. Kemarin itu aku sudah bilang kan, akan mengenalkan kamu sama temanku yang bisa bantu project pembangunan kantor cabang baru?"

"I—iya, tapi kok ... sekarang kamunya malah pergi?" Amara mengekang tangan Razi. Spontan tatapan tajam Razi terlayang pada jemari wanita itu yang menempel di lengannya. Ia cepat menyadari lalu melepaskan tangannya.

"Maaf, aku sedang ada urusan lain yang lebih penting. Semoga kalian berdua bisa bekerja sama dengan baik," ujar Razi menambahkan dengan senyum miring. Lalu ia pun meninggalkan keduanya yang menyorotnya dengan tatapan membunuh.

Lalu keduanya saling menatap dengan tatapan -ingin segera pergi dari tempat itu-. Namun anehnya tidak ada yang mau beranjak terlebih dahulu.

Hening sesaat di antara keduanya. Tak ada yang berani memulai percakapan satupun.

Suara dering ponsel berbunyi, memecah jeda yang sudah terjalin selama lima menit. Arga mengenali bunyi itu. Ia mengeluarkan benda itu dari saku celana lalu menggeser layarnya.

"Assalamu'alaikum."

Terdengar ada suara seorang wanita di seberang sana namun Amara tidak dapat mendengar dengan jelas perkataannya.

"Iya, insyaa Allah nanti dibelikan saat pulang. Obat yang satunya sudah diminum?"

Lalu kembali terdengar suara yang menjawab dari seberang. Telinganya berusaha menangkap pembicaraan itu, tapi masih tidak jelas. Apa itu? Seperti suara seorang wanita sedang mengisak tangis.

Arga sendiripun terlihat gamang saat menanggapi. Sesekali ia mengurut dahinya. Seperti sedang menahan emosi yang berkecamik di dada.

"Iya, insyaa Allah nanti pulang cepat. Baik-baik ya dirumah. Wa'alaikumussalam. I love you."

Deg! Amara tersengat mendengar kata-kata itu. Sakya? Ia menebak. Tanpa sadar, dahinya mengernyit.

Tadi disebutnya wanita itu sedang berada di rumah. Padahal Amara tahu persis jam mengajar dosen di kampusnya itu padat dari pagi hingga sore untuk hari ini. Atau jangan-jangan Sakya sedang sakit? Tadi ia mendengar pertanyaan tentang obat yang sudah diminum.

Lalu, kata-kata ehm ... "i love you"? Jangan-jangan pria ini suaminya Sakya? Tapi wanita itu mengaku masih single fisabilillah setiap kali ditanya statusnya. Amara sibuk berkutat dengan pikirannya tanpa menyadari tatapan Arga yang tertuju tajam ke arahnya.

"Anda kepo?"

Pertanyaan itu menyadarkan Amara dari kesibukannya di alam pikir.

"Hah?"

"Anda sedang berpikir apa tentang saya?"

"Iiih, ge-er! Siapa juga yang sedang mikirin anda!" elaknya sinis. Ogah mengakui tembakan pria itu tepat sasaran.

Arga malas berlama-lama berhadapan dengan wanita aneh ini. Sejak pertemuannya dengan Amara di kampus, Arga sudah bisa memastikan jika wanita ini memiliki sifat angkuh. Sebaiknya ia langsung to-the-point saja, satu-satunya alasan ia hadir di sini karena tawaran menggiurkan dari Razi. Dan Arga tidak akan melewatkan kesempatan emas ini. Ia sedang sangat membutuhkan uang.

"Oke, langsung saja. Saya mendengar dari Razi jika anda membutuhkan bantuan untuk rancangan gedung kantor cabang anda di Bali. Jadi, bagaimana saya bisa membantu?"

Amara berdehem beberapa kali untuk menstabilkan emosinya.

"Saya akan membangun di area Seminyak. Cukup dua lantai saja. Kalau anda memang arsitek handal, pasti sudah mengetahui aturan bangunan di sana yang tingginya tidak boleh lebih dari 15 meter." Paparannya terdengar sinis dan terkesan menyindir.

Arga hanya tertawa angkuh dalam hati. Sesungguhnya ia menertawakan kebodohan wanita yang sok pintar dengan sederet titel seperti yang tertera di kartu namanya itu.

Arga hanya mengangguk saja.

"Areanya lumayan luas. Tanahnya sekitar 2 hektar, tidak terlalu besar. Ini rencana proposalnya. Anda bisa pelajari." Amara menyerahkan sebundel kertas yang sudah dijilid.

"Oke, nanti saya pelajari. Kapan deadline-nya?" Arga bertanya tanpa sedikitpun menyentuh rencana proposal di atas meja.

"Sebenarnya saya butuh cepat."

Bohong, deh! Amara mengibaskan rambut, menampilkan sikap angkuhnya.

Sebenarnya proyek pembangunan kantor cabang itu belum akan dimulai. Proposalnya juga baru berupa rencana kasar. Tiga hari yang lalu, ia hanya asal ucap saja pada Razi. Tidak menyangka akan seperti ini jadinya. Tapi jika sekarang ia membatalkan, bisa-bisa dianggap pembohong oleh Razi. Meskipun memang faktanya begitu. Anggap saja ini salah satu jalan pintas menuju hati Razi yang jalurnya berkelok-kelok. Dan Arga adalah kendaraannya.

"Tapi ...," lanjutnya, "Kalau memang sulit untuk anda ... saya bisa kok menyewa arsitek lainnya." Amara terkekeh mengejek.

Dan Arga membalasnya dengan sebuah senyuman simpul. Senyuman yang tersimpan dalam memori penglihatannya dua hari yang lalu di kantin kampus.

Ia mencondongkan badannya ke depan dengan seringai di wajah. Sepertinya wanita itu belum tahu siapa dirinya.

"Maaf, sepertinya saya belum menyebutkan nama lengkap saya pada anda. Kenalkan, nama saya ... Arga Pramudya Soenyoto."

.

.

=========================

.

.

Amara berkali-kali memukul setir mobil. Merutuki dirinya sendiri yang sudah bodoh tidak dapat mengenali putra dari Hardiyanto Soenyoto, si tangan kaligrafi, arsitek yang terkenal dengan pahatan ciri khasnya yang bentuknya menyerupai kaligrafi.

Ia sudah berhasil merusak nama baiknya sendiri dengan berlaku angkuh dan sombong pada pria yang mungkin saja memiliki prospek besar nantinya terhadap perusahaannya. Ralat, masih perusahaan mamanya.

Andai saja saat berkenalan tadi Razi menyebutkan nama lengkap Arga, mungkin kondisinya tidak akan seburuk tadi. Ia tidak akan terang-terangan merendahkan pria itu.

Untung saja, Arga tidak mengurungkan niatnya untuk menjadi arsitek sewaan PT. Selona. Kalau saja dirinya adalah pria itu, mungkin Amara sudah mencak-mencak dan membatalkan kesepakatan sepihak. Meskipun awalnya belum ada kesepakatan apapun terjalin di antara mereka.

Dengan emosi kacau-balau, Amara menyalakan mesin mobil dan penyejuk udara. Ia putar tombol kipas di level tertinggi. Amara perlu hembusan angin untuk membantunya bernapas.

Tok! Tok! Tok!

Amara menoleh pada kaca jendela mobil yang diketuk oleh seseorang. Pria itu berdiri di sana, tidak menunduk. Matanya menyalang ke arah lain di lahan parkir itu. Amara menurunkan kaca.

"Ya?" sahutnya.

"Ini nomor HP saya." Arga mengulurkan secarik kertas yang langsung ia letakkan di atas dashboard. Tanpa menunggu balasan dari Amara, ia langsung berlalu begitu saja.

Amara menganga, syok dengan tindak-tanduk Arga. Cepat-cepat ia tutup jendela mobil.

"GUEEE BENCI SAMA LOOOOO!!!!"

.

.

=========================

.

.

Amara tergopoh-gopoh berjalan cepat menuju ruang kelas. Seharusnya ia sudah tiba sejak tadi untuk menyampaikan materi di mata kuliah Fisika Bangunan. Namun gara-gara terlalu lama meredakan emosi yang berkecamuk selepas kepergian Arga di lahan parkir tadi, Amara telat lima belas menit.

Di antara derap langkahnya yang dipercepat, sudut matanya menemukan sosok Sakya sedang berjalan menuju studio gambar. Sontak langkahnya memelan, malah terhenti sesaat untuk memperhatikan sosok itu yang sedang tersenyum cantik. Ya, Sakya memang wanita yang cantik. Amara harus mengakui itu. Tapi tidak dengan perangainya yang tertutupi oleh topeng kemunafikan.

Ah ya, Amara jadi teringat akan percakapan Arga di ponselnya tadi. Sakya benar ada di kampus ini, bukan di rumahnya. Lalu, siapa yang menjadi lawan bicara Arga tadi? Ia sudah beristri? Sakya wanita simpanannya??

Tiba-tiba wajah jijik Amara kembali terpampang jelas. Munafik! Dua manusia munafik!

"Bu Dania? Ibu baik-baik saja?" Tangan seseorang tengah menyentuh pundaknya. Amara terbelalak saat mengetahui sosok pemilik tangan itu. Kenapa bisa tiba-tiba wanita ini berdiri disampingnya?

Amara refleks menarik diri mundur sehingga tangan itu terlepas dari tubuhnya.

"Bu —"

"Ah, saya baik-baik saja, Bu Sakya." Amara berusaha membalas dengan tersenyum.

"Ibu terlihat sedang marah dengan seseorang." Sakya menerawang raut wajahnya.

Ya, marah sama situ!

"Eh? Enggak, kok. Biasa aja. Bu Sakya ada kelas, ya?" Amara berbasa-basi sekaligus mengubah arah pembicaraan.

"Sudah selesai. Cuma mau mengambil kalkir yang ketinggalan tadi." Sakya menunjukkan tiga gulungan kertas yang ada di genggamannya.

"Ooh, kalau begitu saya duluan. Ada kelas." Amara segera menyingkir darinya. Menghentakkan heels stilleto-nya dengan cepat. Berusaha masa bodoh dengan kelebatan Arga, Sakya, dan satu wanita lain yang tengah mengusik pikirannya.

Dalam hati ia berteriak lantang. DASAR HIDUNG BELAAAANG!!!

•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•○•