webnovel

Rasa Yang Belum Tuntas

Sudah dua jam Amara habiskan waktu di sebuah cafe di area Seminyak semenjak pesawatnya mendarat di pulau dewata. Dua cangkir Americano telah ia sesap habis. Hanya tersisa sepiring tiramisu-cake yang ia mainkan dengan garpu kecil. Pikirannya benar-benar suntuk. Terkejut sendiri ia bisa senekat ini terbang ke Bali dan meninggalkan suaminya di rumah wanita lain. Tapi sekarang, Amara sungguh menyesali perbuatannya karena begitu mudahnya ia berbuat konyol akibat rasa cemburu.

Tapi Amara berhak kan untuk cemburu? Toh Arga sudah resmi menjadi miliknya. Tidak boleh ada wanita lain yang menyimpan rasa terhadap suaminya. Benar kan? Jadi perbuatannya tadi pagi tidak berlebihan kan?

"Amara?" Sebuah suara yang begitu familiar menyentak lamunannya, memecah kegalauannya.

Amara hapal betul siapa pemilik suara yang memanggil dari balik punggungnya. Dengan tahan napas, Amara memutar badan untuk menoleh ke belakang.

Dan benar saja tebakannya. "Alvaro?"

"Beneran ini kamu? Aku sampai ragu-ragu mau memanggil." Alvaro langsung menarik kursi untuk duduk di samping Amara.

"Hm. Apa kabar?" tanya Amara dengan senyum kaku.

"Baik. Kamu sendiri gimana?"

Amara memperhatikan penampilan pria itu dari atas ke bawah. Sangat rapi dan fashionable. Seperti bos-bos eksekutif muda yang wajahnya rajin nongol di cover majalah-majalah pebisnis. Rambutnya disisir rapi ke belakang. Tubuhnya lebih berisi, tegap, dengan beberapa otot yang menonjol di lengannya. Sangat berbeda dengan tampilannya yang dulu urakan, kurus, dan tak terurus. Hanya dua hal yang tidak berubah dari pria itu. Senyum manisnya dan tatapannya yang menyihir. Masih memiliki kemampuan yang sama, menggetarkan hati Amara.

"Alhamdulillah baik," jawab Amara tersenyum kecil.

"Nggak nyangka banget bisa ketemu kamu di sini."

"Emm, kamu ngapain di sini? Tinggal di Bali?"

Alvaro menggeleng sejenak. "Enggak. Ada urusan bisnis. Aku tinggal di Bandung sekarang."

"Ooh."

"Sejak kapan?" Alvaro bertanya dengan tatapan lembut dihiasi senyuman.

"Apanya?" tanya Amara mengernyit dahi.

"Ini." Alvaro melingkari wajahnya sendiri dengan telunjuk.

"Ooh hijab? Baru kok. Belum lama."

"Alhamdulillah. Kamu jadi lebih cantik."

Amara menggigit bibir bawahnya. Menahan debaran jantung yang semakin cepat dan tatapan yang masih melekat.

"Emang cetakannya udah cantik dari dulu," jawab Amara sombong untuk menepis malu-malunya.

"Masih sama ya seperti dulu." Alvaro tersenyum manis.

"Apanya?"

"Kebiasaan kamu kalau lagi gugup," goda Alvaro sambil menggigit bibirnya sendiri.

Amara mencelos. Menghindari tatapan dan senyuman yang mampu menghipnotisnya seperti dulu. Membuat Alvaro terkekeh kecil dengan sikapnya yang justru menggemaskan untuk Alvaro.

"Kamu sendirian kesini? Nggak sama nyonya?" tanya Amara dengan mata menatap cake yang sudah tak berbentuk kotak.

"Hm, mancing nih. Bilang aja kamu mau tau aku masih available atau enggak." Alvaro tergelak lalu menyandarkan punggung ke kursi.

"Jangan ge-er, deh. Aku sudah nggak available ya." Amara memamerkan cincin yang melingkar di jari manisnya.

Reaksi Alvaro tidak seperti yang disangka Amara yang akan terkejut saat melihat cincin itu. Pria itu tetap tersenyum manis dan bersikap tenang.

"Oo sudah nikah. Selamat ya. Aku ikut berbahagia buat kamu. Semoga suamimu memang pilihan yang terbaik."

"Tentu saja dia pilihan terbaik. Kan Tuhan yang memilihkan dia untukku."

"Kamu yakin?"

"Yakinlah. Masa nggak yakin sama pilihan Tuhan." Cepat-cepat Amara memasukkan potongan besar cake ke dalam mulutnya lalu mengulum cake lumer itu. Sepertinya mulutnya perlu disumpal agar tidak berbicara hal-hal yang tidak perlu.

"Do you love him?" Alvaro menatap serius. Menelisik setiap inci wajah Amara yang masih berusaha menghindarinya .

"Of course i love him. Aku nggak bakalan menikah dengan orang yang nggak aku cinta."

"Ara ...," Alvaro mencondongkan tubuhnya. "Kamu pantas mendapat yang terbaik."

"Tentu saja. Kamu masih ingat kan dengan motto hidupku?"

"Of course. Hardwork deserves all the best," jawab Alvaro dengan mata yang menatap intens. Membuat Amara semakin salah tingkah.

"Glad you still remember that."

"Kamu sudah berbeda sekarang. Jauh lebih dewasa, lebih cantik."

Amara mengangkat kedua bahunya acuh. "Semua orang bakalan berubah seiring berjalannya waktu, Al. Kamu juga. Keliatan lebih matang, dan sepertinya mapan."

Alvaro memundurkan tubuhnya seraya tertawa kecil. "Alhamdulillah. Padahal setelah berpisah dari kamu, aku sempat hilang arah. Tapi aku sadar, tidak bisa terus-terusan tersesat di kegelapan. Meskipun prosesnya tidak mudah. Jadi aku mulai mencari tujuan hidup lain selain kamu."

"Lihat kan, sepertinya perpisahan kita berdampak positif. Membawa kita menjadi orang-orang yang lebih baik. Jadi yang kita lakukan sudah benar bukan?"

Helaan napas terdengar dari mulut Alvaro. "Aku tidak bisa menjawab itu. Karena putus dengan kamu adalah kesalahan terbesar yang pernah aku buat. Dan aku tidak pernah berhenti menyesal."

"Al, please stop." Amara meletakkan garpu di atas piring cake.

Alvaro mencondongkan tubuhnya lebih maju. Matanya ingin lebih leluasa memandang wajah cantik yang selama bertahun-tahun dirindukannya.

"Tapi sepertinya takdir ingin kita bertemu sekali lagi."

"Pertemuan kita ini cuma kebetulan, Al. Kebetulan. Nggak lebih." Amara memutar bola matanya malas.

"Tidak ada yang kebetulan di dunia ini, Ra. Semua rancangan Tuhan. Dan aku yakin, Tuhan telah merancang pertemuan ini untuk kita."

Amara mendengkus malas. "Nggak usah lebay, Al."

Sikap Alvaro semakin membuat Amara salah tingkah. Membuat Amara cemas dalam hati jika nanti pertahanannya bobol seketika jika Alvaro masih saja bersikap manis seperti ini. Kenapa juga takdir mempertemukan mereka hari ini. Di saat Amara sedang mengalami kegalauan hati. Dan kemana juga rasa benci dan sakit hatinya terhadap Alvaro selama ini? Semua musnah dalam sekejap sejak matanya menikmati senyum manis mengembang di wajah maskulin Alvaro.

"My daffodile ..." Amara mengangkat kepalanya, hatinya bergetar mendengar Alvaro menyebut panggilan sayang yang dulu ditujukan untuknya. "Aku ingin menuntaskan apa yang belum kita tuntaskan."

"Memangnya apa yang belum tuntas dari kita?" tantang Amara berani.

"Our story."

.

===============================

.

Amara memasuki vila dengan langkah tergesa-gesa. Sialnya lagi, setelah pertemuannya dengan Alvaro tadi, jantungnya masih berdebar kencang tanpa seijinnya. Seperti ingin mencelat keluar dari tempatnya di dalam rongga dada. Pesona seorang Alvaro begitu sulit untuk dihindari. Ini tidak boleh dibiarkan, terlalu berbahaya bagi kewarasan Amara. Apalagi bagi kelangsungan rumah tangganya.

Amara menghempas tubuhnya kasar di atas sofa ruang tamu. Matanya memejam sekejap untuk memenangkan hatinya yang sudah kacau.

Ingatannya berkelana pada kejadian sepuluh tahun yang lalu. Saat ia sedang menunggu kehadiran Alvaro di sebuah mal di bilangan Jakarta Barat, setelah selesai menghadiri sebuah wawancara kerja di sebuah perusahaan kontraktor. Hari itu mereka memang berencana nonton. Film epik yang sudah ditunggu-tunggu Amara sudah tayang di bioskop. Bagi seorang Amara yang memang penyuka cerita-cerita kolosal, film yang satu ini wajib untuk ditonton. Apalagi saat itu ia harus rela mengantri sepanjang ular naga demi mendapatkan tiket pemutaran perdana.

Siangnya Alvaro memang sudah mengabarinya akan datang telat karena ban mobilnya pecah. Jadi Amara tidak menaruh curiga sama sekali ketika satu jam sudah lewat dari waktu janjian mereka. Dua tiket kursi tengah sudah berada dalam genggamannya. Namun batang hidung Alvaro belum juga terlihat.

Pesan teks dari Amara tidak dibalas. Panggilan masuk darinya juga tidak diangkat. Amara semakin cemas saat sebuah suara dari speaker bioskop menginformasikan bahwa studio film telah dibuka. Bukan sekali itu saja Alvaro membuat kakinya pegal karena harus menunggu terlalu lama. Kejadian yang sama sudah beberapa kali terulang dengan berbagai macam alasan yang dilontarkan oleh Alvaro. Mulai dari sibuk mengantarkan mamanya belanja, sampai harus menunggui sepupunya yang sedang dirawat di rumah sakit. Namun anehnya, tidak pernah sekalipun Alvaro mengijinkan Amara untuk berkenalan dengan keluarganya. Selalu saja yang disebutkan olehnya adalah alasan jika waktunya belum tepat.

Namun Amara tidak mempermasalahkan hal tersebut. Toh hingga saat itu ia juga masih menyembunyikan hubungan mereka dari sang ayah. Prinsip hubungan mereka saat itu, jalani saja dan tunggu waktu yang tepat.

Tapi khusus hari itu, entah kenapa Amara merasa gelisah tak tenang. Perlahan potongan-potongan puzzle yang selama ini diabaikannya, menyatu membentuk sebuah kesimpulan. Alvaro berbohong?

Menonton film yang ditunggu-tunggu tidak lagi menjadi animonya. Amara lebih menanti kabar dari pria yang dicintainya. Tak sabar, Amara membuang tiket film yang sudah dibayarnya lalu berjalan keluar dari area mal tersebut.

Saat menemukan sebuah taksi, Amara nekat menghampiri rumah Alvaro yang tidak pernah sekalipun ia singgahi sebelumnya. Betapa terkejutnya Amara ketika manik matanya menemukan mobil Camaro milik Alvaro terparkir di dalam pagar rumah itu. Artinya pria itu sedang berada di dalam rumah, atau pergi keluar tanpa menggunakan mobil kesayangannya.

Diam-diam sepasang matanya meneliti dua pasang ban mobil tersebut. Amarahnya menggelegak begitu mengetahui kondisi empat benda bulat itu baik-baik saja. Dengan segenap keberanian, Amara nekat membuka pagar rumah itu. Saat mengetuk pintu dengan tak sabaran, seorang asisten rumah tangga membukakan pintu untuknya dan mempersilahkan Amara untuk masuk.

"Mas Al ada di kamarnya, Mbak. Tapi sedang ada temannya bertamu. Saya panggilkan dulu ya." Begitu ucapan wanita paruh baya yang bekerja di kediaman Alvaro itu. Namun tangannya mencegah kepergian wanita itu.

"Tamu? Perempuan atau laki-laki, Bu?" tanya Amara penasaran.

Wanita itu terlihat ragu untuk menjawab.

"Kamarnya Al yang mana, Bu?" tanya Amara tak sabar.

Wanita itu melirik pada sebuah kamar di pojok lantai dua. Gemingnya membuat Amara menuruti nalurinya untuk menggerakkan kakinya melangkah menuju kamar Alvaro. Memastikan apa yang perlu dipastikan oleh hatinya. Larangan dari sang asisten rumah tangga tidak didengarnya.

Saat pintu kamar itu ia buka, terpampang pemandangan yang menyakitkan hati. Meruntuhkan semua rasa yang ia punya terhadap pria itu. Meremukkan harga dirinya sebagai seorang wanita.

"Mbak Amara, baru datang?" Suara yang mengejutkan itu membuat Amara membuka mata dalam sekejap. Menyadarkannya dari mimpi buruk yang pernah menghantui hari-harinya di masa lalu.

Amara mengangkat kepalanya sekilas lalu kembali bersandar. "Eh Bu Rami, iya nih."

"Lho, suaminya mana? Nggak ikutan?" tanya Bu Rami terkekeh pelan.

"Enggak. Saya lagi jomblo, Bu." Jawab Amara dingin.

"Hm, lagi perang dingin ya, Mbak?" Bu Rami mengulum senyumnya.

"Perang badar, Bu." Amara menjawab asal sambil memijat kepalanya yang mulai pusing.

"Hehehe, masa pengantin baru perang?"

Amara memutar bola mata malas menanggapi sindiran Bu Rami.

"Mbak Amara sepertinya lagi nggak enak badan. Mau saya buatkan wedang jahe?"

"Boleh deh, Bu. Oya, Gita, Mas Andro dan yang lainnya kemana?"

"Mbak Gita ada di kamarnya. Kalau Mas Andro sedang mengantar Bu Ratna belanja alat tulis. Anak-anak dan Bu Levi ada di taman belakang sedang main bersama."

Bola mata Amara mengikuti kemana tangan Bu Rami mengarah. Menunjuk pada jendela besar yang memperlihatkan keberadaan anak-anak panti yang sedang asyik berlari-lari di taman.

"Ooh. Saya ke kamar Gita dulu deh, Bu. Jahenya tolong diantar ke sana ya."

"Nggih, Mbak." Bu Rami balik badan menuju dapur. Tidak lama kemudian Amara mengangkat tubuh menuju kamar Anggita.

Amara mengetuk pintu kamar berkali-kali namun tidak ada jawaban dari Anggita. Sehingga ia memutuskan untuk langsung masuk saja ke ruangan itu. Untungnya pintu tidak dikunci.

Kepalanya menggeleng berkali-kali saat mendapati Anggita yang tengah tertidur pulas di atas ranjang berukuran King itu.

"Git, bangun! Udah sore. Bangun!" panggil Amara tepat di sebelah telinga Anggita.

Merasa tubuhnya diguncang-guncang, Anggita membuka matanya sedikit dengan malas.

"Apaan siiiih! Gue masih ngantuk."

"Ya Allah, udah mau Maghrib ini. Bangun! Pasti lo udah lama molornya."

"Ogah! Gue masih kesel sama lo!" protes Anggita lalu kembali menutup kelopak matanya yang masih terasa berat.

"Kesel apaan! Bangun, Git! Mau Maghrib. Pamali tidur maghrib-maghrib."

"Iiih, rese deh lo!" Anggita mendengkus kesal lalu menutup muka dengan bantal.

"Banguuun!" Amara menarik bantal-bantal yang sedang dipakai Anggita.

"Mbaaaak!!! Nggak ada kerjaan banget sih lo! Sana bikin anak sama laki lo!" Anggita terduduk dengan wajah sebal.

"Tuh mulut minta disambelin ya! Kalo ngomong sembarangan. Nggak ada bikin anak maghrib-maghrib." Amara meraup wajah kantuk Anggita.

"Iishhh! Sana tangan lo jauh-jauh."

"Melek nggak lo! Gue guyur air juga nih."

"Iya, iya!" Anggita berusaha melebarkan matanya yang menyipit lalu menahan kuap dengan tangan kanannya.

"Tumben lo kesini. Mau honeymoon sama laki lo?"

Amara mendesah lemah. "Gue terbang kesini sendiri."

"Hah? Lha, laki lo mana?" tanya Anggita terperangah.

"Gue tinggalin di Jakarta."

"Heh? Kok? Hooo, lo lagi ribut ya?" Anggita nyengir usil sambil menguap lalu melakukan peregangan.

"Lo sama Bu Rami sama aja ya. Ghibah melulu senengnya."

"Apaan tuh ghibah?" tanya Anghita polos sembari mengucek mata ngantuknya.

"Gosssiiiip, Git." Amara mencubit pipi adiknya gemas lalu menghela napas berat.

"Hadeuh, Mbak. Jangan ngomong pake bahasa begituan deh sama gue."

Kesal, Amara menyentil lengan adiknya. "Makanya lo deket-deket sama Tuhan. Jangan deket-deket sama setan."

"Dih, siapa juga yang deket sama setan."

"Ya elo lah. Masa gue." Enggan menanggapi lebih lanjut, Amara cuma berdecak sebal. Pikirannya sudah terlalu lelah hari ini.

"Nih akibatnya lo nikah nggak bilang-bilang sama gue. Bermasalah kan hidup lo."

"Git, sumpah ya kalo lo bukan adek gue, udah gue hempas lo ke tengah-tengah pantai Double-Six. Kalo ngomong suka nggak disaring."

Amara melebarkan matanya penuh emosi.

"Emangnya santan disaring." Anggita mencelos. Padahal ia ingin tertawa terbahak-bahak melihat wajah kakaknya yang penuh masalah, ditekuk cemberut.

"Iya, iya. Maap. Ada masalah apa, kakakku yang cantik dan solehah? Sini cerita sama adikmu yang adil dan bijaksana ini."

Tidak menghiraukan candaan Anggita, Amara berniat menumpahkan segala uneg-unegnya setelah menarik napas dalam lalu menghembusnya perlahan.

"Gue lagi mumet, Git."

"Emang pernah hidup lo nggak mumet?"

Sentilan Amara kembali tertuju padanya. Tanpa memedulikan Anggita yang mengaduh, Amara melanjutkan curahan hatinya.

"Gue pikir setelah gue nikah, gue bakal lebih bahagia. Ya emang gue bahagia, sih. Bahagia banget malah. Tapi —"

"Tapi apa?" sela Anggita tak sabar.

"Selalu aja ada gangguan. Terlalu banyak wanita-wanita di sekitar Arga."

"Ya iyalah, Mbak. Lo nggak sadar apa betapa kerennya laki lo? Untung gue adek lo. Kalo gue orang lain, bisa jadi gue juga suka sama Mas Arga."

"Serius lo?"

"Seriuslah. Makanya ya gue paling anti berhubungan sama cowok-cowok ganteng dan keren, resikonya banyak. Mental gue nggak sanggup," jawab Anggita ceplas-ceplos.

Amara meraih guling Anggita ke atas pangkuan lalu menyandarkan dagunya di sana. "Kalo Alvaro?"

"Kenapa emang sama dia?" Anggita menatap curiga saat kakaknya melihatnya intens.

"Lo dulu suka sama dia?"

"Dia masa lalu kali, Mbak. Udah hancur jadi abu. Ketiup angin sepoi-sepoi. Ngapain sih mesti diinget-inget lagi?" Anggita berusaha berpaling namun Amara menahannya dari melarikan diri. Membuat Anggita kembali terduduk di pinggir ranjang.

"Lo dulu rebut Alvaro dari gue karena lo suka sama dia?" tanya Amara sekali lagi dengan tatapan menghakimi.

"Enggak! Gue nggak pernah suka sama mantan lo itu. Dia brengsek. Dan harusnya lo berterima-kasih sama gue sudah menjauhkan dia dari lo." Anggita bersungut sebal.

"Bukannya lo bilang waktu itu sengaja ngerebut dia dari gue biar gue murka sama lo?"

"Itu juga. Tapi gue juga tau dia itu nggak baik buat lo, Mbak."

Amara tersenyum lembut. "Jadi dibalik niat buruk lo itu, terselip niat baik juga ternyata."

"Ck ... ada apa sih? Kenapa lo tiba-tiba nanya soal dia? Lo masih cinta sama dia?" tanya Anggita dengan mata memicing curiga.

Amara tidak langsung menjawab. Ia menatap lesu selama beberapa saat lalu menghela napas kasar.

"Kenapa sih lo?" tanya Anggita lagi karena terlalu bingung dengan sikap kakaknya yang bagai remaja galau.

"Tadi gue ketemu dia."

"Dia siapa?"

Amara diam sejenak sebelum menjawab, "Alvaro."

Sepasang bola mata indah Anggita membeliak lebar dengan mulut menganga. "Serius??? Di mana?"

Kembali helaan napas Amara yang terdengar. "Tadi gue mampir cafe Made dulu sebelum kesini. Nggak nyangka banget bisa ketemu dia di sana."

Anggita semakin membelalak lebar. "Terus, terus, terus? Lo ngobrol sama dia?"

Amara mengangguk pelan. Lalu kedua tangannya terangkat menutup wajahnya yang sontak merona merah. "Sialnya dia masih bisa bikin gue deg-degan."

Pengakuan kakaknya membuat Anggita tahan napas. "Lo masih cinta sama dia? Setelah apa yang terjadi di masa lalu?"

Masih dengan posisi menutup wajah, Amara menggeleng cepat.

"Terus kenapa muka lo merah gitu, Mbak?"

"Nggak tau, Git. Gue nggak ngerti."

"Ya ampun, dia galau. Mbak, barangkali lo lupa, gue ingetin lagi ya. Lo tuh dah nikah lho ya. Udah punya suami. Kalo hati lo bergetar buat cowok lain, sama aja namanya lo selingkuh."

"Sembarangan banget lo! Siapa yang selingkuh?" Amara yang sudah menurunkan tangan dari wajahnya melotot tidak terima.

"Hati lo yang selingkuh!"

"Aaah, percuma gue curhat sama lo!" Amara berdiri menegakkan tubuhnya dengan wajah kesal.

"Lha, dibilangin nggak terima. Tanya tuh sama pak ustadz kalo nggak percaya. Atau tanya sama laki lo sendiri deh. Dia kan calon ustadz tuh."

Amara membalik badan lalu berjalan beberapa langkah menuju pintu. Tapi langkahnya terhenti dan tubuhnya kembali berbalik. Menatap adiknya yang masih duduk di pinggir ranjang.

"Gue curhat sama lo mau minta solusi. Bukan dijustifikasi." Lalu kembali melangkah menuju pintu. Namun saat pintu terbuka, Bu Rami sedang berdiri di sana membawa segelas air jahe dengan nampan dalam posisi sedang menguping.

Membuat Amara menyilangkan kedua tangan di depan tubuh lalu mengangkat sebelah alisnya.

"Hehe ... ini wedangnya, Mbak." Bu Rami nyengir malu sambil menawarkan minuman yang dibawanya. Lalu kepalanya tertunduk, tak berani beradu-pandang dengan Amara yang menatapnya penuh emosi.

"Lain kali jangan nguping pembicaraan orang lain ya, Bu. Saya nggak suka." Amara membanting pintu kamar Anggita. Meninggalkan Bu Rami yang terperangah kaget.

Amara bergegas menuju kamarnya lalu membereskan beberapa lembar pakaian dari dalam lemari untuk dimasukkannya ke dalam sebuah koper kecil. Seperti biasa, seorang Amara hobi melarikan diri dari setiap permasalahan pelik yang tidak bisa ia selesaikan dengan rumus manapun. Terlebih lagi rumus cinta. Ia bahkan tidak mengerti apa yang terjadi dengan perasaannya sendiri.

Sebuah rasa ada untuk dirasakan, tapi tidak untuk dimengerti. Karena rasa memang diciptakan untuk diterima, bukan untuk disangkal. Dan entah sampai kapan Amara akan menyangkal rasa yang tidak semestinya ada.

.

----------------------------------------------------------

.

Met malam fansnya babang Arga & mbakyu Amara. Mohon maap update tengah malam. Tadinya beneran mau hiatus. Berhubung cerita numpuk, gapapa kali ya upload part ini 🤩. Ditunggu komen dan jejak bintangnya...jangan lupa 🖐

❤ from me to you all