webnovel

PROLOG

"Permisi, Bu Amara. Ada ta — eh, maaf, Bu,"

Wanita yang dipanggil Amara itu tengah sibuk memulas lipstik di bibirnya yang memang sudah berwarna merah di depan sebuah cermin kecil, saat sang sekretaris tiba-tiba menyeruak masuk ke dalam ruangannya dengan langkah tergopoh-gopoh.

"Ada apa, Sa?" tanyanya dengan sikap santai sambil menutup lipstiknya.

"Itu ... ada Pak Hasan," jawabnya masih dengan rasa sungkan. Maira mendelik tajam saat mendengar nama itu.

"Ada urusan apa lagi si tua bangka itu kesini?! Kontrak kerjasama kita sudah batal!" Amara menggeram kesal.

"Saya kurang paham, Bu. Beliau mendesak."

"Sasha, kamu bilang sama dia, saya sedang sibuk! Lagipula sudah tidak ada lagi yang perlu dibicarakan di antara kami." Amara lagi-lagi mendengus kesal. Pasalnya sudah seminggu ini pria tua itu mengganggu hidupnya yang tadinya aman terkendali.

"Tidak perlu repot-repot minta sekretaris kamu yang menyampaikan pada saya, Direktur Amara. Kamu bisa menyampaikan kebohongan itu langsung pada saya saat ini juga." Dan di sinilah pria berkumis itu sekarang berdiri. Tepat di belakang Sasha, sekretarisnya.

Amara memejamkan matanya sejenak. Menarik napas dalam, lalu menghembus perlahan. Berusaha menahan emosi di dadanya yang tengah bergemuruh. Sudah terlalu muak rasanya menghadapi sikap tidak sopan Hasan. Pria tua ini harus diberi pelajaran!

Amara berjalan menghampiri, lalu memberi isyarat pada Sasha, sekretarisnya, untuk segera meninggalkan ruangannya. Meninggalkan hanya dirinya dan Hasan yang berdiri berhadapan di tengah-tengah ruangan.

"Seperti yang tadi sudah saya sampaikan pada sekretaris saya, tidak ada lagi yang perlu dibicarakan oleh saya dan Om. Dan saat ini saya sedang sibuk," ucarnya dingin.

"DR. Dania Amara Rielta, ST, Ph.D." Ia membaca papan nama yang tertulis di atas meja. "Gelar kamu setinggi langit. Tapi sikap kamu, serendah bumi. Begini cara kamu menyambut calon suami?" Hasan membalas dengan senyum dingin. Bisa dilihat dari kilatan di matanya, pria ini sangat tergila-gila pada Amara.

"Dasar bedebah tua! Jangan harap! Saya sudah menolak kontrak kerjasama dari Om yang jelas-jelas sangat merendahkan harkat martabat saya sebagai seorang wanita! Jika Om pikir saya bisa dibeli dengan sebuah merger, maka Om sungguh gila!"

"Merger seharga ratusan milyar lebih tepatnya. Ya, saya gila! Saya tergila-gila sama kamu, Amara. Saya sudah berkali-kali mengatakan hal ini, dan saya tidak akan pernah bosan. Saya sangat mencintai kamu, Amara." Suaranya melunak, terdengar putus asa.

"Dan saya sangat membenci anda, Pak Hasan yang terhormat. Sangat ... sangat ... benci!"

Hasan Graham, pria berusia 55 tahun itu telah menodai hubungan baik yang telah terjalin sejak lama antara perusahaan tempatnya bekerja, PT. Selona Rudita, dengan perusahaan real estate milik pria itu, PT. Hasanudin Corp. Bukan tanpa alasan pria itu berani mempertaruhkan reputasi perusahaannya hanya demi mendapatkan dirinya. Hasan adalah teman dekat mamanya, Retha Rudita. Dan PT. Selona Rudita ini adalah perusahaan milik Retha.

Sudah beberapa bulan ini, Retha berusaha keras menyodorkan berbagai jenis pria pada putri pertamanya ini untuk dijadikan jodohnya. Dan sudah berkali-kali pula Amara menolak semua pria yang sebagian besarnya terdiri dari hidung belang itu. Entah mamanya itu sudah terlalu putus asa atau memang terkena gangguan kejiwaan, sehingga nekat menjodohkannya dengan duda lima kali cerai ini.

Namun yang jelas, Retha adalah seorang wanita yang jeli dalam melihat peluang. Dan Retha melihat peluang menggiurkan yang ada di depan mata dengan menjodohkan dirinya dan Hasan. Setidaknya begitulah pikiran Amara menyimpulkan.

"Amara, saya sudah katakan berkali-kali. Umur tidak akan menjadi masalah untuk saya dan kamu. Rentang usia 23 tahun itu kecil. Dan jika saya sudah tidur di dalam tanah, kamu akan memiliki semua yang saya punya. Semua! Semuanya untuk kamu, Amara! Bukankah itu win-win solution untuk kita berdua? Lagipula, mungkin sebentar lagi saya akan mencapai ajal." Hasan mengangkat sebelah sudut mulutnya, tersenyum miring. Wajah angkuhnya menutupi sebongkah kegelisahan dalam hatinya.

Dasar tua bangka! Gue sumpahin lo mati berdiri sekarang juga! Amara mengutuk dalam hati. Masih berusaha menahan letupan gunung berapi dalam dadanya.

"Om lupa, kalau saya memiliki jabatan tinggi di sini? Dan saya sudah memiliki semuanya yang saya inginkan dalam hidup. Tapi Om? Om adalah manusia paling rakus di dunia. Sudah lima wanita yang Om nikahi, dan itu pun masih belum cukup?!" bentaknya dengan suara melengking. Napasnya semakin memburu, Amara yang selalu terkendali, kini kehilangan kendalinya.

"Mumpung Tuhan masih berbaik hati memberi Om umur panjang, sebaiknya cepat angkat kaki dari ruangan saya sekarang juga!!! Karena saya tidak akan segan-segan untuk menghilangkan nyawa Om saat ini juga!" Amara meraih pisau pembuka amplop dari atas meja lalu mengangkatnya tinggi-tinggi.

Hasan tertawa dingin. Sama sekali tidak terpancing oleh lahar yang disemburkan oleh Amara.

"Tidak, Amara. Kamu tidak punya semuanya, bukan — lebih tepatnya belum. Kamu belum punya semuanya. Kamu belum punya cinta. Dan saya bisa memberikan itu untuk kamu, Amara. Seluruh cinta saya hanya untuk kamu."

Amara terhenyak. Kata-kata itu sungguh menohok hatinya.

Sad but true! Amara belum pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Ia sering menyukai lawan jenisnya. Namun tidak pernah lebih dari sekedar rasa suka. Suka karena kagum, suka karena fisik, suka karena sifat, namun belum pernah seumur hidupnya ia merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya pada seorang pria.

Melihat reaksi Amara yang hanya membisu lalu perlahan menurunkan tangannya, Hasan menyeringai penuh kemenangan.

"Saya berjanji Amara. Dengan sepenuh hati, saya akan mencintai dan membahagiakan kamu. Kamu mau kan, Amara?"

Amara melemparkan kembali pisau itu ke atas meja. Lalu membalas dengan sorotan tajam, sambil berusaha menenangkan napasnya yang menderu.

"In your dream! Jangan sok tahu! Saya sudah punya seseorang yang sangat istimewa dalam hidup saya. And i love him as much as i love my life. And i was supposed to meet him right now! Saya sudah terlambat." Amara meraih tote-bag merahnya di atas meja. "Jika Om tidak mau keluar dari ruangan saya, tidak masalah. This place is yours. Saya yang akan pergi. Permisi!"

Dengan langkah cepat, Amara pergi meninggalkan ruangan kerjanya. Membiarkan pria itu menelan sendiri segala keangkuhan dan kesombongannya.

Amara menyesali diri. Kenapa tidak meninggalkan kantornya sejak setengah jam yang lalu. Kenapa pula ia harus disibukkan dengan riasan wajah hanya demi mempercantik diri bagi pria asing yang seharusnya ia temui sejak setengah jam yang lalu. Pria asing yang bahkan mungkin tidak akan pernah berhasil melelehkan hatinya yang sudah lama membeku.

Dania Amara Rielta, wanita karir yang sukses menjabat sebagai direktur perusahaan dan juga dekan di salah satu universitas ternama ibukota, dengan sederet titel melengkapi namanya, sudah mencapai segala mimpinya di usia 32 tahun, namun masih belum pernah merasakan apa yang namanya cinta pada seorang pria. Sungguh menyedihkan!

Ya, sangat menyedihkan! Amara  adalah wanita hebat dalam segala bidang. Namun sayangnya, ia tidak hebat dalam ilmu percintaan.

Saat ia berusia tujuh tahun, kedua orangtuanya bercerai. Amara tinggal dengan sang ayah, dan Anggita, adik perempuannya yang kala itu berusia empat tahun, ikut dengan mamanya. Ayahnya yang hanya seorang single-parent, menuntutnya untuk menjadi pribadi yang serba bisa dan sempurna hampir dalam segala hal. Hampir sebagian besar hidupnya dihabiskan hanya untuk belajar, belajar, dan belajar. Apapun ilmu yang bisa dipelajarinya, akan ia pelajari. Amara tidak suka diremehkan oleh siapapun, apalagi untuk sesuatu yang sangatlah sepele.

Ayahnya selalu berpesan kepadanya, 'taklukkan semua ilmu, maka dunia akan tunduk padamu'.

Maka dalam hidupnya yang seperti ensiklopedia berjalan, Amara tidak mengenal makna kata cinta. Ia tidak memiliki teman, apalagi sahabat. Ia tidak pernah menaruh kepercayaan pada siapapun.

Lagi-lagi dikarenakan pesan ayahnya, 'selalu waspada, semua orang berpotensi menjadi pengkhianat'.

Setibanya di basement, Amara langsung menaiki mobil Lexus silver miliknya yang terparkir tidak jauh dari lift tempatnya keluar. Mobil mewah yang dibeli dengan menguras hampir sebagian besar tabungannya. Sebenarnya mudah saja bagi Amara untuk mendapatkan sebuah mobil mewah layaknya anak-anak pejabat pada umumnya. Yang perlu ia lakukan hanyalah meminta pada mamanya, sang pemilik perusahaan. Namun Amara tidak sudi menerima sepeser pun pemberian wanita berusia 50 tahun itu secara cuma-cuma. Ia tidak ingin jika nantinya memiliki kewajiban untuk membalas budi pada Retha.

Semenjak ayahnya meninggal tiga tahun yang lalu, Retha yang memang salah seorang anak mantan pejabat di era orde baru dan sukses mendirikan perusahaan developer, mengajak Amara untuk tinggal bersamanya dan Anggita. Awalnya Amara menolak. Rasa bencinya terhadap wanita yang sudah melahirkannya itu kian dalam. Bagaimana tidak? Perselingkuhan sang mamalah yang menjadi penyebab hancurnya keluarga harmonis yang dulu ia banggakan. Hingga dulu Amara pernah bersumpah jika suatu saat nanti akan membalas semua kepahitan yang pernah Retha torehkan dalam hidupnya. Dan menerima uluran tangan mamanya sekarang, adalah awal mula dari rencana balas dendamnya.

Amara mengemudikan mobil mewahnya ke arah Slipi. Pria asing bernama Razi telah menunggunya di sebuah restoran sunda yang di apit oleh gedung-gedung perkantoran.

Amara tersenyum sendiri, membayangkan jika pria ini bisa jadi jodoh yang memang dikirimkan oleh Tuhan untuknya. Meskipun kemungkinan besarnya bukan. Namun kali ini Amara tidak punya pilihan lain. Siapapun, bagaimanapun, dan darimanapun pria yang akan ditemuinya ini, Amara sungguh tidak peduli. Ia akan tetap menjadikan pria itu sebagai jodohnya. Sudah terlalu muak rasanya menghadapi pria-pria hidung belang pilihan mamanya.

Setibanya di restoran itu, Amara memarkirkan mobilnya di baris paling ujung lahan parkirnya yang terbilang luas. Tidak terlalu banyak mobil-mobil yang terparkir di sana. Ia mengernyitkan dahi, merasa tumben restoran yang biasanya padat oleh pengunjung yang menggemari citarasa sunda ini menjadi sepi. Lalu Amara mengangkat pergelangan tangan kirinya dan terperanjat. Pantas saja! Sudah lewat dari jam 2. Telat satu jam lebih!

Amara langsung berjalan cepat memasuki restoran yang bernuansa saung itu. Sambil sesekali membenahi posisi kacamata dan juga rambut panjang bergelombangnya yang tergerai di punggung.

Ia memonitor pandangan di sekitarnya, mencari-cari sosok pria yang sedang duduk sendirian. Dalam hati berharap kuat semoga saja pria itu memiliki fisik yang setidaknya mendekati tampan. Tidak muluk-muluk permintaannya pada Tuhan. Setidaknya Amara tidak perlu memejamkan mata jika mereka berhubungan intim nantinya setelah menikah.

"Nia?"

Amara menoleh ke arah suara yang memanggilnya dari sebelah kiri. Matanya terbelalak melihat sosok itu.

"Arsan?"

"Kamu ... Amara?"

"Kamu ... Razi?"

Keduanya saling menunjuk ke lawan masing-masing. Lalu tiba-tiba saling menertawakan diri sendiri.

Amara tersenyum lebar. Hatinya berdebar-debar melonjak senang seakan baru saja menang undian. Mungkin memang ia baru saja memenangkan undian. Undian memilih jodoh. Entah apa yang sudah diperbuatnya hingga Tuhan berbaik hati mengirimkan padanya sosok pria ini. Pria yang dulu pernah ia sukai karena fisiknya yang menggoda iman.

"Kamu, apa kabar?" Amara terlebih dahulu memulai percakapan setelah canggung sesaat.

"Alhamdulillah baik. Kamu apa kabar?" tanya pria bernama Razi itu.

"Baik juga. Maaf ya telat, tadi meetingnya ngaret." Amara berbohong. Cepat-cepat ia mengalihkan diri untuk memanggil pelayan yang sedang membereskan meja sebelah untuk memesan minuman. Karena Amara bukan wanita yang pandai menutupi kebenaran. Ia perlu menutupi frekuensi debaran jantungnya yang mulai meningkat.

"Nggak apa-apa. Aku juga tadi telat, belum lama nunggu," balas Razi dengan mengulas senyum yang mampu melumpuhkan hatinya.

Amara sendiri tidak tahu jika Razi pun sedang menyembunyikan kebenaran. Karena pria ini sudah hampir satu setengah jam menunggu kedatangannya. Bahkan nyaris beranjak dari tempat itu semenit sebelum akhirnya Amara tiba.

"Beneran?" tanya Amara tidak yakin. Ia juga tahu persis bagaimana sifat pria di hadapannya ini.

"Iya."

Matanya memicing curiga. "Kamu kan orangnya punctual! Paling nggak suka telat."

"Masih ingat?" tanya Razi tersenyum sumringah.

"Ya ingatlah. Mana ada yang lupa sama seorang Arsan yang berani menegur dosen killer cuma gara-gara telat lima menit ngajar."

Keduanya saling tertawa terbahak-bahak. Sejenak Amara mampu melupakan masalah peliknya.

"Dan gara-gara kejadian itu, aku dikasih nilai B," sungut Razi.

"Ya kamu, sih! Berani-beraninya ngomelin Professor Watanabe. Cari perkara itu namanya! Nggak jadi summa cumlaude kan?" cibir Amara sambil memutar kedua bola matanya. Kedua tangannya sedikit gemetar, ia gugup. Pria di hadapannya ini terlihat jauh lebih tampan dan dewasa dibandingkan tujuh tahun yang lalu. Mungkin ini yang disebut makin tua makin jadi, pikirnya.

Amara melepas kacamatanya, berpura-pura membersihkan lensanya yang padahal sama sekali tidak buram. Ia hanya butuh pengalihan untuk menutupi rasa gugupnya.

"Nggak apa-apa. Ngalah sama kamu," timpal Razi sambil terkekeh pelan.

Amara hendak balik mencibir namun senyum terlanjur terkembang di wajahnya.

"Aku nggak nyangka, ternyata kamu orangnya yang mau dikenalin ke aku. Kata Galang, cewek yang mau dikenalin sama aku, pendiam," sindir Razi sambil mengamati Amara yang masih sibuk membersihkan kacamata yang menurut Razi sudah terlihat mengilat.

"Jaman SMA memang aku pendiam. Nggak terlalu banyak bergaul sama teman-teman. Waktu itu, masih penuh tekanan dari ayahku untuk selalu berprestasi. Pulang sekolah, harus les. Pulang les, harus belajar lagi. Bahkan selesai belajar, masih harus menghadapi tanya-jawab bersama ayah. Jadi, hidupku di masa SMA bisa dibilang ... horor!" Amara bercerita panjang lebar lalu diakhiri dengan tawa yang menyeramkan, seperti dalam film Suzanna. Berusaha untuk bergurau, namun justru terasa kaku.

"Pantesan, waktu di Jepang malah kebablasan." Razi mengingat satu hari itu. Hari di mana Amara ikut-ikutan mabuk saat menghadiri pesta ulang tahun salah satu teman mereka yang berasal dari Norwegia. Saat itu, karena sebagian besar teman-teman mereka juga dalam kondisi mabuk, terpaksa Razi yang mengantar Amara pulang ke asrama.

Kedua pipi Amara memerah, sungguh tak ingin mengingat peristiwa memalukan itu. Bukan memalukan karena ia tengah mabuk, justru saat mabuk itulah ia mengatakan sesuatu yang memalukan. Dalam kondisi antara sadar dan tidak sadar, Amara justru mengungkapkan jika ia menyukai Razi. Dan itu adalah pertama kalinya ia mengungkapkan perasaannya pada seorang pria.  Namun yang paling disesali olehnya, ia bahkan tak mampu mengingat apakah Razi menjawab perasaannya itu atau tidak.

"San, lupain aja peristiwa itu. Bad memory!" pintanya sambil merengut.

"Kalau aku nggak bisa lupa, gimana dong?" Razi tengah menatap lekat dengan sorot matanya yang Amara yakin mampu menghipnotis wanita manapun, membuat Amara semakin salah tingkah. Ia tersihir! Lebih tepatnya hatinya sudah terjerat. Fixed! Pria inilah yang akan menjadi jodohnya!

Dukkk! Jus alpukat yang merupakan minuman Razi tumpah, tak sengaja tersenggol oleh tangannya yang tengah kikuk. Bahkan kacamata di genggamannya turut terlempar, berbaur dengan tumpahan jus di atas meja. Amara meringis malu. Sungguh ceroboh! Ia sukses mempermalukan diri sendiri. Jika saat ini ada jurang terbentang di hadapannya, mungkin Amara akan nekat terjun bebas ke bawah.

"San ... maaf ya ...," sesalnya dengan suara lirih seperti hampir menangis. Amara tengah sibuk memaki dirinya sendiri di dalam hati. Bego! Bisa-bisanya salting salah alamat!

Razi segera melambaikan tangan kepada seorang pelayan untuk membersihkan tumpahan minuman itu. Mengamati wajah Amara yang semakin muram, Razi justru tertawa pelan.

"Tega ih, ngetawain aku!" sungut Amara.

"Sori, soalnya kamu masih sama saja seperti dulu. Gadis ceroboh!"

Bukannya kesal dengan julukan itu, Amara justru ikut tertawa. Ia tak menampik fakta yang satu itu, ia memang si gadis ceroboh. Ceroboh dengan perasaannya.

"Ehm, jadi kamu kerja bareng Galang sekarang?" Amara mengalihkan pembicaraan. Enough about her!

"Kami berdua mendirikan biro itu bersama-sama," jawab Razi sambil memundurkan badannya hingga ke sandaran kursi. Sang pelayan tengah membersihkan meja yang membentang di tengah keduanya. Untuk beberapa menit keduanya terdiam, menunggu sang pelayan menyelesaikan pekerjaannya.

"Kok bisa, ya? Background-nya Galang kan IT. Kok nyemplung ke biro arsitek? Emangnya ngerti?" lanjut Amara bertanya dengan nada sedikit mencemooh.

"Para arsitek juga butuh bantuan ahli IT kan?" jawabnya datar. Tidak suka dengan nada meremehkan dari kalimat Amara.

"Iya siiih, tapi kan —"

"Kalau kamu? Kerja di mana sekarang? Masih ngajar?" Razi cepat memotong kalimatnya. Mencegah Amara mencari celah untuk mengumbar kelemahan orang lain. Itulah sifat Amara yang paling tidak ia suka, terlalu sibuk mencari kekurangan orang lain.

"Aku punya dua pekerjaan sekarang," jawabnya dengan sikap jumawa.

"Oh ya? Apa saja?" Razi pura-pura terkejut.

"Aku sudah jadi dekan di fakultas teknik sekarang. Masih kampus yang lama."

Razi manggut-manggut. "Satu lagi?"

"Direktur operasional di PT. Selona Rudita."

"Hah? Serius kamu??" Kini Razi benar-benar terkejut, tidak berpura-pura seperti tadi. Siapa yang tak mengenal salah satu perusahaan developer raksasa di Indonesia itu. Menjadi salah seorang yang duduk dalam jajaran direksi dari perusahaan sebesar itu tentu tak mudah.

Amara mengangguk pelan seraya mengumbar senyum manisnya. Bagus! Dia mulai terpana dengan kehebatanku! Sombongnya dalam hati.

Razi pun membalas senyumnya. Kesempatan emas!

"Kalau begitu, kita bisa menjalin kerjasama. Perusahaanmu bisa pakai jasa biroku." Razi tidak menyia-nyiakan peluang yang ada di depan mata.

"Tentu saja bisa!" jawabnya dengan lugas. Lalu tiba-tiba Amara teringat akan sesuatu. "Eh, bukannya tadinya kamu bekerja dengan Pak Hardi?"

Amara cukup mengetahui reputasi perusahaan milik arsitek kenamaan Indonesia itu. Jika Razi pernah bekerja untuk pria yang karyanya dikenal sebagai masterpiece gedung-gedung di negeri ini, tentu ia adalah seorang arsitek yang sangat berbakat. Tidak hanya memikat, Razi juga memiliki masa depan cerah. Really really fixed! Pria ini berpotensi besar untuk menjadi calon suaminya.

"Ya, tapi ... ehm, aku berpikir, mungkin ini saatnya aku mandiri. Dan Pak Hardi menyetujui permintaanku itu. Bahkan beliau yang menjadi investor terbesar di perusahaan kecilku itu."

Amara menebar senyum penuh makna. Jika orang sepenting Hardiyanto Soenyoto berani mempertaruhkan uangnya untuk pria di hadapannya ini, berarti Razi memang benar-benar sosok yang hebat.

"Kalau begitu kenapa kita tidak langsung menjalin kerjasama saja?" Amara membuka tote-bag-nya lalu mengeluarkan dompet. Ia meraih selembar kertas persegi panjang berukuran setelapak tangan. "Kebetulan, kantorku berencana membuka cabang di Bali. Sudah ada beberapa proyek yang mau dikerjakan di sana. Kami butuh gedung baru. Mungkin kamu bisa bantu." Amara menyodorkan kertas yang berisi informasi email dan nomor teleponnya itu.

Razi menerima kartu nama itu lalu membacanya sekilas. Wanita ini benar-benar Einstein versi kaum hawa, pikirnya.

"Hmmm ... sebenarnya Nia, aku sudah tidak mengerjakan proyek gedung perkantoran lagi. Tapi, aku punya teman yang sangat handal di bidang itu. Nanti aku kenalkan kamu dengan dia."

"Okey, no problem!" angguknya mengiyakan. Tidak jadi masalah  siapapun juga yang mengerjakan project itu. Malah sebenarnya, perusahaannya memiliki sederet arsitek handal yang biasa membantu proyek real-estate mereka. Hanya saja, saat ini Amara membutuhkan dalih agar bisa sering bertemu dengan pria ini dan melancarkan rencananya.

"Kalau begitu, nanti aku kabari lagi  kapan bisa mengenalkan kamu dengan temanku itu."

"Aku tunggu kabar baik dari kamu."

.

.

=================

.

.

Amara memasuki pelataran rumah mewah itu dengan mata berbinar-binar. Tersenyum sendiri mengingat pertemuannya dengan Razi yang berlangsung hingga sore tadi. Sesekali Amara menggigit bibir bawahnya, menahan rasa malu karena tiba-tiba merasa seperti seorang remaja tanggung yang sedang naksir teman sekelas. Setidaknya bayangan wajah Razi di benaknya, bisa menggeser ingatannya akan kehadiran Hasan si pria tua bangka tidak tahu diri itu di kantornya siang tadi.

Tiba di depan pintu masuk, Amara langsung menghapus senyumnya. Berekspresi datar.

"Selamat datang, Mbak Amara." Seorang wanita paruh baya tengah menyambutnya di depan pintu masuk. Ia adalah Bu Susi, kepala pelayan di rumah ini. Lebih tepatnya rumah mewah milik mamanya.

Amara mendengkus bosan. Sungguh, ia tidak membutuhkan kehidupan ala putri raja seperti ini. Hidup di rumah bak istana yang bahkan tidak setiap penjurunya pernah ia singgahi, lalu dilayani oleh lebih dari sepuluh orang pekerja di dalamnya. Ia bahkan tidak mengingat semua nama mereka. Paling-paling hanya Bu Susi, Pak Ganjar salah satu supir, Mita salah satu pelayan dapur, dan Mang Engkus salah satu tukang kebun. Hanya keempat nama itu yang diingatnya, karena mereka berempat-lah yang lebih sering berinteraksi dengan Amara.

"Nyonya sudah pulang, Bu?" tanya Amara sambil menyesap segelas ginger-lemon hangat yang sudah disiapkan untuknya.

"Belum, Mbak." Bu Susi menggelengkan kepala. Paling-paling masih sibuk dengan kehidupan sosialitanya. Pikir Amara.

"Kalau Gita?"

Lagi-lagi Bu Susi menggelengkan kepalanya untuk menjawab. Amara menghela napas panjang. Paling-paling masih sibuk dengan kehidupan malamnya. Pikir Amara lagi. Ia sudah hapal betul dengan rutinitas keluarga tanpa kepala keluarga ini.

"Ya sudah, saya naik dulu." Amara beranjak dari duduknya, berjalan gontai masuk ke dalam lift yang akan mengantarnya menuju kamar tidurnya di lantai tiga. Ya, bahkan rumah ini memiliki sebuah ruang kecil bermekanisme katrol itu di dalamnya.

Ting! Lift itu terbuka tepat di sebelah pintu kamarnya. Amara masuk ke dalam kamarnya dengan penuh semangat, berbeda dengan wajah malas yang tadi ditunjukkannya di depan Bu Susi. Karena jika sang kepala pelayan itu tahu ia sedang berbahagia, berita itu pasti akan langsung sampai di telinga sang nyonya besar. Dan setelah itu, mamanya itu pasti akan menginterogasinya habis-habisan.

"Hai, Turq! How's your day? Nggak berantem kan sama Cassie? Yang akur, dong. Cepet-cepet bikin anak, ya. Mommy nggak sabar punya cucu, nih!" Amara terkekeh geli sendiri.

Ia sedang berbicara dengan dua kura-kura kecil peliharaannya yang hidup di dalam balok kaca berukuran sedang.

Amara melempar tas kerjanya ke sembarang arah, melipat kacamata yang sudah dilepasnya, menggerai rambut panjangnya yang tadi digelung, lalu menjatuhkan diri telentang di atas ranjang empuknya. Ia meraih ponselnya yang berada dalam saku blazer. Lalu mengutak-atik layarnya hingga terdengar nada panggil di seberang sana.

"Halo?" suara seorang pria terdengar menyambut panggilannya.

"Galaaaang, i'm so happy! Makasih yaaa!" Ia berteriak girang.

"Hm? Siapa ya?" tanya Galang heran karena merasa asing dengan suara itu.

"Ini Amara, Lang! Amara!" tegasnya berkali-kali.

"Ooo...kamu! Aku pikir siapa. Kenapa teriak-teriak girang gitu?"

"Kok kamu nggak cerita sih kalo cowok itu ternyata Arsan?" tanyanya dengan diiringi sedikit rasa sebal.

"Hah?" Galang masih belum paham.

Amara memutar kedua bola matanya. "Cowok yang mau kamu kenalin ke aku. Ternyata Arsan, cinta lamaku!"

Oke, rasanya terlalu berlebihan kalau Amara menyebut Razi sebagai cinta lamanya. Bukan cinta lama, hanya salah satu pria yang pernah ia sukai dulunya. Namun Amara perlu mengatakan itu untuk mempercepat rencananya.

"Hah? Si Aji cinta lama kamu??" Galang terdengar kaget. Benar-benar kaget.

"Gimana ceritanya?"

"Dia temen S2 ku dulu di Jepang. Dulu aku pernah gebet dia, tapi setelah lulus kita lost contact. Ya ampuuun, ternyata Tuhan baik banget sama aku, mempertemukan aku dan dia lewat kamu." Amara masih bersorak kegirangan.

"Astaghfirullah!" gumam Galang pelan tapi terdengar jelas disertai rasa kaget.

"Apa, Lang?" tanya Amara tidak yakin.

"Eh, eng—enggak. Mar, maksud kamu ... kamu suka sama Aji?"

tanya Galang ragu-ragu.

"Arsan! Buat aku, dia itu Arsan. Aku pernah suka sama dia, dan ternyata ... sekarang aku makin suka."

°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°°

Gimana part pertama? Buat yg bingung bisa baca dulu cerita May dan Aji. Jangan lupa vote & komen yaaa 😍