webnovel

Kalah Sebelum Berperang

"Assalamu'alaikum," salam terucap dari bibir Arga saat memasuki rumah mungil itu.

"Wa'alaikumussalam. Eh, cintanya Mama sudah pulang. Tumben. Ini jam berapa? Kamu belum makan malam kan?" sambut seorang wanita paruh baya seusia Johan namun dengan jumlah rambut putih yang lebih banyak.

"Belum kok, cintanya Arga. Laper, nih. Masih jam 7 kok. Mama masak?" tanyanya sembari merangkul bahu sang Mama mesra. Tangannya menggiring wanita tua itu berjalan beriringan menuju ruang makan.

"Mama tadi masak sendiri. Mbak Hayu nggak datang hari ini." Ucapannya terdengar seiring dengan penglihatan Arga yang melihat kondisi dapur yang porak poranda dan hidangan di meja yang kurang menggugah selera. Lalu matanya turun melihat ke arah jari sang Mama. Kembali terlihat luka bekas tersayat pisau di jari telunjuk kirinya. Mungkin ini luka kelima minggu ini. Arga menghela napas.

"Ma, Arga bilang apa? Nggak usah masak-masak kalau nggak ada Mbak Hayu. Itu jarinya luka lagi kan?"

Tanpa sadar air mata menetes dari sudut mata wanita itu.

"Tapi Mama pingin masakin kamu. Tapi akhirnya malah jadi merepotkan. Mama pingin bisa ngurusin kamu. Tapi selalu saja ... maaf ya sayang, Mama selalu jadi beban buat kamu." Arga langsung memeluk sang Mama yang tersedu-sedan.

"Bukan begitu, Ma. Arga mengerti Mama sangat sayang sama Arga. Arga juga sayang Mama. Tapi Mama juga harus ingat kondisi kesehatan. Arga nggak mau Mama kenapa-kenapa."

Sang Mama mengangkat kepalanya untuk menatap putra angkat tampannya lekat. Namun sayangnya wajah tampan itu benar-benar menjadi gambar buram di matanya. Kedua tangannya terangkat membelai kedua pipi Arga. "Mama kangen wajah kamu. Mama kangen melihat dunia."

"Besok kita cek ke dokter Emery lagi ya. Siapa tahu dapat kabar bagus," ujar Arga menenangkan.

"Enggak! Mama nggak mau! Dokter itu suka bohong. Dulu bilangnya Mama bisa sembuh. Tapi apa?!"

Arga kembali menghela napas untuk kesekian kalinya. "Ma, itu kan dua tahun yang lalu. Siapa tahu sekarang ada perubahan."

"Mama nggak suka di-PHP-in! Lagian ... Mama sudah capek harus treatment ini itu. Mama lelah, Sayang."

"Tapi, Ma —"

"Besok jadwal Mama cuci darah, kan? Mama sama Mbak —"

"Assalamu'alaikum." Terdengar suara perempuan mengucapkan salam disertai ketukan di pintu rumah.

"Siapa, Sayang? Tumben ada tamu." Sang Mama menggamit erat lengan Arga disertai rasa cemas. Sebelah tangannya meremas ujung jilbab panjangnya.

"Nggak tau, Ma. Mbak Hayu mungkin?"

"Bukan, itu bukan suara Mbak Hayu. Bukan suara Saki juga. Siapa, ya?" Sang Mama merasa asing dengan suara itu. Setelah penglihatannya mulai memburam, sang Mama mulai membiasakan diri mengenali seseorang dari suaranya. Kali ini yang dikhawatirkannya, jangan-jangan ini suara sang penagih utang.

"Assalamu'alaikum." Sekali lagi wanita itu bersuara diiringi ketukan pintu untuk kedua kalinya.

"Sebentar, Ma." Arga hendak melepas genggaman sang Mama, namun pegangan wanita tua itu semakin mengerat. Akhirnya Arga membawanya serta berjalan empat meter ke depan untuk membuka pintu.

"Wa'alaikumussalam."

Kedua bola mata Arga membelalak kaget saat melihat sosok yang berada di balik pintu.

"Emm ... maaf mengganggu malam-malam."

"Amara?" ucap Arga lirih.

"Siapa, Sayang?" Sang Mama mengerjapkan pandangan buramnya berkali-kali untuk menemukan titik fokus wajah wanita didepannya. Namun gagal.

"Dia ..."

"Saya Amara, Tante. Teman kerjanya Arga." Amara langsung meraih tangan sang Mama untuk diciumnya hormat.

"Ooh ... ayo, masuk sini, Nak." Setelah menarik napas lega, sang Mama memberikan jalan masuk.

"Terima kasih, Tante."

Sementara Arga masih menatapnya tajam dengan penuh rasa tak percaya akan kenekatan Amara untuk bertandang ke rumahnya.

"Silahkan duduk dulu, Nak Amara."

"Iya Tante, terima kasih. Oh ya, Tante ini ..." Amara sengaja memutus kalimatnya ragu-ragu. Berharap Arga atau sang wanita tua yang dipanggil 'Tante' itu menyambung kalimatnya.

"Panggil saja saya Mama Jihan," jawabnya seketika seakan mengerti maksud Amara lalu disamhut Amara dengan anggukan kepala yang sekelebat terlihat oleh Mama Jihan.

"Kalau begitu kalian silahkan bicara. Mama masuk dulu, ya."

"Mama boleh ada di sini, kok. Paling-paling Amara cuma mau ngomongin kerjaan. Betul begitu ... Amara?" Arga menyambut dingin, serentak dengan tatapan dinginnya yang langsung tertuju pada Amara yang tengah duduk di sofa kecil.

Terang saja Amara balas menatap nanar dengan perkataan Arga barusan. Pria itu tahu betul apa maksud dan tujuan Amara nekat datang ke rumah itu.

Namun Amara tidak semudah itu menyerah. Ia segera mengangkat sebelah alisnya. "Emm ... Mama Jihan, sebenarnya yang mau kita bicarakan proyek besar rahasia. Top confidential lho ini."

"Oh, kalau begitu Mama —"

"Enggak kok, Ma. Cuma proyek besar kecil. Kliennya juga bukan orang yang bisa dipercaya."

Amara menatap tak percaya. Bisa-bisanya Arga menyindir tajam. Otaknya langsung berpikir keras.

"Proyek besar kecil tapi menjanjikan, Ma. Lagian kliennya itu wanita baik, cantik, cerdas lagi, Ma. Arganya aja yang sok malu-malu mengakui."

Amara nyengir tipis. Sedangkan Arga menyipitkan matanya dengan wajah tak suka.

"Benar itu, Sayang? Apa jangan-jangan ... kamu suka sama klien kalian itu?"

"Tidak!"

"Iya, Ma!"

Keduanya serentak menjawab pertanyaan Mama Jihan yang sumringah.

"Mama leb —"

"Jangan per —"

Lagi-lagi keduanya berusaha membantah bersamaan.

"Hehehe ... kalian lucu, deh. Jangan-jangan kalian yang berjodoh." Ucapan Mama Jihan ini sontak menghentikan aksi angkat bicara keduanya yang sama-sama tidak menyetujui pendapat itu.

"Ya sudah, Mama masuk dulu. Kalian silahkan bicara dulu." Mama Jihan membalikkan badan lalu berjalan dengan meraba pada dinding. Amara yang melihat kondisinya langsung bangkit mengambil inisiatif.

"Biar saya bantu, Ma." Tahu-tahu tangannya sudah menggandeng lengan wanita tua itu. "Mama Jihan mau jalan kemana?"

"Ya Allah, kamu baik sekali, Nak. Mama mau ke kamar saja. Oh ya, Amara sudah makan malam?" Langkah pelannya terhenti.

"Eh, be —"

"Dia pasti sudah makan, Ma." Arga yang mengikuti langkah keduanya dari belakang, menyahut saat Amara akan menjawab. Tentu saja aksinya itu membuat Amara kesal. Belum juga bicara baik-baik. Mood-nya sudah hancur duluan.

Untung saja Mama Jihan sudah mengerti watak putra angkatnya itu. "Amara, Mama tadi masak di dapur. Tapi sepertinya hasilnya tidak bagus. Mama nggak tahu bagaimana penampakan tumis jamur di meja. Dapur juga mungkin berantakan sekali. Kalian berdua makan di luar saja, ya."

"Emm, kalau Mama sudah makan?"

tanya Amara dengan bersemangat. Sangat bersemangat. Sebuah ide muncul di kepalanya.

"Mama makan buah saja nanti. Banyak pantangannya kalo sudah umur segini," jawab Mama Jihan sambil tertawa pelan.

"Mama sukanya makan apa?" tanya Amara lagi masih bersemangat.

"Mama suka apa saja. Tapi Mama —"

"Ya sudah, Mama istirahat saja dulu. Arga yang siapkan makanan," tukas Arga dengan cepat memotong kalimat Mama Jihan. Dan segera membimbingnya untuk masuk ke dalam kamar.

Setelah menutup pintu kamar, Arga yang tadinya sudah siap sedia meluncurkan protes dan omelan pada Amara, justru tidak menemukan keberadaan wanita itu di luar kamar. Kepalanya menoleh ke kanan-kiri untuk mencari sosoknya. Lalu tiba-tiba terdengar suara sendok jatuh ke lantai. Arga menarik napas kesal saat mengetahui sedang berada dimana wanita yang dicarinya.

"Ngapain kamu di sini?" tanyanya gusar sesampainya di dapur lalu menemukan pemandangan Amara yang sedang sibuk mencuci peralatan masak yang kotor.

"Kamu bisa lihat kan aku lagi ngapain?" jawabnya santai. Amara terlihat menikmati kesibukannya itu.

"Stop! Aku nggak suka kamu seenaknya di rumah ini!" perintah Arga dengan suara meninggi lalu menarik kasar panci yang sedang dibilas oleh Amara. Tangan satunya segera mematikan aliran kran.

"Kamu kenapa, sih? Nggak suka banget aku bantu-bantu di sini?"

"Memang tidak suka!" Kali ini Arga membentak.

Tapi bukan Amara namanya jika mudah menyerah saat terancam. Wanita keras kepala ini justru kembali menyalakan kran dengan acuh.

Arga kembali memutar balik katup kran.

Amara kembali membuka kran.

Arga kembali menutup kran. Kali ini dengan wajah memerah menahan amukan emosi.

Amara tak gentar. Ia kembali membuka katup kran. "Sekali lagi kamu matikan kran itu, aku samperin Mama Jihan di kamar. Aku bakal ceritain soal ciuman kita di Bali. Biar kita disuruh nikah sekalian. Kamu mau begitu?"

Arga mendengkus kesal. Dengan berat hati ia menyerah, membanting panci di hadapan wanita itu. Lalu segera meninggalkan dapur.

Amara berdecak kesal. "Dasar, anak kecil!"

Tidak butuh waktu lama bagi Amara untuk membereskan dapur dan membuat dua jenis hidangan yang cukup untuk makan malam mereka bertiga. Untungnya isi kulkas di rumah itu lumayan lengkap. Pasti Arga yang selalu menyiapkan semua kebutuhan di rumah ini, begitu pikirnya.

Sejam kemudian Amara keluar dari dapur untuk memanggil Arga dan Mama Jihan. Saat mulutnya akan membuka, matanya menemukan pemandangan yang menyejukkan. Di dalam sebuah kamar terbuka, ia melihat Arga yang sedang sibuk melantunkan dzikir selepas sholat Isya. Amara tersenyum. Sebuah sensasi rasa yang tak biasa muncul di hatinya.

Pria soleh itu bikin adem hati ternyata. Pikirannya berbisik.

Tanpa sadar matanya betah menikmati pemandangan itu hingga akhirnya Arga melipat sajadah dan melepas kopiahnya. Saat tak sengaja menoleh ke arah luar, keduanya bersitatap.

"Kamu hobi ngintipin kamar orang, ya?" sapa Arga sinis.

Namun Amara masih betah tersenyum padanya. "Jangan salahkan aku. Kali ini kamu sendiri yang membuka pintu kamar."

"Kalau aku tutup, kamar gerah. Tidak ada AC di sini."

Amara diam saja enggan membalas. Baginya rumah ini lebih nyaman daripada rumah Mamanya. Meskipun terbilang kecil dan hanya memiliki dua kamar tidur, satu kamar mandi, dan hanya bermodalkan kipas angin sebagai penyejuk ruangan, namun hawa di rumah ini benar-benar menyejukkan. Kalau ditawari menginap di rumah ini pun, ia tidak akan menolak.

"Makanan sudah siap. Sudah jam delapan, nih." Amara mengetuk-ngetuk jam tangannya. "Aku panggil Mama Jihan, ya."

"Tidak usah. Aku saja. Kamu tunggu di ruang makan." Arga buru-buru keluar kamar untuk menyergah.

Amara menurut. Ia segera beranjak menuju ruang makan. Wajahnya tersenyum puas saat memandangi hidangan hasil olahannya sendiri yang tersusun rapi di atas meja makan. Amara duduk manis di kursi paling pinggir kanan sambil membayangkan jika nanti Arga akan duduk di samping kirinya dan Mama Jihan di hadapannya. Wajahnya memerah malu. Tidak apa-apa kan jika ia berkhayal kalau mereka ini satu keluarga anak, menantu, dan mertua?

"Mama ketiduran." Arga sudah berdiri di belakangnya. Amara pun memutar badan ke arahnya.

"Tidak dibangunkan? Mama kan belum makan," balas Amara dengan sedikit kecewa karena melihat Arga berjalan memutari meja makan.

"Aku tidak tega. Nanti saja. Paling-paling nanti tengah malam bangun untuk sholat malam." Arga menduduki kursi di depannya.

"Yaaah, padahal aku sudah masak khusus untuk Mama Jihan." Amara menatap sayu pada tahu kukus dan salad segar, dan tumis jamur di atas meja.

"Nggak usah lebay." Arga membalas dingin. Ia mengambil nasi lalu menyendok semua jenis hidangan itu satu-persatu ke dalam piringnya.

"Kamu makan salad ... pake nasi?" Kedua mata Amara menatap lebar pada piring Arga.

"Sama aja kan kayak makan pecel," jawab Arga cuek.

Amara pun ikut melengos dengan sikap cuek. Selama beberapa menit keduanya menyantap makanan dalam diam. Hanya kedua tangan dan mata Amara yang bekerja. Sesekali melirik pada pria di hadapannya. Pun demikian dengan Arga. Hingga suara dering sebuah ponsel memecah ketegangan di antara keduanya.

"Assalamu'alaikum," jawab Arga setelah meraih ponsel dari saku atas baju kokonya.

Amara memasang kedua telinganya dengan seksama.

"Iya, ustadz. Alhamdulillah, bikhoir. Wa kaifa haluk, ustadz?"

Amara menundukkan wajah menatap piringnya yang telah kosong. Namun kedua telinga ya terus bekerja.

"Alhamdulillah. Ada apa, nih?" Arga mendengarkan dengan serius suara di seberang sana. Dalam sekejap mimik wajahnya berubah. Yang tadinya ramah penuh senyuman, kini mengerut penuh keseriusan. Membuat Amara yang mencuri lirik bertanya-tanya.

"Afwan, Tadz. Ana ..." Kalimatnya dipotong oleh suara di seberang sana. Lalu kedua matanya terpejam. Wajahnya menunduk lemah.

"Baik. Insyaa Allah, ana usahakan. Tapi bagaimana kalau Sabtu siang saja? Mungkin nanti ana bisa ajak Mama sekaligus untuk datang ke pertemuan itu."

"Syukron, Ustadz. Jazakallah khoir. Wa'alaikumussalam warrohmatullah." Telepon ditutup. Arga masih terlihat lemah. Mungkin sedikit syok. Sikapnya ini memancing rasa penasaran Amara.

"Ehm, kenapa kamu? Kok lemes gitu?" Amara memberanikan diri bertanya.

"Bu —"

"Aku nggak mau dijawab dengan 'bukan urusan kamu'."

"Kamu yang biasa jawab begitu," balas Arga jengkel. Tapi kali ini ia sedang tidak ingin berdebat. Kabar berita yang baru saja ia dengar dari Ustadz Umar, murobbinya, benar-benar membuatnya lemas. Padahal kalau pria-pria lain yang menerima berita seperti ini biasanya akan merasa bahagia sekaligus lega.

"Jadi ... kenapa kamu?" Amara menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu.

"Tadi murobbi-ku yang telepon."

"Murobbi?" Amara mengangkat kedua alisnya bingung.

"Guru mengaji."

"Oooh. Terus kenapa?" tanyanya lagi.

"Beliau memberiku kabar."

"Kabar buruk?"

"Kenapa kamu bilang kabar buruk?" Giliran Arga yang bertanya heran.

"Ya kamunya jadi lemes gitu habis terima telpon."

"Lebih tepat untuk disebut kabar bahagia. Hanya saja ... aku belum siap menerima kabar bahagia itu saat ini."

"Kabar bahagia apa yang bikin kamu nggak siap?" Amara memajukan tubuhnya untuk menatap pria itu lebih dalam. Sedalam rasa penasarannya saat ini.

"Ustadz Umar mengabarkan ada seorang wanita yang bersedia untuk ta'aruf denganku."

"Ta'aruf?" Amara nyaris berteriak saking kagetnya.

"Ta'aruf artinya —"

"Aku tahu arti ta'aruf! Nggak perlu dijelasin!" potong Amara kesal. Lebih tepatnya ia memotong penuh amarah.

Arga semakin bingung. Dia yang mau ta'aruf, kenapa Amara yang marah?

"Terus, kamu mau?"

"Aku memang belum siap. Fokusku sedang tertuju pada kesehatan Mama. Tapi aku akan —"

"Jangan! Kamu nggak boleh ikut ta'aruf-ta'aruf itu!" Amara berdecak ketus sembari melipat kedua tangan di depan perut.

"Kenapa kamu marah-marah?" Arga ikut-ikutan menyilangkan kedua tangan di depan tubuh.

"Pokoknya nggak boleh!" Amara memalingkan wajahnya yang benar-benar sebal.

"Apa haknya kamu melarang?"

"Ya karena ..."

"Karena?"

"Karena ... itu ..."

"Itu apa?"

"Ya itu ..."

"Itu apa?"

"Heghhh ... itu alasannya aku kemari," jawab Amara gusar.

"Memangnya apa alasan kamu datang kemari?"

"Mau meminta kamu jadi calon suami aku."

"Astaghfirullah." Arga mendengkus kesal.

"Eeeh, nanti dulu. Bukan beneran. Tapi calon suami pura-pura."

"Maksud kamu?"

"Aku datang kemari mau menjelaskan tentang omonganku di Bali waktu itu. Tapi kamu nggak pernah mau aku ajak bicara. Kamu putus kontak begitu saja. Jadi gimana aku mau jelasin coba?"

"Astaghfirullah. Ini apalagi? Calon suami pura-pura?"

"Jadi, Mama-ku memberi waktu padaku sampai akhir tahun untuk mencari calon suami. Atau ... ibu Retha yang terhormat itu akan menikahkanku dengan Om Hasan, lelaki tua bangka — lima kali duda — yang lebih tua dua puluh tiga tahun dariku."

"Dan nasib burukmu itu menjadi urusanku?" tanya Arga santai.

"Aku cuma minta bantuan kamu. Tadinya, Razi jadi harapanku satu-satunya. Tapi tidak mungkin kan aku menjadikan pria beristri sebagai calon suamiku. Jadi, cuma kamu yang bisa bantu aku sekarang. Aku minta tolong." Amara menyatukan kedua telapak tangannya di depan wajah dengan memohon. "Pliiiiisssss ... mau ya tolongin aku." Seumur hidupnya, belum pernah Amara merendahkan diri serendah-rendahnya seperti ini pada pria mana pun. Singa betina itu kini lebih terlihat seperti anak kucing.

"Maaf, aku bukan pria yang bisa menolong kamu. Lagipula, aku sudah mendapatkan wanita yang serius mau menjadi calon istriku. Kalau sudah ada yang serius, kenapa juga aku harus mau sama yang hanya pura-pura?" Arga membusungkan dadanya angkuh.

"Ga, aku minta tolong banget. Tolong ... cuma sampai akhir tahun saja," pintanya sekali lagi setengah mengemis.

"Amara, kamu tidak bisa bermain-main dengan segala sesuatu yang menyangkut jodoh dan perasaan. Mencari seorang pria untuk pura-pura dijadikan calon suami, bukan solusi untuk masalah kamu."

Amara menunduk lemas. "So, what's your suggestion?"

"Amara, get married for real. Cari calon suami yang benar-benar ingin kamu jadikan imam kamu. Untuk membimbing kamu di dunia dan membuka jalan kamu menuju surga."

"Hahaha ... bercanda kamu." Amara tertawa sinis.

"Tapi sebelum itu, selesaikan terlebih dahulu masalahmu dengan keluargamu. You cannot run from troubles."

"Cih, kayak kamu enggak aja," cibir Amara setengah meledek.

"Maksud kamu?"

"Kamu pikir aku nggak tau? Kalau kamu sudah lama meninggalkan rumah Pak Hardi karena konflik di keluarga kalian?"

"Tahu dari mana kamu??" Arga melotot tajam.

"You know that i have so many ways to know everything." Amara terkekeh pelan.

"Rupanya kamu belum kapok juga menjadi detektif gagal. Ada banyak hal yang kamu tidak tahu dan jangan sok tahu!" Arga hampir saja menggebrak meja makan jika tidak melihat kemunculan Mama Jihan tepat di ujung ruangan.

"Sayang?" panggilnya pada Arga dengan suara lirih.

"Ma — Mama? Sudah bangun? Kami berisik ya, Ma? Maaf ya sudah mengganggu tidur Mama." Amara dengan gesitnya bangkit dari kursi lalu menghampiri Mama Jihan untuk memapahnya menuju meja makan.

"Amara? Kamu masih di sini?"

"Heee ... iya, Ma. Kami baru saja selesai makan, sambil diskusi kecil-kecilan."

"Orangtua atau suami kamu nggak nyariin kamu pulangnya malam-malam begini?" Mama Jihan duduk di kursi yang dipilihkan oleh Amara di sebelahnya.

"Saya masih single kok, Ma. Kalau Ayah saya sudah meninggal. Mama saya ... emmm, sibuk bekerja. Sering keluar kota. Lagipula saya sudah biasa tinggal sendirian."

"Nggak baik lho anak gadis tinggal sendiri di rumah. Jaman makin edan. Apalagi kamu cantik. Mama yakin kamu pasti cantik. Suara kamu saja enak didengar."

"Mama Jihan bisa aja. Yah, namanya belum ketemu jodoh, Ma. Masih cari-cari." Amara menjawab sumringah seraya melirik pada Arga yang tengah memandangnya dingin.

"Memangnya mau cari-cari yang gimana, sih?" Mama Jihan balas menyentuh tangan Amara yang menggenggam lengan kanannya.

"Yang standar saja, Ma. Yang ... ehm, bisa menjadi imam sekaligus membuka jalan bagi saya menuju surga." Amara kembali melirik tajam pada pria di depannya. Sementara Arga mendengkus saat mendengar kalimatnya diulangi Amara.

"Masyaa Allah. Berarti pas, dong." Mama Jihan berujar riang.

Amara yang tidak mengerti maksudnya lalu memiringkan kepala dengan alis bertaut. Wajah bingungnya mencari tanya. "Pas? Apanya yang pas, Ma?"

"Ya pas! Laki-laki yang kamu cari ada di depan kamu, tuh."

"Uhuk! Uhuk! Uhuk!" Arga langsung tersedak ludahnya sendiri. Yang disambut dengan pelototan tajam oleh Amara.

"Emmm ... sebenarnya, Ma. Saya sudah melamar putra kesayangan Mama ini. Sayangnya saya ditolak." Kata-kata Amara kembali menohok Arga yang masih terbatuk. Ia segera meraih gelas berisi air putih di sampingnya lalu menenggak hingga habis.

Setelah tercengang sejenak, Mama Jihan berusaha memsatikan. "Benar itu, Ga?"

"Ehm ... ehm." Arga berusaha menstabilkan tenggorokannya yang serak. "Ma, tadi Ustadz Umar telepon. Ada kabar gembira."

Amara menatapnya tak percaya. Padahal ia sedang berusaha mendapat dukungan Mama Jihan dengan cara soft-selling, tapi Arga justru berusaha menikung langsung.

"Oh ya? Kabar gembira? Jangan-jangan ..." Mama Jihan enggan meneruskan kalimatnya setelah berpaling ke arah Amara.

"Iya, sudah ada wanita yang bersedia ta'aruf dengan Arga."

Amara bergeming. Jari-jemarinya saling bertaut di bawah, menahan rasa cemas.

"Siapa orangnya? Kamu kenal?" Mama Jihan mencondongkan badan ke depan untuk menatap putra angkatnya baik-baik. Mumpung tingkat buram matanya sedang di level rendah.

"Hmmm, Mama pasti senang kalau tahu siapa orangnya." Arga tersenyum kecil. Membuat Amara semakin sesak napas. Jari-jemarinya saling meremas #ssssssssssssssssśsemakin erat.

"Siapa, Sayang? Mama jadi penasaran."

"Marisa, keponakannya Ustadz Umar."

"Masyaa Allah ... beneran Marisa mau sama kamu?" Mama Jihan terkejut girang. Terlihat jelas binar bahagia di wajahnya.

"Iya, Mama sayang," jawab Arga yang balas tersenyum karena melihat pancaran senyum bahagia favoritnya.

"Sayang, kamu pasti senang banget sekarang. Cinta pertama kamu ternyata akan menjadi jodoh kamu. Mama senang sekali." Seolah kebahagiaan di wajahnya belum cukup, Mama Jihan berlonjak gembira di kursinya sambil bertepuk tangan. Menambah rasa perih yang sedang mencabik-cabik hati Amara.

Cinta pertama? Fixed, aku kalah!