webnovel

I Hate You

Tiiinnn! Tiiiinnn! Tiiiinnn! Gemuruh nyanyian klakson berbagai jenis kendaraan di pagi hari membahana di tiap ruas jalanan ibukota. Menstimulasi rasa frustasi setiap penghuninya yang berpacu mengejar waktu. Tak terkecuali Amara.

Khusus pagi ini, ia harus rela berjibaku membelah jalanan ibukota yang padat merayap. Tidak biasanya ia harus datang ke kampus di pagi hari. Tadi malam Prof. Ganda, salah seorang dosen di fakultas teknik, menghubunginya, meminta bantuan Amara untuk menggantikannya mengajar mata kuliah Teknologi Bahan pagi ini. Disebabkan ia harus menunggui putrinya yang akan segera melahirkan di rumah sakit. Amara tidak bisa mengatakan tidak terhadap permintaan pria paruh baya itu. Ada hutang budi yang harus dibayar olehnya.

Terpaksa Amara mengatur ulang jadwalnya di kantor. Untung saja hari ini tidak ada pertemuan yang terlalu penting untuk dihadiri. Tadinya Amara berencana untuk menghabiskan sisa waktunya siang ini di perpustakaan kampus. Tapi kalau seperti ini kondisinya, mungkin ia akan menghabiskan sebagian besar waktunya untuk tidur saja di ruangan. Betisnya kian menegang menahan kopling.

Hari ini Amara tidak mengendarai mobil Lexusnya. Ia mengemudikan mobil Innova lama yang tergeletak di garasi. Entah siapa pemiliknya. Di STNK tertera nama yang tidak dikenalnya, Karya Suharsa.

Kenapa Amara bisa mengendarai mobil Innova milik Karya Suharsa itu? Singkat cerita, kini Anggita-lah yang sedang membawa si Lexus. Berkat mobil BMW-nya yang mogok di pelataran parkir pool bilyar tempo hari dan entah untuk berapa lama menginap di bengkel. Adiknya itu tidak terbiasa membawa mobil dengan transmisi manual. Jadilah sekarang Amara yang menggunakan mobil manual ini. Sebut saja ia mengalah.

Tiiiinnn! Tiiiinnn! Tiiiinnn! Lagi-lagi Amara membunyikan klaksonnya dengan tak sabar, meracau sendirian di dalam mobil akibat geram dengan barisan kendaraan di depannya yang berjalan lamban bak siput. Sudah tahu detiknya lampu hijau itu mengalahkan kecepatan cahaya, sedangkan detiknya lampu merah itu lebih lama dari memasak mie rebus. Tapi kenapa para pengendara itu berlagak seperti merekalah pemilik waktu di dunia?

Amara berkali-kali melontarkan makian di dalam mobil. Catat, hanya di dalam mobil! Toh, tidak ada satu makhluk hidup pun yang bisa mendengar suaranya dari luar, kecuali yang memiliki pendengaran infrasonik.

Berusaha membunuh sepi, ia menyalakan radio, mendengarkan lagu-lagu yang diputar di stasiun miliknya para kawula muda itu. Amara ikut menyanyikan lirik demi lirik lagu milik Etham yang sedang diputar.

But I can hate you

But I can save you

Once again I'm stuck here in the middle of

Wanting to let go

It ain't to keep hold

There's no way

And once again you walk in

And I'm running out

Out of time, out of breathe, out of space

Out of words, out of things I can say

Out of hope, yeah, 'cause you never change

Once again you walk in

And I'm running out

Out of places to hide in my head

Out of ways to forgive what you said

It's fallin' and I've got no defense

Once again you walk in

And I'm running out

And I'm running out

Untung saja selesai lagu diputar, mobilnya sudah memasuki gerbang kampus. Ia masih punya waktu lima menit untuk mengambil bahan di ruangan Prof. Ganda.

Amara harus memutari gedung fakultas teknik untuk menuju pelataran parkir. Dan saat itulah penglihatannya menangkap pemandangan itu di depan pintu masuk gedung.

Sakya turun dari sebuah mobil Honda Jazz berwarna silver metallic, lalu mencium tangan sang pengemudi sebelum masuk ke dalam gedung. Dan sesuai tebakannya, Arga-lah sang pengemudi itu.

Amara yang sempat menginjak rem untuk menghentikan mobil sesaat kini kembali menginjak pedal gas, melajukan kembali Innova itu memutari gedung.

Dan tanpa disadari olehnya, Arga menangkap tatapan sinis yang muncul di wajah cantik itu lewat kaca spion.

Amara benar-benar tidak habis pikir dengan sikap keduanya yang bagaikan pasangan suami-istri dibudakkan oleh cinta. Kenapa Sakya tidak mengakui saja kalau memang ia sudah berstatus double? Toh, tidak ada larangan untuk menikah di kampus ini. Atau memang Sakya sebegitu inginnya dipuja-puja oleh para kaum adam di kampus? Lagi-lagi Amara berdecak setelah menganalisa kesimpulannya sendiri.

Ia turun dari mobil dengan menenteng tas laptop dan beberapa tumpukan dokumen di tangan, PR dari kantor yang harus ia bawa serta. Amara masuk lewat pintu belakang gedung yang jaraknya lebih dekat dari pelataran parkir. Lalu masuk ke dalam lift yang lebih sempit ukurannya dibanding dengan lift yang ada di lobi depan. Tentu saja karena ukurannya yang kecil, jarang sekali ada mahasiswa yang menggunakan lift ini, paling-paling hanya staf pengajar atau pegawai TU. Dan Amara sedikit gugup mengetahui hanya ia seorang diri penghuni lift ini.

Amara menekan tombol lift dengan tangan kanannya yang juga mendekap tumpukan dokumen di dada. Dan beberapa helai kertas sukses meluncur ke bawah lantai, menyusahkannya untuk kembali menunduk memungut dokumen yang isinya beberapa kontrak itu.

Dan ia pun tersentak saat seorang pria ikut berjongkok di sebelah membantunya. Saat menyadari siapa sosok itu, Amara bangkit menegakkan badan.

"Hati-hati, Mbak." Setelah kembali berdiri, ia menyerahkan tumpukan kertas yang sudah dirapikan itu pada Amara.

Dengan malas Amara menerima lalu berucap ketus, "Saya bisa sendiri. Tidak perlu dibantu."

Lalu selanjutnya mendumel dalam hati karena panggilan 'mbak' yang ditujukan untuk dirinya.

Pria itu hanya membalas tersenyum.

"Lantai berapa?"

"Tujuh." Amara menjawab kesal tapi tidak menolak bantuan yang ditawarkan oleh pria itu.

Pria itu pun menekan tombol lima dan tujuh.

"Ngapain kamu di sini?" Amara tak kuasa menahan lidahnya yang gatal untuk bertanya.

"Hmmm ... kemajuan."

"Hah? Apa kamu bilang?" Mau tidak mau Amara menoleh ke arahnya.

"Kemajuan. Memanggil saya dengan sebutan 'kamu', bukan 'anda'. Jadi sudah bisa lebih rileks kan menghadapi saya?"

Amara berdehem kesal. Bukan pada pria itu, melainkan pada mulutnya sendiri yang tanpa sadar meluncurkan kata 'kamu'. Tapi memang sebaiknya ia menggunakan kata 'kamu' saja, mengingat jika mereka akan bekerja sama nantinya. Itupun kalau jadi.

"Ngapain kamu di sini?" Amara bertanya sekali lagi.

"Ngajar," jawabnya singkat.

"Hah? Saya tidak pernah ingat kalau fakultas ini mempekerjakan kamu, Pak Arga," sindirnya dengan dahi mengernyit.

"Saya diundang menjadi dosen tamu. Sudah puas bertanya? Atau ada lagi yang ingin Mbak tanyakan pada saya?"

Ting! Lift berhenti di lantai lima. Namun saat pintu terbuka, Arga menekan kembali tombol tutup. Ia berdiri menghadap Amara setelah lift kembali bergerak.

"Kalau begitu giliran saya yang bertanya. Mbak Dania punya masalah apa dengan saya?"

"Masalah? Masalah apaan? Saya biasa-biasa saja, kok." Menjawab dengan kepala menengadah, Amara memperhatikan perubahan nomor lantai. Berharap segera berhenti di angka 7.

"Saat saya makan di kantin dengan Saki, Mbak Dania terus-menerus menatap saya sinis. Saya tidak mengerti. Memangnya saya pernah berbuat salah sebe—,"

Ting! Do'a Amara terkabul sebelum Arga menyelesaikan kalimatnya. Pintu lift terbuka dan saat itu juga Amara merangsek keluar.

"Maaf, saya harus mengajar. Permisi." Amara melarikan diri. Ya, lebih baik ia melarikan diri dari masalah, seperti biasanya.

Pintu lift kembali menutup bersamaan dengan keluarnya hembusan napas kesal pria itu.

=====================

"Ki, kamu kenal dengan Dania Amara?" Arga menyesap capuccino dari mug kecil di hadapannya.

"Kenal dong, Mas. Bu Dania kan dekan FT." Sakya melumat habis roti bakar keju menu makan siangnya.

"Orangnya bagaimana?"

"Mmm ..." Sakya berpikir sejenak. "Cerdas dan tegas. Pada dasarnya Bu Dania orangnya bijaksana, dia juga nggak suka kalau ada peraturan yang merugikan mahasiswa atau civitas. Tapi ya gitu, kaku."

Sakya terhenyak setelah menjawab. Terlihat penasaran tiba-tiba. "Kok Mas Arga nanya-nanya soal Bu Dania?"

"Aku ada urusan kerjaan dengan dia. Tapi ... sepertinya sulit." Arga menyandarkan punggung di sandaran kursi makan.

"Oooh, yang sabar, Mas. Bu Dania itu seperti bawang merah. Harus dikupas dulu satu-persatu lapisannya. Tapi hati-hati, lapisan bawang itu pedas, bisa bikin nangis," jawabnya beranalogi lalu disambut kekehan oleh Arga.

"Mas, aku harus buru-buru, nih. Mau nganter Papa check-up ke rumah sakit." Sakya menyedot habis segelas es teh manis di atas meja.

"Papa kamu gimana progress-nya? Sudah bisa jalan?"

"Alhamdulillah, Papa makin banyak perkembangan. Masih dipapah kalau jalan. Mas Arga main-main, dong. Papa sama Mama suka nanyain, kapan Mas Arga mau ke rumah?"

Senyum sumringah muncul di wajah Arga, ia sendiripun merindukan bertemu dengan kedua orangtua Sakya.

"Iya, insyaa Allah nanti kalau sudah senggang. Lagi banyak kerjaan. Aku juga kangen dengan Om Jo dan Tante Ras."

"Kerjaan melulu yang diurusin. Jodoh dong diurus." Sakya mencubit sebelah pipi Arga.

Ia membiarkan saja perlakuan gemas wanita berusia 29 tahun itu padanya sambil menopang dagu. "Sudah ada kamu, Ki. Mas nggak perlu wanita lain dalam hidup."

"Iissshhh, beraninya cuma gombal sama Saki! Udah ah, nggak kelar-kelar kalo ngeladenin Mas melulu." Sakya mendorong kursi mundur ke belakang lalu berdiri.

"Kamu nggak mau sekalian nunggu Alma? Nanti aku disangka suaminya."

"Kan ada babysitter-nya Sarah. Memangnya sekarang aku ketemu sama Mas begini nggak disangka yang sama? Sudah banyak ghibah beredar soal aku yang sentuh-sentuhan sama ikhwan."

"Biarkan saja, mereka yang dosa. Kita nggak punya kewajiban menjelaskan apapun ke mereka. Lagipula, apa salahnya aku ketemuan sama kamu? Toh kita tidak melakukan hal-hal yang melanggar syari'ah."

"Di mata kita. Tapi tidak di mata mereka." Sakya menyampirkan tas selempangnya di bahu. "Saki jalan dulu, Mas. Salam ya buat Mbak Alma."

Sakya meraih tangan pria itu untuk diciumnya lalu sebuah kecupan meluncur tepat di dahi Sakya.

"Maaasss ...," desis Sakya sembari mengamati kondisi di sekitar kantin.

"Hehehe ... nggak nahan, Ki. Kamu hati-hati ya nyetirnya." Sekilas Arga membelai lembut pucuk kepala wanita itu yang tertutup oleh jilbab.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam."

Sakya pun berlalu bersamaan dengan terbitnya senyum di wajah Arga. Ia sungguh menyayangi wanita itu. Tak terbayangkan jika suatu saat nanti ia harus merelakan kepergiannya.

Arga meraih ponselnya, mengutak-ngatik sesuatu di layar gawai itu. Sebuah pesan tertulis di sana.

Ingat, ada seseorang yang merindukan kamu di rumah. Cepat pulang ya malam ini.

Senyum di wajahnya kembali terulas selepas membaca pesan itu. Arga bahagia. Ia sudah cukup menikmati kebahagiaan hanya dengan dicintai oleh dua wanita dalam hidupnya. Sakya dan seorang wanita yang setia menunggu kepulangannya setiap hari di rumah.

Saat memasukkan kembali gawai itu ke dalam saku, matanya menyorot pada seorang wanita yang berjalan tertatih menggunakan bantuan kruk. Di sampingnya berjalan seorang wanita berusia 40-an dengan rambut dikuncir ala kadarnya sambil mendekap seorang balita dalam gendongan.

"Assalamu'alaikum, Ga. Sendirian?"

"Wa'alaikumussalam, Al. Iya nih, biasalah jomblowan." Ia menyambut kedatangan Alma dengan tawa kecil yang cukup miris.

"Mbak Tun, mau makan apa? Biar saya pesan sekalian." Alma menawarkan pada babysitter Sarah yang baru saja hendak duduk di sampingnya.

"Apa saja, Bu. Saya ngikut," jawabnya sembari membenahi tali gendongan yang mengangkut Sarah yang tengah terlelap.

"Kamu sudah makan, Ga?"

"Sudah, Al. Tadi aku makan barengan Sakya. Kamu saja dengan Mbak Tun."

"Oke. Bentar ya, Ga." Alma kembali menopang kedua sisi tubuhnya dengan bantuan kruk untuk berjalan. Ia mulai terbiasa.

Tak lama setelah memesan makanan ke sebuah food-stall yang menjual soto, Alma kembali ke meja itu.

"Maaf, Bu. Saya mau permisi ke toilet dulu."

"Oh iya." Alma menyandarkan kedua kruknya di sisi kursi lalu menerima Sarah dari uluran tangan Mbak Tun. Balita itu membuka matanya sesaat namun dengan mudahnya kembali terpejam, seakan tidak terpengaruh dengan suasana kantin yang sedang riuh oleh canda-tawa para mahasiswa.

"Toiletnya di koridor ujung sana ya, Mbak." Arga memberi petunjuk dengan tangannya. Mbak Tun langsung berjalan cepat mengikuti arah yang ditunjuk.

"Maaf ya Al, jadi ngerepotin kamu harus nyamperin kesini."

"Nggak apa-apa, Ga. Seru juga sesekali makan di kantin kampus. Mengingatkan jaman masih perawan." Alma tergelak.

Arga langsung mengingat tujuan utama ia mengajak Alma bertemu. Kembali sakunya dirogoh untuk meraih kumpulan benda metal berukir diujungnya.

"Ini kunci rumahnya, Al. Razi menitipkan." Arga meletakkan kunci-kunci itu di atas meja.

Hening sesaat disertai dengan tetesan air bening yang mengalir dari kedua sudut mata Alma. Cepat-cepat sebelah tangannya menyeka. Ia sudah berjanji tidak akan ada lagi air mata yang tertumpah untuk sang mantan suami.

"Al ..."

"Maaf, Ga. Maaf, aku kok jadi baper lagi." Alma tertawa untuk menutupi tangisnya. Kepedihan itu masih terasa menyesakkan di dada. Sesekali ia mengecup pucuk kepala Sarah.

"Kamu sudah ikhlas kan, Al?" Sebelah alisnya terangkat, berusaha mencari tahu jika pertanyaannya itu akan terjawab.

Alma menganggukkan kepala dengan senyuman lebar.

"Insyaa Allah, kamu akan menjalani kehidupan yang lebih baik kedepannya. Bahkan, mungkin Allah memberikan pengganti yang berkali -kali lipat lebih baik. Percaya sama Allah, Al."

"Aamiin. Terima kasih banyak ya, Ga untuk bantuan dan support kamu selama ini. Aku juga berharap Allah segera mendatangkan jodoh yang terbaik untuk kamu."

Arga hanya membalas kalimat do'a dari Alma dengan sebuah senyuman. Bertepatan dengan terhidangnya dua mangkuk soto betawi dan dua gelas es jeruk di atas meja. Dan bersamaan dengan kembalinya Mbak Tun dari toilet.

Alma menoleh ke samping kanan. "Mbak Tun makan duluan saja. Gantian." Namun Mbak Tun menggeleng, kedua tangannya terulur hendak meraih Sarah.

"Nggak apa-apa, Bu. Ibu duluan saja." Belum sempat dicegat, tahu-tahu Sarah sudah berpindah pangkuan.

"Hasil terapi tadi gimana?" tanya Arga sembari melirik ke sekelilingnya. Sepertinya sudut matanya tadi menemukan sosok sang dekan.

"Alhamdulillah pijakanku mulai menguat. Kalo perkembangannya bagus, mungkin bulan depan aku say goodbye sama benda ini." Tatapannya mengarah pada kruk di sebelahnya setelah melahap sesendok nasi.

"Alhamdulillah."

"Jujur, aku nggak enak sama ayahmu. Pak Hardi sudah berbaik hati mengijinkan aku kembali bekerja, tapi akunya sering mangkir karena mengikuti sesi terapi. Kamu beruntung punya ayah yang sangat dermawan seperti beliau."

Senyum tulus terbit di wajah Arga. Ia memang cukup beruntung memiliki Hardi sebagai figur seorang ayah. Sayangnya, hatinya telat terketuk untuk menyadari hal itu. Dan sudah tiga tahun ini Arga perlahan membenahi diri.

"Ga ... kamu belum mau pulang?" tanya Alma lembut.

"Mungkin hari ini aku akan pulang cepat."

"Bukan! Maksudku ..." Alma menjeda kalimat, "... ke rumah ayahmu itu." Suaranya melemah.

Kegelisahan selalu meliput di hati Arga jika lagi-lagi pertanyaan itu yang dilemparkan kepadanya. Punggungnya kembali bersandar, terlalu berat rasanya menopang kepalanya yang terasa penuh.

Arga menghela napas pelan. "Nanti, Al. Nanti. Belum waktunya."

"Maaf, Ga. Bukannya aku mau ikut campur, aku cuma ... huffhhh ..." Alma turut menghembus napas berat. Soto di hadapannya itu tak lagi menggugah selera.

"Makan, Al." Sorot matanya mengisyaratkan agar Alma kembali menggenggam gagang sendok di jemarinya.

Masalahnya adalah bebannya sendiri. Arga tak ingin rekan kerjanya ini turut merasakan beban itu. Beban itu cukup menjadi miliknya saja. Ia bahkan enggan berbagi dengan Sakya.

Mata gelisahnya itu tertangkap dalam pengamatan seorang wanita yang sejak tadi berdiri tak jauh dari jangkauan mata. Sayangnya, pembicaraannya dengan Sakya ataupun Alma di luar dari jangkauan pendengaran wanita itu. Hingga akhirnya ia hanya membayangkan sebentuk praduga di pikirannya, seperti biasa. Dan praduganya itu berhasil membuatnya mengumpat dalam hati. I HATE YOU MORE!!!

==================================

Amara mengusik pikirannya sendiri. Kenapa juga harus turut dongkol dengan pria hidung belang seperti Arga? Toh, selama ini juga ia terbiasa menghadapi spesies doyan kawin sejenisnya. Buang-buang waktu dan tenaganya saja.

Harusnya saat ini ia bisa fokus berkutat dengan pekerjaannya. Bukannya menambah beban di kepala dengan memikirkan si tangan kaligrafi yang ternyata seorang penjahat kelamin.

"Bu Amara?" Sasha menyeruak masuk dari balik pintu yang memang terbuka.

"Ada apa, Sa?"

"Ada tamu, Bu."

Amara menoleh ke benda yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah pukul lima sore. Tidak biasanya ia menerima tamu di jam-jam pulang kantor. Tengadahnya kembali beralih ke Sasha.

"Siapa?"

"Namanya ... ehm, Pak Arga."

Kedua mata Amara menyipit. Apa itu? Sasha terlihat malu-malu? Atau lebih tepatnya, tersipu malu?

"Suruh masuk!"

Amara mendengus kesal. Jangan-jangan Arga juga menggoda sekretarisnya. Benar-benar penjahat kelamin!

Tuk! Tuk! Daun pintunya diketuk pelan. "Assalamu'alaikum."

Pria yang saat ini menjadi sumber kedongkolannya, melangkah hingga ke tengah ruangan.

Alih-alih membalas salamnya, Amara mendelik tajam. Assalamu'alaikum itu artinya mendo'akan keselamatan dan tercurahnya rahmat Allah untuk yang di beri salam, bukan? Dan Amara tidak mau membalas do'a yang baik-baik itu bagi seorang pria yang menurutnya serigala berbulu domba.

"Ada apa kemari?" tanyanya ketus dengan tatapan tetap tertuju pada dokumen di atas meja. Enggan bertemu pandang dengannya.

"Saya sudah baca proposalnya. Tidak sulit. Saya terima pekerjaan ini." Arga menduduki sofa di sudut ruangan tanpa dipersilahkan.

"Dan saya membatalkan tawaran pekerjaan itu," balasnya datar.

"Apa?"

"Kamu dengar, kan? Saya batal menyewa jasa kamu."

"Lho? Tidak bisa begitu, dong!" Arga berdiri saking tidak terimanya dengan keputusan sepihak dari Amara.

"Kenapa tidak bisa? Toh, belum ada perjanjian tertulis antara kita."

"Apa alasannya?"

"Alasan?"

"Alasan kamu membatalkan kerjasama ini."

"Karena saya tidak bisa bekerja sama dengan kamu, Pak Arga yang terhormat!"

"Alasannya?"

"Ya karena saya tidak mau."

"Alasannya! Saya butuh alasan!" Arga menggeram kesal.

"Karena saya tidak bisa bekerja sama dengan pria hidung belang macam anda!!!"

□■□■□■□■□■□■□■□■□■□■□

SIAPAKAH SAKYA? ADA YANG TAU???