webnovel

A Song of the Angels' Souls

Ketiga belas gadis rupawan itu mengaku sebagai bidadari dari dunia lain. Di bumi, masing-masing dari mereka akan dipersatukan dengan seorang pria yang ditunjuk sebagai pendamping. Bidadari-bidadari itu datang ke bumi bukan untuk memberi berkah, mencegah kehancuran, atau menjadi penuntun bagi umat manusia. Bukan. Misi utama mereka adalah membunuh satu sama lain. Mereka akan terus bertempur sampai hanya ada satu yang tersisa. Satu yang akan diangkat sebagai ratu di dunia asalnya. Sementara itu, pendampingnya akan mendapatkan hadiah yang tak terkira nilainya. Keinginan terbesarnya akan dikabulkan tanpa terkecuali. Ini bukan sekadar kontes saling membunuh, tetapi juga bentrokan antar ambisi, kepentingan, dan ideologi.

Gaasuja · Fantasi
Peringkat tidak cukup
169 Chs

Cerita

"Bidadari bernama Lyra itu temanmu, Lois?" tanya Marcel yang sedang mengemudikan mobil mewahnya.

Lois yang duduk di sebelah Marcel mendesah pelan. "Dia saudara perempuanku. Bukan kandung, sih. Dia diangkat oleh keluargaku. Sebelum kau menganggap keluargaku baik, kuberitahu sesuatu, ya. Mereka mengangkat Lyra hanya untuk suatu kepentingan belaka."

"Kepentingan?"

"Kamu tahu, kan. Keluargaku itu setara bangsawan di dunia kaiian." Lois sedikit memijati bagian tubuhnya yang masih terasa nyeri. "Aku malas menceritakannya secara detail. Intinya, dewan perwakilan di pemerintahan di dunia kami itu sebagian dipilih dari kalangan bangsawan .... Kamu masih ingat ceritaku tentang kaum bermata setan, kan?"

"Ah, ini tebakanku saja, sih. Mungkin, di duniamu pendukung kaum mata setan itu cukup banyak jumlahnya. Keluargamu mengangkat salah satu anak dari kaum mata setan untuk menarik suara dari mereka?"

"Tepat sekali.'' Lois menjentikkan jarinya. "Tapi sayangnya, itu justru menjadi bencana untuk keluargaku. Karena ulah kaum .... Karena ulah beberapa oknum dari kamu bermata amber dan hazel, keluargaku pun difitnah. Kami dituduh membantu di belakang layar atas perusakan yang mereka lakukan. Kami diserang dari sana-sini, baik secara verbal maupun fisik. Tempat usaha kami jadi banyak yang dijarah dan dibakar. Rekan bisnis juga banyak yang menghindar. Harta kami habis. Keluargaku jadi hancur sehancur-hancurnya."

Marcel terdiam sejenak, tampak berpikir. "Jadi, selama ini kamu bohong kalau kamu cuma ingin ketenaran dan perhatian rakyat kalau nantinya menjadi ratu? Kamu ingin memperbaiki keluargamu, atau kamu mau membalas dendam kepada pihak yang menyakiti kalian?"

"Mungkin." Lois justru tertawa kecil. "Atau mungkin, aku memang ingin terkenal saja?"

Marcel mengerutkan kening. "Jadi, keinginanmu yang mana?"

Lois mengangkat bahu. Kali ini senyumnya penuh arti.

Marcel menyerah untuk menggali lebih dalam. Selain percuma, sebenarnya pertanyaan-pertanyaan itu cuma demi memuaskan rasa penasarannya saja, tidak lebih. Mau bagaimanapun masa lalu Lois, pada akhirnya mereka ingin memenangkan pertempuran ini.

"Tapi, apa aku harus khawatir dengan temanmu yang bernama Lyra itu?" Marcel bertanya kembali.

Senyuman di mulut Lois makin melebar. "Tidak perlu, Marcel. Kamu lihat sendiri, kan? Aku tadi tidak membantunya melawan bidadari berbaju kuning itu."

"Tapi .... Aah!" Tiba-tiba Marcel mencengkeram kepalanya. Mulutnya menganga lebar dan matanya menyipit. Dia langsung meminggirkan mobil.

"Kamu tidak apa-apa? Kambuh lagi?" Lois menyentuh pundak Marcel, mengamati wajah tuannya itu.

Marcel meringis seperti orang menahan sakit. Raut mukanya menegang. Lois pun mengeluarkan satu botol obat berukuran kecil dari dasbor mobil. Marcel menyambar botol itu, menumpahkan isinya beberapa butir ke tangan dan langsung memasukannya ke mulut.

"Ini." Lois menyerahkan sebotol air mineral.

Menenggak minuman pemberian Lois itu, Marcel membuka ponselnya, memandang satu foto gadis cantik berlesung pipi.

Lois ikut memandangi foto Anggun, tunangan Marcel itu.

***

"Seperti yang pernah kubilang kan, Rav. Banyak di antara golongan kami yang tidak suka pakai celana. Bidadari bernama Lois tadi contohnya," celetuk Ione, yang sedang mengamati foto-foto pria berotot di ponselnya.

Rava yang baru memasuki kamar tamu itu pun sempat mematung. Kantuknya sudah tak tertahankan, jadi otaknya tak bisa langsung memahami ucapan Ione. Perlu beberapa saat sampai mulutnya berkata, "Ooh."

Ya, Rava ingat busana merah bidadari Lois tadi. Entah dia memakai busana terusan yang terlalu pendek, atau memang bidadari itu tidak memakai celana. Yang jelas, paha bagian atasnya yang mulus bisa terlihat oleh siapa pun.

Rava tak menanggapi lagi. Dia benar-benar harus terbiasa dengan pakaian aneh para bidadari.

Menyeruput teh hangat dari mug yang dibawanya, Rava duduk di dekat sebuah dipan. Matanya langsung tertuju kepada tubuh Kacia yang menelungkup di dipan itu. Bidadari bertubuh mungil itu memang sudah tak memakai busana, hanya kain tipis kecil yang menutupi bagian bawah tubuhnya. Namun, Rava tak merasakan gugup seperti ketika dirinya melihat tubuh telanjang Lyra. Rava justru merasa miris.

Bekas-bekas sabetan Fino yang jumlahnya tak terkira itu masih terlihat sangat jelas. Belum lagi luka di pinggang Kacia yang kini diperban. Seperti apa sakit yang dirasakan bidadari itu?

"Bagaimana keadaan kamu, Kacia?" tanya Rava pelan, merasa canggung bertanya seperti itu.

"Sudah cukup baik, Rava," jawab Kacia, sama kakunya dengan Rava.

Ione menurunkan ponselnya. "Sayangnya, kamu besok harus pulang ke kontrakan tanpa bisa membawa Kacia, Rava. Selain ibu kamu bisa curiga kalau kamu tidak pulang-pulang dari sini, beliau juga bisa heboh melihat luka-luka Kacia.

Rava menggaruk-garuk rambut. Ia merasa tak enak menggunakan rumah Stefan lagi untuk bersembunyi seperti ini.

"Maaf, Kacia. Penyembuhan kamu jadi nggak bakalan maksimal," desah Rava pelan, kemudian menguap lagi, kali ini begitu lebar.

Walau tak menatap tuannya, Kacia tersenyum. "Tidak masalah, Rava. Aku ...."

Kacia berjengit saat merasakan sesuatu mendarat di pantatnya. Ia sudah akan mengecek, tetapi Ione buru-buru mencegahnya dengan isyarat.

"Sssstttt ...." Ione menempelkan jari telunjuknya ke bibir, lantas memotret bagian bawah tubuh Kacia. "Dia beberapa hari tidak tidur karena memikirkan kamu. Jangan dibangunkan. Kasian."

Mata Kacia melotot begitu lebar begitu melihat foto yang baru diambil Ione. Wajah bidadari itu langsung dihiasi warna merah yang merona tebal. Mulutnya membuka dan menutup, bak ikan mas di akuarium.

"Tenang, aku yakin dia tidak sengaja, kok. Dia cuma ketiduran saja." Ione menutupi mulutnya dengan tangan, mati-matian menahan tawa.

Mengenakan kimono tidur, Lyra pun memasuki kamar itu. Dia sudah akan berbicara kepada Rava, tetapi langsung menahan diri. Matanya menyipit sinis melihat apa yang terjadi: pipi Rava sudah menempel di pantat Kacia. Mata pemuda terpejam dan dengkuran halus sudah keluar dari mulutnya.

Pantat Kacia menjadi bantal bagi Rava, yang wajahnya tampak begitu damai.

Ione meringis. "Ups."

Tanpa mengatakan apa-apa, Lyra berbalik dan melengos dari kamar itu.

"Kalau begitu, aku pamit dulu Kacia. Aku harus mendapatkan penyembuhan dari tuanku," bisik Ione lagi, menunjukkan telapak tangannya yang diperban. "Tenang saja, Rava benar-benar tidak akan melakukan apa pun, kok. Dia bukan orang yang seperti itu. Jadi, biarkan dia tidur nyenyak, ya. Dia pantas mendapatkannya.

"Itu... Bukan .... Anu ...." Kacia gelagapan. Wajahnya makin merona merah.

"Dadah ...." Cekikikan, Ione kabur dari tempat itu.

***

Stefan menatap langit malam yang mendung tanpa bintang. Kedua tangannya ia sandarkan ke pagar loteng. Ketika menyesap rokoknya dalam-dalam, ia merasa pipinya semakin perih. Ia pun kembali mengompres lebam-lebam di mukanya dengan kantung es.

"Yang aku baca, benda itu sangat berbahaya bagi kesehatanmu," ujar Ione, mendatangi tuannya.

Stefan mematikan rokok itu ke asbak di atas pagar. Ia terbatuk-batuk. Sudah lama tidak menyesap rokok, tenggorokannya seperti tersengat. "Aku juga nggak tahu kenapa aku tadi minta rokok ke Pak Herman."

"Lihat ini." Menjejeri Stefan, Ione menunjukkan foto Rava yang tertidur di pantat Kacia.

Stefan mengangkat alis, mengamati dengan seksama foto itu, kemudian melirik bagian bawah tubuh Ione, yang melekuk indah.

"Tidak, aku tidak mau melakukannya. Pantat adalah bagian tubuhku yang paling sensitif," ceplos Ione sembarangan.

Hanya mengangkat bahu, Stefan kembali menatap langit.

"Masih memikirkan kakakmu?" tanya Ione.

"Aku memang nggak bisa dibilang dekat dengannya. Tapi tetap saja, aku nggak akan pernah ngira dia bisa begitu. Dia kelihatan benar-benar siap kalau bidadarinya membunuh, Yon. Aku bisa lihat dari matanya."

Ione memunculkan seruling di tangannya. "Kita tidak akan pernah tahu pasti isi hati seseorang sebelum orang itu mengungkapkannya sendiri."

Setelah mengatakan hal itu, Ione mulai meniup seruling, melantunkan rangkaian nada merdu yang pelan dan mendayu-dayu. Stefan pun memejamkan matanya, menikmati alunan lagu itu.