webnovel

Chapter 14: Ele yang Porak Poranda

“Tt… Ttor… Tora…”

Sosok yang merasa nadinya nyaris diputus menjadi dua itu menyambar jemari gadis yang tengah terpejam matanya. Ia tidak bohong. Rasanya nyawanya seolah terlepas dari raga kala bibir Eleanore menggumamkan namanya dengan terbata.

Ia masih tak menyangka bagaimana bisa namanya lah yang keluar saat gadis itu sedang berada pada alam bawah sadarnya. Dari sekian banyak orang di hidupnya, mengapa Ele memanggilnya? Apakah sedalam itu luka yang ia torehkan sehingga mantan kekasihnya itu tak bisa melupakannya bahkan setelah sepuluh tahun berlalu?

Van meremas dan mengusap jemari kurus Ele secara perlahan. Pria itu menatap penuh harap padanya. Berharap Ele lekas membuka matanya secepat mungkin.

“Eleanore, bangun lah,” bisiknya tepat di telinga. Ia memandang tubuh Ele yang bergerak gelisah dalam tidurnya. Pria itu kemudin membelai surai hitam pekat milik gadisnya yang berkeringat. Tanpa ragu ia menghapus peluh di dahi Ele.

Mengikuti pergerakan Van, Yura juga kini berada dekat dengan sosok yang sudah ia anggap seperti adik kandungnya sendiri. “Ele, bangun ya segera. Aku ada di sini.” Yura menunduk di sisi kiri tubuh Ele dan meremas bahu gadis itu dengan lembut.

Van yakin Yura sama cemasnya dengannya. Bibir Yura berkali-kali bergerak yang Van asumsikan sebagai rapalan doa-doa yang tengah dipanjatkan teman Ele tersebut. Meskipun jarang sekali berdoa, namun kali ini Van meminta pada Tuhan untuk bisa membuat gadisnya sadar kembali. Ia percaya Tuhannya baik.

Rupanya Tuhan menjawab doa mereka dengan cepat. Perlahan-lahan mata lentik milik milik Eleanore membuka. Gadis itu mengerjap beberapa kali sebelum netranya sepenuhnya terbuka. Melihat Ele yang mulai sadar membuat lutut Van bergetar lemas. Pria itu bahkan nyaris terjatuh sebelum Yura menahannya dari belakang.

“Ele, kau sudah bangun?” Tangan Yura menyentuh pipi Eleanore, membelainya pelan.

Sosok yang masih mencoba mengumpulkan kesadarannya itu menggeleng lambat-lambat.

“A... Air...” Suara serak Ele perlahan terdengar walau jelas masih serak.

Van bergegas mengambil segelas air putih yang memang sudah disediakan pihak rumah sakit di ruang rawat inap. Ia memberikannya ke Ele. Tangan pria itu menahan bagian belakang leher Ele, membantunya untuk duduk sementara gadis itu meminum segelas air itu hingga habis. Setelahnya Ele kembali berbaring dan mengeratkan cengkeramannya pada selimut yang menutupi tubuh ringkihnya.

“Apa aku di rumah sakit?” tanyanya lirih.

Tangan Van mencoba meraih kembali genggaman yang sebelumnya terlepas namun Ele menolak melepaskan tangannya dari selimut. Napasnya sudah tidak memburu lagi. Ia mulai bernapas normal dengan bantuan oksigen di hidungnya.

“Ya, Eleanore.” Van meremas pundak Ele. “Kau tak sadarkan diri sejak lima jam yang lalu.”

Eleanore mengerang tertahan. Ia memijit pelan kepalanya dengan menggunakan ibu jari dan jari telunjuknya. Matanya kembali terpejam dan ia terlihat begitu kelelahan.

“Kenapa kau terus melakukan hal bodoh ini, Ele? Kau pikir itu yang terbaik untukmu? Bunuh diri adalah solusinya?”

Yura memarahi Eleanore dengan menggebu-gebu. Eleanore sedikit tersentak kala perempuan itu mengomelinya. Melihat keadaan Ele yang sedang tidak stabil, Van menahan Yura dengan menarik pelan tangan Yura yang tengah berkacak pinggang. Van pikir bukan hal yang bijak membiarkan seseorang yang baru saja sadar dari pingsannya untuk dimarahi. Ia tak rela Ele harus mendengarkan ujaran pedas.

“Sudah lah, jangan marahi Eleanore,” ujarnya menengahi.

Yura masih sedikit emosi walau pun matanya yang bengkak tak dapat membohongi kekhawatirannya. “Kalau sekali lagi kau membahayakan dirimu, aku tak akan memaafkanmu, Ele.” Yura mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Dimana bocah tadi?”

Bocah yang dirujuk Yura adalah Ghani. Van menoleh ke arah belakang dimana sebelumnya Sang Sahabat masih berdiri. Akan tetapi, saat ini sahabatnya itu sudah menghilang tanpa jejak bak disapu angin. Kemana perginya?

Detik berikutnya Van menyadari satu hal. Ghani pasti kabur karena tidak berani menghadapi Eleanore.

“Dia pasti pulang,” potong Van dengan cepat. “Dia tadi memang sebelumnya sudah ingin pulang sebelum kau datang,” imbuhnya.

Yura mengangguk sekali.

“Oke. Aku akan keluar sebentar mencarikan makanan untuk kita.” Yura mengusap kepala Eleanore, membuat si empunya mengerang kesal. “Aku tinggal sebentar, ya. Tolong jangan melukai dirimu sendiri.”

Sepeninggal Yura, hanya ada keheningan yang menyelimuti ruangan.

Baik Van maupun Ele sama-sama diam seribu bahasa. Keduanya sama terbungkamnya karena pikiran mereka penuh dengan masing-masing kata yang sulit terucap. Untuk Ele sendiri, ia masih merasa sedikit pusing dan lemas, sementara Van merasa khawatir. Ia khawatir jika ucapan apa pun yang terlontar dari mulutnya bisa menyakiti perasaan Ele.

“Harusnya tidak usah.”

Van mendongak saat mendengar kalimat yang terucap dari bibir Ele.

“Harusnya aku tak usah diselamatkan.”

“Karena Tuhan masih ingin kau hidup,” kata Van. “Belum waktunya kau pergi, Ele.”

“Kenapa kau sok tahu sekali? Kau bukan Tuhan.”

“Memang.” Van menghela napas pelan. Ia memilih kata yang tepat sebelum mencoba melanjutkan ucapannya. “Aku hanya perawatmu. Aku bukan Tuhan. Aku mungkin sok tahu, tapi yang pasti ku tahu, Tuhan mau kau hidup lebih lama. Tuhan sayang padamu, Ele.”

Gadis yang diajak bicara itu terkekeh pelan. “Kalau Tuhan sayang aku, kenapa aku tak pernah bahagia sedetik pun? Kenapa aku merasa sendiri? Kenapa aku diberi keadaan—”

“Ele.” Pria itu nekat meraih tangan Si Gadis Buta dan menggenggamnya erat. “Kau mungkin punya kekurangan. Kau mungkin punya banyak luka. Aku tahu kau merana dan merasa tak berdaya, tapi … bunuh diri tak akan menyelesaikannya. Percaya padaku, kau masih bisa bahagia. Kau bisa tersenyum lagi. Aku akan membantumu melalui semua ini. Kau hanya perlu membuka hatimu. Berbagi denganku, Ele.”

Ele memiringkan kepalanya. Matanya memerah dan ia terlihat menahan air mata yang nyaris keluar. Ia mencoba melepaskan genggaman Van namun perawatnya itu menolak.

“Ele, semua hal bisa berubah. Tidak selamanya kau ada di bawah. Tidak seterusnya kau sulit bahagia. Aku percaya kau bisa bangkit dari kesedihanmu. Sampai kau membuka hatimu, aku tak akan berhenti menemanimu. Kau bisa andalkan aku.”

Ini pertama kalinya bagi Ele.

Pertama kalinya bagi Ele untuk mendengar seseorang bersedia mengulurkan tangan untuk membantunya. Baru kali ini ia mendengar kata penenang yang benar-benar menenangkannya. Entah mengapa kali ini tak sampai hati ia memarahi Van lagi.

***

“Rasanya seperti muntahan.”

Ele meminum air putih banyak-banyak saat Van menyuapinya dengan bubur dari rumah sakit. Mulanya Ele merasa sedikit senang karena Yura kembali dengan membawa makanan untuknya. Celakanya, sesaat setelah Yura masuk, seorang dokter lengkap dengan dua orang perawat datang untuk mengecek keadaan Ele. Sontak dokter itu mengomel dan mengatakan jika makanan yang Yura bawa itu tidak boleh dikonsumsi Ele. Dokter itu dengan penuh semangat mengatakan bahwa makanan rumah sakit yang jauh lebih higienis akan segera tiba dan Ele wajib memakannya.

Hell, menurut Ele di mana-mana makanan rumah sakit itu seperti sampah. Rasanya tak karuan. Bahkan bubur yang sedang ia makan kali ini teksturnya begitu mirip dengan muntahan menurutnya. Benar-benar mengerikan.

“Sekali lagi,” pinta Van sambil terkekeh melihat ekspresi Ele yang terlihat sangat tersiksa saat harus makan bubur rumah sakit. Van kembali mendorong sendok itu di depan bibir Ele namun gadis itu menggeleng dan menjauhkan kepala darinya.

“Jangan memaksaku! Kau saja yang makan sampah itu!” gumam Ele marah.

Van menyerah. Ia meletakkan mangkok bubur itu dan mengelap bibir Ele dengan tissue. Ele saat itu juga menyambar tissue dari tangan perawatnya. Ele tak mau diperlakukan seperti bayi.

Mengabaikan sikap Ele yang kembali galak, Van memilih untuk duduk dan bersantai sedikit. “Kata dokter, kau bisa pulang dua hari lagi.”

“Terserah. Aku tak peduli,” tukas Ele.

Sebenarnya Ele ingin berbicara lebih banyak lagi dengan Yura, namun orang itu malah seenaknya saja tertidur di sofa ruang inap. Ele merasa sedikit canggung hanya berdua saja dengan Van mengingat ia sudah berbohong pada perawatnya itu dan malah menenggelamkan diri ke laut. Perasaan bersalahnya semakin terasa saat Van tidak menyalahkan tindakan bodohnya dan memilih untuk tetap di sisinya.

Walau bagaimana pun, ucapan Van terdengar tulus menurut Ele. Meski ia belum bisa sepenuhnya percaya pada janji yang diberikan Van, namun setidaknya pria itu saat ini masih setia menemaninya.

“Kau masih di sini?” tanya Ele kikuk.

Van bergumam mengiyakan sembari mulai memutar sebuah lagu. Samar-samar Ele mendengarkan lagu yang tak asing di telinganya. Ia lupa judulnya namun yang ia ingat pasti, lagu itu milik Sam Smith.

“Kau harus mendengarkan lagu, agar pikiranmu rileks.”

Lagu itu mengalun perlahan.

“Sam Smith, Stay With Me.” Bagaikan cenayang, Van menjawab pertanyaan di pikiran Ele.

Ele merasakan keberadaan pria itu yang kini ada tepat di sebelah kanannya. Ele memejamkan netranya sembari meresapi lirik lagu yang entah mengapa terasa sesuai dengan situasinya. Lagu yang Van putar mengingatkan Ele akan seseorang. Berapa kali pun Ele mencoba mengenyahkan bayangan masa lalunya, tetap saja sosok itu masih menari-nari di pikirannya setiap saat.

“Jangan lakukan itu lagi, Ele”.

Ele menolehkan kepala ke arah Van, memandangnya, meski yang ia lihat hanya bayangan hitam gelap.

“Aku tak ingin menanyakan apa yang menyebabkanmu melakukan hal gila tadi. Aku hanya meminta padamu, jangan ulangi lagi. Seburuk apa pun hidupmu, kau harus terus hidup.”

Dalam beberapa kata yang terlontar…

Dalam intonasi suara yang ia tangkap…

Dalam teduhnya suara yang merasuk ke gendang telinganya…

Ia seperti mendengarkan suara Tora.

Ele semakin erat menutup matanya. Potongan suara Tora mengalun lagi di kepalanya bagaikan alunan indah yang terlewat menyakitkan untuk didengar. Déjà vu ini menyiksanya. Perih di dadanya kembali terasa.

“Aku akan mengatakannya lagi padamu. Walau pun sudah berkali-kali aku mengingatkanmu. Kau punya aku atau Yura untuk bercerita. Ceritakan semua masalahmu pada kami. Kau hanya perlu berbagi.”

“Aku benci berbagi,” kata Ele. “Terakhir kali aku membagi perasaanku, seseorang mengambil sesuatu yang sangat berharga bagiku.”

Van menarik napasnya.

Ia tahu kemana arah pembicaraan ini akan bermuara. Ia paham objek yang dibicarakan gadis di hadapannya. Kendati begitu, ia memilih semakin tenggelam dalam topengnya lalu menanyakannya pada Ele dengan hati-hati. “Apa ia yang menyebabkanmu kehilangan pengelihatanmu?”

Ele tertawa hampa. “Mataku memang sangat berharga, namun hatiku yang lebih berharga juga ia curi. Ia membawanya pergi dan meninggalkanku sendiri. Aku benci berbagi kalau pada akhirnya ditinggalkan tanpa sebab yang pasti.”

Rasa sakit itu muncul lagi. Rasa pedih yang tertahan selama sepuluh tahun itu kembali hadir dan merayap menggerogoti kesadarannya. Ele meremas dadanya, menahan sakit di hati. Ele bersumpah demi apa pun itu, jika ia bisa mengulang waktu, ia akan meminta pada Tuhan agar tidak membiarkannya merasakan patah hati.

Karena patah yang ia rasakan tak sekadar retak. Ia pecah. Remuk redam. Hancur berkeping-keping dan mustahil untuk kembali.