webnovel

BUKAN AYAHKU

"Elena! Bagus ya, kelakuanmu sekarang?!"

Zalina dan Arjuna langsung bangkit berdiri saat melihat siapa yang datang. Calista bergegas menggendong Arlina dan menarik tangan Krisna untuk ke lantai atas. Dia tidak ingin kedua adiknya itu melihat keributan yang terjadi.

"Kau tidak punya sopan santun lagi, Dam? Masuk ke dalam rumahku tanpa permisi, tanpa salam," tegur Zalina kesal.

Damian menatap nyalang pada Zalina, namun Zalina balas menatap tak kalah tajam.

"Dia sudah kurang ajar, Lin. Anak itu sekarang menjadi liar, semalam anak buahku tak sengaja melihatnya di tempat hiburan malam bersama dua lelaki tua yang pantas menjadi ayahnya. Anak macam apa yang dengan sengaja merusak nama baikku!" seru Damian sambil menuding ke arah Elena.

"Nama baik! Daddy pikir Daddy selama ini sudah baik mengurus dan merawatku?! Pernah Daddy memikirkan perasaanku? Daddy hanya pintar menjaga hati Daddy sendiri. Daddy tidak tau bagaimana caranya mencintai!" pekik Elena nyaring.

"Kau lihat itu, Lin? Dia sudah tidak tau siapa yang dia ajak bicara! Dia tidak pernah berpikir jika selama ini aku sudah merawat dan membiayainya sejak dalam kandungan. Kau pikir, dulu aku membelikan almarhum Mommymu rumah yang sekarang ditempati kakakmu itu aku beli karena apa?! Karena Mommymu mengandungmu dan adikmu!"

Arjuna menghela napas dan mencoba menenangkan Damian.

"Sudah, Mas. Kita bisa bicarakan baik-baik," kata Arjuna. Damian menarik napas sambil mengusap wajahnya beberapa kali. Jujur, ia syok mendengar telepon dari karyawannya yang mengatakan bahwa semalam melihat Elena dipeluk oleh dua lelaki.

"Biar saja, Papi. Daddy memang seperti itu. Dia tidak pernah mau mendengarkan," kata Elena. Ia dengan berani berjalan mendekati Damian dan berdiri di hadapan Daddynya dengan sikap menantang.

"Selama ini, aku diam Daddy. Selama ini, aku hanya bisa percaya bahwa apa yang terjadi dalam keluarga kita adalah salah almarhum Grandma. Tapi, hari ini aku menyadari satu hal, pembunuh yang sebenernya adalah Daddy, monster yang sesungguhnya adalah Daddy. Daddy yang sudah membunuh Mommy!"

Plak... Plak... Plak

"DAMIAN!!" seru Arjuna dan Zalina bersamaan. Mereka tidak sempat mencegah tangan Damian yang bergerak dengan cepat menampar Elena. Elena memegang kedua pipinya yang memerah, bahkan ada darah yang menetes dari bibirnya.

"Keterlaluan!" bentak Zalina geram.

"Maaf, Mas. Lebih baik Mas pulang, biarkan Elena di sini dulu. Kalian butuh waktu," kata Arjuna. Namun, Damian menepis tangan Arjuna dan dengan cepat menyeret Elena.

Zalina tidak tinggal diam, ia segera menyusul Damian yang menyeret Elena.

"Dam, lepaskan Elena!" seru Zalina.

"Lepasin aku, Daddy! Aku nggak mau ikut Daddy!" teriak Elena. Namun, Damian lebih mengeratkan cengkraman tangannya pada Elena dan mendorong Elena masuk ke dalam mobil.

"Maaf, aku tidak bisa meninggalkan dia di sini!"

Tanpa bisa di cegah lagi Damian pun langsung membawa Elena bersamanya. Zalina menghentakkan kakinya dengan kesal.

"Aku harus menyusulnya, Mas," kata Zalina. Namun, Arjuna menahan tangan Zalina.

"Tunggu, tidak sekarang. Saat ini kondisinya masih panas. Biarkan dingin sejenak, tunggu sampai Damian pergi ke kantor, kau bisa menemui Elena di rumah. Aku yakin Liemey bisa diajak bicara. Tapi, ingat jangan bawa Arlina atau Krisna. Mereka tidak boleh melihat perdebatan," kata Arjuna sambil membelai pipi istrinya dengan lembut. Zalina mengembuskan napasnya dan menganggukkan kepalanya.

"Ya sudah, sekarang panggilkan anak-anak. Mereka harus berangkat ke sekolah, kan? Bekal mereka sudah siap?"

"Sudah, Mas."

Zalina pun segera melangkah ke kamar Calista. Ia melihat Calista, Krisna dan Arlina duduk dengan bingung.

"Loh, kenapa ini? Yuk, Krisna, Arlina Papi tunggu kalian. Nanti kalian kesiangan loh," kata Zalina.

"Om Damian udah pulang, Mami? Kok teriak- teriak sih panggil kak Elena?" tanya Arlina.

"Udah kok. Om Damian itu panik karena kak Elena tidur di sini semalam nggak izin dulu. Jadi, Om Damian panik karena cariin Kakak El. Ya udah ayo, berangkat sekolah. Mami sudah siapkan bekal juga."

Krisna dan Arlina pun segera ke bawah dan menyambar tas sekolah juga bekal mereka.

"Pergi dulu ya, Mami," ujar keduanya serempak. Zalina mengangguk dan melambaikan tangannya. Saat ia membalikkan tubuhnya, Calista tengah berdiri sambil menundukkan kepalanya. Zalina menghela napas panjang, dan menarik tangan Calista perlahan.

"Kenapa lagi, kak?"

"Maaf, Mami."

"Maaf...untuk?"

"Maafkan sikap Daddy yang tidak sopan."

"Sudahlah, itu bukan salah kakak. Kakak nggak perlu minta maaf. Hmm, kuliah hari ini?"

"Ya, Mami. Jam 9 pagi ada kuliah, Mami."

"Sekarang, lanjutkan sarapanmu, lalu berangkat kuliah. Oiya, Mami sudah mentransfer uang bulananmu ya, kak. Uang semester juga sudah Mami bayar. Jadi, belajar yang rajin, ya."

Calista menatap Zalina, ia benar-benar bersyukur memiliki Zalina dalam hidupnya. Ia menghampiri Zalina dan memeluknya. "Sudah, jangan melow, sana sarapan, nanti terlambat," kata Zalina. Calista mengangguk dan segera masuk untuk menyelesaikan sarapan paginya yang sempat tertunda.

Sementara Zalina berusaha mengatur emosinya. Ia menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan. Setelah merasa sedikit tenang barulah ia melangkah masuk.

**

Elena menatap penuh kebencian pada Damian. Liemey yang melihat Damian pulang sambil menyeret Elena dengan kasar hanya mampu berteriak panik.

"Mas, jangan kasar!" seru Liemey.

"Bagaimana aku tidak emosi, anak ini kerjanya hanya bikin susah, bikin pusing kepala!"

"Tapi, tidak begini caranya, lepaskan Elena," kata Liemey sambil melepaskan cengkraman tangan Damian dan menarik Elena. Mata Liemey terbelalak saat melihat pergelangan tangan Elena yang memerah akibat cengkraman tangan Damian dan juga darah kering di sudut bibir Elena.

"Mas, kau apakan Elena?!" hardik Liemey.

"Biar saja, Mami. Daddy mungkin baru puas jika melihat ku terbujur kaku dan dikubur di dalam tanah. Dia memang pembunuh!" seru Elena.

Tangan Damian terangkat kembali, namun Liemey dengan cepat menangkap ttangan Damian.

"Jangan coba-coba menyakiti Elena di depan mataku! Aku bisa melapor pada yang berwajib, Mas!" seru Liemey. Damian hanya menggeram kesal, ia pun segera melangkah pergi.

Liemey mengembuskan napasnya perlahan, "Kita obati dulu ya, tanganmu lecet," kata Liemey. Ia langsung mengambil kotak obat. Sebagai seorang perawat, Liemey tentu tau betul bagaimana cara merawat luka. Ia pun segera mengobati Elena.

"Kamu kenapa, Elena? Apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Liemey.

Elena menatap ibu sambungnya itu, Liemey selama ini sudah berusaha untuk menjadi Ibu yang baik baginya. Ia tau betul itu, bahkan Elena merasa salut pada Ibu sambungnya yang bisa kuat selama bertahun-tahun menghadapi sikap Damian.

"Kenapa Mami masih bertahan hidup bersama Daddy? Mami berhak untuk bahagia dan mendapatkan orang yang lebih baik dari Daddy."

"Mungkin Mami terlalu naif, El. Tapi, Mami sadar jika Mami meninggalkan Daddymu, belum tentu pernikahan Mami selanjutnya akan bahagia. Saat dulu Mami akan menggugat Daddymu, tiba-tiba Mami sakit, dan Daddy yang merawat Mami. Mungkin, Tuhan tidak mau kami berpisah, semua pasti ada alasannya."

Elena merasa hatinya begitu sakit, mengapa Daddynya begitu tega menyakiti hati wanita-wanita yang begitu tulus mencintainya. Dulu, almarhum Arista,sekarang Liemey. 'Apa Daddy tidak sadar, bahwa Daddy memiliki dua anak perempuan, bagaimana jika aku atau Calista yang tersakiti dan mengalami karma akibat keegoisan Daddy. Aku memang anakmu Daddy, tapi kau bukan Daddyku,' bisik Elena dalam hati.

**