Every man gotta right to decide his own destiny - Daniel Daniel, seorang duda yang ditinggal cerai oleh istrinya dan sudah memiliki seorang anak, kini menikah kembali dengan seorang gadis muda. Namun, pertanyaannya adalah, apakah Daniel mampu membuka hatinya untuk istri barunya? Ataukah bayangan mantan istrinya masih terus menghantui, membuatnya sulit untuk benar-benar melepaskan masa lalu dan memberikan tempat bagi cinta yang baru di hatinya?
Takdir seolah mempertemukan dua jiwa yang sebelumnya tak pernah terpikirkan akan bersatu. Sebuah ikatan yang tak kasat mata, tali merah, menghubungkan mereka dalam sebuah pernikahan yang tak terelakkan.
•
•
"Saya, Daniel Kang, menerima Valerie Kim sebagai istri saya satu-satunya, dan berjanji di saat susah maupun senang akan selalu bersamanya."
•
•
"Saya, Valerie Kim, menerima Daniel Kang sebagai suami saya satu-satunya, dan berjanji di saat susah maupun senang akan selalu bersamanya."
•
•
Dengan janji suci itu, takdir mereka kini resmi terjalin, terikat dalam ikatan yang lebih kuat dari sebelumnya.
---
Valerie Kim tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah secepat ini. Awalnya, ia hanyalah seorang gadis muda yang belum lulus sekolah menengah, menjalani hari-harinya seperti remaja pada umumnya. Tapi segalanya berubah ketika ayahnya memutuskan menerima perjodohan tanpa memberinya pilihan. Valerie mendapati dirinya harus menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya—Daniel Kang, seorang duda dengan satu anak. Itu adalah keputusan yang tak pernah terlintas dalam benaknya, namun kini menjadi kenyataan yang harus ia hadapi.
Hari pernikahan mereka tiba lebih cepat dari yang direncanakan. Valerie masih berada dalam masa liburan sekolah, jadi setidaknya ia tak perlu menjelaskan kepada teman-temannya tentang pernikahan mendadaknya. Tetapi, tak ada yang bisa menghapus kecanggungan yang ia rasakan saat berdiri di samping pria yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Saat upacara pernikahan berlangsung, Valerie merasa dunia seolah berputar lebih cepat. Daniel, dengan sikapnya yang tenang namun dingin, menyematkan cincin di jari manisnya. Tangan besar pria itu terasa asing di genggamannya. Ketika tudung pengantinnya diangkat, Valerie menatap wajah pria yang kini menjadi suaminya. Daniel adalah pria dengan bahu lebar, hidung mancung, dan mata sipit yang, meskipun kerap terlihat tajam, berubah menjadi bulan sabit saat tersenyum. Namun, senyuman itu terasa jauh dari jangkauannya.
Acara pernikahan mereka berlangsung singkat dan penuh formalitas. Ketika para tamu mulai meninggalkan gedung, Valerie merasa semakin terasing. Kini, ia hanya berdiri di sana bersama keluarga terdekat. Daniel tampak sibuk berbicara dengan ayahnya, Damian Kang, yang menepuk bahu putranya dengan ringan.
"Daniel, ayah tahu ini malam pertama kalian, tapi bisakah kalian tidak melakukannya malam ini?" ucap Damian, suaranya rendah namun jelas.
Anne Kang, ibu Daniel, ikut menambahkan, "Benar. Valerie masih sekolah, dan sepertinya belum saatnya memikirkan soal anak." Tatapan tajamnya mengarah pada Daniel, namun Valerie bisa merasakan beban dari setiap kata itu, seolah ditujukan padanya juga.
Daniel tidak menanggapi. Tanpa sepatah kata, ia langsung masuk ke dalam mobil yang sudah menunggu, meninggalkan Valerie yang masih terpaku di tempat. Valerie menatap kedua orang tuanya. Ibunya, Sarah Kim, terlihat tak kuasa menahan air mata. Ia memeluk Valerie erat, seolah tak rela melepas putrinya.
"Maafkan Bunda, sayang... Bunda tak bisa membahagiakanmu," bisik ibunya dengan suara bergetar penuh penyesalan.
Valerie tersenyum pahit. "Tidak, Bunda. Terima kasih sudah melahirkan aku," balasnya dengan lembut, meski hatinya ikut teriris. Setelah itu, ia melangkah ke arah mobil, mengikuti suaminya yang sudah menunggu. Perasaan canggung dan tak pasti menguasai pikirannya.
Di dalam mobil, suasana sunyi. Daniel menyetir dengan tenang, pandangannya lurus ke depan. Tak ada percakapan di antara mereka selama perjalanan menuju hotel tempat mereka akan menghabiskan malam. Valerie sesekali mencuri pandang ke arah Daniel, tapi pria itu tetap diam, tak menunjukkan emosi apapun. Wajahnya tegas, namun kosong.
Begitu tiba di hotel, Daniel langsung menuju kamar mandi tanpa banyak bicara, meninggalkan Valerie sendirian di kamar. Valerie duduk di tepi ranjang, memandang sekeliling dengan perasaan campur aduk. Semuanya terasa asing baginya—dari ruangan yang mewah hingga pria yang baru saja menjadi suaminya. Ia berusaha menenangkan pikirannya yang kalut, tapi rasa canggung dan ketidakpastian terus menghantui.
Setelah beberapa saat, Daniel keluar dari kamar mandi dengan langkah tenang. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, ia langsung berbaring di tempat tidur, punggungnya menghadap ke arah Valerie. Hati Valerie sedikit lega. Setidaknya malam ini, kekhawatiran terbesarnya tidak terjadi. Ia tahu dirinya belum siap menghadapi apa pun yang mungkin terjadi di balik pernikahan ini.
Dengan napas panjang, Valerie pun akhirnya memutuskan untuk mandi. Air dingin yang mengalir dari shower seolah mengalirkan ketenangan sesaat ke tubuhnya yang tegang. Setelah membersihkan diri, ia keluar dari kamar mandi dan berbaring di sisi lain tempat tidur, menjaga jarak dari Daniel. Di tengah keheningan malam itu, Valerie memejamkan matanya, berharap esok hari akan membawa kepastian yang lebih baik, meskipun ia tahu, perjalanan hidupnya baru saja dimulai.
---
Pagi itu, Valerie terbangun dengan perlahan, tubuhnya terasa hangat dibalut sinar matahari yang menerobos masuk melalui tirai. Namun, seketika jantungnya berdebar kencang saat menyadari ada sesuatu yang berbeda. Ada tangan besar yang melingkari pinggangnya. Jantungnya berdegup semakin kencang. Dengan hati-hati, ia menoleh dan mendapati Daniel masih tertidur di sampingnya. Wajahnya terlihat tenang, namun napas Valerie mendadak terasa berat.
Momen itu terasa canggung dan tak terduga. Ketika Daniel akhirnya terbangun, suasana semakin kaku. Ia cepat-cepat melepaskan tangannya dari pinggang Valerie, tampak sama terkejutnya.
"Maaf," ucap Daniel cepat, suaranya serak namun terdengar tulus. Ia tampak sedikit malu dan bersalah.
Valerie hanya mengangguk kecil, tersipu. Ia tak tahu harus berkata apa, hatinya campur aduk antara perasaan canggung dan bingung. Mereka berdua terdiam dalam keheningan yang panjang, seolah masih mencari cara untuk menyesuaikan diri dengan kenyataan baru ini.
Setelah sarapan yang berlangsung singkat, mereka kembali menuju rumah Daniel. Valerie menatap mansion besar di hadapannya, tempat yang kini harus ia sebut rumah. Gedung itu megah, dengan taman luas dan pilar-pilar tinggi yang membuatnya tampak semakin angkuh. Meski kagum, Valerie merasa asing dan canggung dengan rumah sebesar itu. Seolah gedung tersebut mencerminkan betapa jauh jarak antara dirinya dan suaminya yang baru ini.
Saat mereka tiba, pintu besar mansion terbuka, dan dari dalam, seorang gadis kecil berlari ke arah Daniel dengan senyum cerah di wajahnya.
"Daddyyyy!" seru gadis kecil itu penuh antusias sambil memeluk kaki ayahnya erat-erat.
Raut wajah Daniel yang tadinya dingin seketika berubah lembut, penuh kasih sayang. Gadis kecil itu adalah putri Daniel, Diana Kang. Mata bulatnya bersinar penuh keceriaan, dan ia dengan cepat mulai menceritakan pada ayahnya tentang seekor kucing yang ia temukan kemarin. Suaranya melengking riang, membuat Valerie tak bisa menahan senyum kecil melihat pemandangan itu.
Namun, di tengah kegembiraannya, perhatian Diana tiba-tiba beralih kepada Valerie. Gadis kecil itu menatapnya penuh penasaran, seolah baru sadar bahwa ada orang asing di sana.
"Daddy, siapa kakak ini?" tanyanya polos, matanya berbinar saat memandang Valerie.
Daniel, tanpa sedikit pun menatap Valerie, menjawab singkat. "Dia teman Daddy yang akan menginap di sini."
Jawaban itu membuat Valerie merasa sedikit tersisih. Meski begitu, ia mencoba tersenyum kepada Diana, tak ingin membuat suasana semakin canggung. "Namaku Valerie Kim," ucapnya lembut, memperkenalkan diri.
Diana balas tersenyum cerah. Senyum itu mengingatkan Valerie pada Daniel—wajah mereka sangat mirip. Gadis kecil itu tiba-tiba mendekat, menggenggam tangan Valerie dengan penuh kehangatan. "Ayo, Kakak, main denganku!" ajaknya dengan antusias, mengguncang tangan Valerie dengan ceria.
Namun, sebelum Valerie sempat menanggapi, Daniel dengan cepat memotong. "Nana, jangan ganggu Kak Valerie. Dia butuh istirahat setelah perjalanan jauh."
Nada suara Daniel terdengar tegas, meski tetap lembut saat berbicara dengan putrinya. Diana mengangguk patuh, meski ada sedikit kekecewaan di wajahnya. Tapi sebelum pergi, ia sempat mengecup pipi Valerie dengan manis dan berucap, "Selamat tidur, Kak Valerie."
Setelah Diana berlari pergi, suasana di antara Daniel dan Valerie kembali dingin dan tegang. Daniel menatap Valerie dengan ekspresi datar, namun sorot matanya penuh ketegasan. Seolah ada sesuatu yang ingin ia sampaikan dengan jelas dan tanpa keraguan.
"Aku ingin memperingatkanmu satu hal," kata Daniel tiba-tiba. Suaranya rendah namun tegas, nyaris tanpa emosi. "Jangan pernah katakan pada Diana bahwa kau adalah ibu tirinya."
Valerie terdiam, tertegun mendengar kalimat itu. Kata-kata Daniel terasa seperti tembok besar yang baru saja dibangun di antara mereka. Ia menyadari betul bahwa perjalanan hidupnya di mansion ini tidak akan mudah. Hubungan mereka belum bisa disebut harmonis, dan kini ia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia tak hanya menikah dengan Daniel, tapi juga masuk ke dalam kehidupan anak kecil yang mungkin belum siap menerima kehadirannya.
Valerie tahu, tantangan baru saja dimulai.
--- To Be Continued ---