webnovel

Buronan Internasional?

Setelah memastikan bahwa keduanya tidak akan menengok ke belakang. Qelia menatap tubuh pria yang sedang sekarat di hadapannya itu dengan serius. Kemudian, dia dengan sigap membuka kancingnya satu per satu. Hingga memperlihatkan bekas luka pada bagian pinggang yang cukup lebar dan dalam.

"Ini, seperti bekas pertarungan jarak dekat. Aku perlu menjahit dan beberapa obat herbal secepat mungkin. Tapi mustahil dengan keadaan seperti ini," gumam Qelia sambil melirik ke arah pintu, lalu kembali melirik luka pria itu.

Qelia menghela napas pelan. "Tak ada cara lain. Lebih baik beristirahat dulu, nanti ketika fajar mulai datang dan sinar matahari sedikit menembus hutan, baru aku pergi mencari herbal," putus Qelia menentukan apa yang akan dilakukan selanjutnya.

Merobek kain baju si pria. Qelia langsung menggunakan kain itu untuk membalut luka si pria. Xevanus hanya memperhatikan dari alam bawah sadar. Dia mengepalkan kedua tangan karena tak bisa melakukan apa-apa untuk membantu saat ini.

Andai dia bisa. Pasti Xevanus akan langsung membantu. Sayangnya, ingatannya tentang banyak hal telah disegel dan diselipkan pada buku-buku di penjuru dunia tempat Qelia berada saat ini.

"Selesai," seru Qelia dengan nada pelan ketika selesai membalut tubuh si pria menggunakan kain.

Dia mengusap keringat yang ada di kepalanya. "Setidaknya luka pria ini telah ditangani," ucap Qelia pelan dengan nada yang terdengar sangat lega. Dia memeriksa sekali lagi balutan kainnya, apakah ada kesalahan atau tidak. Namun, beberapa kalipun Qelia memeriksa. Tak ada kesalahan.

Itu membuatnya kembali merasa lega. Setelah itu, Qelia membalikkan tubuhnya ke arah Aksvar dan Vesko. "Aksvar, Vesko. Kalian berdua sudah boleh liat ke sini." Seketika itu juga, keduanya langsung berbalik ke arah Qelia.

Melihat Qelia merentangkan kedua tangan. Mereka langsung berlari dengan senyum. Ada keinginan untuk meneriakkan kata ; 'mama'. Akan tetapi, Qelia menempelkan jari telunjuk pada bibir. Sebagai isyarat, bahwa mereka tak boleh ribut.

Keduanya bukanlah anak yang suka membantah, walau tak dipungkiri kalau mereka cemburu melihat kepedulian sang mama, pada pria asing yang diselamatkan dari dalam goa.

Mereka sangat tidak suka. Bahkan jika itu hanya bentuk kepedulian yang sangat kecil sekali, dan berpotensi untuk saling menguntungkan. Kedua bocah tampan bersaudara itu lebih suka untuk memonopoli kasih sayang sang mama, untuk diri mereka sendiri. Seolah tak ada celah untuk orang lain masuk dan mengacaukannya.

"Mamaa." Keduanya berhasil memeluk Qelia, membuat wanita itu membalas dan mengelus punggung mereka dengan lembut.

"Iya," jawabnya penuh perhatian.

Tiit-tiit-tiiit! Suara itu tiba-tiba terdengar. Qelia yang mengira itu bom langsung cepat membawa keduanya untuk keluar. Namun, ketika berada di luar. Ada banyak orang dengan pakaian antipeluru dan senjata api terarah padanya.

"Jangan bergerak!" teriak salah satu orang yang mendekat dengan perlahan.

"Tunggu, apa yang terjadi di sini?" tanya Qelia bingung. Dia menurunkan Aksvar dan Vesko yang berada di pelukannya.

Dor! Satu peluru melesat menembus dinding gubuk. Aksvar dan Vesko yang pertama kalinya mendengar itu terperanjat kaget, tapi langsung memasang kuda-kuda bela diri yang telah diajarkan. Mereka berdua berada di samping Qelia.

Sementara Qelia sendiri memasang wajah datar dan penuh ancaman. "Apa-apaan ini, kalian menembak dinding. Andai itu tadi terkena salah satu anak saya, maka jangan salahkan saya jika kalian meregang nyawa dalam sekejab," kecam Qelia menahan aura pembunuhnya.

Dia tak boleh bertindak sembarangan. Mudah saja jika hanya dia yang berada di sini, tapi takdir berkata lain. Ada Aksvar dan Vesko yang harus dilindungi. "Kami ada di sini, sebab mendapatkan informasi tentang keberadaan Buronan Internasional!" jawab si pemimpin berhenti melangkah mendekat.

Sesaat Qelia berusaha mencerna penjelasan yang begitu singkat, padat dan jelas dari si pemimpin. Kemudian dia mengangkat alis dengan penuh tanda tanya. "Buronan? Maksud kalian aku melindungi Buronan?" tanyanya menunjuk ke arah diri sendiri.

"Jangan bergerak!" bentak si pemimpin mengarahkan senjatanya.

"Jawab pertanyaanku!" balas Qelia dengan nada dingin.

Si pemimpin langsung terdiam mendengar jawaban dari Qelia. Dia mengamati perempuan itu dengan serius. Namun setelahnya, si pemimpin pun mengangkat alisnya di balik seragam yang menutupi setiap jengkal tubuh; mulai dari ujung rambut, hingga ujung kaki.

'Aku seperti familiar dengan perempuan ini,' pikir si pemimpin, 'tapi di mana aku pernah melihatnya?'

Si pemimpin itu mencoba menerawang, tapi tak menemukan ingatannya. Malahan dia teringat pada nasehat sang senior kepolisian yang berkata; "Seorang polisi yang sedang menjalankan profesinya harus fokus, jangan sampai lengah. Sebab, itu akan menjadi kesempatan bagi musuh untuk memutar balik keadaan."

Dia pun menggelengkan kepalanya dan tersadar. "Tolong jawab pertanyaanku!" tekan Qelia sekali lagi dengan nada dingin.

"Dari mana juga saya bisa melindungi Buronan, yang bahkan tingkat internasional. Saya hanya tinggal di hutan, dan sama sekali tidak mengetahui informasi dunia luar!" sambung Qelia membantah dengan jujur.

Sayangnya, di antara barisan manusia dengan seragam antipeluru. Tidak ada yang percaya pada kata-kata Qelia. "Silahkan periksa sendiri gubuk ini. Hanya ada empat orang, padahal sebenarnya hanya ada tiga orang. Satu orang tambahan itu adalah manusia yang saya selamatkan dari suatu tempat," jelas Qelia menyingkir dari pintu gubuk, dan menarik Aksvar juga Vesko ke dekatnya.

Bertindak layaknya orang profesional, moncong senjata api mereka tak pernah berhenti untuk mengikuti ke manapun Qelia bergerak. Si pemimpin melihat ke belakang, di mana ada barisan anak buah kepercayaannya.

Tangannya naik ke atas, lalu turun menunjuk Qelia. Beberapa anak buahnya pun bergerak mendekat. "Jangan bergerak!" ancam salah satu anak buah si pemimpin yang semakin mendekat.

Mengikuti kata prajurit itu, Qelia benar-benar tak bergerak. Tak memerlukan banyak waktu, beberapa yang di antaranya adalah petugas wanita langsung mengunci tubuh Qelia.

Melihat Qelia dibekuk dengan mudahnya. Si pemimpin kembali memberi isyarat, agar beberapa anak buahnya ikut masuk ke dalam gubuk. Brakk! Pintu gubuk ditendang dengan kasarnya, hingga pintu yang terbuat dari kayu jabuk itu langsung terpental ke dinding gubuk. Dinding gubuk yang menahan pintu itupun ikut rusak.

Layaknya semut yang menemukan gula. Si pemimpin dan bawahannya yang dipercaya masuk, mengelilingi si pria Alpha yang sedang terbaring dengan luka pada lantai.

Si pemimpin memberi isyarat berhenti bergerak. Seketika suara langkah kaki yang tadi menggema, kini langsung hilang layaknya ditelan bumi. Beberapa saat kemudian. Si pemimpin kembali memberi isyarat memerintah, dengan cara menengok ke anak buahnya yang sedang berdiri di sisi kanan dan kiri dia.

Setelah itu, dia dan dua orang yang tadi ditunjuk dengan cara ditengok. Kini ikut bergerak, ke sisi lain pria. Salah satu di antara dua berjongkok, untuk memeriksa denyut nadi si pria dan mendeteksi wajahnya. Sementara satu bawahan yang terpilih lainnya tetap berdiri.

Bawahan yang tadi berjongkok itu melihat ke arah si pemimpin, lalu memberikan isyarat seakan berkata ; "Dia benar-benar buronan, tapi keadaannya sedang pingsan parah. Sepertinya dia habis bertarung dan terluka parah!"

Bab berikutnya