webnovel

Aku yang sebenarnya

Semakin penasaran dengan apa maksud dari catatan tersebut, membuat Sigit terus membaca sampai akhir. Semakin membaca, emosinya malah semakin naik, namun ada rasa kasihan kepada murid kesayangannya itu karena kalimat-kalimat yang disusun sangat baik.

Tapi tetap saja itu tidak bisa memungkiri fakta kalau Reno, murid kesayangan sekaligus murid yang sudah dianggap sebagai anaknya sendiri itu adalah penyuka sesama jenis. Yang membuat Sigit semakin pusing adalah, orang yang disukai oleh Reno adalah dirinya.

Di usianya yang sudah lebih dari 30 tahun, ia memang butuh seorang pendamping hidup atau orang yang memperhatikannya. Namun tidak pernah terlintas di benaknya sekali saja, untuk memiliki hubungan sesama laki-laki. Apalagi laki-laki itu adalah Reno.

"P-pak Si-sigit?" Suara panggilan dari Reno membuatnya menoleh ke sumber suara.

Meski suasana kamar remang-remang, namun mereka masih bisa melihat satu sama lain dengan jelas. Terlihat wajah Reno seperti ketakutan, setelah ia mengetahui hp miliknya sedang dipegang oleh gurunya itu.

"Bisa tolong jelaskan ini Ren?" ucap Sigit tanpa basa-basi, seraya memperlihatkan hp milik Reno yang berisikan catatan itu.

Mata Reno terbelalak, ia tau apa yang sedang ditunjukkan oleh Sigit. Sebuah catatan kecil yang biasa ia tulis kalau ada momen menyenangkan bersama gurunya itu, kini sudah terbongkar oleh tokoh yang berada di catatan itu sendiri.

"Bisa tolong jelaskan ini?" ucap Sigit lagi dengan nada yang menekan.

Reno menelan ludahnya, kepalanya langsung tertunduk karena tak berani menatap Sigit yang sudah memasang wajah marahnya. Ia tidak menyangka, ternyata semuanya akan ketahuan di saat yang sangat-sangat tidak tepat seperti ini.

Beberapa kali Reno mengutuk dirinya sendiri, karena ia lupa untuk mengganti wallpaper hp miliknya serta lupa untuk memberikan kata sandi di hp miliknya itu. Kata-kata kasar terus keluar di dalam hatinya, karena merasa dirinya sudah tertangkap basah.

Terasa Sigit kini duduk bersama dengannya di kasur, atau lebih tepatnya sudah berada di hadapannya sekarang. Melihat sebelah tangan Sigit yang mengepal yang mengeluarkan urat-uratnya, semakin membuat Reno takut. Keringat dingin sudah membanjiri kening serta punggungnya sekarang ini.

"Ren, saya nggak akan ngulang sampai tiga kali" ucap Sigit datar.

"Sebenernya... a-aku..." ucap Reno menggantung.

"Ren, liat saya" ucap Sigit lagi.

Suara datar dan berat milik Sigit membuat Reno ketakutan, sehingga ia tidak berani melihatnya.

"Ren! Liat saya!" Sigit mengeraskan suaranya.

Suara bentakan Sigit membuat Reno langsung menoleh meski penuh keraguan. Air mata mengalir begitu saja dari matanya, sesekali tangannya gemetar karena ketakutan.

"Kamu kenapa Ren? Jelaskan ini sama saya, bisa?" tanya Sigit dengan nada yang lebih tenang.

"Maaf..." Hanya itu yang bisa dikatakan oleh Reno.

Sigit menghela napas berat, matanya tak berhenti menatap ke mata Reno yang sudah berlinang air mata. Ada perasaan iba dan kasihan melihat muridnya menangis, namun penjelasan masih belum terucap juga dari mulut Reno.

"Kamu suka sama laki-laki?" tanya Sigit langsung.

Mendengar pertanyaan itu, membuat kepala Reno kembali tertunduk. Dengan ragu-ragu Reno menganggukkan kepalanya.

Kembali Sigit menghela napas, seakan tak percaya dengan apa yang terjadi ini. Sesekali Sigit memegang kepalanya sendiri, entah mengapa terasa pusing setelah mengetahui itu dari Reno sendiri.

"Tapi kenapa harus saya?" tanya Sigit lagi.

"Maaf, aku suka Pak Sigit, aku cinta sama Pak Sigit" jawab Reno.

Mendengar jawaban dari Reno, ada rasa prihatin yang menghantuinya. Namun jawaban tadi masih belum bisa membuat Sigit puas, ia ingin tau lebih banyak alasan tentang Reno yang menyukainya itu.

"Cinta dari mana? Apa kamu tau apa yang omongin Ren?"

"Aku tau, aku tau banget" jelas Reno. "Awalnya aku tau kalau aku ini cuma sekedar kagum sama Pak Sigit. Badan indah, wajah tampan garang, jantan, apa sih yang kurang dari Pak Sigit? Aku yang dasarnya suka sama laki-laki, nggak mungkin nggak suka sama Pak Sigit."

"Maksud saya, apa kamu nggak coba buat buang rasa itu Ren? Kamu ganteng, di sekolah kamu dikejar-kejar terus sama banyak perempuan. Apa kamu nggak mau coba untuk pacaran sama salah satu dari mereka untuk menyampingkan rasa kamu itu?" sahut Sigit pelan.

"Aku udah coba, tapi nggak bisa, atau mungkin nggak akan pernah bisa. Pacaran sama perempuan? Buat apa kalau nggak ada cinta juga?" jawab Reno sambil menyeka air matanya yang tak kunjung berhenti keluar.

Sigit terdiam, ia tidak tau ingin menanggapi apa lagi. Semakin ia menanggapi, ia hanya takut semakin emosi dan berujung membentak Reno. Sekarang ia hanya menatap prihatin ke Reno yang terus meyeka air matanya itu.

Beberapa menit mereka terdiam, akhirnya Reno menurunkan kakinya ke lantai. Lalu secara perlahan, ia berjalan ke sisi lain kasur.

"Asal Pak Sigit tau, aku juga nggak mau kayak gini. Siapapun di dunia ini juga nggak ada yang mau terlahir kayak aku, punya kelainan begini" ucap Reno yang masih terisak.

Reno mengambil hp yang masih ada di dekat Sigit, kemudian berjalan ke arah di mana bajunya yang tadi ia pakai tergantung.

"Ren, mau ke mana?" bingung Sigit, ketika Reno mengambil bajunya itu. Namun Reno tidak menanggapi.

Sesaat sebelum Reno memakai bajunya itu, tangan Sigit mencengkram keras tangan milik Reno.

"Lepasin Pak, aku mau pulang." Reno menepis tangan Sigit.

Tanpa menggubris perkataan Reno, segera Sigit membuang baju itu ke arah meja. Kemudian ia menarik Reno ke sofa yang berada di depan jendela.

Sudah ditarik oleh pria yang tenaganya jauh lebih besar, membuat Reno pasrah dan berjalan pelan mengikuti Sigit.

Di sofa, tangan Sigit langsung meraih kepala bagian belakang kepala Reno, dan meletakkan di dada bidang miliknya itu. Seketika saja Reno kembali menangis, setelah mendapat perlakuan hangat dari Sigit.

"Saya sayang kamu Ren. Saya udah anggap kamu adik saya, anak saya sendiri. Rasa sayang saya ya seperti itu, bukan sayang sebagai kekasih. Saya nggak mungkin jatuh cinta sama laki-laki juga" ucap Sigit, sambil mengelus lembut rambut Reno.

"Maaf Pak Sigit, aku beneran cinta sama Pak Sigit" jelas Reno lagi.

"Saya nggak nyaranin kamu begitu Ren" ucap Sigit. "Kamu boleh kagum sama saya, kamu boleh jatuh cinta sama saya. Tapi satu hal yang perlu kamu tau, cinta yang tak terbalaskan itu menyakitkan" jelas Sigit.

Kata-kata Sigit membuat dada Reno terasa nyeri, sehingga ia berkali-kali menyeka air matanya itu. Dari situ Reno sudah mengetahui, sampai kapanpun cintanya tidak akan terbalaskan. Lebih tepatnya, Sigit tidak akan pernah membalas cintanya itu.

Tak lama dari itu, Sigit menggendong tubuh Reno ke pangkuannya. Tubuh kecil Reno kini sudah dipeluk oleh tubuh besar Sigit, dan juga bokong Reno berada tepat di selangkangan Sigit.

Suasana sunyi dan lampu yang remang-remang, membuat keduanya tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya terdengar suara isak tangis Reno yang perlahan mereda, hingga hanya terdengar suara napas mereka saja.

Pikiran Reno sangat kacau kali ini. Setelah semua rahasia miliknya disimpan rapat-rapat olehnya, malah ketahuan oleh gurunya sendiri. Sebaik apapun Sigit, ia sangat yakin, setelah semua ini terjadi, Sigit pasti akan merasa jijik terhadap dirinya dan akan menjauhinya.

Beberapa menit terdiam dengan posisi berpelukan, Reno bisa merasakan sesuatu yang didudukinya semakin keras. Bahkan benda keras itu seperti tertuju tepat ke arah belahan bokongnya, ada rasa kalau benda itu semakin berkedut-kedut dengan jelas.

Kini pikiran Reno melayang, merasakan benda keras itu semakin jelas di area bokongnya. Dengan keadaan berpelukan juga, membuat Reno yakin kalau kejantanan milik Sigit sedang menegang, ia juga merasakan kalau napas gurunya itu mulai memberat dan memburu.

Karena merasa ini adalah pertemuan dan kesempatan terakhirnya bersama gurunya itu, membuat Reno membulatkan tekad untuk hal yang tak seharusnya. Sejujurnya ia ragu, namun kalau ia tidak melakukannya, pasti ia akan menyesal seumur hidupnya.

Secara perlahan Reno mendongakkan kepalanya, menatap lekat ke mata Sigit. Wajah mereka sangat berdekatan, sampai-sampai hembusan napas Sigit bisa dirasakan di wajahnya itu.

Dengan jantung yang berdebar, Reno memberanikan dirinya.

"Pak Sigit, maafin aku" ucap Reno, lalu ia menempelkan bibirnya di mulut Sigit.

* * *

Bab berikutnya