webnovel

Melawan Dunia

Redo mengerutkan kening, mulutnya meringis, saat melihat Yohan berjalan mengangkang sambil memegangi bokongnya.

"Yoh."

Panggil Redo, yang otomatis membuat Yohan menghentikan langkahnya. Memutar tubuh, berhadapan dengan Redo.

"Apa?" Tanya Yohan.

"Masih sakit ya?" Redo memiringkan kepala, melihat bokong Yohan.

"Tau," jawab Yohan ketus. Kemudian ia memutar kembali tubuhnya, melanjutkan perjalanannya, membuka pintu kamar hotel.

"Kasihan istriku," Goda Redo.

Telapak tangan Yohan menggantung di udara. Ia urung membuka handle pintu saat mendengar Redo menyebutnya 'istriku'. Memutar tubuhnya kembali, menatap kesal ke arah Redo.

Bugh!

"Aaoou...!!"

Yohan memberikan pukulan di perut Redo, yang otomatis membuat Redo mengaduh kesakitan. Redo membungkuk, sambil memegangi perut.

"Kok mukul sih?" Protes Redo. Kemudian ia meringis. Pukulan Yohan sedikit kuat.

"Jangan panggil aku itu!" Murka Yohan. "Hiiih..." sebutan 'istriku' membuat Yohan bergidik merinding.

"Iya-iya," ucap Redo. Kemudian ia meraih pundak Yohan, merangkulnya seraya berkata, "Sorry."

Yohan mendengkus, memutar tubuhnya kembali, melanjutkan niatnya membuka pintu kamar hotel.

Setelah berada di luar kamar, Yohan mengunci pintu, lalu berjalan beriringan bersama Redo__meninggalkan kamar.

Ditengah perjalanannya, terlihat tangan kanan Redo mengalung di pundak Yohan. Sementara tangan kirinya memegang perutnya sendiri.

"Sakit," kelu Redo.

"Rasain." Ketus Yohan.

Keduanya jalan saling merangkul, menuju bagian FO.

Waktu begitu cepat berlalu. Tidak terasa ternyata Redo dan Yohan menghabiskan waktu mereka seharian di kamar hotel. Saat keluar dari hotel__tempat mereka menginap, ternyata hari sudah berubah menjadi gelap. Mereka tidak ingin berpisah, meskipun hanya sebentar. Rasanya ingin sekali kembali lagi ke hotel, hidup bersama, hanya berdua saja.

Meski sudah malam, namun Redo menjalankan motornya dengan kecepatan sedang. Ia tidak ingin cepat sampai di rumah.

Di atas motor, senyum Redo dan Yohan selalu mengembang. Mereka merasa sangat bahagia, menikmati indahnya kota Bandung di malam hari. Lampu hias di sepanjang jalan, menambah keindahan suasana malam kota Bandung. Sesekali Redo menggoyangkan laju kendaraan motornya, untuk meng'ekspresikan rasa bahagianya.

Udara kota Bandung di malam hari terasa dingin. Yohan harus memeluk erat pinggang Redo, menciptakan kehangatan ditengah terpaan angin yang berhembus kencang.

"Do!" Panggil Yohan. Ia harus menaikan nada suaranya, untuk melawan suara kendaraan.

"Apa?!" Jawab Redo. Pandangannya fokus ke arah jalan raya.

Yohan menopang dagunya di pundak Redo, supaya suaranya dapat terdengar jelas. "Kapan-kapan gantian ya."

Melirik sekilas ke arah Yohan, kemudian Redo kembali fokus ke jalan raya. "Gantian apa?"

Yohan mendengkus, lantaran Redo tidak tanggap degan maksudnya. Ia terdiam, merasa bingung ingin mengungkapkan maksudnya.

"Gantian apa Yoh?" Heran Redo.

Menarik napas dalam-dalam, sebelum akhirnya Yohan hembuskan secara perlahan. Setelah berpikir selama beberapa saat, akhirnya Yohan mengungkapkan keinginannya.

"Gantian kamu yang ngerasain sakit!" 

"Oh!" Ucap Redo tanpa ekspresi. "Ha... ha... ha...!" Kemudian ia terbahak setelah mengingat, sekaligus menyadari maksud Yohan.

Tawa Redo membuat Yohan mengerutkan kening. "Kok, ketawa?"

Redo menghentikan tawanya, ia terdiam sambil berpikir. Gantian sama Yohan? Ah, Redo sama sekali tidak ingin mencobanya. Ia memikirkan cara, untuk menolak keinginan Yohan.

"Mau kan?" Tanya Yohan.

Menarik ujung bibirnya, Redo tersenyum menceng, akhirnya ia menemukan ide untuk menolak keingingan Yohan. "Kalo kamu bisa ngalahin aku main futasal! Nanti gantian!" Tantang Redo. Senyumnya menyeringai.

Main futsal? Menonton saja malas. Mana mungkin Yohan bisa menang. Kening Yohan berkerut. Sepertinya ia sudah tahu maksud dari Redo memberinya tantangan.

"Kamu curang, aku nggak bisa main futsal. Yang lain aja." Protes Yohan.

"Ha..Ha..Ha..Ha..Ha!" Redo kembali terbahak. Kemudian ia membungkuk seperti seorang pembalap, menarik gas, mempercepat laju kendaraannya, Seraya berkata, "Tidaaaaaaak!!"

Secara reflek, Yohan mengencangkan pelukannya di pinggang Redo.

***

"Kanapa baru pulang Yoh?"

Yohan menghentikan perjalannya yang baru beberapa langkah, menaiki anak tangga. Ia memutar tubuhnya, lalu mendapati ibu Eha, yang tengah berjalan mendekat ke arahnya.

"Eh, mama," ucap Yohan setelah ibu Eha sudah berdiri tepat di hadapannya sambil melipat kedua tangannya di perut. Sorot matanya menatap tajam, ke arah Yohan.

"Dari mana saja kamu?" Sinis ibu Eha.

"Yohan udah kasih tau mama," kening Yohan berkerut, lambat laut senyumnya memudar saat ia menyadari kalau ibunya sedang memasang wajah tidak bersahabat.

Tidak ada sedikitpun senyum, terlukis di bibir ibu Eha.

Ibu Eha mengerutkan kening, napasnya memburu, saat tidak sengaja manik matanya melihat ada tanda merah di leher Yohan.

"Apa ini?!" Tanya ibu Eha sambil mencubit leher Yohan, tepat di bagian yang ada tanda merahnya.

"Aduh..." Yohan mengaduh, sambil mengusap-usap bekas cubitan ibu Eha di lehernya. Cubitan ibu Eha lumayan kuat, hingga meninggal jejak waran merah. Lebih merah dari gigitan Redo. "Mama apa-apaan? Sakit."

"Mama tanya! Itu leher kamu kenapa?"

Deg!

Masih memegangi leher, Yohan menundukkan kepalanya. Ia tidak berani bersitatap dengan dengan ibunya. "Ini... ini nyamuk." Jawab Yohan gelagapan.

"Nyamuk dari hongkong?! Hah? Kamu pikir mama bodoh? Mama bisa bedain mana bekas gigitan nyamuk, dan mana bekas gigitan bibir."

Deg!

Yohan merundukkan kepalanya semakin dalam. Sekarang ia merasa bingung harus menjawab apa?

"Kasih tau mama, sapa yang udah bikin merah leher kamu?" Murka ibu Eha, sorot matanya menatap Yohan dengan tatapan penuh selidik.

"Eng-enggak ada ma," bohong Yohan. Posisinya masih seperti semula, merunduk takut.

"Jangan bohong, kasih tau mama. Apa Redo yang udah bikin lehar kamu jadi merah?!"

Deg!

Nama Redo yang disebut ibu Eha, membuat Yohan sontak mengangkat wajahnya. Menatap terkejut ke arah ibu Eha, sambil menelan ludahnya susah payah. Sekujur tubuhnya mendadak terasa lemas, seperti tidak ber tulang. Wajah terlihat pucat pasi. Apakah dunia akan kiamat?

"Bagaimana mama bisa tau?" Bingung Yohan.

***

Sementara itu di Rumah Redo__dalam waktu yang hampir bersamaan, ternyata juga sedang terjadi keributan antara Redo dengan pak Burhan__ayahnya.

"EMANG KENAPA KALO AKU PACARAN SAMA YOHAN? Ada yang salah?"

Plaak...!

Telpak tangan pak Burhan melayang, lalu mendarat dengan kuat, tepat di pipi Redo, setelah Redo terpaksa harus mengakui hubungannya dengan Yohan.

Redo terpaksa harus jujur, ia sudah lelah diintimidasi, diinterogasi, dan di desak. Lagi pula memang seperti itu kenyataannya. Redo merasa sudah tidak harus ditutupi lagi.

Berbeda dengan Yohan__yang hanya bisa merunduk saat sedang dimarahi orang tua. Lain halnya dengan Redo yang memiliki sifat keras, dan juga sedikit bandel. Ia tidak mempunyai rasa takut sama sekali. Ia mendongakkan kepala, menatap tajam pak Burhan yang juga melotot ke arahnya.

Ibu Karina hanya bisa diam, ia juga merasakan sakit saat suaminya melayangkan tamparan di pipi Redo. Ibu mana yang tega melihat anaknya dipukul? Meskipun sama ayahnya sendiri. Hatinya terasa sakit.

"BOLOS SEKOLAH, BERMALAM DI HOTEL, PULANG MALAM, KAMU PIKIR KAMU UDAH BENAR?!" Murka pak Burhan. Ia benar-benar geram dengan tingkah putranya. Sudah salah, tapi tidak merasa bersalah. Justru terlihat seperti menantangnya. Bahkan Redo menganggap jika hubungannya dengan Yohan itu benar, tidak ada yang salah.

"Sudah Ayah, sudah." Ibu karina menghampiri suaminya, mengusap dadanya, mengajaknya suapaya bersabar. Sifat keras Redo turunan dari ayahnya. "Bisa diomongin baik-baik. Nggak perlu pake mukul."

"-Redo kamu masuk kamar sayang," bujuk ibu Karina, lembut. Ia berusaha menjauhkan dua laki-laki yang mempunyai kesamaan sifat. Kalau dibiarkan saja berdekatan, urusan akan semakin runyam.

"Bilang kalo tadi kamu cuma bercanda!" Pak Burhan berharap kalau pengakuan Redo barusan itu tidak benar. Atau mungkin hanya sekedar prank saja. Bagaimanapun tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya menjadi homo.

Sambil memegangi pipinya__bekas tamparan ayahnya, dengan wajah yang angkuh, sorot mata Redo menatap tajam ke arah pak Burhan.

"Redo serius! Redo sayang sama Yohan. Kita pacaran."

Setelah menyampaikan itu, Redo berjalan cepat, meninggalkan kedua orangnya yang semakin terkejut mendengar pengakuannya barusan.

Praaak...!!

Saat dalam perjalanan menuju kamar, tangan Redo menyambar guci kecil di atas nakas, lalu menjatuhkannya ke lantai. Menghasilkan suara pecahan, dan berakhir remuk.

"ANAK SIALAN!! KURANG AJAR!!" murka pak Burhan, "MULAI BESOK KAMU JAUHI YOHAN!! BIKIN MALU."

Redo tetap melangkah, melanjutkan perjalanannya menuju kamar. Mengabaikan peringatan dari ayahnya.

Sementara ibu Karina masih berusaha membujuk suaminya agar lebih bersabar. "Sudah, ayah tenang."

Pak Burhan menjatuhkan pantatnya di kursi. Duduk menyandar sambil meremas kepalanya yang mendadak pusing. "Mau ditaruh di mana muka kita, kalo sampe orang-orang tau?" Wajahnya terlihat sangat frustasi.

***

Yohan berjalan malas saat sedang menuruni anak tangga__sudah memakai seragam sekolahnya. Kejadian tadi malam membuat ia kehilangan semangat. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi kedepanya nanti. Mungkinkah ia harus mengakhiri hubungannya dengan Redo? Tidak. Yohan sangat menyayangi Redo. Ia tidak mau pisah.

Langkah Yohan terhenti saat ia melihat ibunya, sudah berdiri di dekat tangga.

"Mama mau kemana? Tumben rapi."

"Mulai hari ini, dan seterusnya mama yang antar jemput kamu sekolah." Jawab ibu Eha, kemudian ia berjalan ke arah ruang utama__diikuti Yohan mengekor di belakangnya.

"Ma... Yohan udah kelas dua belas. Masak masih dianter sekolah. Yohan malu." Protes Yohan.

Ibu Eha menghentikan langkahnya, memutar tubuh, berhadapan dengan anaknya. "Jangan protes!! Kalo kmu nolak, kamu bakal mama pindahkan sekolahnya," tegas ibu Eha.

Yohan terdiam, sambil menelan ludahnya susah payah. Sementara jari-jarinya sedang menekan-nekan hansaplast yang menempel di lehernya__menutupi tanda merah yang belum hilang.

Bab berikutnya