webnovel

The Guardian

Jarum jam telah menunjukkan malam yang cukup larut saat Valdy menyelesaikan memeriksa laporan keuangan bulanan dari beberapa resto yang menjadi tanggung jawabnya. Lumayan bagus, pikirnya sambil meregangkan tubuh jangkungnya di kursi. Para manajer resto telah diultimatum untuk menemukan solusi dalam pemasaran. Lebih menarget pasar para kaum dewasa muda yang tengah gandrung bekerja dan membutuhkan tempat nongkrong untuk melepas penat. Setidaknya, pertumbuhan ekonomi kota Jenggala sedang bagus-bagusnya, dengan sektor pariwisata high class yang jadi incaran turis asing.

Kota ini banyak sekali berubah dibanding 5 tahun lalu, pikir Valdy sambil menyibak gorden jendela ruang kerjanya, lalu memandang ke arah teluk Koral Jambu yang gelap. Dua tahun mendatang, tak akan mengherankan jika Jenggala akan menjadi kota yang jauh lebih ramai dan besar dibanding ibukota provinsi lainnya di wilayah Bali dan Nusa Tenggara.

Ia lalu berjalan ke arah telepon di atas meja, memencet nomornya, lalu meminta Bik Noni menyiapkan camilan malam untuknya. Diambilnya ponsel di atas meja dan dinyalakannya. Baru menyala, suara denting yang ramai terdengar saling bersahutan dari ponselnya seperti suara cericip burung di pagi hari.

"Luar biasa…" Valdy menggumam jemu, lalu meraih ponsel dan memeriksanya. Puluhan pesan bernada sama dari banyak siswi di sekolah memenuhi pemberitahuan. Ia mengecek nama-nama yang masuk, melihat nama Karina, lalu membuka pesannya.

Karina : Val, kangen…

Karina : Kok nggak dibalas sih?

Karina : Telepon aku dong, Val.

Karina : Val, aku mau ngomong sesuatu yang serius, dan nggak bisa hanya lewat telpon. Bisa kita ketemuan aja sepulang sekolah besok?

"Agresif banget nih bocah…" Tanpa sadar ia bergumam, melirik kembali jam dinding, memutuskan tak membalas langsung pesan Karina. Telepon di dekatnya berdering dan ia mengangkatnya. "Nggak usah. Saya makan di ruang makan aja. Makasih, Bik."

Valdy keluar dari ruang kerjanya dan dengan langkah cepat berjalan di koridor untuk menuju ke lantai dasar. Rumah yang besar itu lengang. Orangtuanya pasti sudah tidur usai memeriksa laporan juga, yang jumlahnya jauh lebih banyak dari yang diperiksanya tadi. Mencakup beberapa hotel, minimarket, dan satu pusat oleh-oleh di dekat bandara. Saat ia sampai di ruang makan yang berpenerangan temaram, ia melihat semangkok mie instan yang masih hangat telah menunggunya bersama segelas besar air dan sepiring kecil acar.

Sambil makan, Valdy memeriksa sisa pesan yang masuk ke ponselnya. Satu pesan yang masuk paling awal membuatnya mengangkat alis.

Angela : Mulai besok, dan seterusnya, sampai kiamat, nggak usah jemput gue lagi! BYE!

Valdy menggeleng heran. Dengan cepat ia menghubungi Angela, dan saat nada sambung hampir berakhir barulah gadis itu mengangkat teleponnya.

"Val! Nggak bisa lihat ini jam berapa?" Suara galaknya seketika menghantam gendang telinga Valdy. "Ngapain nelpon tengah malam? Mau ditemenin ngepet? Aku yang jaga lilin buatmu?"

Valdy mendengus geli dan memilih meneguk airnya sebelum ia tersedak.

"Aku sudah bilang tadi siang, jangan ada dendam pribadi, La." Ia mendengar Angela memekik kesal. "Besok kujemput, seperti biasa."

"OGAH! Ngeliat tampangmu aja males banget! Pingin nonjok sesuatu tahu!" Angela menggeram. "Silakan aja jemput, aku nggak akan ikut kamu. Aku cewek mandiri, nggak butuh bantuan cowok kayak kamu! KAKU!"

"Heh!"

"Aku ngantuk! BYE!"

Valdy mendesis jengkel dan meletakkan ponsel di atas meja dengan gusar. Dasar bocah, pikirnya, tak berakhlak sama sekali. Ia melanjutkan makan dengan cepat, terbayang kembali adegan di lapangan basket tadi siang yang masih membuatnya ternganga-nganga pada kelakuan Angela.

Dalam kurun waktu yang singkat, gadis itu bertransformasi dari si cupu dan penggugup menjadi si agresif dan hot. Para guru yang mengenal gadis itu juga mempertanyakan apa yang terjadi padanya yang membuatnya berubah drastis. Belum lagi keputusan Valdy yang tak membiarkan pihak sekolah mengirimkan surat peringatan pada Angela dan dua orang lainnya, sudah menuai bisik-bisik di kalangan pengajar. Pak Dharma, kepala sekolah sudah mengisyaratkan agar ia menghadap besok untuk menjelaskan.

"Susah banget jadi guardian-mu, La." Ia bergumam pelan. "Kayak menghadapi bocah ingusan, bukannya remaja 17 tahun."

Ia lalu mengirimkan pesan pada Adrian, yang dibalas dalam waktu singkat.

Adrian : Ada apa dengan adik gue??

Valdy : Out of Control. Parah. Nggak bakal beres dengan lo ngancam dia soal hadiah lo.

Adrian : Sialan!

Valdy : Lo mau menyerahkan semua ke gue?

Adrian : Gila aja! Status lo sekarang tunangan dia! Dan gue mengenal lo. Lo nggak bisa gue percaya saat punya kekuasaan penuh.

Valdy : Gue tahu batas, Yan. Gue sudah belajar.

Adrian : Gue belum lupa soal Inara. Jangan macem-macem lo sama adik gue, Val!

Valdy mengacak rambutnya dengan gusar. Satu noda di masa lalu yang sudah tak ada artinya masih saja menghantuinya, membuat namanya sedemikian rusak di mata para sahabatnya. Padahal dia sudah tak seperti dulu lagi, banyak berubah, dan telah berjanji tak akan pernah kembali menjadi Valdy yang dulu.

Valdy : Oke, terserah lo!

Adrian tak membalas lagi, mungkin tengah memikirkan cara terbaik menghadapi adiknya sendiri. Valdy hanya perlu mengawasi dari jauh.

***

Mendung kelabu menggumpal di langit saat Valdy melajukan mobilnya untuk menjemput Angela, sepuluh menit lebih awal dari biasanya. Matanya masih mengantuk efek begadang. Saat mobilnya makin mendekat ke rumah gadis itu, ia melihat Angela keluar dan sudah akan membuka gerbang lebih lebar saat menyadari mobilnya mendekat.

Oke, perang lagi, pikir Valdy saat melihat Angela membelalak padanya, lalu bersedekap dengan angkuh.

"Ayo, naik. Jangan banyak drama, La." Valdy menyapanya saat kaca penumpang diturunkannya.

"Ramah banget, Om."

"Ambil tasmu. Cepat! Sebentar lagi hujan!"

"Aku bawa mobil sendiri. Nggak usah sok baik deh jemput lagi. Biar kamu bebas." Angela menepiskan rambut panjangnya dengan angkuh, membuat Valdy gemas sendiri. "Sekarang, minggir! Aku mau ngeluarin mobil."

"Bakal hujan deras dan banjir, La. Kalo nggak kejebak macet, nanti kamu akan kena banjir. Telat lagi, detensi lagi. Mau?"

Kata 'detensi' itu membuat Angela makin berang. Tambah berang lagi saat Valdy akhirnya memilih turun dan menghampirinya. Valdy berjalan sembari melayangkan pandang ke sekitar mereka yang sepi lalu berdiri menjulang di hadapan Angela yang sontak mundur, takut dianiaya. Ia merentangkan satu tangan secara refleks, mencegah Valdy makin mendekat.

"Ambil barang-barangmu. Sekarang!"

"Nggak!"

"Semakin lama kita berantem begini, semakin besar peluangmu telat masuk sekolah. Detensi lagi?"

"Kamu pergi aja deh duluan!" Angela mendorongnya menjauh dengan kedua tangannya, membuat Valdy menelengkan kepala melihat kelakuannya. "Minggirin mobilmu, Val!"

Valdy menangkap kedua tangan Angela yang menempel di dadanya, lalu mendorong gadis itu mundur ke halaman di belakang gerbang. Ia sedang malas berkompromi dalam bentuk apapun. Dan gadis ini, susah sekali dijinakkan, bahkan dengan ancaman detensi sekalipun.

"Ambil tasmu." Ia mencondongkan tubuh pada Angela yang membelalak ngeri. Wajah mereka begitu dekatnya sampai ia bisa merasakan napas gadis itu yang memburu. "Jangan memulai keributan pagi-pagi, La."

"Coba kamu mau mengalah dan pergi, kita nggak perlu sampai ribut." Angela membalas ucapannya dengan ketus.

Begitu kalimat itu terlontar, tetes-tetes hujan berjatuhan di atas kepala mereka. Dalam hitungan detik berubah lebat. Angela melepas tangannya dari cekalan Valdy lalu berlari ke arah garasi dimana mobilnya berada. Ia mengambil tas dari kursi penumpang, lalu berlari kembali pada Valdy dengan raut masam.

"Oke. Aku kalah. Ayo, berangkat!"

Valdy hanya bisa mendesah kesal.

***

"Saya tidak memperlakukan satupun siswa saya secara spesial, Pak. Hanya saja, saya punya pertimbangan sendiri, sesuai hasil investigasi singkat di kelas 12 IPA2 dan 10 SOS1 kemarin siang." Valdy menatap Pak Dharma, kepala sekolah Jenggala Pride High School, yang mengajaknya bicara empat mata di ruangannya.

"Baik, saya mendengarkan."

"Kejadian di lapangan basket kemarin dipicu oleh siswi kelas 10 yang bernama Luna. Biasa, Pak. Cinta bertepuk sebelah tangan. Ini sebenarnya hanya diantara Luna dan Roni, dan karena Angela pacaran dengan Roni, mau tak mau ikut terseret juga. Adegan ciuman itu, menurut pengakuan para penonton, murni karena luapan emosi menghadapi Luna yang, ehm, menurut para saksi mata, halu tingkat tinggi."

Bahkan dengan menceritakannya saja Valdy merasakan campuran antara geli sekaligus dongkol. Bocah masa kini, pikirnya jengkel.

"Halu?"

"Ya, istilahnya begitu, Pak Dharma. Halusinasi. Kelebihan berkhayal. Hal yang umum terjadi belakangan ini, efek tontonan remaja di internet."

"Repot!" Dharma berdeham keras. "Lanjutkan, Valdy."

"Soal surat peringatan tadi, saya pikir tak akan adil jika hanya Angela yang tidak diberi. Alasannya, dia hanya tanpa sengaja terseret di kejadian ini, Pak. Lagi pula, jika sampai surat itu sampai di tangan orangtuanya, dan mereka tahu apa penyebab Angela terlibat masalah, bisa runyam, Pak."

Dharma memicingkan mata sambil berpikir.

"Angela itu anaknya Budi Wikrama bukan? Teman saya dan ayahmu?"

"Iya, Pak Dharma." Valdy akhirnya mengeluarkan jurus terakhir untuk menyelamatkan Angela sekaligus dirinya sendiri di masa depan. "Om Budi saat ini mengidap sakit jantung. Tak boleh terguncang atau mendapat berita yang mengejutkan. Secara pribadi, saya tak mau hal yang paling buruk terjadi."

"Wah, saya baru tahu soal ini. Bagaimanapun, dia dulu teman satu geng saya. Sudah lama sekali tak bertemu dengannya."

Valdy berupaya keras mempertahankan ekspresi datarnya saat mendengar kata 'satu geng' tadi.

"Para pengajar sudah mulai bertanya-tanya alasan sebenarnya. Tapi penjelasanmu, bisa saya terima. Memang masuk akal." Dharma menghela napas. "Sayangnya, saya hanya bisa memberi permakluman untuk Angela. Dua yang lainnya tetap akan saya kirimi surat peringatan." Valdy mengangguk, merasa tak bisa berbuat banyak dengan keputusan ini. "Bagaimana detensinya? Sudah diatur siapa yang akan mengawasi pelaksanaannya nanti?"

"Sudah. Saya dan guru BP serta Wakasek Kesiswaan sudah sepakat soal detensinya, Pak."

"Bagus. Lalu soal penjaringan bibit atlet basket?"

"Saya mulai hari ini, sepulang sekolah. Ada beberapa nama yang sudah didaftarkan ke saya oleh guru olahraga kelas 10 dan 11. Untuk kelas 12 sudah saya catat juga nama-nama yang paling potensial."

"Utamakan kelas 10 dan 11, Val. Kelas 12 biar lebih konsentrasi ke ujian dan SNMPTN nanti."

"Ya, Pak. Hanya ada 3 orang di daftar saya untuk tim putra, 2 orang untuk tim putri. Ini hanya untuk kompetisi ulang tahun sekolah. Untuk event berikutnya yang skala regional, saya fokus ke atlet kelas 10 dan 11."

"Jadwal latihannya?"

"Masih saya susun. Sore ini sampai Kamis sore nanti hanya tahap latihan dasar saja."

"Baik. Saya mengandalkanmu, Valdy. Memalukan sekali prestasi olahraga sekolah ini sejak angkatanmu lulus. Sekarang lebih dominan ke akademik. Saya maunya yang seimbang."

"Saya akan berusaha keras membantu, Pak."

"Terima kasih, Val. Saya sangat mengapresiasi kesungguhanmu, dulu dan sekarang. Jagad pasti bangga sekali memiliki putra sepertimu."

Valdy hanya tersenyum menanggapinya.

***

Bab berikutnya